BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Teori Keagenan(Agency Theory) Perusahaan
seringkali
mendelegasikan
wewenang
pengambilan
keputusan kepada pihak lain, dalam hal ini perusahaan atas nama principal dan pihak lain sebagai agen. Manajemen, sebagai agen atau pihak yang diberi wewenang untuk menjalankan dana dari pemilik atau prinsipal, harus mempertanggungjawabkan semua keputusan yang diambilnya kepada principal. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal).Menurut teori keagenan, permasalahan timbul ketika adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan suatu perusahaan yang dapat menimbulkan masalah yaitu ketidaksejajaran kepentingan antara principal (pemilik/pemegang saham) dan agent (manajer) atau lebih dikenal istilah Agency Problem. Kedua belah pihak mempunyai persepsi dan cara pandang yang berbeda dalam hal pemberian informasi yang akan digunakan oleh prinsipal untuk memberikan insentif pada agen. Hal lain yang membuat permasalahan adalah persepsi kedua belah pihak dalam menanggung risiko (Eisenhard, 1989). Agen yang mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, tidak akan memberikan seluruh informasi atas kepemilikannya tetapi asses pada informasi internal perusahaan terbatas akan
meminta manajemen memberikan informasi selengkapnya. Beberapa faktor seperti: biaya penyajian informasi, keinginan manajemen menghindari risiko untuk terlihat kelemahannya, waktu yang digunakan untuk menyajikan informasi, dan sebagainya, menyebabkan keinginan principal sangat sulit dipenuhi (Khomsiyah, 2003) Perspektif teori agensi merupakan dasar yang digunakan untuk memahami isu corporate governance dan earnings management. Beberapa hasil penelitian akuntansi positif juga menemukan bahwa manajer melakukan manipulasi laba(earnings management) atau strategi perataan laba (income smoothing)untuk memperbesar kemakmurannya.Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing -masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Baridwan, 2000:19) Corporate Governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan (Wulandari, 2011)
2.1.2
Good Corporate Governance (GCG)
2.1.2.1 Definisi Good Corporate Governance (GCG) Menurut Komite Cadbury (1996) (dalam Armeda, 2011), GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan
pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu. Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) (2001:3) pengertian corporate governance adalah : Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur,pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Good
Corporate
governance
didefinisikan
oleh
Monks
dan
Minow(dalamDarmawati,2003)adalah sebagai hubungan partisipan dalam menentukan arah dan kinerja. Good Corporate governance didefinisikan oleh IICG (Indonesian institute of Corporate Governance) sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan
stakeholders yang lain. Corporate
governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Sementara disimpulkandalam
pengertian GCG
Good
Workshop
Corporate Kantor
Governance
Meneg
PM
yang BUMN
(Desember,1999)(dalam Armeda, 2011:25) adalah: Good Corporate Governance berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif, yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sistem, proses, bisnis, kebijakan dan struktur organisasi yang bertujuan untuk mendorong dan mendukung pengembangan
perusahaan, pengelolaan sumber daya dan risiko secara lebih efisien dan efektif dan pertanggungjawaban perusahaan terhadap pemegang saham dan stakeholder lainnya. Beberapa definisi Good Corporate Governance adalah sebagai berikut: 1. Menurut Komite Nasional kebijakan Governance (KNKG) (2006), Good Corporate Governance adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. 2. Menurut
IICG
(dalam
Armeda,
2011),
Corporate
Governance
didefinisikan sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain. Menurut
FGCI (dalam Armeda, 2011), Corporate Governance
didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Pengertian tentang corporate governance dapat dikategorikan sebagai rangkaian
pola
perilaku
perusahaan
yang
diukur
melalui
kinerja,
pertumbuhan, struktur pembiayaan, perlakuan terhadap para pemegang saham dan stakeholders. Dan sebagairerangka secara normatif, yaitu segala ketentuan hukum baik yang berasal dari sistem hukum, sistem peradilan, pasar keuangan, dan sebagainya yang mempengaruhi perilaku perusahaan.
