Bab 2
Tinjauan Pustaka
2. Perceraian Pernikahan merupakan keputusan dua orang untuk bersatu dan berkumpul di bawah satu atap untuk menciptakan keluarga baru. Oleh karena manusia merupakan mahkluk yang di ciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihannya menyebabkan tidak menutup kemungkinan bahwa tiap manusia melakukan kesalahan. Begitu juga dalam kehidupan pernikahan, ketika dua manusia bersatu dalam ikatan pernikahan, maka tanpa dapat dihindari bahwa perbedaan akan muncul di tengah-tengah kehidupan bersama. Perbedaan yang besar antar pasangan dapat membuat konflik yang lebih sulit untuk diselesaikan sehingga cenderung untuk membuat pasangan tidak bahagia dalam pernikahan (Chan, 1990). Kepuasan dan stabilitas dalam suatu hubungan tergantung pada tingkat komitmen yang dimiliki oleh pasangan (Rusbult, 1983). Dalam kehidupan perkawinan, diperlukan komitmen untuk meningkatkan kemungkinan bahwa pasangan akan tetap bersama-sama sekalipun dalam masa yang sulit (Kelley, 1983). Pasangan yang telah menikah melakukan perceraian karena berpikir bahwa perceraian merupakan solusi terbaik yang dapat dilakukan sebagai jalan keluar akibat masalah-masalah yang tidak kunjung dapat diselesaikan dalam kehidupan pernikahan. Tetapi ada juga dari sebagian pasangan yang merasa bahwa perceraian bukan merupakan sebuah gagasan yang bagus dan lebih memilih untuk tetap bertahan dalam hubungan yang tidak sehat. Perceraian tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan dalam kehidupan berkeluarga yang memiliki siklus hidup yang
normal, tetapi menjadi sebuah transisi yang normatif bagi sebagian besar keluarga (Bray & Hetherington, 1993; Brody, 1998; Hetherington & Stenley-Hagan, 1999). Sekalipun perceraian merupakan tindakan yang ditentang oleh agama, namun perceraian adalah keputusan yang dikemukakan secara pribadi dalam artian tidak ada tekanan dari pihak luar baik secara agama atau pun hukum. Menurut pandangan dari agama Islam menyatakan “Tindakan halal tetapi paling dilaknat Allah adalah perceraian.” Sedangkan pandangan dari agama Kristen mengatakan, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku di Indonesia definisi perceraian sendiri adalah putusnya hubungan perkawinan antara suami-istri berdasarkan keputusan Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri. Peraturan ini mengisyaratkan bahwa jalur perceraian hanya dapat diputuskan melalui pengadilan saja. Sedangkan menurut pandangan agama Islam, perceraian adalah putusnya hubungan pernikahan secara hukum dan agama. Saat terjadi perceraian, yang biasa dituntut oleh kedua belah pihak (baik pihak istri maupun pihak suami) adalah kuasa hak asuh anak, dan harta hasil bersama selama masa perkawinan. Di era yang sudah lebih modern di banding zaman dahulu, banyak wanita yang lebih maju baik dalam kehidupan ekonomi maupun pendidikan beranggapan bahwa sudah hal yang lazim untuk memutuskan pernikahan atau menggugat cerai pasangan atau suami mereka. Kebanyakan wanita mulai memahami bahwa mereka juga memiliki hak yang sama dalam hukum di Indonesia untuk mengakhiri pernikahan mereka. Hal tersebut terindikasi pada data
Badilag.net,
ditahun 2010 pada kasus perceraian di Indonesia, terdapat 169.673 (57%) diajukan oleh perempuan, dan 81.535 (28 %) oleh laki-laki, data ini menunjukan bahwa
sebagian besar wanita lebih berinisiatif dalam mengajukan perceraian daripada lakilaki (Coleman, 2006; McCharty & McCharty, 2006; Rudman & Glick, 2008). Syarat-syarat untuk dapat dikabulkannya suatu perceraian telah diatur menurut undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia, seperti yang dinyatakan dalam pasal 39 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, hal putusnya perkawinan Serta Akibatnya:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang
bersangkutan
berusaha
dan
tidak
berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. 3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Dalam mengajukan gugatan perceraian, biasanya digunakan tiga rujukan utama sebagai alasan bagi wanita untuk melakukan perceraian, yaitu kekerasan secara fisik atau pun emosi, ketidak setiaan (pasangan berselingkuh) atau penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol, (Enright, 2004). Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 pada pasal 19 menyatakan bahwa perceraian dapat di lakukan apa bila;
1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; 6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
2.1 Dampak Perceraian pada Pasangan dan Anak Semua keputusan yang manusia ambil memiliki dampak secara positif maupun negatif. Termasuk juga dalam memutuskan untuk mengakhiri pernikahan. Perceraian tentu memiliki dampak yang buruk baik pada pasangan itu sendiri maupun pada anak-anak mereka (Amato, 1993; Amato & Keith, 1991a; Amato & Keith, 1991b; Wellington, 1991). Perceraian merupakan hal yang menyakitkan karena menciptakan begitu banyak transisi dan perpisahan selain perpisahan dengan pasangan (Zinn & Eitzen ,2002; Ganong & Coleman, 1999). Selain itu, ketika seorang wanita bercerai, berarti tidak hanya kehilangan semua, wanita tersebut juga kehilangan seorang teman dan seorang rekan dalam hidup mereka. Perceraian adalah hal yang sangat menyakitkan karena membuat begitu banyak transisi dan perpisahan, selain perpisahan dengan pasangan hidup (Zinn & Eitzen, 2002; Ganong & Coleman, 1999). Selain itu, dampak negatif yang muncul setelah perceraian adalah depresi serta kemarahan merupakan dampak yang sering muncul. Padahal ibu merupakan tipikal yang paling di butuhkan oleh anak untuk
menghadapi suatu kenyataan dari perceraian (Cantor, 2004; J. M. Lewis, 2004). Anak adalah individu pertama yang mengalami guncangan secara psikologis ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai dan biasanya anak-anak remaja lebih mengalami kesulitan untuk menerima perceraian orang tua mereka. Menurut penelitian Maier & Lachman (dalam Sukirno & Hadjam, 2010) menunjukan bahwa seorang remaja yang memiliki orang tua bercerai, memiliki penerimaan diri yang rendah dibandingkan pada remaja yang memiliki orang tua yang utuh. Beberapa ahli perkembangan juga menyatakan bahwa anak yang mengalami pengasuhan yang hangat dan lembut, selama tahun pertama atau lebih, kehidupan perkembangannya akan optimal dibandingkan dengan anak yang tidak (Carlson, Sroufe, & Egeland, 2004; Sroufe dkk, 2005). Pada remaja, umumnya mereka lebih sulit menerima kenyataan perceraian orang tua karena sering kali perceraian diwarnai dengan konflik, baik itu selama proses perceraian maupun setelah perceraian (Laumann-Billings & Emery 2000). 2.2 Pengertian Hak Asuh Perceraian merupakan jalan yang di anggap paling tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan perkawinan, namun pada sesi-sesi sidang perceraian yang dijalani, sebenarnya akan timbul masalah baru. Masalah tersebut adalah tentang pemberian kuasa asuh anak bila pasangan tersebut telah memiliki anak. Menurut Weisberg (2008) pengasuhan mengacu pada hak untuk pengasuhan anak, termasuk kemampuan untuk membuat keputusan tentang tempat tinggal anak, disiplin, pendidikan, perawatan medis. Hak asuh anak sendiri umumnya dilakukan oleh orang tua. Tetapi ketika kedua orang tua memutuskan untuk bercerai, maka mengasuh anak akan terbagi, ayah saja,
