BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Kinerja Keuangan Kinerja adalah suatu gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan perusahaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tergantung dalam strategic palnning suatu perusahaan. Sedangkan kinerja keuangan adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu dan tertuang pada laporan keuangan yang bersangkutan (Munawir,1998). Penilaian analisis laporan keuangan merupakan suatu cara pengukuran kinerja keuangan. Analisis rasio keuangan merupakan dasar untuk menilai dan menganalisis prestasi operasi perusahaan atau kinerja perusahaaan. Hasil pengukuran terhadap pencapaian kinerja dijadikan dasar bagi manajemen dan anggota organisasi. Rasio keuangan dirancang untuk mengevaluasi laporan keuangan, yang berisi data tentang posisi perusahaan pada suatu titik dan operasi perusahaan masa lalu. Fakta bahwa laporan keuangan dapat digunakan untuk membantu memperkirakan pendapatan dan deviden di masa yang akan datang. Untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan biasanya digunakan rasio profitabilitas. Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi (Kasmir, 2014:196). Ukuran
8
9
profitabilitas yang berkaitan langsung dengan kepentingan analisis kinerja keuangan perusahaan adalah ROA dan ROE. Hasil pengembalian investasi atau lebih dikenal dengan nama Return on Investment (ROI) atau Return on total Assets (ROA) merupakan rasio yang menunjukkan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan. ROI juga merupakan suatu ukuran tentang efektivitas manajemen dalam mengelola investasinya (Kasmir, 2014:202). ROA dapat merefleksikan keuntungan bisnis dan efisiensi perusahaan dalam pemanfaatan total asset yang ada dalam perusahaan. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total asset yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin efektif perusahaan dalam penggunaan assetnya. Rumus ROA dijelaskan sebagai berikut: Laba Bersih setelah pajak ROA =
x 100% Total Assets
Hasil pengambalian ekuitas atau Return on Equity atau rentabilitas modal sendiri merupakan rasio untuk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini menunjukkan efisiensi penggunaan modal sendiri (Kasmir, 2014:204). Return On Equity (ROE) merupakan ukuran profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuangan pada tingkat penjualan, aset, modal saham tertentu. Rasio ini merupakan ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang saham. Menghasilkan laba yang bermanfaat bagi para pemegang saham merupakan salah satu alasan utama perusahaan beroperasi,
10
ukuran yang digunakan dalam pencapaian alasan ini adalah tinggi rendahnya angka ROE yang berhasil dicapai. Semakin tinggi ROE, maka semakin tinggi pula kemapuan perusahaan dalam mengasilkan laba untuk para pemegang saham. Rumus ROE dijelaskan sebagai berikut: Laba Bersih setelah pajak x 100%
ROE = Total Ekuitas
2.1.2
Nilai Perusahaan
Menurut Rachmawati & Triatmoko (2007) nilai perusahaan adalah nilai jual perusahaan atau nilai tumbuh bagi pemegang saham, nilai perusahaan akan tercermin dari harga pasar sahamnya. Nilai perusahaan merupakan presepsi investor terhadap perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Meningkatnya nilai perusahaan adalah sebuah prestasi, yang sesuai dengan keinginan para pemiliknya, karena dengan meningkatnya nilai perusahaan, maka kesejahteraan para pemilik juga akan meningkat. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen aset. Indikator untuk mengukur kinerja perusahaan, khususnya nilai perusahaan, yang menunjukkan suatu proforma manajemen dalam mengelola aktiva perusahaan adalah Tobin’s Q. James Tobin membangun suatu teori, yang disebut teori Q Tobin (Tobin’s Q Theory). Inti teori ini adalah cara kebijakan moneter mempengaruhi perekonomian melalui pengaruhnya pada penilaian ekuitas. Tobin
11
mendefinisikan q sebagai nilai pasar perusahaan dibagi dengan biaya penggantian modal. Jika q tinggi, maka nilai pasar perusahaan relatif tinggi terhadap biaya penggantian modal serta pabrik baru dan peralatan akan relatif lebih murah dibanding nilai pasar perusahaan. Nilai Tobin’s Q dihasilkan dari penjumlahan nilai pasar saham (market value of all outstanding stock) dan nilai pasar hutang (market value of all debt) dibandingkan dengan nilai seluruh modal yang ditempatkan dalam aktiva produksi (replacement value of all production capacity), maka Tobin’s Q dapat digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan, yaitu dari sisi potensi nilai pasar suatu perusahaan. Tobin’s Q adalah gambaran statistik yang berfungsi sebagai proksi dari nilai perusahaan dari perspektif investor, seperti dalam defisisi yang telah dijelaskan di atas bahwa Tobin’s Q merupakan nilai pasar dari firm’s assets dan replacement value of those assets. Secara matematis Tobin’s q dapat dihitung dengan formulasi rumus sebagai berikut: Tobin’s Q =
MVS + D TA
Dimana : Tobin’s Q = nilai perusahaan MVS (Market Value Shares) = closing price x jumlah saham D (Debt) = Current Liabilities - Current Asset + Long Term Debt TA
= Total Assets
12
Rasio Tobin’s Q dianggap rasio yang memberikan informasi paling baik karena menjelaskan fenomena dalam kegiatan perusahaan seperti misalnya terjadi perbedaan cross sectional dalam pengambilan keputusan investasi dan diversifikasi, hubungan antara kepemilikan saham manajemen dengan nilai perusahaan, hubungan antara kinerja manajemen dengan keuntungan dalam akuisisi, dan kebijakan pendanaan, dividen, dan kompensasi.