Sangat penting diterapkannya Good Corporate Governance oleh perusahaanperusahaan di Indonesia untuk memberikan nilai tambah kepada stakeholder. Dari
definisi
tersebut,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
Good
CorporateGovernance adalah suatu sistem atau pun peraturan yang mengatur, mengelola, serta mengawasi perusahaan dalam menjalankan kegiatan perusahaan untuk menajga kualitas laporan keuangan dan mendapatkan nilai tambah bagi pemegang saham ataupun stakeholder lainnya.
2.1.2.2 Sejarah Good Corporate Governance (GCG) Konsep Corporate Governance mulai berkembangsetelah kejadian The New York Stock Exchange Crash pada tanggal 19 Oktober 1987 dimana cukup banyak perusahaan multinasional yang tercatat di bursa efek New York, mengalami kerugian finansial yang cukup besar. Dan untuk mengantisipasi masalah tersebut banyak para eksekutif melakukan rekayasa keuangan guna “menyembunyikan” kerugian perusahaan atau memperindah penampilan kinerja manajemen dan laporan keuangan. Dengan kesadaran tinggi untuk meningkatkan daya saing bangsa olehsegenap negarawan ,cendikiawan dan usahawan, maka dimulailah gerakan untuk meningkatkan praktik-praktik yang baik dalam perusahaan. Gerakan ini dimulai dari tokoh-tokoh di Inggris yang dipimpin oleh Sir Adrian Cadburt, yang pada saat itu sebagai Direktur Bank of England dan mantan CEO Group Cadbury. Sejak terbitnya Cadbury Code of Corporate Governance pada tahun 1992, semakin banyak institusi yang terus melakukan
penyempurnaan dalam prinsip-prinsip dan petunjuk teknis praktik Good Corporate
Governance,
Governance
Network)
antara yang
lain
ICGN
mendorong
(International
Organization
for
Corporate Economic
Cooperation and Development (OECD) mengeluarkan OECD Principles on Corporate Governance. (Armeda, 2011)
2.1.2.3 Manfaat Good Corporate Governance (GCG) Penerapan Goodcorporate governance dalam suatu perusahaan dapat menghasilkan suatu manfaat yang diperoleh (FCGI dalam Sumiati, 2007) yaitu: 1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan dengan lebih meningkatkan pelayanan kepada shareholders. 2. Mempermudah diperolehnya dana pembiyaan yang lebih murah (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value. 3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. 4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders valuedan dividen. Menurut Armeda (2011) mekanisme corporate governance juga dapat membawa beberapa manfaat, antara lain:
1. Mengurangi agency cost yang merupakan biaya yang harus ditanggung pemegang saham karena penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. 2. Mengurangi biaya modal (cost of capital) sebagai dampak dari menurunnya tingkat bunga atas dana dan sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan seiring dengan turunnya tingkat risiko perusahaan. 3. Menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan.
2.1.2.4 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) Dalam pedoman penerapan GCG oleh Komite Nasional kebijakan GovernanceKNKG (2006) Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG diterapkan pada setiap aspekbisnis dan di semua jajaran perusahaan.Asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). 1.
Transparansi (Transparency) Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakaninformasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting
untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. 2.
Akuntabilitas (Accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan danwajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur
dan
sesuai
dengankepentingan
perusahaan
dengan
tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. 3.
Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakantanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagaigood corporate citizen. 4.
Independensi ( Independency) Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secaraindependen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5.
Kewajaran dan kesetaraan (Fairnees) Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perusahaan
harus
senantiasa
memperhatikankepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
2.1.2.5 Komponen Good Corporate Governance (GCG) Untuk mencapai GCG diperlukan komponen-komponen yang bertugas untuk mengawasi dan memastikan bahwa perusahaan melaksanakan corporate governance
dengan
benar
seperti
kepemilikan
manajerial,
kepemilikan
institusional, proporsi dewankomisaris independen, dan komite audit. Faktorfaktor ini diterapkan untuk mengurangi praktik perataan laba yang merupakan usaha yang disengaja oleh pihak manajemen perusahaan untuk meratakan tingkat laba sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan. Dalam studi yang dilakukan tim
Kementrian Keuangan Republik
Indonesia Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan(2010) komponen tersebut adalah : 1.
