BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1
Teori Stakeholder
Pergeseran pemikiran dari shareholder orientation menjadi stakeholder orientation merupakan wujud dari perkembangan industrialisasi yang semakin maju. Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memperhatikan manfaat bagi stakeholdernya (Terzaghi, 2012). Jones (1995) (dalam Solihin, 2011:2) mengklasifikasikan stakeholder ke dalam dua kategori, yaitu: 1. Inside stakeholders, terdiri atas orang-orang yang memiliki kepentingan dan tuntutan terhadap sumber daya perusahaan serta berada di dalam organisasi perusahaan. Yang termasuk dalam kategori inside stakeholders adalah pemegang saham (stockholders), para manajer (managers), dan karyawan (employees). 2. Outside
stakeholders,
terdiri
atas
orang-orang
maupun
pihak-pihak
(constituencies) yang bukan pemilik perusahaan, bukan pemimpin perusahaan, dan bukan pula karyawan perusahaan, namun memiliki kepentingan terhadap perusahaan dan dipengaruhi oleh keputusan serta tindakan yang dilakukan oleh perusahaan. Yang termasuk ke dalam kategori outside stakeholders adalah pelanggan (customers), pemasok (suppliers), pemerintah (government),
masyarakat lokal (local communities), dan masyarakat secara umum (general public). Gray (1994:53) (dalam Terzaghi, 2012) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Pelaksanaan CSR merupakan salah satu cara untuk mencari dukungan stakeholder.
2.1.2
Teori Legitimasi
Legitimasi masyarakat merupakan faktor strategis bagi perusahaan dalam rangka mengembangkan perusahaan ke depan (Hadi, 2011:87). O’Donovan (2002) (dalam Hadi, 2011:87) berpendapat bahwa legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan sebagai sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Teori legitimasi mengungkapkan bahwa perusahaan secara kontinyu berusaha untuk bertindak sesuai dengan batas-batas dan norma-norma dalam masyarakat, atas usahanya tersebut perusahaan berusaha agar aktivitasnya diterima menurut persepsi pihak eksternal (Deegan (2000) dalam Febrina dan Suaryana, 2011). Gray et al. (1996) (dalam Hadi, 2011:88) menyatakan bahwa legitimasi merupakan “....a systems-oriented view of organisation and society...permits us to focus on the role of information and disclosure in the relatioship between organisations, the state, individuals and groups”. Pendapat lain mengenai
legitimasi diungkapkan oleh Degan (2002) (dalam Hadi, 2011:88) yang menyatakan legitimasi sebagai: “...a system-oriented perspective, the entity is assumed to influenced by, and in turn to have influence upon, the society in which it operates. Coporate disclosure are considered to represent one important means by witch management can influence external perceptions about organisation”. Menurut Pattern (1992) (dalam Hadi, 2011:92) ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar legitimasi berjalan efektif, antara lain: 1. Melakukan identifikasi dan komunikasi atau dialog dengan publik 2. Melakukan komunikasi dialog tentang masalah nilai sosial kemasyarakatan dan lingkungan, serta membangun persepsinya tentang perusahaan 3. Melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan, terutama terkait dengan masalah tanggung jawab sosial (social responsibility). Berdasarkan uraian sebelumnya, sudah cukup menjelaskan bagaimana legitimasi berperan dalam keberlanjutan suatu perusahaan dimana legitimasi dapat diperoleh melalui aktivitas CSR.
