BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Self-Control 2. 1. 1.
Definisi Self-Control Setiap hari orang-orang menolak dorongan untuk melakukan hal-hal
yang dapat merugikan dirinya sendiri, seperti menghindari makanan berlemak, minuman beralkohol, mengeluarkan kata-kata kasar, menahan rasa marah, dll. Berdasarkan hal tersebut muncul sebuah pertanyaan yaitu, apakah yang dapat membuat seseorang dapat menolak dorongan-dorongan tersebut? Self-control digunakan untuk menahan keinginan atau dorongan tersebut. Self-control merupakan kapasitas untuk mengubah respon seseorang agar sesuai dengan standar mereka, seperti cita-cita, nilai-nilai, moral, dan harapan sosial serta untuk mendukung pencapaian tujuan jangka panjang (Baumeister, Vohs, & Tice, 2007). Singkatnya, self-control merupakan kapasitas diri untuk merubah respon perilaku, pikiran dan emosi yang dominan (De Ridder et al., 2011), sehingga memungkinkan seseorang untuk memberikan respon yang berbeda. Berdasarkan definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa self-control merupakan kapasitas atau kemampuan seseorang untuk mengendalikan dorongan-dorongan di dalam dirinya agar respon yang dikeluarkan sesuai dengan norma dan nilai yang ada. Seseorang dengan self-control yang tinggi dihubungkan dengan hampir semua perilaku yang mendukung sebuah kehidupan yang sukses dan
sehat (De Ridder et al., 2011). Sedangkan, seseorang dengan self-control yang rendah selalu dihubungkan dengan masalah perilaku dan pengontrolan dorongan keinginan, seperti makan yang berlebihan, kecanduan alkohol dan narkoba, kejahatan dan kekerasan, belanja yang berlebihan, perilaku seksual yang menyimpang, kehamilan yang tidak diinginkan, dan merokok (Baumeister, Vohs, & Tice, 2007). Juga dapat dihubungkan dengan masalah emosi, ketidaktercapaian prestasi di sekolah dan tempat kerja, masalah interpersonal, kurangnya ketekunan, dan lain-lain. Pada remaja, self-control yang rendah melibatkan perilaku-perilaku yang membahayakan kesehatan, seperti peningkatan konsumsi alkohol, tembakau, dan ganja, serta peningkatan konsumsi lemak jenuh dibandingkan dengan remaja dengan self-control yang tinggi (De Ridder et al., 2011). Dalam studi Gottfredson & Hirschi (1990), didapatkan bahwa kekuatan yang mendorong dibalik suatu tindakan kriminal adalah kurangnya self-control, yang menjadi masalah serius pada umur 15-17 tahun.
2. 1. 2.
Pembagian Self-Control Self-control memiliki kaitan dengan berbagai macam perilaku. Maka
dari itu, para peneliti setuju untuk membagi self-control menjadi dua, yaitu state self-control dan dispositional self-control (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). 1. State Self-Control, kemampuan seseorang untuk menggunakan selfcontrol rawan terhadap pengaruh situasi dan bervariasi setiap waktu
(De Ridder et al., 2011). Seperti mood, motivasi, working memory, dan lain-lain. 2. Dispositional
Self-Control,
kemampuan
seseorang
untuk
menggunakan self-control relatif stabil di seluruh situasi dan sepanjang waktu. Seperti, achievement dan kinerja tugas, kontrol dorongan keinginan, penyesuaian psikososial, fungsi interpersonal, dan moral emosi.
2. 1. 3.