ibu saja, atau keduanya sama-sama mengasuh anak meski tanpa ikatan pernikahan lagi. Tujuan dari hak asuh sendiri adalah supaya anak mendapat dukungan moral, terpenuhi kebutuhan secara fisik maupun psikologisnya, dan terpenuhi juga pendidikan secara akademiknya. Penting bagi anak-anak yang masih kecil untuk diasuh oleh orang tuanya agar menghindari kemungkinan munculnya gangguan (Macobby, 1999). Menurut Emery, Otto, & Donohue (2005), kebanyakan orang tua menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hak asuh anak-anak mereka tanpa pergi ke pengadilan, meskipun perkiraan dari litigasi hak asuh tidak tepat (Schepard, 2004). Dalam proses perceraian yang melibatkan putusan hakim dalam memberikan kuasa hak asuh anak, seorang Psikolog dapat memberikan pelayanan yang tepat ketika mereka memberikan pendapat yang kompeten dan tidak memihak ketika memberikan pendapat langsung yang berdasarkan kepentingan terbaik bagi psikologis anak (Miller, 2002). Umumnya anak memiliki kerentanan emosi yang ditunjukan dengan cara menyalahkan diri sendiri dengan menganggap bahwa orang tuanya bercerai karena dirinya nakal atau sulit untuk di atur. Pada awalnya dampak perceraian perceraian pada anak adalah mereka merasa tidak aman dengan lingkungan sekitarnya, dan juga merasa tertekan dengan keadaan sekitar yang terjadi. Untuk sebagian anak, masalah perceraian orang tua mempengaruhi kepribadian seperti misalnya menarik diri dari lingkungan sekitarnya, tidak fokus dengan akademisnya, atau bahkan terjerumus pada obatobatan. Yang sering luput dari perhatian orang tua adalah mereka melampiaskan kekesalan, kekecewaan, atau kekacauan yang terjadi pada anak. Sering kali orang tua juga lupa atau menghindari suatu perbincangan untuk memberi tahu apa yang
sebenarnya telah terjadi pada keluarga mereka. Karena pada dasarnya anak-anak menginginkan keluarga mereka utuh kembali. 2.3 Pengaturan Kuasa Hak Asuh Anak di Dalam maupun Luar Negeri Definisi anak sendiri menurut Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak adalah, anak yang masih dibawah usia 18 tahun termasuk yang masih di dalam kandungan. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila anak berada di bawah pengasuhan orang tua yang dapat menjamin berkembangnya kemampuan anak baik secara fisik maupun akademis. Namun pada kasus perceraian, pengasuhan anak akan terbagi menjadi dua, tidak lagi satu seperti dalam masa pernikahan. Dimana anak mendapat perhatian dan pengayoman secara terpisah, dari ayah saja atau dari ibu saja karena anak-anak yang mengalami perceraian atau konflik orang tua memiliki lebih banyak masalah tingkah laku dan prilaku, kesulitan akademis yang lebih besar, dan kesehatan yang lebih buruk dibanding anak-anak yang orang tuanya tidak bercerai (Tucker, 1997). Ketika menjatuhkan putusan hak asuh mengatur bahwa dalam memberikan hak asuh anak pada orang tua, tidak melulu pada ibu tetapi juga dapat diberikan pada ayah. Hal ini dimaksudkan bahwa kedua orang tua memiliki kekuatan hukum yang sama dalam mengasuh anak-anak mereka walaupun orang tua telah memutuskan untuk bercerai. Walau kerap hakim memberikan kuasa asuh kepada ibu dengan alasan bahwa ibu lebih dapat mengayomi anak baik secara fisik maupun psikologis dari dampak perceraian yang terjadi pada orang tuanya. Pada umumnya di Indonesia, pengadilan tidak mengikut-sertakan seorang psikolog sebagai refrensi hakim dalam memutuskan pemberian kuasa asuh anak, sedikit banyak memang perlu diakui bahwa psikolog lebih paham dengan kondisi
psikologis anak ketika orang tuanya memutuskan bercerai. Psikolog juga lebih mampu untuk mengorek dan mencari fakta tentang prilaku dan cara kedua orang tua dalam mengasuh anak. Dalam pengasuhan anak dapat menimbulkan resiko yang lebih tinggi dan meningkatnya etika keluhan (American Psychological Association [APA], 2002b; Kirkland & Kirkland, 2001) karena biasanya pihak yang kalah dalam upaya mendapatkan kuasa hak asuh akan balik mengajukan tuntutan (Banding). Sedangkan di Amerika sendiri, sudah banyak pengadilan yang memasukan saran dari seorang psikolog sebagai refrensi juri dalam mengambil keputusan akhir terkait dengan hak asuh anak. Kuasa hak asuh anak juga tidak selalu dijatuhkan pada ibu saja, tetapi ayah juga memiliki peran yang sama besarnya seperti ibu dalam mengasuh anak.