2.1.3
Definisi dan Konsep Corporate Social Responsibility
Wartick dan Cochran (dalam Solihin, 2011:1) menyatakan bahwa sekitar 50 tahun yang lalu, H.R. Bowen berpendapat bahwa para pelaku bisnis memiliki kewajiban untuk mengupayakan suatu kebijakan serta membuat keputusan atau melaksanakan berbagai tindakan yang sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Pendapat H.R. Bowen menunjukkan bahwa konsep CSR sudah ada
sejak lama dan sampai saat ini telah melewati berbagai proses perkembangan guna mencapai penyempurnaan pemahaman dalam penerapan CSR. Pada awal perkembangan konsep CSR tahun 1950-1960an dimana Bowen yang mengawali perumusan konsep CSR dan selanjutnya diikuti oleh Keith Davis yang merumuskan tanggung jawab sosial sebagai berikut “businessmen’s decisions and actions taken for reasons at least partially beyond the firm’s direct economic or technical interest (Solihin, 2011:16)”. Rumusan tersebut menegaskan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan hanya tanggung jawab ekonomi tetapi juga meliputi tanggung jawab sosial, yang selanjutnya rumusan tersebut diperkuat dengan Iron Law of Responsibility dimana Davis menyatakan bahwa “social responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social power...then the avoidance of social responsibiliy leads to gradual erosion of social power (Solihin, 2011:16)”. Hadi (2011:51) menyatakan bahwa pemicu adanya konsep tanggung jawab sosial pada tahun 1960an adalah: 1. Tanggung jawab sosial (social responsibility) muncul sebagai respon kesadaran etis dalam berbisnis (business ethic) secara personal pemilik modal (juragan), sehingga tanggung jawab sosial merupakan bentuk sikap derma yang ditujukan pada masyarakat sekitar (Nor Hadi, 2009). 2. Wujud tanggung jawab sosial (social responsibility) bersifat karitatif (charity activity) dan isedental, yang tergantung pada kondisi kesadaran dan keinginan pemodal. Bentuk apa, kapan, dan kepada siapa bantuan diberikan, sangat tergantung pada kemauan sang juragan (Wibisono Yusuf, 2007).
3. Tipe kontrak pelaksanaan yang mendasari tanggung jawab sosial (social responsibility) bersifat stewarship principle. Konsep tersebut mendudukkan pelaku bisnis (businessmen) sebagai steward (wali) masyarakat, sehingga perlu mempertimbangkan kepentingan para pemangku kepentingan (Solihin Ismail, 2008). Perkembangan konsep CSR pada tahun 1970-1980an ditandai dengan dibentuknya Committee for Economic Development (CED) yang merupakan gabungan dari kelompok perusahaan terkemuka di Amerika beserta para peneliti yang ahli dibidang CSR. Dalam laporan CED yang berjudul Social Responsibilities of Business Corporations menyatakan bahwa: “Today it is clear that the terms of social contract between society and business are, in fact, changing in substantial and important ways. Business is being ask to assume broader responsibilities to society than ever before and to serve a wider range of human values. Business enterprise, in effect, are being asked to contribute more to the quality of American life the just supplying quantities of goods and services (Solihin, 2011:20)”. Menurut Carrol (1979) (dalam Solihin, 2011:21) komponen-komponen tanggung jawab sosial perusahaan dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: 1. Economic responsibilities. Tanggung jawab sosial utama perusahaan adalah tanggung jawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri atas aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat secara menguntungkan. 2. Legal reponsibilities. Masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan menaati hukum dan peraturan yang berlaku dimana hukum dan peraturan tersebut pada
hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif. Sebagai contoh, ketaatan perusahaan dalam membayar pajak, menaati undang-undang tenaga kerja, dan sebagainya merupakan tanggung jawab hukum perusahaan. 3. Ethical responsibilities. Masyarakat berharap perusahaan menjalankan bisnis secara etis. Menurut Eipstein (1989:584-584), etika bisnis menunjukkan refleksi moral yang dilakukan oleh pelaku bisnis secara perorangan maupun secara kelembagaan (organisasi) untuk menilai sebuah isu dimana penilaian ini merupakan pilihan terhadap nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat. Melalui pilihan nilai tersebut, individu atau organisasi akan memberikan penilaian apakah sesuatu yang dilakukan itu benar atau salah, adil atau tidak, serta memiliki kegunaan (utilitas) atau tidak. 4. Discretionary
responsibilities.
