BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1
Teori Stakeholders Stanford Research Institut (SRI) adalah lembaga yang pertama kali menggunakan konsep stakeholder. Lembaga ini mendefinisikan stakeholders sebagai kelompok yang mampu memberikan dukungan terhadap keberadaan sebuah organisasi. Tanpa adanya dukungan dari kelompok ini, maka organisasi tersebut tidak dapat eksis (Lepineux, 2005 dalam Sari, 2013:10). Dalam Saputro (2013:11) mengungkapkan bahwa konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dimulai sejak awal 1970-an, yang secara umum dikenal dengan sebutan stakeholder theory.Sebutan ini mempunyai arti sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder,
nilai-nilai,
pemenuhan
ketentuan
hukum,
penghargaan
masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder theory menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier pemerintah, masyarakat, analisis dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang 15
16
diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Gray, Kouhy dan Adam (1994:53) dalam Saputro (2013:12) mengatakan bahwa: “Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut.Makin powerfull stakeholder, makin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi. Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog diantara perusahaan dengan stakeholdernya.” Clarkson (1995) dalam Fahriza (2014:19) mendefinisikan stakeholder sebagai orang atau kelompok yang memiliki klaim, kepemilikan, hak dan kepentingan dalam suatu perusahaan dan terlibat dalam aktivitas perusahaan pada masa lalu, aktivitas perusahaan pada masa kini dan masa yang akan datang. Clarkson (1995) semakin meyakinkan dunia bisnis bahwa tujuan ekonomi dan sosial perusahaan adalah untuk menciptakan dan menyalurkan kesejahteraan dan nilai kepada para stakeholder. Ghozali dan Chariri (2007) dalam Fahriza (2014:20) menyatakan bahwa perusahaan berkewajiban memberikan manfaat kepada para stakeholder-nya (shareholder, kreditur, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain) tidak semata mata beroperasi hanya untuk kepentingannya sendiri. Pengertian stakeholder semakin diperjelas oleh Mitchell, Agle dan Wood (1997) dalam Fahriza (2014:20) yang menyatakan bahwa yang menjadi stakeholder perusahaan yaitu suatu kelompok atau individu yang memiliki atribut kekuatan, legitimasi dan urgensi. Model yang dikembangkan oleh Mitchell, Agle dan Wood (1997) ini mengelompokkan stakeholder berdasarkan tipe
17
sesuai kemampuan mempengaruhi suatu organisasi atau perusahaan berdasarkan ketiga atribut diatas yaitu atribut kekuatan, atribut legitimasi dan atribut urgensi. Post, et al dalam Lutfia (2012:15) mendefinisikan pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai orang atau kelompok yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh berbagai keputusan, kebijakan, maupun operasi perusahaan. Selanjutnya stakeholdersdapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu: 1. Inside stakeholders, terdiri atas orang-orang yang memiliki kepentingan dan tuntutan terhadap sumber daya perusahaan serta berada
di
dalam
organisasi
perusahaan.
Kategori
inside
stakeholders adalah pemegang saham (stokeholders), para manajer (managers), dan karyawan (employers); 2. Outside stakeholders, terdiri atas orang-orang maupun pihak-pihak (constituencies) yang bukan milik perusahaan, bukan pemilik perusahaan, bukan pemimpin perusahaan, dan bukan pula karyawan perusahaan, namun memiliki kepentingan terhadap perusahaan dan dipengarui oleh keputusan serta tindakan yang dilakukan oleh perusahaan. Kategori outside stakeholdersadalah pelanggan (goverment),
(customers), masyarakat
pemasok lokal
(suppliers), (local
masyarakat secara umum (general public).
pemerintah
communities)
dan
18
Fahrizqi (2010) dalam Saputro (2013:12) menjelaskan bahwa salah satu strategi untuk menjaga hubungan dengan para stakeholder perusahaan adalah dengan melaksanakan CSR, dengan pelaksanaan CSR diharapkan keinginan dari stakeholder dapat terakomodasi sehingga akan menghasilkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan stakeholdernya. Hubungan yang harmonis akan menjadikan perusahaan dapat mencapai keberlanjutan atau kelestarian perusahaannya (sustainability). Tanggung jawab sosial perusahaan seharusnya melampaui tindakan memaksimalkan laba untuk kepentingan pemegang saham (shareholder), namun lebih luas lagi bahwa kesejahteraan yang dapat diciptakan oleh perusahaan sebetulnya tidak terbatas kepada kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk kepentingan stakeholder, yaitu semua pihak yang mempunyai ketertarikan atau klaim terhadap perusahaan (Untung, 2009 dalam Saputro,2013:12). Menurut sifatnya pengungkapan informasi dibagi menjadi dua, yaitu wajib (mandatory) dan sukarela (voluntary). Pengungkapan informasi yang bersifat wajib adalah laporan keuangan, informasi ini dibutuhkan oleh stakeholder yang mempengaruhi maupun yang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi perusahaan. Sedangkan pengungkapan yang bersifat sukarela dibutuhkan oleh stakeholder yang berpengaruh maupun tidak berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi perusahaan. Laporan sukarela yang sedang berkembang saat ini adalah sustainability report (laporan keberlanjutan).
19
Melalui pengungkapan sustainability report (pengungkapan sosial dan lingkungan) perusahaan dapat memberikan informasi yang lebih cukup dan lengkap berkaitan dengan kegiatan dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial masyarakat dan lingkungan (Ghozali dan Chariri, 2007 dalam Sari, 2013:12).