Standart ini merupakan pertimbangan yang menarik dalam
memenuhi kebutuhan ideal anak baik dalam kebutuhan individu atau pun psikologis anak, dari pada hanya berdasarkan tuntutan orang tua, tuntutan budaya, dan stereotipe sosial (Kelly, 1997). 2.4 Mekanisme Pengambilan Putusan Hak Asuh Di Indonesia masih rancu dalam menggunakan Undang-undang yang berlaku, hal ini dapat di pahami dengan banyaknya budaya yang ada di Indonesia, serta agama yang ada di Indonesia. Islam merupakan agama mayoritas yang di peluk oleh jutaan penduduk Indonesia. Setiap pemeluk agama Islam yang ingin bercerai maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Hukum perceraian yang di gunakan dalam Pengadilan Agama adalah KHI atau Kompilasi Hukum Islam. KHI sudah mengatur tentang pemutusan harta gono-gini, kuasa asuh anak, dan lain-lain. Dalam Pengadilan Agama yang menggunakan KHI, maka sudah jelas bahwa hak asuh sebaiknya jatuh dalam pengasuhan ibu. Padahal sangat memungkinkan bahwa
ternyata sang ayah lebih kompeten dalam mengasuh anak di bandingkan dengan ibunya. Sedangkan untuk Non-Islam yang hendak bercerai maka sidang perceraian akan di adakan di Pengadilan Umum. Di Pengadilan Umum, hakim menggunakan UU Perkawinan 1974 sebagai rujukan untuk memutuskan kuasa hak asuh anak. Selain menggunakan UU Perkawinan sebagai rujukan, biasanya hakim juga memperhatikan hukum adat yang berlaku di tiap-tiap daerah. Menurut pasal 75 RR (Regeringsreglement)
hukum
adalah
pengaturan-pengaturan
hukum
yang
berhubungan dengan agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Contoh yang paling menonjol adalah di Bali. Menurut Geerken (2011), perceraian adalah posisi yang sulit bagi perempuan Bali. Mereka tidak lagi diperbolehkan tinggal bersama anak-anaknya, anak-anak hanya boleh tinggal bersama ayah setelah perceraian berdasarkan prinsip umum yang berlaku di Bali. Bila ayah meninggal, maka anakanak harus tetap tinggal bersama kerabat ayah. Bila merujuk pada Pasal 45 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 hal Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua Dengan Anak yaitu; (1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali. (2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
Keputusan hakim diruang sidang memang bersifat mutlak, dan dalam pengambilan keputusan biasanya hakim telah meninjau secara signifikan tentang kasus-kasus yang masuk kepengadilan. Namun Tidak jarang hakim lupa untuk meminta pendapat ahli, atau mengirimkan pihak ketiga untuk mengevaluasi cara mengasuh anak sebelum menjatuhkan putusan kuasa asuh anak pada orang tua yang bercerai. 2.5 Jenis-Jenis Pengasuhan Anak Setelah Orang Tua Bercerai Ada beberapa jenis pengasuhan yang sebenarnya bisa diaplikasikan dalam putusan hak asuh anak di Indonesia yaitu Sole custody, Joint custody, Legal custody, dan physical custody. Bila merujuk pada pasal 1 ayat (11) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan “Kuasa asuh adalah kekuasaan otang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.” Yang menandakan bahwa seharusnya anak diasuh secara bersama sekalipun orang tua telah bercerai. Ketika orang tua memutuskan untuk bercerai, maka banyak yang ikut harus dipertimbangkan, seperti anak-anak ikut dengan ayah atau ibu, bila berdasarkan kesepakatan bersama bahwa anak ikut ayah atau ibu, maka kuasa pengasuhan anak tidak perlu diangkat kepersidangan. Tetapi bila dalam pertimbangan pengasuhan anak tidak dapat diputuskan, maka kasus tersebut dapat diangkat kepengadilan. Menurut Miller, Lerner, Scheimberg, & Anderson (2003) ada dua jenis pengasuhan utama yaitu Legal Child Custody yang mengacu pada hak untuk membuat semua keputusan penting tentang kesehatan anak, kesejahteraan, pendidikan, dan pengembangan agama. Sedangkan Physical Child Custody adalah hak untuk