Kepemilikan Manajerial Proporsi kepemilikan saham yang dikontrol oleh manajer dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan
kepentingan
manajemen
dengan
pemegang
saham,
sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan yang diambil
serta
menanggung
kerugian
sebagai
konsekuensi
dari
pengambilan keputusan yang salah. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang notabene adalah dirinya sendiri.
2.
Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional merupakan pendiri atau pemegang sahamm mayoritas dalam suatu perusahaan. Kepemilikan saham oleh pihak berbentuk institusi, seperti bank, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dan pensiun, dan institusi lain dapat mengurangi pengaruh dari kepentingan lain dalam
perusahaan
seperti
kepentingan
pribadi
manajer,
dan
debtholders.Kepemilikan institusi yang menguasai saham mayoritas tersebut dapatmelakukan pengawasan serta pengendalian yang lebih kuat dan efektifterhadap kebijakan manajemen (Wahidahwati, 2001;108). 3. Proporsi Dewan Komisaris Independen Berdasarkan Pedoman GCG (2011), Proporsi Dewan Komisaris Independen tidak ditentukan dalam jumlah tertentu namun demikian jumlah atau komposisi komisaris independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Adapun kriteria yang ditetapkan yaitu salah satu dari komisaris independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan. dalam Peraturan Bapepam-LK, Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki sekurang-kurangnya satu orang komisaris independen sedangkan Bursa Efek Indonesia mewajibkan sekurang-kurangnya 30% dari Dewan Komisaris adalah Komisaris Independen. Kriteria Komisaris Independen secara rinci diatur dalam peraturan BapepamLK yaitu : 1. Berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik
2. Mempunyai saham Emiten atau Perusahaan Publik baik langsung maupun tidak langsung 3. Tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Komisaris, Direksi dan Pemegang saham Utama Emiten atau Perusahaan Publik 4. Tidak mempunyai hubungan usaha dengan Emiten atau Perusahaan Publik baik langsung maupun tidak langsung 4.
Komite Audit Adapun tugas utama komite audit adalah meningkatkan kredibilitas laporan keuangan yang bisa dicapai dengan; mengawasi proses penyusunan laporan keuangan yang meliputi sistem pengendalian intern maupun penerapan GAAP; mengawasi proses pemeriksaan internal dan eksternal. Peran dan tanggung jawab komite audit dalam pelaksanaan good corporate governanceadalah : 1. Pengawasan terhadap proses corporate governance di perusahaan. 2. Memastikan bahwa manajemen puncak mempromosikan budaya yang kondusif bagi tercapainya good corporate governance. 3. Memonitor kepatuhan terhadap code of conduct perusahaan. 4. Memahami semua permasalahan yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan baik kinerja keuangan maupun non keuangan. 5. Memonitor segala kepatuhan terhadap undang-undang maupun peraturan lain yang berlaku untuk perusahaan.