2.1.2
Teori Legitimasi Beberapa studi tentang pengungkapan sosial lingkungan telah menggunakan teori legitimasi sebagai basis dalam menjelaskan praktiknya (Ghozali dan Chariri, 2007 dalam Widianto 2011:29) menjelaskan teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi. Mereka mengatakan : “Legitimasi adalah hal yang penting bagi organisasi, batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nlai-nilai sosial, reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memperhatikan lingkungan.” Teori legitimasi menyebutkan bahwa perusahaan wajib berusaha untuk memastikan bahwa perusahaan tetap beroperasi dalam batasan dan norma yang ada dalam masyarakat atau lingkungan dimana perusahaan beroperasi, dimana perusahaan berupaya untuk memastikan bahwa aktivitas perusahaan diterima oleh stakeholder sebagai suatu yang sah (Adhima, 2012 dalam Fahriza, 2014:22). Perusahaan akan merasa keberadaan dan aktivitasnya mendapat pengakuan dari masyarakat atau lingkungan dimana perusahaan tersebut beroperasi atau dapat dikatakan terlegitimasi, apabila perusahaan
20
melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial. Ghozali dan Chariri (2007) dalam Luthfia (2012:17) menjelaskan bahwa perusahaan cenderung menggunakan kinerja berbasis lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan agar aktivitas perusahaan terlegitimasi di mata masyarakat. Ini berarti teori legitimasi juga menjelaskan bahwa praktik pengungkapan tanggung jawab perusahaan harus dilaksanakan sedemikian rupa agar aktivitas dan kinerja perusahaan dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan yakni dengan pembuatan sustainability report. Laporan ini dapat digunakan oleh perusahaan untuk memperoleh legitimasi dengan harapan pada akhirnya perusahaan akan terus menerus eksis (Suryono dan Prastiwi, 2011 dalam Fahriza, 2014:23).
2.2
Konsep Keberlanjutan
2.2.1
Sustainability Report Menurut
Luthfia
(2012:20)
awal
mula
terciptanya
konsep
keberlanjutan berasal dari pendekatan ilmu kehutanan.Sustainability diartikan sebagai suatu upaya yang tidak pernah memanen lebih banyak daripada kemampuan panen hutan pada kondisi normal. Kata nachhaltigkeit (bahasa Jerman untuk keberlanjutan) berarti upaya melestarikan sumber daya alam untuk masa depan, Agricultural Economic Research Institut. Pengertian sustainability lebih luas dari sekedar konteks lingkungan. Di dalamnya ada prinsip-prinsip yang terkait dengan hak asasi manusia, standar bagi pekerja
21
seperti penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan, di samping hal-hal yang terkait dengan lingkungan seperti pemakaian prinsip kehati-hatian, tanggung jawab lebih besar pada lingkungan, maupun mengembangkan teknologi ramah lingkungan (Suryono dan Prastiwi, 2011 dalam Luthfia, 2012:21). Pengertian sustainability yang diadopsi dari United Nations (dalam Agenda
for
Developmenti)
yakni
pembangunan
yang
wawasan
multidimensional dalam mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan terhadap lingkungan akan saling tergantung dan memperkuat komponen-komponen yang ada pada pembangunan berkelanjutan (Kuhlman, 2010 dalam Ahmad, 2014:5). Makna lain dari keberlanjutan seperti yang dikemukakan oleh ekonom Solow (1991) dalam (Widianto, 2011:32) mengemukakan keberlanjutan sebagai hasil masyarakat yang memungkinkan generasi mendatang setidaknya tetap memiliki kekayaan alam yang sama dengan generasi yang ada pada saat ini. Dalam pidatonya menjelaskan bahwa keberlanjutan tidak berarti kemudian memerlukan penghematan sumber daya yang sedemikian khusus, melainkan hanya memastikan kecukupan sumber daya (kombinasi dari sumber daya manusia, fisik, dan alam) untuk generasi mendatang, sehingga membuat standar hidup mereka setidaknya sama baiknya dengan generasi saat ini. Ide utama yang dimiliki oleh Solow adalah bentuk peningkatan usaha untuk terus berupaya meninggalkan sumber daya yang cukup bagi generasi
22
mendatang secara berkelanjutan. Sehingga masalah utamanya yakni keputusan mengenai seberapa banyak yang akan dikonsumsi saat ini, bila ditandingkan dengan seberapa banyak yang mampu dilakukan, sebagai faktor penggerak utama bagi sustainability (Whitehead, 2006 dalam Widianto, 2011:33). GRI (Global Reporting Initiative) mendefinisikan sustainability reporting sebagai praktek pengukuran, pengungkapan dan upaya akuntabilitas dari kinerja organisasi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan kepada para stakeholder baik internal maupun eksternal. Sustainability report merupakan sebuah istilah umum yang dianggap sinonim dengan istilah lainnya untuk menggambarkan laporan mengenai dampak ekonomi, lingkungan dan sosial. Sustainability report harus menyediakan gambaran yang berimbang dan masuk akal dari kinerja keberlanjutan sebuah perusahaan baik kontribusi yang positif maupun negatif. Perusahaan harus menjelaskan mengenai nilai yang dianut organisasi dan bagaimana model tata kelolanya dalam sustainability report. Perusahaan juga harus menjelaskan terkait strategi dan komitmen perusahaan dalam keberlanjutan ekonomi global (Fahriza, 2014:23). Menurut World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam Soelistyoningrum (2011:19) menjelaskan manfaat yang didapat dari sustainability report antara lain :
23
1. Sustainability report memberikan informasi kepada stakeholder (pemegang saham, anggota komunitas lokal, pemerintah) dan meningkatkan prospek perusahaan, serta membantu mewujudkan transparansi. 2. Sustainabilty report dapat membantu membangun reputasi sebagai alat yang memberikan kontribusi untuk meningkatkan brand value, market share, dan loyalitas konsumen jangka panjang. 3. Sustainability report dapat menjadi cerminan bagaimana perusahaan mengelola risikonya. 4. Sustainability report dapat digunakan sebagai stimulasi leadership thinking dan performance yang didukung dengan semangat kompetisi. 5. Sustainability report dapat mengembangkan dan menfasilitasi pengimplementasian dari sistem manajemen yang lebih baik dalam mengelola dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial. 6. Sustainability report cenderung mencerminkan secara langsung kemampuan dan kesiapan perusahaan untuk memenuhi keinginan pemegang saham untuk jangka panjang. 7. Sustainability report membantu membangun ketertarikan para pemegang saham dengan visi jangka panjang dan membantu mendemonstrasikan bagaimana meningkatkan nilai perusahaan yang terkait dengan isu sosial dan lingkungan.