Masyarakat
mengharapkan
keberadaan
perusahaan dapat memberikan manfaat bagi mereka. Ekspektasi masyarakat tersebut dipenuhi oleh perusahaan melalui berbagai program yang bersifat filantropis. Perkembangan konsep CSR pada tahun 1990an sampai saat ini, dimulai pada tahun 1987 dengan diperkenalkannya konsep pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam laporan berjudul Our Common Future oleh The World Commission on Environment and Development atau yang lebih dikenal dengan The Brundtland Comission yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai berikut: “sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs
(Solihin, 2011:27)”. Konsep selanjutnya dikenal dengan The Triple Bottom Line yang dikemukakan oleh John Eklington pada tahun 1997 yang mengakui bahwa: “Jika perusahaan ingin sustain maka perlu memperhatikan 3P, yaitu bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people), dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Hadi, 2011:56)’’. The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan CSR sebagai: “Business’s contribution to sustainable development and that corporate behavior must not only ensure returns to shareholders, wages to employees, and products and services to consumers, but they must respond to societal and environmental concerns and value (Solihin, 2011:28)”. Definisi lain oleh The World Business Council for Sustainable Development atau yang dikenal dengan Business Action for Sustainable Development menyatakan bahwa CSR adalah “The continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life the workforce and their families as well as of the local community and society at large (Solihin, 2011:28)”. Crowther David (2008) (dalam Hadi, 2011:59) merumuskan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial sebagai berikut: 1. Sustainability, berkaitan dengan bagaimana perusahaan dalam melakukan aktivitas (action) tetap memperhitungkan keberlanjutan sumber daya di masa depan
2. Accountability, merupakan upaya perusahaan terbuka dan bertanggungjawab atas aktivitas yang telah dilakukan 3. Transparency, merupakan satu hal yang amat penting bagi pihak eksternal, berperan untuk mengurangi asimetri informasi, kesalahpahaman, khususnya informasi dan pertanggungjawaban berbagai dampak dari lingkungan.
2.1.4
Pengungkapan Corporate Social Responsibility
CSR merupakan upaya perusahaan dalam mewujudkan konsep Triple Bottom Line dimana dinyatakan jika suatu usaha ingin berkelanjutan harus memperhatikan tiga aspek yaitu profit, people (masyarakat), dan planet (lingkungan). Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 15 ayat (2b) telah dijelaskan bahwa Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengungkapan CSR dilaporkan dalam laporan tahunan dan atau dapat juga dilaporkan terpisah dalam laporan berkelanjutan (sustainability reporting). Pengungkapan CSR bukan
hanya merupakan
pengungkapan sukarela melainkan sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi pemerintah seperti yang tertera dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 66 ayat 2(c) yang dijelaskan bahwa laporan tahunan harus memuat laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kerangka pelaporan GRI merupakan salah satu pedoman yang digunakan dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan. Global Reporting Initiative (GRI) adalah lembaga yang mempromosikan standar yang diciptakan untuk memberi arahan bagi perusahaan-perusahaan dalam menerbitkan laporan
keberlanjutan atau tanggung jawab sosialnya (www.csrindonesia.com). GRI telah didirikan sejak tahun 1997 yang dipelopori oleh United Nations Environment Program. Kerangka pelaporan GRI memuat 79 item pengungkapan yang terdiri dari 9 indikator kinerja ekonomi, 30 indikator kinerja lingkungan, 14 indikator kinerja praktek tenaga kerja dan pekerjaan yang layak, 9 indikator kinerja hak asasi manusia, 8 indikator kinerja masyarakat, dan 9 indikator kinerja tanggung jawab produk.
2.1.5
Return on Asset (ROA)
Profitabilitas merupakan rasio yang mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba. Return on Asset (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba terhadap nilai total aset, serta mengukur tingkat efisiensi perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional atas nilai aset yang dimiliki. Semakin tinggi nilai ROA, semakin baik kinerja perusahaan. Menurut Almilia et al. (2011), ada hubungan positif antara ROA dengan tingkat pengungkapan. Hubungan positif ini mengindikasikan
bahwa
profitabilitas
perusahaan
merupakan
indikator
pengelolaan manajemen perusahaan yang baik sehingga manajemen akan cenderung mengungkapkan lebih banyak informasi ketika ada peningkatan profitabilitas perusahaan. Semakin tinggi ROA semakin meningkat kemampuan perusahaan dalam melakukan aktivitas tanggung jawab sosial sehingga semakin luas pengungkapan CSR.