2.1.3 Praktik Earnings Management 2.1.3.1 Definisi Earnings Management Scott (2000:351) melihatmanajemen laba sebagai perilaku oportunistik manajer untuk melaporkan laba yang dapat memaksimalkan kepentingan pribadi atau perusahaan dengan menggunakan kebijakan metode akuntansi, political costs(oportunistic Earnings Management). Tujuan yang akan dicapai oleh manajemen dengan melakukan manajemen laba adalah 1) Mendapat bonus dan kompensasi lainnya 2) Mempengaruhi keputusan pelaku dasar modal 3) Menghindari pelanggaran perjanjian hutang dan menghindari biaya politik. Standart
akuntansi
yang
memeberikan
kebebasan
pada
pihak
manajemen untuk memilih dan menggunakan kebijakan dan metode akuntansi tertentu menjadi alasan pihak menajemen melakukan praktik manajemen laba. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1, tentang tujuan laporan keuangan (SAK 2007: par 5) adalah memberikan suatu pengertian bahwa informasi mengenai posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumbersumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Bagi pemilik saham atau investor, laba berarti peningkatan nilai ekonomis yang akan diterima melalui pembagian deviden. Laba juga digunakan sebagai alat untuk mengukur
kinerja manajemen perusahaan selama periode tertentupada umumnya menjadi perhatian pihak-pihak tertentu terutama dalam menaksir kinerja dalam pertanggungjawaban manajemen dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka, serta dapat dipergunakan untuk memperkirakan prospeknya di masa depan. Dengan adanya alasan tersebut akan mendorong timbulnya praktik manajemen laba. Praktik manajemen laba seringkali dilakukan oleh manajemen karena mereka menganggap hal tersebut adalah wajar dan banyak dilakukan oleh perusahaan lain. Dengan demikian, kinerja kompetitor menjadi pemicu untuk melakukan manajemen laba karena investor dan kreditur akan melakukan perbandingan untuk menentukan perusahaan mana yang mempunyai kinerja yang baik. Manajemen laba adalah upaya dan campur tangan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan eksternal guna mencapai tingkat laba tertentu dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri atau perusahaanya sendiri.Menurut Scott (2000:352), manajemen laba dipandang atas dua perspektif : 1.
Contracting Perspective, manajemen laba dapat digunakan sebagai jalan untuk melindungi perusahaan dari kejadian-kejadian yang tidak terduga sebagai konsekuensi atas kontrak yang tidak lengkap.
2.
Financial Reporting Perspective, dengan manajemen laba manajer memiliki
kemungkinan
perusahaan.
untuk
mempengaruhi
pasar
dari
saham
Menurut Beneish (2001) (dalam Veronica dan Bachtiar, 2003) menyatakan bahwa berkembangnya earnings management yang dilakukan melalui basis akrual disebabkan oleh tiga hal. Pertama, akrual merupakan produk utama dari prinsip akuntansi yang diterima umum (generally accepted accounting principle), dan earnings management lebih mudah terjadi pada laporan yang berbasis akrual dibandingkan dengan laporan yang berbasis kas. Kedua, dengan mempelajari akrual akan mengurangi masalah yang timbul dalam mengukur dampak dari berbagai pilihan metode akuntansi terhadap laba. Ketiga, jika indikasi earnings manajement tidak dapat diamati dari akrual maka investor tidak akan dapat menjelaskan dampak dari earnings management pada penghasilan yang dilaporkan perusahaan. Deteksi atas kemungkinan dilakukannya earnings management
dalam
laporan keuangan diteliti melalui penggunaan akrual. Jumlah akrual yang tercermin dalam penghitungan laba terdiri dari discretionary dan nondiscretionary accrual.Nondiscretionary accrual
merupakan komponen akrual yang terjadi
secara alami seiring dengan perubahan dari aktivitas perusahaan. Sebaliknya discretionary accruals merupakan komponen akrual yang berasal dari earnings management yang dilakukan manajer. Penggunaan pengukuran atas dasar akrual sangat penting untuk diperhatikan dalam mendeteksi ada tidaknya manajemen laba dalam perusahaan. Total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrual dapat dibebankan menjadi dua bagian, yaitu bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan keuangan,
disebut normal accruals dan non discretionary accrual dan bagian akrual yang merupakan manipulasi data akuntansi yang disebut dengan abnormal accruals atau discretionary accruals (Luhgiatno, 2008:35)
2.1.3.2 Mendeteksi Manajemen Laba Manajemen laba biasanya diteliti dengan cara peneliti membentuk hipotesis dimana manajemen laba kemungkinan bisa muncul dan menguji kemungkinan tersebut dengan metode yang tepat. Berdasarkan riset-riset yang telah dilakukan, manajemen laba bisa dideteksi dengan metode sebagai berikut: 1.