Self-Control, Desirable Behavior, & Undesirable Behavior Para peneliti setuju bahwa self-control berfokus kepada usaha yang
dikeluarkan oleh seseorang untuk memicu desirable behavior dan mencegah undesirable behavior terjadi (De Ridder et al., 2011). Desirable behavior merupakan segala perilaku yang mendukung tujuan seseorang untuk memenuhi
kewajiban,
tugas,
dan
tanggungjawab
mereka,
serta
menyesuaikannya dengan norma-norma sosial dari menjalani kehidupan yang bahagia, sukses dan sehat, seperti makan makanan sehat, kepuasan terhadap pernikahan, kesetiaan, dan lain-lain. Sedangkan, undesirable behavior merupakan perilaku-perilaku yang mengganggu ketercapaian tujuan tersebut, seperti rasa cemas yang berlebihan, agresi, berbohong, penggunaan obat-obatan terlarang, dan lain-lain. Sebagai contoh, jika sebuah perilaku melibatkan memakan makanan yang berlemak (undesirable behavior), orang-orang akan memberikan skor rendah (tidak memakan makanan berlemak) atau tinggi (memakan makanan berlemak) pada dimensi ini (De Ridder et al., 2011). Sedangkan, jika perilaku melibatkan memakan
buah (desirable behavior), akan diberikan skor rendah jika tidak memakan buah dan tinggi jika memakan buah. Walaupun kedua tipe perilaku ini dibahas diberbagai macam studi, tetapi undesirable behavior lebih banyak dibahas dari pada desirable behavior (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). 2. 1. 4.
Pembentukan Self-Control Awalnya pembentukan self-control pada anak-anak dimulai dari
arahan orang tua secara verbal dalam mengatur emosi, kedisiplinan, serta modeling. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan efektif jika anak tersebut memiliki kemampuan untuk menahan godaan (Berk, 2009). Selain itu, anak juga perlu memiliki kemampuan untuk berpikir bahwa mereka berbeda dari orang lain, mereka mampu untuk mengarahkan tindakannya (Berk, 2009). Kemampuan ini muncul diantara usia 12 sampai 18 bulan dalam bentuk kepatuhan (Berk, 2009). Dimana balita menunjukkan kepeduliannya pada permintaan dan harapan orang tua dengan mematuhi permintaan dan perintah yang sederhana. Diantara usia 1,5 sampai 5 tahun peningkatan kemampuan balita untuk menunggu membuka kado, menunggu untuk bermain dengan boneka, atau menunggu untuk mendapatkan cemilan mulai meningkat (Berk, 2009). Hal ini membutuhkan kemampuan untuk menahan kepuasan (delay of gratification), yaitu kemampuan untuk menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk terlibat dalam tindakan yang menggoda atau memuaskan. Kemampuan menahan kepuasan pada balita dipengaruhi oleh temperamen yang berdasarkan biologis dan kualitas pola asuh (Berk, 2009). Balita yang merasakan kehangatan dan dorongan yang lembut dari orang tua
lebih mudah diajak bekerja sama dan menahan godaan. Seiring berkembangnya self-control pada balita, secara bertahap orang tua meningkatkan peraturan-peraturan yang mereka harap dapat diikuti oleh balita, dari keamanan dan rasa perhatian pada barang dan orang-orang disekitarnya, sampai rutinitas keluarga, aturan, dan tugas sederhana (Berk, 2009). Pada anak usia 6 sampai 11 tahun, kemampuan anak untuk menahan godaan mulai meningkat. Anak mulai menggunakan berbagai variasi strategi untuk menahan godaan (Berk, 2009). Pengaturan strategi anak dalam menolak godaan menjadi semakin baik selama masa sekolah. Pada masa ini, self-control menjadi sebuah kemampuan yang fleksibel untuk pembentukan moral self-regulation – kemampuan anak untuk memantau perilakunya sendiri yang terus-menerus disesuaikan dengan standar yang ada didalam dirinya karena banyaknya peluang yang membuatnya untuk melanggar standar tersebut (Berk, 2009). Pada anak usia 12 sampai 20 tahun, mereka terus-menerus mengembangkan kemampuan moral self-regulation.
2. 2. Control Theory Unit mendasar dari teori ini adalah The Negative Feedback Loop (Carver & Scheier, 1982). Disebut “Negative” dikarenakan fungsinya adalah untuk meniadakan atau mengurangi perbedaan dari nilai pembanding (standar) yang dirasakan.Fungsi utama dari sistem feedback ini bukanlah untuk menciptakan
perilaku, melainkan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi persepsi yang diinginkan (Carver & Scheier, 1982).