2.1.6
Ukuran Perusahaan
Perusahaan dengan ukuran yang lebih besar dapat lebih bertahan daripada perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil, karena semakin besar entitas, semakin besar pula sumber daya yang dimiliki entitas tersebut (Kamil dan Herusetya, 2012). Semakin besar sumber daya yang dimilki suatu perusahaan semakin luas pengungkapan tanggung jawab sosial yang harus dilakukan. Ukuran perusahaan sering diproksikan dari nilai total aset seperti penelitian Kamil dan Herusetya (2012), Almilia et al. (2011), Putra et al. (2011), Sudana dan Arlindania (2011), Novita dan Djakman (2008), sedangkan pada penelitian Anggraini (2006) memproksi ukuran perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar. Pada penelitian ini ukuran perusahaan diproksi dengan jumlah tenaga kerja seperti pada penelitian Pasaribu (2011), Yuliana et al. (2008), dan Sembiring (2005) dengan alasan bahwa perusahaan dengan jumlah sumber daya manusia atau tenaga kerja yang besar akan semakin rentan memperoleh tekanan atas tuntutan tanggung jawab sosial yang belum dipenuhi oleh perusahaan yang pada akhirnya mendorong perusahaan untuk lebih luas lagi dalam pengungkapan CSR demi keberlanjutan perusahaan.
2.1.7
Indonesia Sustainability Reporting Awards (ISRA)
ISRA telah diselenggarakan sejak tahun 2005 oleh National Center for Sustainability Reporting (NCSR). National Center for Sustainability Reporting (NCSR) adalah organisasi independen yang mengembangkan dan mempromosikan laporan CSR atau laporan keberlanjutan (Sustainability Report) di Indonesia (www.ncsr-id.org). NCSR dideklarasikan pada tanggal 23 Juni 2005 oleh 5 (lima)
organisasi independen terkemuka yaitu Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM), Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Asosisasi Emiten Indonesia (AEI), dan Indonesia Netherlands Association (INA) (Almilia et al., 2011). Indonesia Sustainability Reporting Awards (ISRA) adalah penghargaan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang telah membuat pelaporan atas kegiatan yang menyangkut aspek lingkungan dan sosial disamping aspek ekonomi untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) perusahaan itu sendiri (www.ncsrid.org). NCSR mendefinisikan tujuan ISRA sebagai berikut: 1. Memberikan pengakuan terhadap organisasi-organisasi yang melaporkan dan mempublikasikan informasi mengenai lingkungan, sosial, dan informasi keberlanjutan terintegrasi 2. Mendukung pelaporan di bidang lingkungan, sosial, dan keberlanjutan 3. Meningkatkan akuntabilitas perusahaan dengan menekankan tanggungjawab terhadap pemangku kepentingan utama (key stakeholders) 4. Meningkatkan kesadaran perusahaan terhadap transparansi dan pengungkapan.
2.1.8
Profil Perusahaan
Profil perusahaan lebih dikenal dengan sebutan high profile atau low profile. Perusahaan yang termasuk high profile seringkali mendapat sorotan dari masyarakat karena kegiatan operasionalnya yang relatif lebih berdampak terhadap lingkungan. Adanya sorotan dari masyarakat akan mendorong perusahaan untuk lebih luas dalam pengungkapan CSR guna mendapatkan legitimasi masyarakat
demi keberlanjutan usaha. Perusahaan yang termasuk high profile bergerak dalam bidang perminyakan dan pertambangan, kimia, hutan, kertas, otomotif, agrobisnis, tembakau dan rokok, makanan dan minuman, media dan komunikasi, kesehatan, transportasi, dan pariwisata (Hasibuan, 2001; Henny dan Murtanto, 2001; Utomo, 2000; Hackston dan Milne, 1996; dalam Sembiring, 2005). Berbeda halnya dengan perusahaan low profile yang dikelompokkan dalam bidang bangunan, keuangan dan perbankan, supplier peralatan medis, retailer, tekstil dan produk tekstil, produk personal, dan produk rumah tangga (Sembiring, 2005).