2.1.3
Teori Stakeholder
Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Jones dalam buku Solihin, ismail (2011:2) menjelaskan bahwa stakeholder dibagi dalam dua kategori, yaitu : 1.
Inside stakeholders, terdiri atas orang-orang yang memiliki kepentingan dan tuntutan terhadap sumber daya perusahaan serta berada di dalam organisasi perusahaan. Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori inside stakeholder ini adalah pemegang saham (stockholder), manajer dan karyawan.
2.
Outside stakeholders, terdiri atas orang-orang maupun pihak-pihak yang bukan pemilik perusahaan, bukan pemimpin perusahaan, serta bukan pula karyawan perusahaan, namun memiliki kepentingan terhadap perusahaan dipengaruhi oleh keputusan serta tindakan yang dilakukan oleh perusahaan. Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori outside stakeholders ini adalah pelanggan (consumers), pemasok (supplier), pemerintah, masyarakat lokal, dan masyarakat secara umum.
13
Teori stakeholder merupakan teori yang menjelaskan bagaimana manajemen memenuhi atau mengelola harapan para stakeholder. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain).
2.1.4 Teori Agensi (Principal-Agency Theory) Menurut Brigham dan Houston (2006:26-31) para manajer diberi kekuasaan oleh pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan, dimana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency theory). Teori agensi merupakan konsep yang menjelaskan hubungan kontaktual antara principals (investor) dan agents (manajer). Pihak principals adalah pihak yang memberikan manfaat kepada pihak lain, yaitu agent, untuk melakukan semua kegiatan atas nama principals dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan (Jensen dan Smith, 1984). Bisa dikatakan didalam hubungan keagenan tersebut terdapat suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama principal dan member wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi principal. Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisah antara kepemilikan principal dan pengendalian agent. Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda. Pemilik modal menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran
14
para pemilik modal, sedangkan manajer juga menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer. Dengan demikian muncullah konflik kepentingan antara pemilik (investor) dengan manajer (agen). Pemilik lebih tertarik untuk memaksimumkan return dan harga sekuritas dari investasinya, sedangkan manajer mempunyai kebutuhan psikologis dan ekonomi yang luas, termasuk memaksimumkan kompensasinya. Kontrak yang dibuat antara pemilik dengan manajer diharapkan dapat meminimumkan konflik antar kedua kepentingan tersebut. Alijoyo dan Zaini (2004) beranggapan bahwa pemisahan fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan pada teori keagenan menciptakan “checks and balances”, sehingga terjadi independensi yang sehat bagi para manajer untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang maksimum dan return yang memadahi bagi para pemegang saham. Ada tiga asumsi yang melandasi teori keagenan (Darmawati, et al., 2005) yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi. 1.
Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia mempunyai sifat mementingkan diri sendiri (self-interest), memiliki keterbatasan rasional (bounded rasionality) dan tidak menyukai risiko (risk aversion).
2.
Asumsi keorganisasian menekankan tentang adanya konflik antara anggota organisasi, efisiensi sebagai criteria efektifitas, dan adanya asimetri informasi antara principal dan agensi.
3.
Asumsi informasi mengemukakan bahwa informasi dianggap komiditi yang dapat diperjualbelikan.
15
2.1.5 Corporate Social Responsibility (CSR) 2.1.5.1 Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) The World Business Council for Suitainable Development (WBCSD) (dalam Nor Hadi, 2011:47) mendefinisikan corporate social responsibility: “Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contributed to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of tje local community and society at large” “Tanggung Jawab sosial adalah tanggung jawab suatu perusahaan atas dampak dari berbagai keputusan dan aktivitas mereka terhadap mayarakat dan lingkungan melalui suatu perilaku yang terbuka dan etis, yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memerhatikan ekspektasi para pemangku kepentingan, tunduk kepada hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma perilaku internasional dan diintregasikan ke dalam seluruh bagian organisasi” Definisi tersebut menunjukkan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi, yang dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya, serta sekaligus peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas.