24
Menurut Fahriza (2014:24) manfaat diungkapkannya sustainability report adalah sebagai berikut. A. Internal. 1. Meningkatkan pemahaman atas risiko dan peluang 2. Menekankan hubungan antara kinerja keuangan dan non-keuangan 3. Mempengaruhi strategi dan kebijakan jangka panjang manajemen serta perencanaan bisnis perusahaan 4. Terciptanya perampingan segala proses dalam organisasi, menurunkan biaya, dan meningkatkan efisiensi 5. Benchmarking dan menilai keberlanjutan kinerja perusahaan dengan mengindahkan hukum, norma yang berlaku, standar penilaian kinerja dan adanya inisiatif sukarela 6. Terhindar dari publikasi kegagalan lingkungan, social dan tata kelola perusahaan 7. Dapat membandingkan kinerja perusahaan secara internal B. Eksternal. 1. Mengurangi pengaruh negatif lingkungan, social dan tata kelola perusahaan 2. Meningkatkan reputasi perusahaan dan brand loyalty
25
3. Memungkinkan eksternal stakeholder untuk memahami nilai-nilai yang dianut organisasi, asset/ berwujud dan asset/harta tidak berwujud yang dimiliki perusahaan 4. Menunjukkan bagaimana perusahaan mempengaruhi dan dipengaruhi, terkait ekspektasi atas pembangunan berkelanjutan. Sustainability report terdiri dari enam indikator yang dapat digunakan dalam proses pengungkapannya yang meliputi indikator kinerja ekonomi, kinerja lingkungan, kinerja praktek tenaga kerja dan pekerjaan yang layak, kinerja hak asasi manusia, kinerja masyarakat dan kinerja tanggung jawab produk. Dari enam indikator tersebut diperinci lagi menjadi 79 item pengungkapan aspek indikator.Adapun rincian indikator sustainability report menurut GRI G3 tersebut dapat dilihat pada lampiran satu (Fahriza, 2014:25). Menurut Sari (2013:39) rumus perhitungan dituliskan sebagai berikut :
SRD
2.2.2
=
Prinsip Sustainability Report Menurut pengungkapan Sustainability Report yang sesuai dengan GRI (Global Reporting Index) harus memenuhi beberapa prinsip. Prinsip-prinsip ini tercantum dalam GRI-G3 Guidelines, yaitu:
26
1. Keseimbangan Sustainability Report sebaiknya mengungkapkan aspek positif dan negatif dari kinerja suatu perusahaan agar dapat menilai secara keseluruhan kinerja dari perusahaan tersebut. 2. Dapat dibandingkan Sustainability Report berisi isu dan informasi yang ada sebaiknya dipilih, dikompilasi, dan dilaporkan secara konsisten.Informasi tersebut harus disajikan dengan seksama sehingga memungkinkan para stakeholder untuk menganalisis perubahan kinerja organisasi dari waktu ke waktu. 3. Akurat Informasi yang dilaporkan dalam Sustainability Report harus cukup akurat dan rinci sehingga memungkinkan pemangku kepentingan untuk menilai kinerja organisasi. 4. Urut waktu Pelaporan Sustainability Report tersebut harus terjadwal dan informasi yang ada harus selalu tersedia bagi para stakeholder. 5. Kesesuaian Informasi yang diberikan dalam Sustainability Report harus sesuai dengan pedoman dan dapat dimengerti serta dapat diakses oleh stakeholder.
27
6. Dapat dipertanggungjawabkan Informasi dan proses yang digunakan dalam penyusunan laporan harus dikumpulkan, direkam, dikompilasi, dianalisis, dan diungkapkan dengan tepat sehingga dapat menetapkan kualitas dan materialitas informasi.
2.2.3
Konsep Triple Bottom Line Konsep sustainability report berpijak pada konsep triple bottom line yang dikembangkan oleh Elkington dalam Sari (2013:17). Elkington (2000), menjelaskan triple bottom line sebagai berikut : “The three lines of the triple bottom line represent society, the economy and the environment. Society depend on the global ecosystem, whose health represents the ultimate bottom line. The three lines are not stable; they are in constant flux, due to social political, economic and environmental pressures, cycle and conflicts”. Social Economic Council of Netherland (SER) (dalam Widianto, 2011:34) menekankan bahwa kontribusi perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat tidak terbatas pada penciptaan nilai ekonomi saja, namun juga harus memperhatikan ciptaan nilai pada tiga bidang, mengacu pada Triple-P bottom line. Hal-hal tersebut adalah : 1. Profit (keuntungan): Dimensi ini mengacu pada ciptaan nilai melalui produksi barang dan jasa dan melalui ciptaan pekerjaan (employment) dan sumber-sumber pendapatan.
28
2. People (manusia): Meliputi beragam aspek mengenai dampak operasional perusahaan terhadap kehidupan manusia, baik di dalam maupun di luar organisasi, seperti kesehatan (health) dan keamanan (safety). 3. Planet (bumi): Dimensi ini berhubungan dengan dampak perusahaan terhadap lingkungan alam.