Pilihan metode akuntansi dan timing Pilihan atas metoda akuntansi disini diinterpretasikan secara luas, termasuk pilihan atas metoda akuntansi tertentu, seperti pilihan atas kapitalisasi untuk aset intangible atau tidak. Juga bagaimana mengaplikasikan metode tersebut. Timing juga memiliki dua dimensi,yaitu:Manajer memiliki diskresi terhadap waktu ketika sebuah peristiwa ditunjukkan dalam akuntansi. Contoh ketika ada piutang tidak tertagih atau penghapusan asset dan timing transaksi yang mempengaruhi laba yang dilaporkan. Contohnya pada akhir tahun finansial, atau biaya advertensi diakui sehingga biaya tersebut mempengaruhi laba pada periode berikutnya.
2.
Metode Akrual Deteksi atas kemungkinan dilakukannya manajemen laba dalam laporan keuangan secara umum diteliti melalui penggunaan akrual. Akrual, secara teknis, merupakan perbedaan antara kas dan laba. Akrual merupakan
komponen utama pembentuk laba dan akrual disusun berdasarkan estimasiestimasi tertentu. Secara umum, akrual, yang merupakan produk akuntansi, dapat dianggap memiliki jumlah yang “relatif tetap” dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan aturan akuntansi terkait juga tidak mengalami perubahan. Perubahan akrual yang terjadi, oleh karenanya, dapat dianggap sebagai hal yang tidak normal (abnormal). Perubahan ini merupakan hasil penggunaan kebijakan (discretion) manajemen yang berlebihan dan bila pada saat yang sama managemen juga memiliki insentif/motif untuk memanipulasi laba maka perubahaan akrual yang terjadi dianggap sebagai bentuk manipulasi laba yang dilakukan manajemen. Total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: 1.
Nondiscretionary accruals Bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan disebut nondiscretionary accruals. Nondiscretionary accruals merupakan komponen akrual yang terjadi seiring dengan perubahan dari aktivitas perusahaan. Banyak dari model estimasi akrual nondiskresioner perusahaan dari level akrual masa lalu perusahaan sebelum periode ketika tidak terdapat manajemen laba yang sistematik.
2. Discretionary accruals Bagian akrual yang merupakan manipulasi data akuntansi yang disebut dengan discretionary accruals. Discretionary accruals merupakan komponen akrual yang berasal dari earnings management yang dilakukan manajer.
Akrual diskresioner tidak bisa diobservasi langsung dari laporan keuangan, maka hasus diestimasi melalui beberap model. Model tersebut membentuk ekspektasi pada level akrual non diskresioner dan jumlah deviasi yang diobservasi
secara
aktual,
hal
ini
diasumsikan
sebagai
akrual
nondiskresioner.Sehingga akrual diskresioner didefinisikan sebagai akrual melalui model yang digunakan. Apakah ini proksi yang bagus dan tepat atau tidak untuk manajemen laba atau tidak akan bergantung pada kemampuan model untuk dengan benar memprediksi bagaimana perubahan dan kondisi bisnis mempengaruhi akrual.
2.1.3.3 Faktor Pendorong Manajemen Laba Kebebasan memilih dan menerapkan metode akuntansi mendorong manajemen melakukan rekayasa keuanganterhadap perusahaan.
Menurut
Scott (2003:377-383) menyatakan bahwa terdapat berbagai motivasi mendorong manajer perusahaan melakukan manajemen laba, yaitu : 1. Bonus Plan Manajer mempunyai informasi laba bersih sebelum dilaporkan dalam laporan keuangan. Sementara pihak luar tidak bisa mengetahuinya sampai mereka membaca laporan keuangan. Oleh karena itu manajer akan berusaha mengatur laba bersih tersebut sehingga dapat memaksimalkan bonus berdasarkan compensasion plans perusahaan. Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan manajer yaitu mengendalikan accruals, meliputi penghasilan dan beban
2. Debt Covenant Semakin dekat perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang, manajer akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. 3. Political Motivation Bagi perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, akan memilih metode akuntansi yang menagguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. 4. Taxation Motivation Manajer akan berusaha menghindari pajak, Oleh karena itu perusahaan akan mengurangi laba bersih perusahaan. Misalnya memilih metode akuntansi LIFO. 5. Pergantian CEO CEO
yang
kurang
berhasil
memperbaiki
kinerja
akan
berusaha
memaksimalkan laba demi membatalkan pemecatannya. 6. Initial Public Offering Perusahaan yang baru pertama kali menawarkan sahamnya ke pasar modal belum memiliki harga pasar, sedangkan informasi laba dalam laporan keuangan mencerminkan nilai perusahaan. Dengan demikian perusahaan yang go public akan melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya.