16
ISO 26000 Environtment (Lingkungan) Fair Operating Practices (Praktik operasi yang adil)
Labour Practices (Praktik Ketenagakerjaan)
Human Rights (Hak Asasi Manusia)
Social responsibility (tanggung jawab sosial)
Organizational Governance (Tata kelola organisasi)
Customer Issues (Isu-isu konsumen)
Social Developmnt (Pembangunan sosial)
Gambar 1
Subjek-subjek fundamental dari Tanggung Jawab Sosial menurut ISO 26000 Sumber: Solihin, Ismail. 2011:30. Corporate Soial Responsibility from harity to Sustainability, Salemba Empat, Jakarta
17
Berdasarkan ISO 26000 (dimana International Standrad untuk ISO 26000 akan dipublikasikan pada bulan November 2009) dalam Solihin, ismail (2011:31), yang dimaksud dengan social responsibility adalah: tanggung jawab suatu perusahaan atas dampak dari berbagai keputusan dan aktivitas mereka terhadap masyarakat dan lingkungan melalui suatu perilaku terbuka dan etis, yang: 1. Konsisten
dengan
pembangunan
berkelanjutan
dan
kesejahteraan
masyarakat; 2. Memerhatikan ekspektasi para pemangku kepentingan; 3. Tunduk kepada hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma perilaku internasional; 4. Diintegrasikan ke dalam seluruh bagian organisasi.
2.1.5.2 Konsep Triple Botton Line Menurut Hadi, Nor (2011) Konsep triple botton line nampaknya cukup direspon oleh banyak kalangan karena mengandung strategi internal dengan memadukan
antara
social
motive
dan
economic
motive.
Gambar
2
mengilustrasikan keterkaitan gugus tanggungjawab perusahaan yang secara integral memberikan basics indeas kristalisasi motive grounds dan pragmatice grounds (social motive dan econimice motive) bagi perusahaan. Gambar 2 mengisyaratkaan bahwa terjadi konektisitas secara integral antara kepedulian massyarakat, menjaga keseimbangan lingkungan dan upaya mencapai laba perusahaan.
18
Sosial
3P Ekonomi (Profit)
Lingkungan Gambar 2 Triple Botton Line
Profit, merupakan satu bentuk tanggung jawab yang harus dicapai perusahaan, bahkan mainstream ekonomi yang dijadikan pijakan filosofis operasioanal
perusahaan, profit merupakan orientasi utama
perusahaan.
Meskipun, dengan berjalannya waktu menuai protes banyak kalangan, yang tidak relevan menjadi dasar strategi operasional perusahaan. Mana mungkin perusahaan tanpa didukung oleh kemampuan mencetak keuntungan yang memadai mampu menjamin dan mempertahankain going concern. Peningkatan kesejahteraan personil dalam perusahaan, meningkatkan tingkat kesejahteraan personil dalam perusahaan,
meningkatkan
tingkat
kesejahteraan
pemilik
(shareholder),
peningkatan kontribusi bagi masyarakat lewat pembayaran pajak, melakukan ekspansi usaha dan kapasitas produksi membutuhkan sumberdana, yang hal itu bisa dilakukan manakala didukung kemampuan menciptakan keuntungan (profit) perusahaan.
19
People, merupakan lingkungan masyarakat (community) di mana perusahaan berada. Mereka adalah para pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan. Dengan demikian, community memiliki interrelasi kuat dalam rangka menciptakan nilai bagi perusahaan. Hampir tidak mungkin, perusahaan mampu menjalankan operasi secara survive tanpa didukung masyarakat sekitar. Disitulah letak terpenting dari kemauan dan kemampuan perusahaan mendapatkan diri dengan masyarakat lewat strategi social responsibility. Planet, merupakan lingkungan fisik (sumberdaya fisik) perusahaan. Lingkungan fisik memiliki signifikasi terhadap eksistensi perusahaan. Mengingat, lingkungan merupakan tempat di mana perusahaan menompang. Satu konsep yang tidak bisa diniscayakan adalh hubungan perusahaan dengan alam yang bersifat
sebab-akibat.
Kerusakan
lingkungan,
eksploitasi
tanpa
batas
keseimbangan, cepat atau lambat akan menghancurkan perusahaan dan masyarakat.
2.1.5.3 Pengungkapan Corporate Social Responsibility Pengungkapan tanggung jawab sosial atau sering disebut sebagai corporate social reporting adalah proses pengkomunikasian efek-efek sosial dan lingkungan atas tindakan-tindakan ekonomi perusahaan pada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dan pada masyarakat secara keseluruhan (Gray et. al., 1987). Dampak negatif perusahaan terhadap lingkungan sekitar mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat. Untuk meminimalisir dampak negatif tersebut
20
adalah dengan mengungkapkan informasi-informasi mengenai operasi perusahaan sehubungan dengan lingkungan sebagai tanggung jawab perusahaan. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi kepada pihak eksternal disebabkan karena terjadinya asimetri informasi antara pihak manajemen dan pihak eksternal, untuk mengurangi asimetri informasi maka perusahaan harus mengungkapkan informasi yang dimiliki, baik informasi keuangan maupun non keuangan. Salah satu informasi yang wajib untuk diungkapkan oleh perusahaan adalah informasi tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR. Informasi ini dapat dimuat dalam laporan tahunan atau laporan sosial perusahaan terpisah. Perusahaan melakukan pengungkapan CSR dengan harapan dapat meningkatkan reputasi dan nilai perusahaan (Rustiarini, 2010:3).