(Sumber: Carver & Scheier, 1982)
Gambar 2.1 The Negative Feedback Loop
Proses dari sistem loop ini sangat sederhana, walaupun tampak abstrak pada awalnya. Terdapat empat komponen The Negative Feedback Loop (Carver & Scheier, 1982), yaitu: 1. Input Function, merupakan proses pembentukan persepsi dari hasil penginderaan seseorang. 2. Comparator, merupakan proses pembandingan persepsi yang dirasakan pada saat itu dengan nilai-nilai yang dimiliki (reference value).
3. Output Function, merupakan perilaku yang dihasilkan dari pembandingan persepsi dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang. Dimana tujuan dari hal ini adalah untuk mengurangi ketidaksesuaian yang dirasakan. 4. Impact on Environment, merupakan dampak dari lingkungan yang kita dapatkan dari perubahan perilaku. Adanya gangguan (disturbance) yang datang dikarenakan perubahan perilaku.
2. 3. Need for Smoking 2. 3. 1.
Definisi Need for Smoking Need for smoking merupakan kebutuhan remaja akan produk-produk
tembakau yang dapat muncul tanpa adanya kebutuhan fisik untuk nikotin (Johnson, et al., 2005). Remaja merokok karena berbagai macam alasan dan kebutuhan
mereka
untuk
merokok
tidak
hanya
didasarkan
pada
ketergantungan akan nikotin (Johnson et al., 2003).
2. 3. 2.
Kandungan Rokok & Pengaruhnya Rokok merupakan sebuah silinder yang terbuat dari kertas berukuran
panjang 70mm sampai 120mm dengan diameter 10mm yang berisi daun-daun tembakau (Octaviani, 2009). Daun tembakau ini mengandung sebuah zat yang disebut nikotin. Nikotin merupakan zat adiktif yang dapat membuat ketagihan pada penggunanya. Walaupun kandungan nikotin pada rokok hanya
sedikit, tetapi hal ini dapat merusak kesehatan penggunanya. Jika nikotin sampai masuk ke dalam tubuh, maka akan terjadi perubahan tingkat neuroregulator yang aktif, termasuk asetilkolin, norepinefrin, dopamin, opioid endogen, dan vasopressin di dalam tubuh (Taylor, 2012). Neuroregulator merupakan molekul sinyal endogen yang dikeluarkan oleh neuron yang dapat mengubah perilaku neuron atau sel efektor. Nikotin mungkin digunakan oleh para perokok untuk melibatkan neuroregulators, karena dapat menghasilkan peningkatan sementara pada kinerja atau perasaan. Secara spesifik, asetilkolin, norepinefrin, dan vasopresin tampaknya meningkatkan memori, serta asetikolin dan beta endorfin dapat mengurangi kecemasan dan ketegangan. Perubahan pada dopamin, norepinefrin, dan opioid dapat meningkatkan mood, dan orang-orang merasa bahwa kinerja mereka dapat meningkat ketika memiliki kadar asetilkolin dan norepinefrin yang tinggi. Akibatnya, orang yang sudah terbiasa merokok berpikiran bahwa merokok dapat meningkatkan konsentrasi, daya ingat, kewaspadaan, kinerja psikomotor, dan kemampuan untuk menyaring stimulus yang tidak relevan. Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa orang yang sudah terbiasa merokok tiba-tiba berhenti merokok, mereka merasakan sulit untuk fokus dan berkonsentrasi, gangguan daya ingat, serta mengalami peningkatan kecemasan, ketegangan, mudah tersinggung, dan rasa murung (Taylor, 2012). Selain nikotin, terdapat lebih dari 4000 jenis zat kimia berbahaya yang terkandung didalamnya, antara lain karbon monoksida (terdapat pada asap yang dikeluarkan mobil), amonia (terdapat pada cairan pembersih jendela), aseton (terdapat pada cairan pembersih kuteks), napthalene (terdapat
pada kapur barus), dll. Pada saat seseorang merokok, seluruh zat yang terdapat di dalam rokok tersebut bercampur dan membentuk tar (Canadian Lung Association, 2012). Tar ini dapat melengket pada pakaian, kulit, dan cilia (rambut-rambut kecil yang terdapat pada paru-paru). Cilia berfungsi untuk menyaring serta membersihkan kotoran dan kuman di paru-paru. Jika Cilia diselimuti oleh tar, maka cilia tidak akan berfungsi dengan baik, kuman dan kotoran akan tinggal di paru-paru yang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit.