perawatan sehari-hari dan mengontrol anak. Tetapi pada prakteknya, mungkin ditemui hak asuh anak yang berbeda, yang melibatkan berbagai kombinasi dari legal child custody dan physical child custody seperti : 1. Sole Legal custody Yaitu orang tua mendapatkan kuasa asuh tunggal atas anak-anak mereka. Untuk contoh kasus seperti anak ikut dengan ibu, tinggal dirumah ibu, berada dalam pengawasan ibu, serta ibu-lah yang memiliki andil dalam membuat keputusan untuknya. Sedangkan untuk orang tua yang tidak memenangkan kuasa hak asuh anak, tetap memiliki hak untuk bertemu dan mengajak anak liburan atau menginap. 2. Sole Physical Custody Yaitu orang tua memiliki hak ekslusif untuk memelihara dan merawat anak, dan orang tua yang tidak memenangkan kuasa hak asuh anak tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak. 3. Joint Legal custody Yaitu hakim memberikan putusan hak asuh pada kedua orang tua. Jadi masing-masing orang tua memiliki andil yang sama besarnya dalam mengasuh anak dan memutuskan apa yang terbaik bagi anak, sekalipun mereka telah memutuskan untuk bercerai. Dalam Joint custody, orang tua harus memiliki pandangan yang sama dan setuju untuk hal yang sama terkait kesejateraan anak. 4. Joint Physical custody Yaitu kedua orang tua mendapat hak mengasuh anak, tetapi waktu untuk bersama dengan anak tidaklah sama. Orang tua yang memiliki hak asuh ini memiliki rencana pengasuhan, permintaan yang spesifk pada pengadilan, atau
pengaturan
informal
yang
menentukan
waktu
untuk
anak
dalam
menghabiskanwaktu dengan masing-masing orangtua. 5. Split Custody Bila dalam suatu keluarga memiliki dua orang anak, kemudian terjadi perceraian, maka masing-masing orang tua mengasuh anak mereka secara terpisah. Dengan artian bahwa anak tersebut dipisahkan dengan saudaranya yang lain akibat dari pengasuhan yang berbeda. 2.6 Evaluasi Putusan yang Dibuat Hakim Di dalam ruangan sidang, perkataan hakim ketua merupakan suatu mandat yang tidak dapat di bantah karena hakim memiliki kedudukan yang tinggi diruang sidang, orang tidak boleh mengajukan gugatan ulang, atas kasus dan permasalahan yang sama terhadap orang yang sama dan telah divonis oleh hakim. Pihak yang merasa tidak dapat menerima putusan hakim dapat mengajukan banding sebagai bentuk penolakan terhadap putusan yang telah dibuat oleh hakim. Pada hakim perempuan maupun hakim laki-laki pertimbangan moral tergantung juga pada proses kognitif dan emosional. Penelitian yang dilakukan oleh Greene (2001) berdasarkan moralitas, menyelidiki topik ini sesuai dengan teori utilitarian yang menyatakan bahwa suatu tindakan yang benar secara moral jika menghasilkan utilitas tertinggi dari setiap tindakan alternatif yang ada. Moll (2005) mendefinisikan moralitas sebagai suatu perlengkapan dari kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok budaya untuk memandukan perilaku sosial dengan pandangan yang tidak menganggap keberadaan nilai-nilai moral yang mutlak. Hakim tahu jika mereka menyimpang terlalu jauh dari pedoman kasus hukum
sebelumnya atau undang-undang, putusan mereka dapat diajukan banding dan kemungkinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (Vidmar, 2011). Untuk memutuskan pihak mana yang paling baik dalam mengasuh anak, para hakim harus mencari tahu terlebih dahulu latar belakang dari kedua orang tua. Menurut American Psychology (1994) ini, pengadilan dapat menggunakan jasa seorang psikolog untuk mencari tahu : 1.