2.1.5.4 Ruang Lingkup Corporate Social Responsibility Menurut Prasekti, 2015, ruang lingkup CSR dapat ditemukan pada beberapa area, yaitu : 1.
Environmetal Protection (Perlindungan terhadap lingkungan) Meliputi aspek lingkungan dari produksi, pengendalian polusi akibat kegiatan operasional perusahaan, pencegahan atau perbaikan atas kerusakan lingkungan yang disebabkan dari penggunaan sumber daya alam serta perlindungan sumber daya alam. Tujuan sosial perusahaan dapat ditemukan dalam usaha untuk menanggulangi efek sosial perusahaan yang berdampak negatif dan dalam mengadopsi teknologi yang lebih efisien untk
21
meminimalkan penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan produksi limbah. 2.
Energy Saving (Penghematan Energi) Meliputi penghematan energi dalam kegiatan operasional perusahaan dan peningkatan efisiensi dalam produksi perusahaan.
3.
Fair Business Practice (Praktik bisnis yang jujur) Meliputi
hubungan
perusahaan
dengan
kelompok-kelompok
yang
berkepentingan khusus. Terutama yang terkait dengan masalah pekerja dan kepentingan publik minoritas, penggunaan tata cara yang legal saat berhubungan dengan pemasok dan pelanggan, serta pemberian label informasi pada produk. 4.
Human Resources (Sumber Daya Manusia) Meliputi dampak dari aktivitas-aktivitas organisasi pada individu yang merupakan sumber daya manusia bagi perusahaan. Aktivitas-aktivas tersebut
meliputi
praktik
perekrutan,
program-program
pelatihan,
pengalaman dalam mengelola rotasi pekerjaan, job enrichment, tingkat upah dan gaji, penyesuaian tujuan pekerja dengan tujuan perusahaan, saling percaya, keselamatan kerja, stabilisasi tenaga kerja, kebijakan transfer dan promosi, pemenuhan jaminan kesehatan, dan lain-lain. 5.
Community involvement (Keterlibatan dalam masyarakat) Meliputi adanya aktivitas yang melibatkan masyarakat baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, maupun kesenian.
22
6.
Product (Produk) Meliputi aspek kuantitatif dari produk, seperti manfaat produk, ketahanan produk, keamanan produk, efek penciptaan produk terhadap polusi lingkungan, serta meliputi kepuasan konsumen, kejujuran dalam pemberian informassi terkait dengan produk.
2.1.6 Good Corporate Governance (GCG) 2.1.6.1 Pengertian Good Corporate Governance (GCG) Definisi corporate governance yang dikemukakan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) sebagai berikut: “Corporate governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of the rightand responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders and other stakeholders.” “Corporate governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Struktur corporate governance menetapkan distribusi hak dan kewajiban di antara berbagai pihak yang terlibat dalm suatu korporasi seperti dewan direksi, para manajer, para pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya.” Pelaksanaan dan pengendalian perusahaan akan melibatkan organ-organ didalam perusahaan yang akan berperan sebagai pelaksana dan pengawas, menurut pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia tahun 2006, direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab dalam
23
mengelola perusahaan. Fungsi pengelolaan perusahaan oleh direksi mencakup lima tugas utama, yaitu sebagai berikut: 1.
Kepengurusan, mencakup tugas penyusunan visi dan misi perusahaan; serta penyusunan program jangka pendek dan jangka panjang.
2.
Manajemen risiko, mencakup tugas penyusunan dan pelaksanaan sistem manajemen risiko perusahaan yang mencakup seluruh aspek kegiatan perusahaan.
3.
Pengendalian internal, mencakup penyusunan dan pelaksanaan sistem pengendalian internal perusahaan dalam rangka menjaga kekayaan dan kinerja perusahaan serta memenuhi peraturan perundang-undangan.
4.
Komunikasi, mencakup tugas yang memastikan kelancaran komunikasi perusahaan dengan pemangku kepentingan dengan memberdayakan fungsi sekretaris perusahaan.
5.
Tanggung jawab sosial, mencakup perencanaan tertulis yang jelas dan terfokus dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
2.1.6.2 Alasan-alasan yang mendorong Pentingnya isu Good Corporate Governance (GCG) Menurut Bect et al. (2002), sekurang-kurangnya terdapat enam alasan yang mendorong munculnya GCG sebagai topik yang menarik perhatian dunia dan mendorong munculnya desakan implementasi GCG di seluruh dunia. 1.