2.1.9
Kategori Perusahaan
Kategori perusahaan dibedakan menjadi dua, yaitu perusahaan yang termasuk BUMN dan yang non BUMN. BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Pasal 2 ayat (1) dijelaskan tentang tujuan dari didirikannya BUMN bukan hanya mencari keuntungan tetapi juga turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Bentuk penerapan CSR untuk perusahaan BUMN juga telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Pengungkapan CSR oleh perusahaan BUMN bukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial tetapi juga menunjukkan kepatuhan terhadap regulasi pemerintah yang telah ditetapkan
sebelumnya. Untuk perusahaan non BUMN dapat mengacu pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang dalam Pasal 74 ayat (1) dijelaskan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
2.1.10 Nilai Perusahaan Nilai perusahaaan merupakan wujud atas kinerja suatu perusahaan. Kinerja perusahaan yang dimaksudkan bukan hanya kinerja ekonomi tetapi juga termasuk kinerja sosial dan lingkungan. Semakin tinggi kinerja perusahaan semakin baik nilai suatu perusahaan. Menurut Samuel (2000) (dalam Nurlela dan Islahuddin, 2008), enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Nilai perusahaan yang diproksi dengan Tobin’s Q tidak hanya sebatas menunjukkan nilai pasar ekuitas tetapi juga menunjukkan nilai buku atas total ekuitas dan total hutang. Pengungkapan CSR diharapkan dapat membentuk citra positif bagi perusahaan yang kemudian dapat meningkatkan nilai suatu perusahaan.
2.1.11 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain: 1. Penelitian Almilia et al. (2011) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial dan dampaknya terhadap kinerja keuangan dan ukuran perusahaan, dengan periode penelitian tahun 2007–2008. Sampel penelitian terdiri dari 47 perusahaan penerima ISRA dan yang tidak menerima ISRA. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial diproksi dengan ROA, ROE, dan ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan diproksi dengan total aset. Penelitian Almilia et al. (2011) menggunakan metode regresi logistik dan uji beda, pada hipotesis pertama terbukti bahwa ROA dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR, sedangkan ROE tidak berpengaruh signifikan. Pada hipotesis kedua dan ketiga terbukti bahwa ROA atau ROE penerima ISRA tidak lebih tinggi daripada ROA atau ROE perusahaan yang tidak menerima ISRA, sedangkan ukuran perusahaan penerima ISRA lebih tinggi daripada ukuran perusahaan yang tidak menerima ISRA. 2. Penelitian Yuliana et al. (2008) tentang pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan corporate social responsibility (CSR) dan dampaknya terhadap reaksi investor, dengan periode penelitian tahun 2006. Sampel penelitian terdiri dari 116 perusahaan yang terdaftar di BEI. Pada penelitian Yuliana et al. (2008) hanya variabel ukuran perusahaan, profitabilitas, dan profile yang digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Ukuran
perusahaan diproksi dengan jumlah tenaga kerja dan total aset, sedangkan profitabilitas diproksi dengan ROA dan ROE. Penelitian Yuliana et al. (2008) menggunakan metode Partial Least Square dan membuktikan bahwa ukuran perusahaan dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR, sedangkan profile berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. 3. Penelitian Kamil dan Herusetya (2012) tentang pengaruh karakteristik perusahan
terhadap
luas
pengungkapan
kegiatan
corporate
social
responsibility, dengan periode penelitian tahun 2008–2009. Sampel penelitian terdiri dari 41 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Pada penelitian Kamil dan Herusetya (2012) hanya variabel profitabilitas yang digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Profitabilitas diproksi dengan ROA. Penelitian Kamil dan Herusetya (2012) menggunakan metode regresi berganda dan membuktikan bahwa profitabilitas tidak terbukti berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. 4. Penelitian Putra et al. (2011) tentang pengaruh size, profitabilitas, leverage, kepemilikan dalam negeri, dan kepemilikan asing terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, dengan periode penelitian tahun 2007. Sampel penelitian terdiri dari 72 perusahaan yang terdaftar di BEI kecuali bank dan lembaga keuangan. Pada penelitian Putra et al. (2011) hanya variabel profitabilitas yang digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Profitabilitas diproksi dengan ROA. Penelitian Putra et al. (2011) menggunakan metode regresi berganda dan membuktikan bahwa profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR.