Penilaian terhadap kapasitas orang dewasa untuk mengasuh anak, atribut, keterampilan, kemampuan, atau kekurangan.
2.
Penilaian terhadap fungsi psikologis dan kebutuhan perkembangan dan keinginan dari masing-masing anak.
3.
Penilaian kemampuan fungsional dari setiap orang tua untuk memenuhi kebutuhan perkembangan, termasuk evaluasi interaksi antara setiap orang dewasa dan anak.
Karena begitu banyak keputusan hakim yang diragukan pada saat pengambilan keputusannya mengenai kuasa hak asuh anak yang berdasarkan kepentingan yang terbaik bagi anak dan dalam membuat prinsip dalam mencari kepentingan yang terbaik bagi anak menjadi ambigu (Elster, 1989; Breen, 2002; Skivenes, 2002; Freeman, 2007). Ketika orang bertanya apakah hakim membuat keputusan yang baik, secara tidak langsung orang akan membandingkan keputusan hakim dengan standard normatif. Menurut Klein & Mitchell (2010), Orang dapat merujuk pada studi empiris bahwa ada 3 komponen dasar yang dapat merujuk pada kualitas hakim, yaitu: 1. Patokan normatif yang lebih sepesifik
2. Perubahan patokan dari perilaku yudisial yang diuji menjadi unit yang dapat diukur. 3. Interpretasi dari hasil perbandingan apapun untuk menarik kesimpulan yang tepat tentang kesenjangan deskriptif-normatif. Dalam memberikan putusan, terlebih dalam memberikan putusan hak asuh anak, setiap hakim memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda. Klein & Mitchell (2010) mengatakan, ada empat ciri bagi hakim dalam mengambil keputusan. Yaitu legal model, attitudinal model, strategic model, dan case manager model. 1. Legal model Sebagian besar dari orang-orang hukum bertumpu pada kesimpulan yang normatif, bahwa hakim harus mengabdikan diri mereka untuk menafsirkan hukum dengan benar dan menerapkan aturan yang sesuai penafsiran dari hukum yang berlaku. Menurut studi yang dilakukan Rachlinski (2009), ketika hakim memiliki informasi lebih rinci atau berurusan dengan doktrin hukum yang harus diselesaikan, seperti pencarian dan penyitaan, hakim harus memiliki lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan dan memusyawarahkan. Dalam hal mempertimbangkan dan memusyawarahkan kasus yang mereka tangani, pelatihan yang didapatkan oleh hakim sebelum mereka dilantik menjadi seorang hakim, memungkinkan mereka untuk memproses informasi secara berbeda dari orang awam. David Klein (2002) berpendapat bahwa hakim di pengadilan federal banding menanggapi keputusan pengadilan setingkat di bawahnya, sebagian besar atas dasar komitmen untuk menafsirkan hukum dengan lebih baik. 2. Attitudinal model Pada attitudinal model ini lebih merujuk pada prilaku hakim dalam mengambil suatu keputusan. Premis dari studi ini adalah bahwa hakim bertindak harus berdasarkan konsep mereka tentang kebijakan mereka berikan pada publik. Upaya untuk
mengikuti aturan yang lebih relevan, interpretasi hukum juga mungkin mempengaruhi pilihan mereka, tetapi pada pertimbangan kebijakan keseluruhan lebih berpusat pada pertimbangan hukum. Dalam bentuk aslinya, attitude mode tidak terkait dengan motivasi hakim. Hubungan antara sikap dan keputusan diperlakukan kurang lebih sebagai tolok ukur. Pada tahun 1960, baik ahli hukum yang menganut attitudinal model dan perilaku maupun orang hukum lainnya, melakukan penelitian yudisial yang diasumsikan sebagai tujuan peradilan yang sadar untuk mencapai kebijakan yang baik (Rohde, 1972). 