Munculnya gelombang privatisasi di seluruh dunia. Privatisasi menjadi fenomena yang sangat penting dan terjadi di negara-negra Amerika Latin,
24
Eropa Barat, Asia, dan sebagian besar negara-negara bekas Uni Soviet. Tidak bisa dihindari, aktivitas privatisasi ini telah memunculkan persoalan mengenai bagaimana perusahaan-perusahaan yang baru diprivatisasi tersebut dimiliki dan dikendalikan. Fenomena ini juga menimbulkan subjek penelitian baru mengenai bagaimana seharusnya peran pemerintah sebagai salah satu pemegang saham di dalam perusahaan yang baru diprivatisasi di mana sebelumnya perusahaan yang diprivatisasi tersebut merupakan badan usaha yang dimiliki pemerintah. 2.
Reformasi dana pensiun. Reformasi dana pensiun yang terjadi di Amerika dan beberapa negara yang tergabung dalam OECD (termasuk Jepang) telah mengakibatkan semakin besarnya dana yang disalurkan leawat organisasi dan pensiun (pensiun funds). Hal ini mengakibatkan meningkatnya investasi yang dilakukan oleh investor kelembagaan. Sebagai contoh, investor kelembagaan di Amerika Serikat menguasai 50% dari total aset yang dikelola berbagai perusahaan yang tergabung dalam OECD. Sementara itu, investor kelembagaan dari Jepang mengusai 13,7% dari total investasi kelembagaan di negara-negara yang tergabung dalam OECD.
3.
Merger dan pengambilalihan perusahaan (takeovers). Pada dasarnya masalah corporate governance akan mulai mengemuka pada saat investor luar , berkeinginan untuk memegang kendali dari para manajer yang saat ini tengah bercokol sebagai pengelola perusahaan. Oleh sebab itu, berbagai kegiatan pengambilalihan tidak bersahabat (hostile takeover) yang terjadi di
25
Amerika dan Eropa, juga berbagai negara lainnya, telah meningkatkan perhatian terhadap penerapan GCG diberbagai penerapan perusahaan dunia. 4.
Deregulasi dan integrasi pasar modal. Aturan corporate governance telah dipromosikan sebagai bagian dari cara untuk melindungi dan merangang investasi luar negeri terutama untuk negara-negara Eropa Timur, Asia, dan berbagai negara lainnya yang saat ini telah mncul sebagai kekuatan pasar dunia (emerging markets) seperti: Brasil, Rusia, India, dan Cina. Selain itu, pasar modal dunia yang semakin terintegrasi telah turut mempercepat perpindahan kapital dari suatu tempat ke tempat lain. Keadaan tersebut turut meningkatkan munculnya penerapan GCG di negara-negara yang menjadi target investasi asing.
5.
Krisis ekonomi Asia Timur, Rusia, dan Brasil. Krisis ekonomi di Asia Timur telah menguak tabir lemahnya perlindungan terhadap investasi yang dilakukan oleh investor asing di wilayah ini. Kerugian yang diderita para investor sebagian besar diakibatkan oleh praktik corporate governance yang tidak sehat sehingga gagal untuk menyelamatkan kekayaan investor. Kejadian yang sama menimpa pula para investor yang berinvestasi di Rusia dan Brasil. Semua kejadian itu turut meningkatkan kebutuhan para investor akan praktik GCG.
6.
Berbagai skandal yang menimpa perusahaan besar dengan reputasi baik seperti Enron. Ketika pada akhirnya perusahaan terbukti melakukan berbagai
manipulasi
akuntansi
yang
melibatkan eksekutif
puncak
perusahaan, hal tersebut mengakibatkan harga saham perusahaan turun dari
26
kisaran delapan puluh dolar lebih per lembar saham menjadi hanya sebesar satu dolar per lembar saham pada tahun 2001. Penurunan harga saham ini tidak hanya merugikan para investor yang membeli saham perusahaan berdasarkan informasi keuangan yang keliru, melainkan penurunan harga saham ini juga telah mengakibatkan kerugian bagi para karyawan yang memiliki saham perusahaan sebagai cadangan bagi dana pensiun mereka.
2.1.6.3 Prinsip-Prinsip Corporate Governance Implementasi GCG akan dilaksanakan dengan berhasil jika memiliki sejumlah prinsip. Menurut pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia, GCG memiliki prinsip sebagai berikut: Transparasi (transparacy), untuk menjaga objektivitas salam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya. Akuntabilitas (accountability). Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secra benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
27
Responsibilitas
(responsibility).
Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan sert melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Independensi
(independency).
Untuk
melancarkan
pelaksanaan
GCG,
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Kewajaran dan kesetaraan (fairness). Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memerhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
2.1.6.4 Manfaat Good Corporate Governance Menurut
FGCI (Forum for Corporate
Governance
in Indonesia),
keberhasilan perusahaan dalam melaksanakan good corporate governance akan memberikan manfaat antara lain: 1.
Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.
2.
Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value.
3.
Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia
28
4.
Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen.
2.1.6.5 Model-model Corporate Governance Buchholz (1992; 243-246) dalam Solihin,ismail (2011) menjelaskan adanya tiga model corporate governance yang menunjukkan bagaimana kekuasaan untuk menjalankan dan mengawasi perusahaan dibagi di antara para pemangku kepentingan. Ketiga model tersebut adalah traditional model, co-determination model, dan stakeholder model. Traditional model. Dalam model ini, corporate governance suatu perusahaan didasarkan ats hak kepemilikan (property rights). Menurut model ini, adanya pemegang saham sebagai pemegang kendali atas perusahaan merupakan faktor utama dal proses corporate governance. Sebagai pemasok modal bagi perusahaan, pemegang saham memiliki hak kepemilikan atass perusahaan dan memiliki hakhak hukum untuk memastikan bahwa kekayaan yang mereka berikan kepada perusahaan digunakan untuk memajukan kepentingan mereka.
29
Pemegang Saham (Pemilik Perusahaan)
Dewan Direksi
Manajer dan Pegawai
Pekerja Lainnya
Gambar 3 Traditoinal Model
Gambar 3 menggambarkan proses corporate governance menurut model tradisional terjadi. Dalam hal ini, pemegang saham sebagai pemilik perusahaan mengadakan pertemuan setahun sekali untuk mendengarkan laporan kinerja tahunan perusahaan serta memilih dewan direksi dan memberikan persetujuan atas rencana perusahaan. Dewan direksi menjadi penghubung antara pemegang saham dengan para manajer. Dewan direksi memilih para manajer untuk menjalankan usaha perusahaan dan melakukan pertemuan secara periodik dengan para manajer untuk memastikan bahwa kepentingan para pemegang saham terlindungi. Selanjutnya para manajer memiliki otoritas untuk mengendalikan para
30
karyawan perusahaan dan mengarahkan aktivitas mereka untuk mencapai tujuan perusahaan. Co-determination model. Model alternatif corporate governance, ditemukan di berbagai negara Eropa di mana bentuk demokrasi industri sudah mengakar di sana. Di negara-negara tersebut terdapat tekanan kepada perusahaan untuk menempatkan wakil karyawan di dewan direksi yang berperan dalam proses corporate governance. Beberapa negara Eropa juga telah menerbitkan undangundang yang memungkinkan para pekerja memiliki partisipasi dalam proses corporate governance. Disebut co-determination model karena modal (yang berasal dari pemegang saham) dan tenaga kerja sama-sama berperan dalam proses corporate governance. Ide untuk mengombinasikan modal dan pekerja berasal dari konsep pembuatan keputusan partisipasori atau participatory management. Konsep tersebut mengakui adanya hak dari kelompok yang memiliki kepentingan besar dalam suatu institusi untuk memiliki pengaruh terhadap apa-apa yang dilakukan oleh institusi. Gambar 4 menggambarkan proses corporate governance dalam suatu co-determination model. Perusahaan-perusahaan yang menerapkan model ini memiliki dua struktur badan direksi (two tiers), yakni supervisory board dan management board. Supervisory board lebih mirip dengan board of directors dalam model tradisional sementara management board lebih berperan untuk melaksanakan operasi harian perusahaan. Supervisory board berhak untuk memilih atau memberhentikan para manajer perusahaan, dengan demikian supervisory board memiliki kekuasaan tertinggi.
31
Modal Tenaga Kerja
Dewan Pengurus Dewan Manajemen
Manajemen
Karyawan
Gambar 4 Co-determination model Stakeholder model. Model ini didasarkan kepada perkembangan teori manajemen pemangku kepentingan yang menyatakan bahwa selain para karyawan dan
pemegang
saham
(kedua-duanya
dikategorikan
sebagai
pemangku
kepentingan internal) masih terdapat kelompok lain di dalam masyarakat yang merupakan tanggung jawab perusahaan jika operasi perusahaan memiliki dampak terhadap kelompok tersebut serta perusahaan harus menyelaraskan pencapaian tujuannya dengan kepentingan berbagai konstituen yang sering kali bertentangan satu dengan lainnya. Partisipasi berbagai pemangku kepentingan dalam proses corporate governance akan menjamin bahwa berbagai kepentingan para
32
pemangku kepentingan akan turut diperhatikan dalam keputusan yang dibuat oleh perusahaan. Gambar 5 menggambarkan proses corporate governance menurut stakeholder model.