2.1.3.4 Teknik Earnings Management Menurut Scott (2003:383) ada berbagai pola yang sering dilakukan manajer dalam manajemen laba antara lain : 1. Taking a bath Teknik ini mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan datang dan keruugian periode berjalan ketika keadaan yang tidak memungkinkan pada periode berjalan. Akibatnya manajemen menghapus beberapa aktiva, membebankan perkiraan-perkiraan periode mendatang sehingga laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari yang semestinya. 2. Income Minimazition Kebijakan yang diambil bisa berupa penghapusan atas barang modal dan aktiva
tak
berwujud,
pembebanan
pengeluaran
iklan.ini
biasanya
dilakukan saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi.agar tidak mendapat perhatian secara politis. 3. Income Maximizition Dilakukan dengan cara mempercepat pendapatan, menunda biaya dan memindahkan biaya keperiode berikutnya. Ini dimaksudlkan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan dan menghindar dari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang. 4. Income Smoothing Pihak manajemen dengan sengaja menurunkan atau meningkatkan laba dalam pelaporan keuangan, sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi. Ini adalah cara yang paling popular dan sering dilakukan.
2.1.4 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba Veronica dan Utama (2005 : 37) menjelaskan bahwa keberhasilan penerapan corporate governance tidak terlepas dari struktur kepemilikan perusahaan. Tingginya kepemilikan manajerial di dalam perusahaan akan membuat manajer ikut berkepentingan terhadap perusahaan yang dijalankannya. Untung dan rugi perusahaan akan menjadi untung dan rugi manajer pula, dengan demikian keuntungan jangka pendek tidak lagi menjadi motivasi utama. Dengan demikian, tindakan manajemen laba akan berkurang.
2.1.5 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manjemen Laba Kepemilikan institusional merupakan pemegang saham yang berasal dari luar perusahaan. Karenanya memiliki kemampuan untuk mengurangi adanya tindakan oportunis manajer yang merugikan semua pihak melalui pengawasan insentif. Semakin besar presentase kepemilikan institusional perusahaan semakin kecil adanya manipulasi laba didalamnya. Akan tetapi semakin kecil presentase kepemilikan institusional semakin besar adanya praktik manajemen laba dalam perusahaan tersebut. 2.1.6 Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris Independen
terhadap
Manajemen Laba Proporsi Dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang mempunyai peran penting dalam melaksanakan GCG secara efektif dan juga merupakan pihak yang mempunyai peranan penting dalam menyediakan laporan keuangan yang reliable(KNKG, 2006: 11). Oleh sebab itu, keberadaan dewan ini akan mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan
keuangan dan dipakai sebagai ukuran tingkat rekayasa keuangan yang dilakukan seorang manajer. Hal itu dikarenakan dewan komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajer
sehingga
mempengaruhi
kemungkinan
penyimpangan
dalam
menyajikan laporan keuangan yang dilakukan manajer, juga menemukan hubungan negatif antara besarnya nonexecutif members dengan tingkat penyimpangan ini. 2.1.7 Pengaruh Komite Audit terhadap Manajeman laba Tugas utama komite audit adalah meningkatkan kredibilitas laporan keuangan yang bisa dicapai dengan mengawasi proses penyusunan laporan keuangan yang meliputi sistem pengendalian intern maupun penerapan GAAP; mengawasi proses pemeriksaan internal dan eksternal. Untuk itu komite audit harus bisa mencegah terjadinya manipulasi. Independensi komite audit mempunyai hubungan positif dengan level manajemen laba. Semakin independen komite audit maka semakin rendah aktivitas manajemen laba. Kompetensi anggota komite audit ternyata juga mempunyai hubungan dengan menurunnya kemungkinan dilakukannya manajemen laba. Semakin kompeten komite audit akan semakin mengurangi kemungkinan aktivitas manajemen. 2.1.8 Implikasi penerapan konsep good corporate governance terhadap earnings management. Good corporate governance adalah suatu konsep tentang tata cara pengelolaan yang sehat. Konsep good corporate governance menekankan