3. Strategic model Dalam penggunaan model ini, hakim dalam strategic model akan berusaha untuk mencapai hasil yang diinginkan dari tindakan mereka dengan memperhatikan respon orang lain untuk tindakan tersebut. Dalam penggunaannya di attitude model, hakim tidak memiliki sikap yang strategis ketika mereka memberikan suara pada hasil kasus. Sebaliknya, mereka mengambil posisi yang paling mencerminkan preferensi kebijakan mereka terlepas dari bagaimana orang lain mungkin bereaksi terhadap apa yang mereka lakukan. Dalam strategic model, sebaliknya hakim mungkin menyimpang dari kebiasaan mereka yang disukai jika hal itu akan mencapai hasil yang lebih baik. Untuk mengambil contoh yang paling umum, seorang hakim banding mungkin mengambil posisi doktrinal yang kurang liberal dalam suatu kasus daripada dia lebih memilih untuk mengamankan mayoritas untuk posisi yang relatif liberal. Sebagai gambaran ini menunjukkan, strategic model mengalihkan fokus dari suara pada hasil kasus dikotomi sebagai variabel dependen ke posisi doktrinal pada spektrum ideologis. Robbennolt, MacCoun, & Darley (2010) menyebutkan bahwa strategic model terjadi ketika hakim tidak lagi berpusat pada dirinya dan pada kasus yang ia tangani. Jika hakim melihat kemungkinan bahwa dengan mengambil
keputusan tertentu akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, misalnya mendapat opini yang positif dari publik, maka hakim akan cenderung mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan strategis tersebut. Sebaliknya, jika hakim merasa keputusan tersebut tidak akan mendatangkan keuntungan untuknya, maka hakim tidak akan berpihak pada keputusan tersebut 4. Case manager model. Model ini menekankan bahwa proses pengambilan keputusan hakim dipengaruhi oleh tekanan bobot kasus yang ia tangani. Perlu diketahui, cakupan tanggung jawab yang dimiliki oleh hakim bukan semata-mata menangani kasus, tetapi juga meliputi urusan administratif dan struktural sehingga beban tugas tersebut berpotensi mempengaruhi keputusan hakim yang dibuatnya. Ditambah lagi, waktu kerja hakim juga terbatas. Dalam menjalankan fungsi manajerial tersebut, hakim terdorong untuk membuat strategi maupun perencanaan dalam mengelola tanggung jawab yang dimilikinya. Berdasarkan fungsi kerjanya yang mirip seorang manajer, model ini disebut dengan managerial model atau case managerial model (Baum, 2010). Artinya, perilaku hakim dalam mengambil keputusan tentang penetapan hak asuh anak berpeluang dipengaruhi oleh tekanan bobot kasus yang ditanganinya. Dari model-model pengambilan keputusan diatas, dapat dipahami bahwa perilaku hakim dalam membuat keputusan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Klein & Mitchell, 2010 terdapat ada 5 norma untuk mengevaluasi perilaku hakim (judicial behavior), yaitu social, moral, legal, coherence, dan efficacy norms 1.
Social norm Norma ini menjelaskan bahwa evaluasi perilaku hakim ketika membuat sebuah keputusan dilakukan dengan cara membandingkan keputusan hakim tersebut dengan keputusan-keputusan hakim yang lain. Ketika keputusan yang dibuat hakim
cenderung sesuai dengan tren keputusan-keputusan hakim lainnya, maka putusan tersebut dianggap baik. Namun, sebaliknya jika keputusan yang dibuat hakim bertentangan dengan keputusan hakim pada umumnya, maka keputusan hakim tersebut dianggap menyimpang. 2.
Moral norm Melalui norma ini, digambarkan bahwa kualitas keputusan hakim dianggap baik manakala putusan yang dihasilkan sebangun atau kongruen dengan nilai-nilai moral yang beredar di masyarakat tertentu. Misalnya,
hakim dianggap baik apabila
menjunjung tinggi nilai keadilan (justice). 3.