5. Penelitian Pasaribu et al. (2011) tentang karakteristik perusahaan dan komitmen berpengaruh terhadap corporate social responsibility, dengan periode penelitian tahun 2005–2007. Sampel penelitian ini terdiri dari 80 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Pada penelitian Pasaribu et al. (2011) hanya variabel ukuran perusahaan yang digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Ukuran perusahaan diproksi dengan jumlah tenaga kerja dan total aset. Penelitian Pasaribu et al. (2011) menggunakan metode Partial Least Square dan membuktikan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. 6. Penelitian
Sembiring
(2005)
tentang
karakteristik
perusahaan
dan
pengungkapan tanggung jawab sosial. Sampel penelitian terdiri dari 78 perusahaan yang terdaftar di BEI yang tercantum dalam ICMD 2002. Pada penelitian Sembiring (2005) hanya variabel ukuran perusahaan dan profile yang digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Ukuran perusahaan diproksi dengan jumlah tenaga kerja. Penelitian Sembiring (2005) menggunakan metode regresi berganda dan membuktikan bahwa ukuran perusahaan dan profile berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. 7. Penelitian Terzaghi (2012) tentang pengaruh earning management dan mekanisme corporate governance terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI, dengan periode penelitian tahun 2008. Sampel penelitian ini terdiri dari 89 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Pada penelitian Terzaghi (2012) hanya variabel profile yang
digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Penelitian Terzaghi (2012)
menggunakan metode regresi berganda dan membuktikan bahwa
profile berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. 8. Penelitian Anggraini (2006) tentang pengungkapan informasi sosial dan faktorfaktor yang mempengaruhi pengungkapan informasi sosial dalam laporan keuangan tahunan, dengan periode penelitian tahun 2000-2004. Pada penelitian Anggraini (2006) hanya variabel tipe industri (profile) yang digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Penelitian Anggraini (2006) menggunakan metode regresi berganda dan membuktikan bahwa tipe industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. 9. Penelitian Novita dan Djakman (2008) tentang pengaruh struktur kepemilikan terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial pada laporan tahunan perusahaan, dengan periode penelitian tahun 2006. Sampel penelitian terdiri dari 107 perusahaan yang terdaftar di BEI. Pada penelitian Novita dan Djakman (2008) hanya variabel tipe industri (profile) dan kategori perusahaan (BUMN/non BUMN) yang digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Penelitian Novita dan Djakman (2008) menggunakan metode regresi berganda dan membuktikan bahwa tipe industri berpengaruh signifikan terhadap
pengungkapan
CSR,
sedangkan
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.
kategori
perusahaan
tidak
10. Penelitian Rakhmawati dan Syafruddin (2011) tentang pengaruh struktur kepemilikan, tipe industri, ukuran perusahaan, perusahaan BUMN dan non BUMN terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR Disclosure) pada perusahaan di BEI tahun 2009. Sampel penelitian terdiri dari 82 perusahaan.
Pada penelitian Rakhmawati dan Syafruddin (2011) hanya variabel kategori perusahaan (perusahaan BUMN/non BUMN) yang digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Penelitian Rakhmawati dan Syafruddin (2011) menggunakan metode regresi berganda dan membuktikan bahwa kategori perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. 11. Penelitian Murwaningsari (2009) tentang hubungan corporate governance, corporate social responsibilities, dan corporate financial performance, dengan periode penelitian tahun 2006. Sampel penelitian terdiri dari 126 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Pada penelitian Murwaningsari (2009) hanya variabel jenis industri (profile) dan kinerja perusahaan yang digunakan sebagai acuan dengan penelitian sekarang. Kinerja perusahaan diproksi dengan Tobin’s Q. Penelitian Murwaningsari (2009) menggunakan metode Path Analysis dan membuktikan bahwa jenis industri tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR, sedangkan CSR berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. 12. Penelitian Nurlela dan Islahuddin (2008) tentang pengaruh corporate social responsibility terhadap nilai perusahaan dengan prosentase kepemilikan manajemen sebagai variabel moderating, dengan periode penelitian tahun 2005. Sampel penelitian terdiri dari 41 perusahaan yang terdaftar di BEI kecuali
perusahaan sektor keuangan dan asuransi. Nilai perusahaan diproksi dengan Tobin’s Q. Penelitian Nurlela dan Islahuddin (2008) menggunakan metode regresi berganda dan membuktikan bahwa CSR tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 13. Penelitian Susliyanti (2007) tentang keterkaitan antara tanggung jawab sosial perusahaan dengan kinerja dan nilai perusahaan. Nilai perusahaan diproksi dengan Tobin’s Q. Penelitian Susliyanti (2007) menggunakan metode uji t dan Spearman’s Rank correlation membuktikan bahwa CSR tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan dengan sampel 22 perusahaan yang terdaftar di BEJ (pada tahun 1993-2003) dan terdapat dalam pengumuman PROPER (pada tahun 2003-2004), sedangkan hasil uji t dan Spearman’s Rank correlation dengan sampel perusahaan manufaktur, prasarana, dan jasa yang diseleksi dari sampel sebelumnya membuktikan bahwa CSR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.