pada hak pemegang saham untuk memperoleh informasi yang akurat dan tepat waktu serta kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi tentang kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder. Komponen
GCG
diharapkan
mampu
menjadi
penyeimbang,
pengawasan serta pengendali terhadap laporan keuangan perusahaan, dan melindungi pihak-pihak eksternal dari terjadinya asimetri informasi dan praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan.Selain itu GCG harus memahami
peraturan-peraturan
atau
kebijakan-kebijakan
baru,
yang
dikeluarkan oleh pemerintah maupun pihak berwenang lain, dimana peraturan tersebut mempunyai pengaruh terhadap perusahaan 2.1.9 Pengembangan Hipotesis Penelitian ini merujuk dan mereplikasi penelitian terdahulu yang dapat dijadikan rujukan, sumber acuan, serta perbandingan berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas. Penelitian Midiastuty dan Machfoedz (2003). Menemukan bukti adanya
pengaruh
mekanisme
kepemilikan
manajerial,
kepemilikan
institusional, dan ukuran atau jumlah dewan direksi terhadap penurunan manajemen laba yang akhirnya akan meningkatkan kualitas laba. Penelitian Veronica dan Utama (2005) berjudul “Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management), ditemukan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besaran
pengelolaan laba adalah ukuran perusahaan dan kepemilikan keluarga. Proporsi komisaris independen yang tinggi dan keberadaan komite audit tidak terbukti
adanya
dapat
membatasi
pengelolaan laba
yang dilakukan
perusahaan. Hasil Penelitian Farida,et al (2010) menyatakan penerapan GCG terhadap earnings management mempunyai pengaruh yang signifikan hanya pada proksi kepemilikan manajerial karena ketika manajemen memiliki struktur modal dalam perusahaan maka mereka akan menunjukkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya Penelitian Winarti (2011) berbeda dengan tiga penelitian diatas, komponen GCG yang diuji komisris independen, ukuran direksi, komite audit dan kepemilikan manajerial sama sekali tidak berpengaruh terhadap manajemen laba yang dikarenakan keempat komponen tersebut tidak berjalan sesuai dengan fungsinya.
2.2
Rerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk mencari bukti empiris Pengaruh Good
Corporate
Governance
terhadap
Earnings
Management
pada
Perusahaan Otomotif di BEI Berdasarkan latar belakang, penelitian terdahulu, dan landasan teori yang telah diungkapkan sebelumnya, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan dengan kerangka konseptual pada gambar 1 sebagai berikut:
Kepemilikan Manajerial Kepemilikan Institusional Manajemen Laba
Proporsi Dewan Komisaris Independen Komite Audit Gambar 1 Kerangka Konseptual
2.3
Perumusan Hipotesis Berdasarkan logika dari hasil penelitian terdahulu serta pembahasan
dan landasan teori yang ada maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H1:
Kepemilikan
Manajerial
berpengaruh
secara
parsial
terhadap
manajemen laba pada perusahaan otomotif di BEI H2:
Kepemilikan Institusional berpengaruh
secara parsial terhadap
manajemen laba pada perusahaan otomotif di BEI H3:
Proporsi Dewan Komisaris Independen berpengaruh secara parsial terhadap manajemen laba pada perusahaan otomotif di BEI
H4 :
Komite Audit berpengaruh secara parsial terhadap manajeman laba pada perusahaan otomotif di BEI
H5 :
Kepemilikan Manajerial, kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, dan komite audit berpengaruh secara simultan terhadap manajemen laba pada perusahaan otomotif di BEI