Legal norm Norma ini menekankan bahwa evaluasi perilaku hakim dilakukan dengan cara melihat seberapa jauh hakim bergantung pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk membuat sebuah keputusan dalam rangka menyelesaikan kasus yang ditanganinya. Ketika keputusannya berlandaskan oleh aturan-aturan hukum yang relevan, maka kualitas keputusan hakim tersebut dianggap baik. Di sisi lain, jika keputusan hakim tidak berlandaskan oleh aturan-aturan hukum yang relevan, maka kualitas putusan hakim tersebut patut dipertanyakan.
4.
Coherence norm Norma ini menjelaskan, evaluasi perilaku hakim dilakukan dengan menilai sejauh mana pertimbangan keputusan hakim merupakan sebuah unit tunggal atau menyeluruh sehingga pertimbangan hakim tersebut menjadi sebangun / kongruen dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
5.
Efficacy norm Efficacy Norm berfokus pada hasil dari sistem untuk menguji apakah sistem berfungsi sebagaimana seharusnya menurut analisa fungsional atau pembagian kerja, sedangkan
norma koherensi fokus pada ketaatan pada aturan yang ditetapkan untuk mengatur sistem. Sehingga jika sistem perseptual kita mengarah ke arah yang efektif di lingkungan kita, maka sistem perseptual mendapat nilai tinggi di bawah norma yang dianjurkan
meskipun
bukti
ilusi
perseptual
sistematik.
Perlu dicatat bahwa efficacy norms berasal dari kerangka analisis yang dikembangkan secara bebas dari apa yang terjadi dalam kasus pada umumnya. Menurut Daubert v. Merrell Dow Pharmaceuticals (1993) dan kasus lainnya, Mahkamah Agung mengatakan bahwa kriteria hakim harus digunakan untuk membuat keputusan tentang diterimanya: 1. teori atau teknik harus difalsifikasi dan diuji, 2. penelitian telah mengalami peer review, 3. yang diketahui atau potensi tingkat kesalahan, dan 4. tingkat penerimaan dalam komunitas ilmiah. Melalui norma ini, keputusan hakim dievaluasi dengan cara melihat seberapa jauh keputusan yang diambil terbenarkan secara empiris. Artinya, keputusan yang diambil oleh hakim dinilai baik ketika keputusannya jauh dari asumsi yang subjektif (subjective presumption) 2.7 Perbedaan Gender Pada Hakim Sekalipun jaman sudah berkembang dengan pesat, namun kedudukan wanita didunia hukum masihlah sedikit. Pada catatan kejaksaan agung pada tahun 1999, hakim perempuan di lembaga peradilan tidak lebih dari 25%. Bahkan perempuan yang menjabat sebagai hakim agung hanya 13% (Silaen, 2007).
Tidak menutup kemungkinan bahwa adanya bias gender yang diterima oleh perempuan dalam dunia hukum. Bias gender berjalan sedemikian rupa sehingga tidak terlihat secara langsung (Atchison, 1998). Menurut
Feliciano (2002) ada
beberapa indikator bias gender yang biasanya muncul diruang persidangan, indikator tersebut adalah : 1. Peran dari laki-laki dan perempuan dalam ruang persidangan. Komposisi gender dari orang-orang yang terlibat dalam pengadilan dan data tentang titik potong dari gender, ras, dan etnisitas. 2. Interaksi dari mereka yang terlibat dalam persidangan di ruang sidang. 3. Peran konstruksi gender pada keputusan-keputusan yang diambil Hakim perempuan juga lebih menekankan pada reformasi hukum dan obejektifitas dalam membuat keputusan daripada hakim laki-laki (Henham, 1990). Ketika mengambil keputusan, ada perbedaan antara hakim laki-laki dengan hakim perempuan. Misalnya perbedaan dalam pengambilan keputusan antara legislator wanita dan pria, dengan wanita yang lebih liberal daripada rekan-rekan pria mereka di bidang kesejahteraan sosial (Leader, 1977).