2.2.4
Profitabilitas Tujuan akhir yang ingin dicapai suatu perusahaan yang terpenting adalah memperoleh laba atau keuntungan yang maksimal, disamping hal-hal lainnya.Dengan memeperoleh laba yang maksimal seperti yang telah ditargetkan, perusahaan dapat berbuat banyak bagi kesejahteraan pemilik, karyawan, serta memenuhi hak dari stakeholders.Menurut Kasmir (2008:196) untuk mengukur tingkat keuntungan suatu perusahaan, digunakan rasio keuntungan atau rasio profitabilitas.Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Tujuan penggunaan rasio profitabilitas menurut Kasmir (2008:197) 1. Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode tertentu. 2. Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang. 3. Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu.
29
4. Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. 5. Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri. Manfaat yang diperoleh dari penggunaan rasio profitabilitas menurut Kasmir (2008:198) : 1. Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode. 2. Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dan tahun sekarang. 3. Mengetahui perkembangan laba dari waktu ke waktu. 4. Mengetahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. 5. Mengetahui produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjamana maupun modal sendiri. Pengukuran
profitabilitas
merupakan
aktivitas
yang
membuat
manajemen menjadi lebih bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial perusahaan kepada pemegang saham (Heinze (dalam Widianto, 2011:27) Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas suatu perusahaan maka akan semakin besar pengungkapan informasi sosial yang dilakukan.
30
Tingkat profitabilitas yang tinggi pada perusahaan akan meningkatkan daya saing antarperusahaan. Perusahaan yang menghasilkan profit tinggi akan membuka lini atau cabang yang baru, kemudian cenderung memperbesar investasi atau membuka investasi baru terkait dengan perusahaan induknya. Tingkat profit yang tinggi akan menandakan pertumbuhan perusahaan pada masa yang akan datang. Pertumbuhan perusahaan memerlukan pengungkapan yang lebih luas dalam memenuhi kebutuhan informasi sesuai kebutuhan masing-masing pengguna (Suryono dan Prastiwi, 2011 dalam Luthfia, 2012:28). Menurut Widianto (2011:72) return on asset dirumuskan sebagai berikut: Return On Asset
2.2.5
=
Likuiditas Likuiditas merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya kepada kreditur jangka pendek. Kreditur jangka pendek lebih tertarik pada aliran kas perusahaan dana manajemen modal kerja dibandingkan dengan besarnya profit yang diperoleh perusahaan. Jadi, kreditur jangka pendek akan lebih memperhatikan perkembangan likuiditas perusahaan. Likuiditas merupakan rasio yang mengukur kemampuan
jangka pendek perusahaan untuk
membayar
kewajibannya yang jatuh tempo.Kewajiban atau hutang jangka pendek dapat
31
dipenuhi atau ditutup dari aktiva lancar yang juga berputar dalam jangka pendek.Perusahaan dengan tingkat likuiditas yang tinggi, menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mempunyai kinerja ekonomi yang kuat (Almilia dan Devi, 2007 dalam Sari, 2013:19).Menurut Kasmir (2008:35) current ratio dapat dihitung dengan rumus: Current Ratio
2.2.6
=
Leverage Leverage merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang (Rahardjo, 2005). Menurut Makmun (2002) dalam Fahriza (2014:25), leverage adalah perbandingan antara dana-dana yang dipakai untuk membiayai perusahaan atau perbandingan antara dana yang diperoleh dari ekstern perusahaan dengan dana yang disediakan pemilik perusahaan. Rasio digunakan untuk memberikan gambaran tentang struktur modal yang dimiliki perusahaan, sehingga dapat dilihat risiko tak tertagihnya suatu utang. Sedangkan menurut Husnan (2006) dalam Fahriza (2014:25), leverage adalah penggunaan utang, dimana dana yang berasal dari utang mempunyai beban tetap yang berupa bunga. Leverage menggambarkan seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditor dalam membiayai aset perusahaan. Leverage mencerminkan tingkat resiko keuangan perusahaan. Semakin tinggi tingkat leverage (rasio hutang/ekuitas) semakin besar
32
kemungkinan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi, supaya laba yang dilaporkan tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya termasuk biaya untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial (Sembiring,2006 dalam Fahriza, 2014:26). Menurut Kasmir (2008:158) debt to equity ratio dirumuskan sebagai berikut: Debt to Equity Ratio =
2.2.7
Ukuran Perusahaan Menurut Bambang (2001) dalam Ahmad (2014:7) ukuran perusahaan dapat digunakan untuk mewakili karakteristik keuangan perusahaan.Ukuran perusahaan (firm size) dapat diartikan sebagai besar kecilnya perusahaan dapat dilihat dari nilai equity, nilai perusahaan ataupun hasil nilai aktiva dari suatu perusahaan. Menurut Bapepam No. 9 tahun 1995 berdasarkan ukuran, perusahaan dapat digolongkan atas 2 kelompok sebagai berikut: 1. Perusahaan Kecil Perusahaan kecil merupakan badan hukum yang didirikan di Indonesia yang: (1) memiliki sejumlah kekayaan (total asset) tidak lebih dari Rp 20 miliar; (2) bukan merupakan afiliasi dan dikendalikan oleh suatu perusahaan yang bukan perusahaan menengah/kecil; (3) bukan merupakan reksadana.