Kepentingan Sosial, Politik, dan Ekonomi
Partisipasi Para Pemegang Kepentingan dalam Dewan Direksi
Manajemen
Karyawan
Gambar 5 Stakeholder model
33
2.1.6.6 Mekanisme Good Corporate Governance Mekanisme Good Corporate Governance merupakan prosedur dan hubungan antara pengambil keputusan pihak pengawasan terhadap keputusan. Menurut Iskander & Chamlou (dalam Prasekti, 2015) Mekanisme dalam pengawasan GCG dibagi dalam dua kelompok yaitu internal dan external mechanisms. 1. Internal Mechanism Merupakan cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham (RUPS), komposisi dewan komisaris, komposisi dewan direksi dan pertemuan dengan board of director. 2. External Mechanism Merupakan cara mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal perusahaan seperti pengendalian oleh perusahaan dan pengendalian oleh pasar.
2.1.6.7 Proporsi Dewan Komisaris Independen Pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia (2006) menjelaskan bahwa Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata untuk kepentingan perseroan. Jumlah komisaris independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai
34
dengan peraturan perundan-undangan dan salah satu dari Komisaris Independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 pasal 1 ayat 6 menjelaskan bahwa dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Pengawasan dan pemberian nasihat dilakukan untuk kepentingan perusahaan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan. Sedangkan proporsi komisaris independen adalah persentase jumlah komisaris independen dibagi total jumlah anggota dewan komisaris. Sesuai Keputusan Direksi Bursa Efek Jakarta No.Kep-399/BEJ/07-2001 butir C mengenai penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), perusahaan tercatat wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya secara proposrsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah seluruh anggota komisaris.
35
2.2
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya yang
berkaitan dengan penelitian ini antara lain: Tabel 1 Penelitian Terdahulu No. 1
Peneliti & Judul Rina Susanti (2014) Pengaruh Kepemilikan Manajemen, Kepemilikan Institusional, dan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)
Variabel Dependen: Nilai Perusahaan Independen: Kepemilikan Manajemen, Kepemilikan Institusional, Corporate Social Responsibility
Metode Analisis Regresi Linier Berganda
2
Debby Cahya Wulandari (2014) Penerapan Corporate Social Responsibility dalam Meningkatkan Nilai Serta Kinerja Perusahaan (Studi Pada Program Kemitraan Dan Bina Lingkungan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk Area Jatim)
Dependen: Nilai dan Kinerja Perusahaan Independen: Corporate Social Responsibility
Deskriptif Analitis (Metode Analisis Yang Menggam barkan Suatu Keadaan Secara Objektif)
3
Eka Suhariyanti (2014) Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance Dan Pelaporan Corporate
Dependen: Nilai Dan Kinerja Perusahaan Independen: Good
Analisis Regresi Linier Berganda
Hasil Penelitian Hasil Penelitian Menunjukkan Bahwa Variabel Kepemilikan Manajemen Dan Variabel CSR Berpengaruh Positif Terhadap Nilai Perusahaan. Sedangkan Variabel Kepemilikan Institusional Tidak Berpengaruh Terhadap Nilai Perusahaan. Dengan Adanya Pelaksanaan CSR Melalui Program Kemitraan Dan Bina Lingungan Menghasilkan Peningkatan Nilai Perusahaan Dan Kinerja Perusahaan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk Yang Semakin Efektif Dan Efisien CSR Dan GCG Berpengaruh Positif Terhadap Nilai Perusahaan Sedangkan Ukuran Perusahaan Tidak
36
Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Jasa Yang Terdaftar Di Galeri Bursa Efek Indonesia 4
R. Rosiyana Dewi dan Tia Tarnia Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan dengan Good Corporate Governance sebagai Variabel Moderasi
5
Yuanita Handoko (2010) Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi
Corporate Governance, Corporate Social Responsibility, dan Ukuran Perusahaan Dependen: Nilai Perusahaan Independen: Kinerja Keuangan Moderating: Good Corporate Governance Dependen: Nilai Perusahaan Independen: Kinerja Perusahaan (ROA dan ROE) Moderating: Pengungkapan CSR dan Proporsi Komisaris Independen
Berpengaruh Secara Signifikan Terhadap Nilai Perusahaan
Analisis Regresi
GCG berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan. GCG mampu memoderasi hubungan antara ROA dengan nilai perusahaan.
Analisis Regresi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ROA sebagai indikator dari kinerja keuangan mempunyai pengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Pengungkapan CSR mampu memoderasi hubungan antara kinerja keuangan dengan nilai perusahaan, dan proporsi komisaris independen sebagai proksi dari GCG mampu memoderasi pada hubungan kinerja keuangan dengan nilai perusahaan
37
2.3
Rerangaka Pemikiran Rerangka pemikiran adalah tinjauan mengenai suatu gejala terhadap objek
permasalahan yang disusun berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan atau terkait. Rerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hubungan Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Para investor melakukan overview suatu perusahaan dengan melihat rasio keuangan
sebagai
alat
evaluasi
investasi,
karena
rasio
keuangan
mencerminkan tinggi rendahnya nilai perusahaan. Penilaian terhadap kinerja keuangan perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan rasio keuangan atau biasa disebut rasio profitabilitas. Karena, profitabilitas dapat mengukur seberapa efektif perusahaan bagi para investor. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua rasio profitabilitas yaitu Return On Asset (ROA) dan Return On Equity (ROE) sebagai alat analisis dalam indikator penilaian kinerja. Semakin tinggi nilai ROA dan ROE, maka semakin besar pula nilai profitabilitas perusahaan, yang pada akhirnya dapat menjadi sinyal positif bagi investor dalam melakukan investasi untuk memperoleh return tertentu. Dimana, harga saham dan jumlah saham yang beredar akan mempengaruhi nilai Tobin’s Q sebagai proksi dari nilai perusahaan.