2.2
Rerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan teoritis yang sudah diuraikan sebelumnya, penelitian ini
dibedakan menjadi dua model. Model pertama menguji pengaruh ROA, ukuran perusahaan, penganugerahan ISRA, profil perusahaan, dan kategori perusahaan terhadap pengungkapan CSR. Model kedua menguji pengaruh pengungkapan CSR terhadap nilai perusahaan.
Variabel Independen
ROA
Ukuran Perusahaan Variabel Dependen
Corporate Social Responsibility
Penganugerahan ISRA
Profil Perusahaan
Kategori Perusahaan
Gambar 1 Rerangka Pemikiran Model 1
Variabel Independen
Variabel Dependen Nilai Perusahaan
Corporate Social Responsibility
Gambar 2 Rerangka Pemikiran Model 2
2.3 2.3.1
Perumusan Hipotesis Pengaruh ROA Terhadap Pengungkapan CSR Return on Asset (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang
mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba terhadap nilai total aset, serta mengukur tingkat efisiensi perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional atas nilai aset yang dimiliki. Menurut Almilia et al. (2011), ada hubungan positif antara ROA dengan tingkat pengungkapan. Hubungan positif ini mengindikasikan
bahwa
profitabilitas
perusahaan
merupakan
indikator
pengelolaan manajemen perusahaan yang baik sehingga manajemen akan cenderung mengungkapkan lebih banyak informasi ketika ada peningkatan profitabilitas perusahaan. Semakin tinggi ROA semakin meningkat kemampuan perusahaan dalam melakukan aktivitas tanggung jawab sosial sehingga semakin luas pengungkapan CSR. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Almilia et al. (2011) dan Putra et al. (2011) yang membuktikan bahwa ROA berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. Adapun penelitian terdahulu yang menunjukkan hasil berlawanan yaitu penelitian Yuliana et al. (2008), Kamil dan Herusetya (2012) yang membuktikan bahwa ROA tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis pertama yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: H1: ROA berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR
2.3.2
Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Pengungkapan CSR
Menurut Kamil dan Herusetya (2012), perusahaan dengan ukuran yang lebih besar dapat lebih bertahan daripada perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil, karena semakin besar entitas semakin besar pula sumber daya yang dimiliki entitas tersebut. Perusahaan dengan sumber daya manusia yang besar akan rentan disoroti terhadap tuntutan tanggung jawab sosial yang belum dipenuhi oleh perusahaan yang pada akhirnya mendorong perusahaan untuk lebih luas lagi dalam pengungkapan CSR demi keberlanjutan perusahaan. Ukuran perusahaan yang diproksikan dengan tenaga kerja dalam penelitian Pasaribu (2011) dan Sembiring (2005) membuktikan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. Adapun penelitian terdahulu yang menunjukkan hasil berlawanan yaitu penelitian Yuliana et al. (2008) yang membuktikan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis kedua yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: H2: Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR
2.3.3
Pengaruh Penganugerahan ISRA Terhadap Pengungkapan CSR
Indonesia Sustainability Reporting Awards (ISRA) adalah penghargaan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang telah membuat pelaporan atas kegiatan yang menyangkut aspek lingkungan dan sosial disamping aspek ekonomi untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) perusahaan itu sendiri (www.ncsr-
id.org). Salah satu tujuan dari adanya ISRA adalah untuk memberikan pengakuan terhadap perusahaan yang telah mempublikasikan pelaksanaan tanggungjawab sosial yang kemudian diharapkan dapat meningkatkan pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan menjadi lebih baik. Pada penelitian Almilia et al. (2011) menunjukkan dua hasil penelitian yang berbeda yaitu pada ukuran perusahaan penerima ISRA terbukti lebih tinggi daripada ukuran perusahaan yang tidak menerima ISRA, sedangkan pada ROA atau ROE penerima ISRA terbukti tidak lebih tinggi daripada ROA atau ROE perusahaan yang tidak menerima ISRA. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis ketiga yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: H3: Penganugerahan ISRA berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR
2.3.4
Pengaruh Profil Perusahaan Terhadap Pengungkapan CSR