33
2. Perusahaan Menengah/Besar Perusahaan menengah/besar merupakan kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan usaha.Usaha ini meliputi usaha nasional (milik negara atau swasta) dan usaha asing yang melakukan kegiatan di Indonesia. Ukuran perusahaan digunakan sebagai variabel dalam pengungkapan sustainbility report. Pada umumnya perusahaan besar memiliki informasi yang lebih lengkap sehingga besar kemungkinan pengungkapan informasi pertanggungjawaban sosial pada perusahaan besar tersebut. Suripto (1999) menyatakan bahwa perusahaan besar umumnya memiliki jumlah aktiva yang besar, penjualan besar, skill karyawan yang baik, system informasi yang canggih, jenis produk yang banyak, struktur kepemilikan lengkap, sehingga membutuhkan tingkat pengungkapan secara luas.Selain itu, perusahaan besar memiliki emiten yang banyak disoroti, sehingga pengungkapan yang lebih luas dapat mengurangi biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (Sembiring, 2005). Perusahaan dengan aset yang besar lebih banyak mendapat sorotan dari publik. Maka dari itu, perusahaan yang besar cenderung lebih banyak mengeluarkan biaya untuk mengungkapkan informasi yang lebih luas sebagai upaya untuk menjaga legitimasi perusahaan. Legitimasi perusahaan dapat diwujudkan melalui pengungkapan sustainability report. Sustainability report akan mengungkapkan bagaimana tanggung jawab perusahaan atas aktivitas
34
yang telah dilakukan. Menurut Luthfia (2012:62) variabel ukuran perusahaan diukur dengan logaritma naturaldari total aset sebagaiberikut:
Size
2.2.8
=
LN
X
Total Aset
Aktifitas Perusahaan Analisis aktivitas perusahaan menggambarkan hubungan antara tingkat operasi perusahaan (sales) dengan aset yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan operasi perusahaan. Rasio aktivitas juga dapat digunakan untuk memprediksi modal yang dibutuhkan perusahaan (baik untuk kegiatan operasi maupun kegiatan jangka panjang). Rasio-rasio aktivitas perusahaan menunjukkan perbandingan yang layak antara sales dengan penggunaan aktiva-aktiva perusahaan.Ananingsih (dalam Suryono dan Prastiwi, 2011), rasio aktivitas mengukur seberapa efektif perusahaan dalam pengelolaan aktivanya. Jika perusahaan terlalu banyak memiliki aktiva, maka biaya modalnya akan menjadi terlalu tinggi sehingga laba pun akan menurun. Di sisi lain, jika aktivitas terlalu rendah maka penjualan yang menguntungkan akanhilang, sehingga rasio ini menggambarkan perbandingan antara tingkat penjualan dan investasi. Rasio aktivitas perusahaan dapat dihitung dari perbandingan antara tingkat penjualan dengan berbagai elemen aktiva yang dimiliki perusahaan (Sari, 2013:22).
35
Menurut Weston (Kasmir, 2008:180) inventory turnover dirumuskan sebagai berikut: Inventory Turnover
2.2.9
=
Komite Audit Komite audit merupakan komite yang membantu dewan komisaris untuk melakukan pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Mulyadi (2002) dalam Sari (2013:22) menjelaskan bahwa komite audit memiliki tugas untuk menelaah kebijakan akuntansi yang diterapkan perusahaan, menilai pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan kepada pihak eksternal dan kepatuhan terhadap pihak eksternal. Komite audit merupakan individuindividu yang tidak terlibat dalam aktivitas dan pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan individu profesional yang bertujuan melakukan pengawasan terhadap perusahaan. Tujuan dibentuknya komite audit antara lain : melakukan pengawasan terhadap proses penyusunan pelaporan keuangan dan pelaksanaan audit, pengawasan independen atas pengelolaan risiko dan kontrol, serta melaksanakan pengawasan independen terhadap proses pelaksanaan corporate governance. . Dalam penelitian ini, komite audit diproksikan dengan jumlah rapat antara anggota komite audit pada suatu perusahaan dalam periode 1 (satu) tahun.
36
2.2.10 Dewan Direksi Pasal 1 ayat 5 UU Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007 dalam Luthfia (2012:34) menyatakan yang dimaksud dengan dewan direksi adalah: “Dewan direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”. Berdasarkan code of corporate governance yang dikeluarkan November 2004 oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG), fungsi pengelolaan perusahaan yang dilakukan dewan direksi mencangkup lima tugas yaitu: 1. Kepengurusan; Dewan direksi harus menyusun visi dan misi serta program tinggi sumber daya yang dimiliki perusahaan secara efektif dan efisien. Dewan direksi harus memperhatikan kepentingan dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). 2. Manajemen resiko; Dewan Direksi harus menyusun dan melaksanakan sistem manajemen resiko perusahaan yang mencakup seluruh aspek kegiatan perusahaan. 3. Pengendalian internal; Dewan direksi harus menyusun dan melaksanakan sistem pengendalian internal yang efektif dan handal dalam rangka mengamankan aset dan kinerja perusahaan serta memenuhi peraturan perundang-undangan. Untuk itu
37
perusahaan harus memiliki sistem pengendalian termasuk auditor internal dan auditor eksternal. 4. Komunikasi; Dewan direksi harus memastikan kelancaran komunikasi antra perusahaan dengan
berbagai
pihak
yang
berkepentingan
(stakeholders)
dengan
memperdayakan sekretaris perusahaan. 5. Tanggungjawab sosial; Dalam rangka mempertahankan kesinambungan usaha perusahaan, dewan direksi harus memastikan dipenuhinya tanggungjawab sosial perusahaan. Menurut Widianto (2011:47), dewan direksi memiliki fungsi dan wewenang untuk mengendalikan pelaksanaan roda perusahaan setiap hari, sesuai kebijaksanaan strategik sebagai penjamin terwujudnya prinsip accountability dan fairness yang terdapat dalam GCG. Menurut Undangundang No 40 tahun 2007 (dalam Wikipedia, 2011)) pada umumnya direktur memiliki tugas antara lain : memimpin perusahaan dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan; memilih, menetapkan, maupun mengawasi tugas dari karyawan; menyetujui anggaran tahunan perusahaan; menyampaikan laporan kepada pemegang saham. Menurut Sari (2013:42) dewan direksi diproksikan dengan jumlah rapat dewan direksi dalam waktu 1 (satu) tahun.