2. 3. 3. Tahap-Tahap Menjadi Perokok Dalam Komalasari & Helmi (2000), terdapat 4 tahapan untuk menjelaskan bagaimana seseorang menjadi perokok, yaitu: 1. Tahap Preparatory. Pada tahap ini, seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok, baik dari mendengarkan orang lain atau melihat secara langsung. 2. Tahap Initiation. Tahap ketika seseorang benar-benar merokok untuk pertama kalinya. Di tahap ini juga, mereka akan membuat keputusan untuk meneresukan merokok atau tidak. 3. Tahap becoming a smoker. Apabila seseorang telah merokok empat batang per hari, maka orang tersebut memiliki kecenderungan sebagai perokok.
4. Tahap maintenance of smoking. Pada tahap ini merokok sudah menjadi bagian dari cara pengaturan diri seseorang dalam berbagai situasi dan kesempatan. Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
2. 4. Remaja 2. 4. 1. Definisi Remaja Remaja menurut Santrock (2003) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional, dimulai kira-kira usia 10 sampai 12 tahun dan berakhir usia 18 sampai 22 tahun. 2. 4. 2. Pembagian Remaja Menurut Santrock (2003) masa remaja dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Masa Remaja Awal (early adolescence). Ditujukan pada individu yang berusia 10 sampai 12 tahun. Umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah pertama dan individu ini tengah mengalami banyakperubahan dalam puberitas. Secara tradisional dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, dimana masa itu emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pada masa remaja awal anak berusaha menyesuaikan diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru.
2. Masa Remaja Akhir (late adolescence). Ditujukan pada individu yang berusia diatas 15 tahun dan masa ini berakhir pada usia 18 sampai 22 tahun. Umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah atas atau mahasiswa pada awal tahun perkuliahan. Ciri-ciri emosional akhir yaitu “pemberontakan” karena perubahan dari masa kanak-kanak awal menuju masa kanak-kanak akhir yang mengalami konfilk dengan orang tua mereka, sering kali melamun, dan memikirkan masa depan mereka ingin menjadi apa. 2. 4. 3. Perubahan yang Dialami Remaja Berdasarkan Santrock (2003) perubahan yang dialami oleh remaja dibagi ke dalam tiga domain, yaitu aspek biologis yang ditandai dengan pubertas, aspek kognitif yang ditandai dengan perubahan pola piker, dan aspek sosial-emosional yang meliputi pembentukan hubungan sosial dengan lingkungan.
2. 5. Kerangka Berfikir
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir
Peneliti menggunakan The Negative Feedback Loop sebagai kerangka berpikir dengan asumsi, ketika alasan seorang remaja untuk merokok adalah karena merokok itu keren dan terlihat lebih dewasa, berarti mereka telah membentuk sebuah persepsi mengenai perilaku merokok (Input Function). Tetapi, ternyata mereka sudah mengetahui bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti penyakit pernafasan dan kanker, terutama kematian (reference value). Di sini terjadi proses pembandingan (comparator). Pada tahap pembandingan ini, self-control memiliki peran yaitu membandingkan persepsi yang dia miliki mengenai merokok dengan dampak dari merokok, untuk
menentukan perilaku seperti apa yang harus dilakukannya. Jika hasil dari pembandingan persepsi tersebut adalah meneruskan perilaku merokok, maka keputusannya itu akan berdampak kepada orang disekitarnya, terutama yang tidak merokok (impact on environment). Dampak dari perubahan perilaku ini akan membuat remaja tersebut menghadapi ajakan untuk berhenti merokok (disturbance) dari orang-orang disekitarnya yang tidak setuju akan perilaku merokok. Proses ini akan berhenti saat keinginan mereka untuk berubah telah terpenuhi.