38
2. Pengungkapan Corporate Social Responsibility Memoderasi Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan
memperhatikan
tanggung
jawab
sosial
perusahaan
dan
menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Aktivitas CSR bagi perusahaan publik, apabila dilihat dari investor global yang memiliki idealisme tertentu, dengan aktivitas CSR, saham perusahaan dapat lebih bernilai. Investor akan rela membayar mahal karena kita membicarakan tentang sustainability dan acceptability. Sebab itu terkait dengan risiko bagi investor. Investor menyumbangkan social responsibility dalam bentuk premium nilai saham (Untung, 2008). Desakan lingkungan perusahaan menuntut perusahaan agar menerapkan strategi untuk memaksimalakan nilai perusahaan. Dengan strategi seperti ini diharapkan dapat memberikan image perusahaan yang baik kepada pihak eksternal. Keberlanjutan kinerja keuangan yang positif akan mudah dicapai dan diterima oleh pihak eksternal dengan melakukan pengungkapan CSR. Telah
disebutkan
dalam
UU
bahwa
perusahaan
yang
aktivitasnya
berhubungan dengan lingkungan alam wajib menerapkan CSR. Hal ini sejalan dengan stakeholder theory yang menjelaskan bahwa Perusahaan tidak hanya memandang laba sebagai satu-satunya tujuan dari perusahaan, tetapi ada tujuan lain yaitu bentuk tanggung jawabnya kepada pihak stakeholder, karena
39
perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibandingkan hanya mencari laba untuk mencari laba untuk pemegang saham ( Gray et. al, 1987 ) 3. Pengungkapan Proporsi Komisaris Independen Memoderasi Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007 Pasal 97 yang menjelaskan bahwa komisaris bertugas mengawasi kebijakan direksi dalam menjalan perusahaan serta memberikan nasihat kepada direksi. Berdasarkan teori agensi, diasumsikan bahwa terdapat kemungkinan konflik dalam hubungan antara principal dan agen yang disebut dengan konflik keagenan. Salah satu wujud dari mekanisme GCG yang diyakini dapat mengurangi konflik keagenan adalah dengan adanya komisaris independen. Dengan independensinya dewan komisaris independen dapat memberikan pengaruh yang cukup kuat kepada manajemen untuk mengungkapakan informasi secara merata dan jujur kepada para stakeholder dan shareholders. Adanya komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan peran dewan komisaris sehingga tercipta GCG di dalam perusahaan. Nilai perusahaan yag telah menetapkan GCG akan lebih tinggi di mata investor dibanding perusahaan yang tidak menetepakannya (Handoko, 2010).
40
2.4
Rerangka Konseptual Berdasarkan perbedaan hasil penelitian dan teori yang ada akan pengaruh
kinerja keuangan terhadap nilai perusahan mengindikasikan terdapat variabel lain yang diduga ikut mempengaruhi. Dalam hal ini penulis memasukkan variabel Corporate Social Responsibility (CSR) dan Proporsi Komisaris Independen yang nantinya dapat dilihat apakah kedua variabel ini dapat memoderasi hubungan kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan atau tidak, maka dapat disusun rerangka konseptual sebagai berikut :
Nilai Perusahaan (Tobin’s Q)
Kinerja Keuangan (ROA & ROE) )
) Gambar 6 Rerangka Konseptual Model 1
Nilai Perusahaan (Tobin’s Q)
Kinerja Keuangan (ROA & ROE) )
)
Corporate Social Responsibility (CSR) Gambar 7 Rerangka Konseptual Model 2
41
Nilai Perusahaan (Tobin’s Q)
Kinerja Keuangan (ROA & ROE) )
)
Good Corporate Governance: Proporsi Komisari Independen Gambar 8 Rerangka Konseptual Model 3
2.5
Perumusan Hipotesis Berdasarkan kerangka peneliti yang dikembangkan, maka perumusan
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H1:
Kinerja keuangan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan pada perusahaan consumers goods yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
H2 :
Pengungkapan Corporate Social Responsibility memoderasi pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan pada perusahaan consumers goods yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
H3 :
Pengungkapan Good Corporate Governance memoderasi pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan pada perusahaan consumers goods yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.