38
2.3
Rerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tinjauan teori yang telah dikemukakan, maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut: Gambar 1 Rerangka Pemikiran Teori Legtimasi
Teori Stakeholders
Konsep Triple Bottom Line
Pengungkapan Laporan keberlanjutan (Sustainability Report)
Dewan Direksi (H7) (+)
Profitabilitas (H1) (+)
Komite Audit (H6) (+)
Likuiditas (H2) (+)
Aktivitas Perusahaan (H5) (+)
Leverage(H3) (-)
Ukuran Perusahaan (H4) (+)
39
2.4
Perumusan dan Pengembangan Hipotesis
2.4.1
Hubungan antara Profitabilitas terhadap Tingkat Pengungkapan Sustainability Report Kinerja keuangan menjadi hal yang sangat diprioritaskan daripada kinerja yang lain. Perusahaan dengan kinerja keuangan yang baik akan diminati banyak investor. Salah satu yang menjadi ukuran investor dalam berinvestasi yaitu dengan melihat rasio profitabilitas. Profitabilitas merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Semakin tinggi rasio profitabilitas, maka semakin tinggi pula informasi yang diberikan oleh manajer. Hal ini dikarenakan pihak manajemen
ingin
meyakinkan
investor
mengenai
profitabilitas
dan
kompetensi manajer. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas perusahaan merupakan indikator pengelolaan manajemen perusahaan yang baik, sehingga manajemen akan cenderung mengungkapkan lebih banyak informasi ketika ada peningkatan profitabilitas perusahaan. Profitabilitas merupakan faktor yang memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada manajemen untuk melakukan dan mengungkapkan informasi sukarela secara luas. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan, maka akan semakin besar pula pengungkapan informasi sosial (Munif, 2010 dalam Fahriza, 2014:20). Penelitian yang dilakukan oleh Suryono dan Prastiwi (2011) dengan judul Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Corporate Governance
Terhadap
Praktik
Pengungkapan
Sustainability
Report
40
menunjukkan
adanya
hubungan
positif
antara
profitabilitas
dengan
pengungkapan sustainability report dimana variable profitabilitasnya diukur dengan Return On Assets. Serta penelitian yang dilakukan oleh Aelia (2015) dengan judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan, dan Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Sustainability Report menunjukan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan Sustainability Report. Namun ada juga peneitian yang dilakukan oleh Fahriza (2014)
dengan
judul
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Tingkat
Pengungkapan Sustainability Report yang menunjukan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan Sustainability Report. Serta penelitian yang dilakukan oleh Adhipradana (2013) dengan judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan, dan Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Sustainability Report, menyatakan bahwa profitabilitas tdak berpengaruh terhadap pengungkapan sustainability report. Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka hipotesis pertama yang dapat dirumuskan sebagai berikut : H1
:
Profitabilitas
Berpengaruh
Positif
Pengungkapan Sustainability Report.
Terhadap
Tingkat
41
2.4.2
Hubungan
antara
Likuiditas
terhadap
Tingkat
Pengungkapan
Sustainability Report Rasio likuiditas merupakan rasio yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam jangka pendek. Rasio likuiditas dapat dilihat menggunakan current ratio, quick ratio, dan cash ratio. Perusahaan yang mempunyai tingkat likuiditas tinggi dianggap mampu untuk mengelola bisnisnya, sehingga menghasilkan tingkat risiko yang rendah. Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas tinggi merupakan gambaran keberhasilan suatu perusahaan dalam membayar kewajiban-kewajiban jangka pendeknya dengan tepat waktu. Hal ini tentunya menunjukkan kemampuan perusahaan yang kredibel sehingga menciptakan image positif dan kuat melekat pada perusahaan. Image positif tersebut semakin memungkinkan pihak stakeholders untuk selalu ada pada pihak perusahaan atau mendukung perusahaan tersebut (Suryono dan Prastiwi, 2011). Image positif tersebut semakin memungkinkan pihak stakeholders untuk selalu ada pada pihak perusahaan atau mendukung perusahaan tersebut (Suryono dan Prastiwi, 2011). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Christiawan (2014) dengan judul Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, dan Leverage Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility menunjukan bahwa Likuiditas berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan Sustainability Report. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Adhipradana (2013) dengan judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan, dan Corporate Governance Terhadap
42
Pengungkapan Sustainability reportserta penelitian yang dilakukan oleh Luthfia (2012) dengan judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan, Struktur Modal, dan Corporate Governance Terhadap Publikasi Sustainability Report, menunjukan bahwa likuiditas tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan sustainability report. Oleh karena itu, penelitian ini mengasumsikan : H2
:
Likuiditas
Berpengaruh
Positif
Terhadap
Tingkat
Pengungkapan Sustainability Report
2.4.3
Hubungan
antara
Leverage
terhadap
Tingkat
pengungkapan
Sustainability Report Leverage merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang (Rahardjo, 2005 dalam Luthfia, 2012:49). Tingkat leverage yang tinggi pada perusahaan juga meningkatkan kecenderungan perusahaan untuk melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan melaporkan laba sekarang lebih tinggi. Pelaporan laba yang tinggi akan mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang kuat sehingga meyakinkan perusahaan dalam memperoleh pinjaman dari para stakesholder-nya. Perusahaan dalam menggapai laba yang tinggi maka akan mengurangi biayabiaya,
termasuk
pertanggungjawaban
mengurangi sosial.
biaya
Perusahaan
untuk
dalam
mengungkapkan
mempublikasikan
SR
memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang cukup besar sehingga
43
perusahaan akan mengurangi tingkat pengungkapan laporan yang bersifat sukarela terlebih terpisah dari annual report. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fahriza (2014) dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengungkapan Sustainability Report dan Luthfia (2012) dengan judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan, Struktur Modal dan Corporate Governance terhadap Publikasi Sustainability Report menunjukan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap tingkat pengungkapan Sustainability Report. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Widianto (2011) dengan judul Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, Leverage, Aktivitas, Ukuran
Perusahaan,
dan
Corporate
Governance
Terhadap
Praktik
Pengungkapan Sustainability Report dan Aelia (2015) dengan judul judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan, dan Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Sustainability Report, menunjukan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan Sustainability Report. Maka penelitian ini mengasumsikan hal sebagai berikut: H3
: Leverage Berpengaruh Negatif Terhadap Tingkat Pengungkapan Sustainability Report
44
2.4.4
Hubungan Antara Ukuran Perusahaan terhadap Tingkat Pengungkapan Sustainability Report Variabel ukuran perusahaan sering menjadi variabel penduga untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial suatu perusahaan. Menurut ukurannya, perusahaan dibagi menjadi dua yaitu perusahaan besar dan perusahaan kecil. Ukuran tersebut menggambarkan besarnya aset yang dimiliki perusahaan. Berdasarkan teori agensi, perusahaan yang besar memiliki biaya yang lebih besar daripada perusahaan yang kecil (Marwata, 2001 dalam Sari, 2013:33). Oleh karena itu, perusahaan yang besar akan mengungkapkan informasi secara luas untuk mengurangi biasa agensi tersebut. Perusahaan dengan ukuran yang besar lebih banyak mendapat sorotan dari publik. Maka dari itu, perusahaan yang besar cenderung lebih banyak mengeluarkan biaya untuk mengungkapkan informasi yang lebih luas sebagai upaya untuk menjaga legitimasi perusahaan. Legitimasi sangatlah penting karena menunjukkan hubungan antara masyarakat sosial dengan perusahaan. Legitimasi perusahaan dapat diwujudkan melalui pengungkapan sustainability report. Sustainability report akan mengungkapkan bagaimana tanggung jawab perusahaan atas aktivitas yang telah dilakukan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suryono dan Pratiwi (2011) dengan judul Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Corporate Governance Terhadap Praktik Pengungkapan Sustainability Report serta penelitian yang dilakukan oleh Pratama dan Yulianto (2015) dengan judul Faktor Keuangan dan
45
Corporate Governance Sebagai Penentu Pengungkapan Sustainability Report, menunjukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan Sustainability Report. Namun dalam penelitian yang dilakukan Sari (2013) dengan judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan, dan Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Sustainability Report serta penelitian yang dilakukan oleh Anindita (2015) dengan judul Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabiilitas, dan Tipe Industri Terhadap Pengungkapan Sukarela Pelaporan Keberlanjutan, menunjukan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan sustainability report. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan beberapa peneliti, maka penelitian ini merumuskan hipotesis sebagai berikut : H4
: Ukuran Perusahaan Berpengaruh Positif Terhadap Tingkat Pengungkapan Sustainability Report
2.4.5
Hubungan
antara
Aktivitas
Perusahaan
Terhadap
Tingkat
Pengungkapan Sustainability Report Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur seberapa besar keefektifan perusahaan
dalam
mengelola
sumber–sumber
dananya.
Keefektifan
perusahaan terpapar dari bagaimana perputaran seluruh aktiva perusahaan pada suatu periode tertentu. Semakin tinggi rasio aktivitas menandakan kemampuan perusahaan yang expert dalam mengelola aktivanya. Hal ini memperlihatkan kondisi keuangan yang semakin stabil, kuat dan rendah
46
resiko. Kondisi keuangan yang stabil dan kuat yang dihasilkan perusahaan, merupakan salah satu upaya perusahaan untuk mendapat dukungan stakeholders. Dukungan stakeholders digunakan perusahaan untuk mencapai keberlanjutan perusahaan. Dukungan stakeholders dapat dihimpun perusahaan dengan mempublikasikan SR (Suryono dan Prastiwi, 2011 dalam Luthfia, 2012:50). Dilling (2009) dalam Luthfia (2012:51) mengemukakan bahwa terdapat beberapa penelitian hingga berkisar tujuh puluh persen yang menyebutkan hubungan positif antara kinerja keuangan dengan pengungkapan CSR. Kecakapan dalam pengelolaan kinerja keuangan yang salah satunya digambarkan dari tingginya rasio aktivitas, memberikan kecenderungan perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang lebih lengkap selain hanya membiayai kegiatan operasi perusahaan. SR hadir menyemarakkan beberapa media untuk mengungkapkan informasi yang lebih lengkap. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suryono dan Prastiwi (2011) dengan judul Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Corporate Governance terhadap Praktik Pengungkapan Sustainability Report menunjukan bahwa aktivitas perusahaan berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan Sustainability Report. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Iswari (2016) dengan judul Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Corporate Governance Terhadap Praktik Pengungkapan Sustainability Report menunjukan bahwa aktivitas perusahaan tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan Sustainability Report. Oleh
47
karena itu, dapat diasumsikan dari keterangan-keterangan yang ada sebagai berikut : H5
: Aktivitas Perusahaan Berpengaruh Positif Terhadap Tingkat Pengungkapan Sustainability Report
2.4.6
Hubungan antara Komite Audit Terhadap Tingkat Pengungkapan Sustainability Report Dalam Sari (2013:35) berdasarkan Kep.29/PM/2004, komite audit merupakan komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk membantu melaksanakan tugas dan fungsinya. Salah satu tugas komite audit adalah untuk memastikan bahwa struktur pengendalian internal perusahaan dilakukan dengan baik (KNKG 2006). Komite audit melakukan review terhadap kinerja keuangan dan pengendalian internal perusahaan. Keberadaan komite audit akan mendorong perusahaan untuk menerbitkan laporan yang lengkap dan berintegritas tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh McCullen dan Raghunandan (dalam Said, et al, 2009) menyatakan bahwa keberadaan audit mampu menghasilkan pelaporan keuangan yang lebih berkualitas. Laporan yang lengkap terdiri dari laporan mandatory dan voluntary. Selain laporan keuangan, manajer akan menerbitkan laporan sukarela seperti sustainability report sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan. Collier (dalam Sari, 2013:35), menyatakan bahwa keberadaan komite audit membantu menjamin pengungkapan dan sistem pengendalian akan berjalan dengan baik. Dengan
48
frekuensi rapat komite audit yang semakin sering, maka pengawasan yang dilakukan akan semakin baik dan kualitas pengungkapan informasi sosial yang dilakukan semakin luas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Widianto (2011) dengan judul Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, Leverage, Aktivitas, Ukuran
Perusahaan,
dan
Corporate
Governance
Terhadap
Praktik
Pengungkapan Sustainability Reportserta penelitian yang dilakukan oleh Sari (2013) dengan judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan dan Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Sustainability Report, menunjukan bahwa Komite audit berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan Sustainability Report. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Pratama dan Yulianto (2015) dengan judul Faktor Keuangan dan Corporate Governance Sebagai Penentu Pengungkapan Sustainability Report serta penelitian yang dilakukan oleh Iswari (2016) dengan judul Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Corporate Governance Terhadap Praktik Pengungkapan Sustainability Report, menunjukan bahwa komite audit tidak berpengaruh
terhadap
tingkat
pengungkapan
sustainability
report.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah : H6
:
Komite
Audit
Berpengaruh
Pengungkapan Sustainability Report
Positif
Terhadap
Tingkat
49
2.4.7
Hubungan antara Dewan Direksi Terhadap Tingkat Pengungkapan Sustainability Report Berdasarkan code of corporate governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) (dalam Luthfia, 2012:55) menyatakan fungsi pengelolaan perusahaan yang dilakukan dewan direksi mencangkup
lima
fungsi
yaitu
kepengurusan,
manajemen
resiko,
pengendalian internal, komunikasi dan tanggungjawab sosial. Tugas tanggung jawab sosial menjabarkan bahwa dewan direksi harus mempunyai perencanaan tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Realisasi perencanaan tertulis yang jelas mengenai tanggung jawab perusahaan dapat dipublikasikan melalui SR. SR merupakan laporan yang lebih menunjukkan keseriusan perusahaan untuk membuktikan aktivitas sosial dan lingkungan perusahaan dikarenakan terpisah dari annual report. Selain itu dewan direksi merupakan salah satu komponen dalam mewujudkan GCG sehingga dewan direksi perlu mempublikasikan informasi mengenai tanggung jawab sesuai dengan salah satu prinsip GCG yaitu accountability. Informasi mengenai tanggung jawab perusahaan tersebut harus dipenuhi guna mendapatkan legitimasi perusahaan. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan perusahaan dalam hal pengelolaan sumber daya perusahaan atau segala aspek yang berkaitan dengan perusahaan memerlukan legitimasi perusahaan. Rapat antara dewan direksi yang memiliki frekuensi semakin tinggi menandakan semakin seringnya komunikasi dan koordinasi antar
50
anggota sehingga lebih mempermudah untuk mewujudkan good corporate governance (Suryono dan Prastiwi, 2011). Semakin seringnya frekuensi rapat dewan direksi menandakan semakin sering pula dewan direksi berdiskusi mengenai informasi yang lebih luas guna mendapatkan legitimasi perusahaan terkait dengan aktivitas perusahaan. Bukti perusahaan yang telah bertanggung jawab akan aktivitas perusahaan adalah akitivitas sosial dan lingkungan yang tertuang dalam SR. SR juga sebagai bentuk tugas dewan direksi dari aspek komunikasi. Tugas dewan direksi mengharuskan perusahaan memastikan kelancaran komunikasi antara perusahaan dengan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Selain itu SR juga berguna sebagai bukti perusahaan dalam mendapatkan legitimasi perusahaan yang secara tidak langsung sebagai media komunikasi dengan masyarakat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Widianto (2011) dengan judul Pengaruh Profitabiltas, Likuiditas, Aktivitas Perusahaan, Ukuran Perusahaan, dan Corporate Governance Terhadap Praktik Pengungkapan Sustainabiity Reportserta penelitian yang dilakukan oleh Luthfia (2012) dengan judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan, Struktur Modal, dan Corporate Governance Terhadap Publikasi Sustainability Report,menunjukan bahwa dewan direksi berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan sustainability report. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2013) dengan judul Pengaruh Kinerja Keuangan, Ukuran Perusahaan dan Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Sustainability Reportserta penelitian yang dilakukan oleh
51
Iswari (2016) dengan judul Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Corporate Governance
Terhadap
Praktik
Pengungkapan
Sustainability
Report,
menunjukan bahwa dewan direksi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan sustainability report. Oleh karena itu, berdasarkan penelitianpenelitian tersebut dapat dibentuk hipotesis sebagai berikut: H7
:
Dewan
Direksi
Berpengaruh
Pengungkapan Sustainability Report
Positif
Terhadap
Tingkat