Profil perusahaan dibedakan menjadi high profile dan low profile. Perusahaan yang termasuk high profile bergerak dalam bidang perminyakan dan pertambangan, kimia, hutan, kertas, otomotif, agrobisnis, tembakau dan rokok, makanan dan minuman, media dan komunikasi, kesehatan, transportasi, dan pariwisata (Hasibuan, 2001; Henny dan Murtanto, 2001; Utomo, 2000; Hackston dan Milne, 1996; dalam Sembiring, 2005). Berbeda halnya dengan perusahaan low profile yang dikelompokkan dalam bidang bangunan, keuangan dan perbankan, supplier peralatan medis, retailer, tekstil dan produk tekstil, produk personal, dan produk rumah tangga (Sembiring, 2005). Perusahaan yang termasuk high profile akan
cenderung mengungkapkan tanggung jawab sosial yang lebih luas karena aktivitasnya yang lebih rentan bersinggungan dengan lingkungan, terbukti dalam penelitian Terzaghi (2012), Anggraini (2006), Sembiring (2005), Novita dan Djakman (2008), dan Yuliana et al. (2008) yang membuktikan bahwa profil perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. Adapun penelitian terdahulu yang menunjukkan hasil berlawanan yaitu penelitian Murwaningsari (2009) yang membuktikan bahwa profil perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis keempat yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: H4: Profil Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR
2.3.5
Pengaruh Kategori Perusahaan Terhadap Pengungkapan CSR
Kategori perusahaan dibedakan menjadi dua, yaitu perusahaan yang termasuk BUMN dan yang tidak termasuk BUMN. Perusahaan perseroan terbatas dapat dikategorikan menjadi BUMN jika seluruh atau minimal 51 % sahamnya dimiliki oleh negara. Adapun regulasi pemerintah yang terkait dengan pengungkapan CSR untuk perusahaan BUMN terdapat dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 dan Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007. Dengan adanya regulasi pemerintah tersebut, perusahaan BUMN diharapkan dapat meningkatkan luasnya pengungkapan CSR sebagai wujud kepatuhan terhadap regulasi tersebut dan sebagai bentuk percontohan untuk perusahaan non BUMN. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Rakhmawati dan Syafruddin (2011) yang membuktikan bahwa kategori perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pengungkapan CSR. Adapun penelitian terdahulu yang menunjukkan hasil berlawanan yaitu penelitian Novita dan Djakman (2008) yang membuktikan bahwa kategori perusahaan (BUMN atau non BUMN) tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis kelima yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: H5: Kategori Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR
2.3.6
Pengaruh Pengungkapan CSR Terhadap Nilai Perusahaan
CSR merupakan upaya perusahaan dalam mewujudkan konsep Triple Bottom Line dimana dinyatakan jika suatu usaha ingin berkelanjutan harus memperhatikan tiga aspek yaitu profit, people (masyarakat), dan planet (lingkungan). Selain itu, pelaksanaan CSR juga merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan legitimasi masyarakat demi keberlanjutan perusahaan seperti pendapat Hadi (2011:87) yang menyatakan bahwa legitimasi masyarakat merupakan faktor strategis bagi perusahaan dalam rangka mengembangkan perusahaan ke depan. Pada saat ini, investor tidak hanya menilai kinerja perusahaan berdasarkan laporan keuangan atau bagaimana perusahaan memperoleh laba melainkan menilai laporan tahunan secara keseluruhan yang didalamnya juga memuat laporan pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan. Oleh karena itu, pengungkapan CSR diharapkan dapat meningkatkan nilai suatu perusahaan seperti pada penelitian Murwaningsih (2009) yang membuktikan bahwa pengungkapan CSR berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Sebaliknya, penelitian Nurlela dan Islahuddin (2008)
membuktikan bahwa pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Sementara, penelitian Susliyanti (2007) menunjukkan dua hasil yang berbeda, pada model pertama membuktikan bahwa pengungkapan CSR tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan sedangkan pada model kedua membuktikan bahwa pengungkapan CSR berpengaruh signifikan tetapi arah hubungannya negatif terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis keenam yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: H6: Pengungkapan CSR berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan