BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Stroke Strok (bahasa Inggris: stroke) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi bio-kimia yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak (Shadine, M., 2010). Kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPD) mengistilahkan stroke sebagai Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO), merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak berupa defisit neurologik atau kelumpuhan saraf (Bustan, M.N., 2007). Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan karena berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba. Jaringan otak yang mengalami hal ini akan mati dan tidak dapat berfungsi lagi. Di dalam praktik, stroke umum digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD). Orang awam cenderung menganggap stroke sebagai penyakit. Sebaliknya, para dokter justru menyebutnya sebagai gejala klinis yang muncul akibat pembuluh darah jantung (kardiovaskular) yang bermasalah, penyakit jantung atau keduanya secara bersamaan (Shadine, M., 2010). Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global) yang berlangsung dengan cepat atau berlangsung lebih dari 24 jam yang berakhir dengan cacat atau kematian (Shadine, M., 2010; Bustan, M.N., 2007).
9
Universitas Sumatera Utara
10
Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau
belum pernah
didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan (Kemenkes RI, 2014). 2.2 Anatomi Pembuluh Darah Otak Otak merupakan organ vital yang bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual seperti berfikir, menafsirkan apa yang diterima oleh indra kita serta mengontrol gerakan-gerakan sadar kita. Otak terdiri dari 2 belahan otak besar, serebrum yang dihubungkan oleh struktur seperti jembatan yang disebut korpus kalosum, 2 belahan otak kecil, serebelum, yang dihubungkan oleh vermis dan batang otak yang terdiri dari bawah ke atas terdiri dari medulla oblongata, pons varoli, mesensefalon dan diensefalon menyambung ke otak besar. Medulla oblongata ke bawah menyambung ke sumsum belakang (Markam, S., 2003). Terdapat dua hemisfer serebri, yaitu hemisfer serebri sinistra (kiri) dan hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri sinistra berfungsi dalam mengendalikan gerakan sisi kanan tubuh, bicara, berhitung dan menulis, sedangkan hemisfer serebri dextra berfungsi dalam mengendalikan gerakan sisi kiri tubuh, perasaan, kemampuan seni dan keterampilan (Thomas, J., 1995; Markam, S., 2003).
Universitas Sumatera Utara
11
Berat otak seluruhnya sekitar 2,5% dari berat badan total. Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Arteri adalah pembuluh yang mengangkut darah yang kaya oksigen dan nutrient seperti glukosa ke otak. Vena adalah pembuluh yang membawa darah yang telah digunakan dan zat sisa menjauhi otak. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 1.00 miliar, tetapi jumlah koneksi diantara berbagai neuron berbeda-beda. Pasokan aliran darah ke otak dilakukan oleh dua pembuluh arteri utama, yaitu sepasang arteri karotis interna dan sepasang arteri vertebrobasilaris (Junaidi, I., 2004). Otak merupakan organ tubuh yang paling banyak menerima darah dari jantung. Otak membutuhkan banyak oksigen yaitu 20% dari oksigen tubuh. Dalam keadaan normal darah yang mengalir ke dalam otak adalah 50-60 ml/1.00 gram jaringan otak/ menit, selain itu otak juga memerlukan 70% glukosa yang tersedia. Otak masih dapat bekerja dengan normal bila suplai oksigen terganggu selama 8-10 detik, setelah waktu tersebut terjadi gangguan pada peredaran darah otak. Kekurangan glukosa tidak begitu mengkuatirkan dibandingkan dengan kekurangan oksigen, karena otak masih dapat berfungsi dengan baik dengan kekurangan glukosa selama 30-60 menit. Oleh karena itu, masa hidup jaringan otak yang menghadapi kekurangan oksigen cukup singkat. Hal ini berarti jaringan otak akan mudah mati jika pasokan aliran darah terhenti atau tersumbat (Thomas, J., 1995; Ginanjar, G., 2009). 2.3 Klasifikasi Stroke Stroke dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik/iskemik.
Universitas Sumatera Utara
12
2.3.1 Stroke Hemoragik Pada stroke hemoragik (pendarahan), pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Meski kasusnya lebih sedikit, stroke hemoragik lebih sering menyebabkan kematian sekitar 50%, sedangkan pada kasus iskemik hanya sekitar 20%. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. Menurut WHO tahun 1998, dalam International Statistical Classification of Disease and Related Health Problem 10th, stroke hemoragik dibagi atas: 1. Perdarahan Intraserebral (PIS) Perdarahan Intraserebral (PIS) primer meliputi 10% dari seluruh kasus stroke, terjadi di hemisfer serebri (80%) dan batang otak serta serebelum (20%). Perdarahan Intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam otak karena adanya pembuluh darah yang pecah sehingga darah keluar dan masuk ke jaringan dalam otak dan menyerap ke dalamnya. Perdarahan Intraserebral terutama disebabkan oleh hipertensi. Selain itu, beberapa faktor penyebab lainnya adalah aneurisma, hemoragik yang menyertai embolus, penyakit darah seperti leukemia, hemophilia, trombositopenia, gangguan koagulasi (akuisita atau oleh obat), tumor otak (primer dan metastasis) (Smeltzer, C; Brenda G.B, 2001). 2. Perdarahan Subaraknoid (PSA) Perdarahan subaraknoid (PSA) adalah perdarahan yang terjadi di ruang subaraknoid (ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak. Penyebab utamanya adalah pecahnya aneurisma intrakrania
Universitas Sumatera Utara
13
sehingga darah masuk ke dalam jaringan otak, merusak neuron sehingga bagian yang terkena tidak dapat berfungsi dengan benar (Sudoyo, A.W., dkk. 2007). 2.3.2 Stroke Iskemik Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini. Secara non hemoragik/ iskemik, stroke dapat dibagi berdasarkan proses patologik (kausal) dan manifestasi klinik (Ginsberg, L., 2008). 1. Berdasarkan Kausal a. Stroke Trombotik Stroke trombotik merupakan jenis stroke yang disebabkan adanya penyumbatan akibat terbentuknya trombus yang terbentuk pada dinding arteri otak yang menyebabkan penggumpalan. Jika trombosis ini terjadi di dalam pembuluh darah menuju otak, maka bekuan darah tadi menyumbat aliran darah yang akan mensuplai otak sehingga terjadi stroke iskemik. Trombotik/trombosis ini dapat terjadi akibat proses penyempitan pembuluh nadi otak (arteriosklerosis), dapat juga ditimbulkan oleh tekanan darah tinggi, kolesterol, diabetes serta kadar lemak yang tinggi dalam darah (Lumbantobing, S.M., 2001) . b. Stroke Emboli Stroke emboli merupakan jenis stroke yang disebabkan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah yang terbentuk di tempat lain, misalnya dalam jantung atau salah satu pembuluh nadi utama yang memperdarahi otak dan terlepas dari tempatnya melekat kemudian membentuk embolus, terbawa darah ke
Universitas Sumatera Utara
14
dalam otak dan akhirnya macet di dalam salah satu pembuluh nadi otak (Ginsberg, L., 2008). 2. Berdasarkan Manifestasi Klinis a. Transient Ischaemic Attack (TIA) Merupakan stroke yang ringan, gejala neurologik timbul dan menghilang dalam jangka waktu kurang dari 24 jam yang disebabkan oleh iskemik otak. b. Reversibel Ischaemic Neurological Deficit (RIND) Gejala neurologis yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu. c. Stroke in Evolution Kelainan neurologis yang menunjukkan perburukan secara tahap demi tahap dalam waktu beberapa jam. d. Complete Stroke Kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi yang timbul dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam yang diakibatkan oleh kurangnya atau tidak adanya aliran darah pada salah satu arteri otak atau cabangcabangnya secara mendadak. 2.4 Gejala-Gejala Stroke 2.4.1 Gejala Stroke Hemoragik a. Gejala Perdarahan Intraserebral Gejala klinis perdarahan intraserebral ini beragam, defisit neurologis timbul mendadak dan memburuk dengan cepat (dalam beberapa menit atau jam), sering sampai koma, nyeri kepala berat, nausea dan muntah. Dengan pemeriksaan CT Scan ditunjukkan bahwa pasien dengan perdarahan yang kecil gejalanya dapat
Universitas Sumatera Utara
15
serupa dengan pasien infark otak. Gejala atau defisit yang banyak berkurang selama 24 jam pertama hampir selalu disebabkan oleh iskemia daripada hemoragik. Penyebab yang paling penting dari perdarahan pada lansia setelah hipertensi ialah hemoragik yang menyertai embolus, robeknya aneurisma, malformasi vascular, tumor, gangguan koagulasi (akuisita atau oleh obat) dan idiopatis (Lumbantobing, S.M., 2004) b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid Pada penderita perdarahan subarakhnoid akan dijumpai gejala seperti penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, nyeri di kuduk dan punggung, rasa enek, mual, muntah, fotofobia dan gejala intrakranial yang meninggi (Lumbantobing, S.M., 2004) 2.4.2 Gejala Stroke Iskemik Gejala-gejala dapat muncul untuk sementara, lalu menghilang atau lalu memberat bahkan ada yang menetap atau permanen. Gejala ini muncul akibat daerah otak tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala yang muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu (Sudoyo, A.W., dkk. 2007) dibedakan atas: a.Gejala Penyumbatan Arteri Serebri Anterior (otak bagian depan) 1. Kelumpuhan pada salah satu tungkai dan gangguan saraf perasa 2. Pingsan secara tiba-tiba 3. Tidak sadar buang air kecil 4. Secara tidak sadar ikut-ikutan meniru omongan orang lain 5. Sulit untuk mengungkapkan maksud hati
Universitas Sumatera Utara
16
b. Gejala Penyumbatan Arteri Serebri Media (otak bagian tengah) 1. Dapat terjadi gangguan gerak/ kelumpuhan dari tingkat ringan sampai kelumpuhan total pada lengan dan tungkai 2. Gangguan untuk berbicara baik berupa sulit untuk mengeluarkan kata-kata atau sulit mengerti pembicaraan orang lain (afasia) 3. Gangguan penglihatan dapat berupa kebutaan satu sisi, atau separuh lapangan pandangan (hemianopsia) 4. Tidak dapat membedakan antara kiri dan kanan 5. Tidak mengenal orang-orang yang pernah dikenalnya sebelumnya 6. Sudah tampak tanda-tanda kelainan namun tak sadar kalau dirinya mengalami kelainan
(misalnya, jalan
sudah menabrak-nabrak
tapi
mengatakan tak apa-apa) c. Gejala Penyumbatan Arteri Serebri Posterior (otak bagian belakang) 1. Kebutaan seluruh lapangan pandangan satu sisi atau separuh lapang pandang pada kedua mata, bila bilateral disebut cortial blindness 2. Rasa nyeri spontan atau hilangnya rasa nyeri dan rasa getar pada separuh sisi tubuh 3. Kesulitan memahami barang yang dilihat, namun dapat mengerti jika meraba atau mendengar suaranya 4. Kehilangan kemampuan mengenal warna d. Gejala pada Pembuluh Darah Vertebrobasilaris 1. Gangguan gerak bola mata, hingga terjadi diplopia jalan menjadi sempoyongan 2. Kehilangan keseimbangan
Universitas Sumatera Utara
17
3. Kedua kaki lemah/ hipotoni, tak dapat berdiri (paraparesis inferior) 4. Vertigo, nistagmus dan muntah 2.5 Onset Serangan Penderita yang mengalami stroke sebaiknya langsung dibawa ke rumah sakit agar dapat diberikan penanganan yang optimal. Penyumbatan akibat emboli, kerusakan sel dimulai setelah 3-6 jam dan penyumbatan akibat trombosis yang timbul secara pelan-pelan, kerusakan sel mulai 8-12 jam. Semakin cepat pertolongan diberikan semakin baik hasil yang dicapai, sebaiknya jangan sampai lewat 6 jam sejak terjadinya stroke. Obat-obatan seperti kalsium antagonis, antikoagulansia, obat penghancur trombus akan memberikan hasil yang lebih baik bila diberikan lebih dini (Ginsberg, L., 2008). 2.6 Stroke Berulang Stroke berulang adalah gangguan neurologis yang terjadi akibat kurangnya suplai darah ke otak setelah sebelumnya pernah mengalami stroke. Data epidemiologi menyebutkan risiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah 30% dan populasi yang pernah menderita stroke memiliki kemungkinan serangan ulang adalah 9 kali dibandingkan populasi normal. Menurut Jacob (2001) yang dikutip oleh Ratnasari (2014) diperkirakan 25% orang yang sembuh dari stroke yang pertama akan mendapatkan stroke berulang dalam kurun waktu 1-5 tahun. Perth Community Stroke Study menyatakan kematian pada 30 hari setelah stroke berulang adalah 41% yang secara signifikan lebih besar daripada kasus kematian pada 30 hari setelah stroke pertama kalinya (20%). Berdasarkan studi tersebut terlihat bahwa serangan stroke berulang memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dari serangan pertama.
Universitas Sumatera Utara
18
2.7 Letak Kelumpuhan Untuk dapat melakukan kegiatan sehari-hari, semua alat-alat tubuh harus bekerja sama dengan rapi. Ini dapat berjalan karena ada alat yang mengaturnya, yaitu otak dan sambungannya sumsum tulang belakang atau medula spinalis. Setiap bagian dari otak menangani fungsi yang spesifik seperti untuk memori, berfikir kreatif, berbicara, memahami pembicaraan dan menuliskan kata, kemampuan-kemampuan motorik (gerakan) dan sebagainya. Apabila sel-sel otak bagian tertentu mengalami kerusakan atau hancur, tentunya akan sekaligus berpengaruh terhadap fungsi spesifik yang diembannya, karena gangguan peredaran darah otak atau stroke ini dapat mengakibatkan kelumpuhan (Markam, S., 2003). 2.7.1 Kelumpuhan sebelah Kiri (Hemiparesis Sinistra) Apabila stroke merusak belahan otak sebelah kanan (hemisfer serebri dextra) maka sisi tubuh yang sebelah kiri yang terkena pengaruhnya. Penderita dengan kelumpuhan sebelah kiri sering memperlihatkan ketidakmampuan persepsi visuomotor, yaitu tidak mampu menggambar atau membuat copy gambar dan tidak mampu mengenakan pakaian (apraksia). Penderita juga mengalami gangguan visuospasial, yaitu gangguan pengenalan tempat dan pengenalan wajah. Penderita
mengalami pelemahan ingatan dan menunjukkan perilaku yang
impulsif, seringkali salah satu sisi tubuhnya terabaikan, dalam hal ini penderita tidak lagi menyadari keberadaan sisi sebelah kiri tubuhnya yang disebut juga sebagai hemineglect. Dia mungkin tanpa menyadarinya menangkap lengannya sendiri yang berada di atas roda kursi rodanya, atau bertanya-tanya kaki siapakah yang ada di sebelahnya saat dia tidur di atas tempat tidur (Shimberg,1998).
Universitas Sumatera Utara
19
2.7.2 Kelumpuhan sebelah Kanan (Hemiparesis Dextra) Apabila serangan stroke menyerang belahan otak sebelah kiri (hemisfer serebri sinintra) dapat mengakibatkan kelumpuhan atau kelemahan motorik (daya gerak otot) yang ada pada sisi tubuh sebelah kanan, juga menunjukkan perilaku yang penuh kehati-hatian dan mengalami kesulitan-kesulitan dalam berbahasa (afasia), kehilangan kemampuan berhitung (aleksia) namun persepsi dan memori visuomotornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus dengan cermat diperlihatkan tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi kita harus lebih banyak menggunakan body language (bahasa tubuh) (Shimberg,1998). 2.7.3 Kelumpuhan Kedua Sisi (Hemiparesis Duplex) Karena adanya sclerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi pada dua sisi belahan otak hemisfer serebri yang mengakibatkan kelumpuhan satu sisi diikuti sisi lain. Timbul gangguan pseudobulber (biasanya hanya pada vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegi dupleks, sukar menelan, sukar berbicara dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami hipereduksi (Shimberg, 1998). 2.8 Epidemiologi Stroke 2.8.1 Berdasarkan Orang Pria memiliki kecenderungan lebih besar terkena stroke pada usia dewasa awal dibandingkan dengan wanita, tetapi para wanita akan menyusul setelah mereka mencapai menopause. Insiden stroke lebih tinggi terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rata-rata 25-30%. Namun kematian akibat stroke lebih banyak dijumpai pada perempuan karena umumnya perempuan terserang
Universitas Sumatera Utara
20
stroke pada usia yang lebih tua. Stroke dapat ditemukan pada semua golongan umur, akan tetapi sebagian besar ditemukan pada golongan umur di atas 55 tahun. Usia yang rentan menderita stroke adalah lanjut usia (lansia) karena dengan seiringnya waktu, tekanan darah cenderung meningkat atau hipertensi sebagai salah satu faktor risiko utama terjadinya stroke. Dalam hal ini secara demografi struktur umur penduduk Indonesia bergerak ke arah struktur penduduk yang semakin menua (ageing population). Peningkatan umur harapan hidup (UHH) akan menambah jumlah lanjut usia (lansia) yang akan berdampak pada pergeseran pola penyakit di masyarakat dari penyakit infeksi ke penyakit degenerasi. Penyakit degenerasi akan menambah tingginya angka penyakit tidak menular (Shadine, M., 2010; Noor, N., 2008). Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga kesehatan serta yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1‰ dan 67,0‰). Prevalensi
stroke
yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun berdasarkan
diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis tenaga kesehatan (16,5‰) maupun diagnosis tenaga kesehatan atau gejala (32,8‰). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis tenaga kesehatan (11,4‰) maupun yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala (18‰) ( Kemenkes RI, 2014). 2.8.2 Berdasarkan Tempat Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah tangga di 33 provinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian
Universitas Sumatera Utara
21
utama pada usia >45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil (Kemenkes RI, 2014). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (8,2‰) maupun berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala (12,7‰) (Kemenkes RI, 2014). Menurut Susalit yang dikutip oleh Yeni,Y., dkk (2009) saat ini terdapat kecenderungan pada masyarakat perkotaan lebih banyak menderita stroke dibandingkan masyarakat pedesaan. Hal ini antara lain dihubungkan dengan adanya gaya hidup masyarakat kota yang berhubungan dengan risiko hipertensi, stress, obesitas, kurangnya olahraga, merokok, alkohol dan makan-makanan yang tinggi kadar lemaknya. Perubahan gaya hidup seperti perubahan pola makan siap saji yang mengandung banyak lemak, protein dan garam tinggi tetapi rendah serat pangan membawa konsekuensi sebagai salah satu faktor berkembangnya penyakit degeneraif salah satunya adalah stroke. 2.8.3 Berdasarkan Waktu Pada tahun 2013 jumlah penderita penyakit stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebanyak 1.236.825 orang (7,0%), sedangkan berdasarkan diagnosis/gejala sebanyak 2.137.941 orang (12,1%). Berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan maupun diagnosis/gejala, provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak 238.001 orang (7,4%) dan 533.895 orang (16,6%), sedangkan provinsi Papua Barat memiliki jumlah penderita paling
Universitas Sumatera Utara
22
sedikit yaitu sebanyak 2.007 orang (3,6%) dan 2.955 orang (5,3%) (Kemenkes RI, 2014). 2.9 Patofisiologi Stroke Otak merupakan jaringan yang memiliki tingkat metabolisme paling tinggi. Meskipun yang dimiliki hanya sekitar 2,5% dari massa keseluruhan tubuh, jaringan otak menggunakan hingga 20% dari total curah jantung. Aliran darah yang membawa glukosa dan oksigen ke otak sangat penting bagi kehidupan dan metabolisme sel-sel otak. Sel otak yang tidak dialiri darah yang membawa glukosa dan oksigen dapat rusak bahkan menjadi mati. Ada beberapa kelainan yang diduga merupakan penyebab stroke pada dewasa muda, akan tetapi aterosklerosis Aterosklerosis
diduga
sebagai
merupakan
penyebab
bentuk
primer
pengerasan
dari
penyakit
pembuluh
darah
stroke. arteri.
Aterosklerosis merupakan kumpulan perubahan patologis pada pembuluh darah arteri, seperti hilangnya elastisitas dan menyempitnya lumen pembuluh darah. Aterosklerosis ini merupakan respon normal terhadap injury yang terjadi pada lapisan endotel pembuluh darah arteri. Proses aterosklerosis ini lebih mudah terjadi pada pembuluh darah arteri karena arteri lebih banyak memiliki sel otot polos dibandingkan vena, dan sel otot polos tadi lebih banyak membentuk kumpulan plak aterosklerosis. Proses aterosklerosis ditandai oleh penimbunan lemak yang terjadi secara lambat pada dinding-dinding arteri yang disebut plak, sehingga dapat memblokir atau menghalangi sama sekali aliran darah ke jaringan. Bila sel-sel otot arteri tertimbun lemak maka elastisitasnya akan menghilang dan kurang dapat mengatur tekanan darah. Akibat lain dari aterosklerosis ini adalah terbentuknya bekuan darah atau trombus yang melekat pada dinding arteri dan
Universitas Sumatera Utara
23
dapat menyebabkan sumbatan yang lebih berat. Apabila bagian trombus tadi terlepas dari dinding arteri dan ikut terbawa aliran darah menuju ke arteri yang lebih kecil, maka hal ini dapat menyebabkan sumbatan pada arteri tersebut. Bagian dari trombus yang terlepas tadi disebut emboli. Proses aterosklerosis ini dapat terjadi di semua pembuluh darah organ tubuh, baik pembuluh darah ke jantung, ginjal maupun otak. Oleh karena itu, aterosklerosis dapat mengakibatkan serangan jantung, hipertensi dan stroke. Serangan stroke ini dapat terjadi apabila proses penyempitan atau aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang menuju ke otak (Wahjoepramono, E.J., 2005). Arteri yang lebih mudah terkena kerusakan akibat proses aterosklerosis ini adalah aorta, arteri koronaria dan arteri-arteri yang mensuplai otak dan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa betapa mudahnya aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mensuplai otak, sehingga dapat mengakibatkan stroke. Risiko aterosklerosis ini berhubungan dengan kadar LDL dalam darah yang meningkat, yang berasal dari katabolisme VLDL dan mengangkut 70% kolesterol serum total. Risiko berhubungan terbalik dengan kadar HDL, karena HDL membantu membersihkan kolesterol dari dinding pembuluh darah. Prevalensi aterosklerosis pada arteri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, maka tidak mengherankan jika stroke pada usia dewasa muda yang disebabkan oleh aterosklerosis lebih banyak terjadi pada usia >30 tahun. Serangan stroke dapat terjadi secara fokal (sebagian) maupun global (keseluruhan) pada otak. Gejala fokal dan tanda-tanda gangguan fungsi otak pada stroke akan muncul sesuai dengan area dari jaringan otak yang mengalami gangguan aliran darah. Pada sebagian besar kasus stroke iskemik dapat diperoleh
Universitas Sumatera Utara
24
informasi yang jelas mengenai lokasi di lesi bagian otak., akan tetapi pada stroke hemoragik seringkali terjadi berbagai komplikasi perdarahan otak yang menyebabkan gangguan fungsi otak juga di daerah selain daerah yang terjadi perdarahan. Komplikasi ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intra kranial, edema otak, kompresi jaringan otak dan pembuluh darah dan terdispersinya darah yang keluar ke berbagai arah. Oleh karena itu, gejala fokal terlokalisasi biasanya terjadi pada stroke iskemik, sedangkan pada stroke hemoragik gejala fokal tidak begitu jelas terlihat dan kurang memberikan prediksi lokal tertentu. 2.10 Faktor Risiko Stroke Stroke merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor risiko atau biasa disebut multikausal. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stroke dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Interaksi faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan penyakit-penyakit pendukung atau penyakit yang dapat memperberat faktor risiko untuk terkena stroke (Wahjoepramono, E.J., 2005) 2.10.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak dapat dilakukan intervensi, karena sudah merupakan karakteristik dari seseorang dari awal mula kehidupannya. Berikut ini merupakan faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi. 1. Usia Usia merupakan faktor risiko stroke, dimana stroke dapat menyerang semua usia namun semakin bertambah umur seseorang maka semakin lebih berisiko terkena stroke. Setelah berusia 55 tahun, risikonya berlipat ganda setiap
Universitas Sumatera Utara
25
kurun waktu sepuluh tahun. Dua pertiga dari semua serangan stroke terjadi pada orang yang berusia di atas 65 tahun (Shadine, M., 2010). 2. Jenis Kelamin Kejadian stroke diamati lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada wanita, tetapi penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih banyak wanita yang meninggal karena stroke. Risiko stroke pria 1,25 lebih tinggi daripada wanita, tetapi serangan stroke pada pria terjadi di usia lebih muda sehingga tingkat kelangsungan hidup juga lebih tinggi. Dengan perkataan lain, walau lebih jarang terkena stroke pada umumnya wanita terserang pada usia lebih tua, sehingga kemungkinan risiko meninggal lebih besar terjadi pada wanita (Junaidi, I., 2004). 3. Riwayat Penyakit Keluarga Stroke terkait dengan keturunan. Riwayat penyakit keluarga sebagai faktor genetik yang sangat berperan dengan kejadian stroke antara lain tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes dan cacat pada pembuluh darah. Gaya hidup dan pola suatu keluarga juga dapat mendukung risiko terjadinya serangan stroke. Cacat pada bentuk pembuluh darah (cadasil) mungkin faktor genetik yang paling berpengaruh dibandingkan faktor risiko stroke yang lain (Shadine, M., 2010). 4. Ras/ suku Orang kulit hitam, hispanik Amerika, Cina dan Jepang memiliki insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih (Wahjoepramono, E.J., 2005). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan yang lebih banyak mengandung kolesterol (Depkes, 2007).
Universitas Sumatera Utara
26
2.10.2 Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi 1. Tekanan Darah Tekanan darah merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam kejadian stroke. Tekanan darah yang tinggi atau lebih sering dikenal dengan istilah hipertensi merupakan faktor risiko utama, baik pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Tekanan darah terdiri dari dua komponen yang disebut tekanan sistolik dan diastolik. Apabila tekanan darah sistolik melebihi 160 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg maka tekanan darah yang demikian tadi harus benar-benar diwaspadai. Hal ini disebabkan oleh hipertensi memicu proses aterosklerosis oleh karena tekanan yang tinggi dapat mendorong Low Density Lipprotein (LDL) kolesterol untuk lebih mudah masuk ke dalam lapisan intima lumen pembuluh darah dan menurunkan elastisitas dari pembuluh darah tersebut (Lumongga F., 2007). Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak, dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian. Penderita hipertensi memiliki faktor risiko stroke 4-6 kali lipat dibandingkan orang yang tanpa hipertensi, sekitar 40-90% pasien stroke ternyata menderita hipertensi sebelum terkena stroke. Pada hasil Farmingham Study ditemukan bahwa hipertensi lebih sering ditemukan 1,5 kali lebih banyak pada stroke dibandingkan dengan yang tanpa hipertensi (Bustan, M.N., 2007). Pada penelitian oleh 187.000 dokter, peningkatan tekanan darah
Universitas Sumatera Utara
27
sistolik perbatasan (140-159 mmHg) berhubungan dengan peningktan kejadian stroke sebanyak 42% (Lawrence dkk, 2002) Pemeriksaan tekanan darah merupakan cara mudah untuk mendeteksi ada tidaknya hipertensi pada seseorang. Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian diperoleh bukti yang jelas bahwa pengendalian hipertensi baik sistolik, diastolik maupun keduanya menurunkan angka kejadian stroke. Pengendalian hipertensi tidak cukup dengan minum obat teratur, faktor-faktor lainnya yang sekiranya berkaitan dengan hipertensi harus diperhatikan pula. Penurunan berat badan yang berlebihan, minum obat-obatan anti hipertensi, diet rendah garam dan olah raga secara teratur akan menambah tingkat keberhasilan pengendalian hipertensi (Shadine, M., 2010). 2. Penyakit Jantung Penyakit atau kelainan pada jantung dapat mengakibatkan iskemia pada otak terutama penyakit yang disebut atrial fibrillation, yakni penyakit jantung dengan denyut jantung yang tidak teratur di bilik kiri atas. Denyut jantung di atrium kiri ini mencapai empat kali lebih cepat dibandingkan di bagian-bagian lain jantung. Ini menyebabkan aliran darah menjadi tidak teratur dan secara insidentil terjadi pembentukan gumpalan darah. Gumpalan-gumpalan inilah yang kemudian dapat mencapai otak dan menyebabkan stroke pada orang-orang berusia di atas 80 tahun, atrial fibrillation merupakan penyebab utama kematian pada satu di antara kasus stroke (Hull, 1993). Penyakit jantung lainnya adalah cacat pada bentuk katup jantung (mitral valve stenosis atau mitral valve calcification). Juga cacat pada bentuk otot jantung, misalnya PFO (patent foramen ovale) atau lubang pada dinding jantung
Universitas Sumatera Utara
28
yang memisahkan kedua bilik atas. Secara alami gumpalan darah biasanya disaring dalam paru-paru, tetapi karena berlubang dinding jantung dapat meloloskan gumpalan darah itu sehingga tidak melalui paru-paru tetapi langsung menuju pembuluh di otak sehingga menyebabkan stroke. Cacat katup jantung lainnya adalah ASA (atrila septal aneurysm) atau cacat bentuk kongenital pada jaringan jantung, yakni penggelembungan dinding jantung ke arah salah satu bilik jatung. PFO dan ASA seringkali terjadi bersamaan sehingga memperbesar risiko stroke. Seseorang dengan penyakit atau kelainan pada jantung mendapatkan risiko untuk terkena stroke lebih tinggi 3 kali lipat dari orang yang tidak memiliki penyakit atau kelainan jantung (Shadine, M., 2010). 3. Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke. Diabetes melitus digolongkan menjadi dua tipe, yaitu diabetes tipe 1 (akibat insulin absolute akibat destruksi sel beta yang disebabkan oleh autoimun ataupun idiopatik) dan diabetes tipe 2 (defisiensi insulin relative yang disebabkan oleh defek sekresi insulin lebih dominan daripada resistensi insulin atapun dapat sebaliknya). Diabetes melitus tipe 2 lebih dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang (Depkes, 2008). Menurut WHO seseorang disebut sebagai penderita diabetes melitus apabila kadar glukosa darah vena dalam keadaan puasa lebih dari 140 mg/dl dan kadar glukosa darah vena 2 jam setelah diberi minum 75 mg glukosa lebih dari 200 mg/dl. Kadar glukosa darah utuh (whole blood) biasanya 15% lebih rendah daripada kadar glukosa plasma. Sementara itu kadar glukosa darah kapilaris biasanya lebih tinggi 7-10% dibandingkan dengan kadar glukosa darah vena.
Universitas Sumatera Utara
29
Penderita diabetes melitus memiliki risiko tiga kali lipat terkena stroke dan mencapai tingkat tertinggi pada usia 50-60 tahun. Setelah itu, risiko tersebut akan menurun, namun ada faktor penyebab lain yang dapat memperbesar risiko stroke karena sekitar 40% penderita diabetes pada umumya juga mengidap hipertensi (Shadine, M., 2010). 4. Hiperkolesterolemia Meningginya kadar kolesterol dalam darah disebut hiperkolesterolemia. Kadar kolesterol di bawah 200 mg/dl dianggap aman, sedangkan di atas 240 mg/dl sudah berbahaya dan menempatkan seseorang pada risiko terkena penyakit jantung dan stroke ((Wahjoepramono, E.J., 2005). Kolesterol LDL berfungsi membawa kolesterol dari hati ke dalam sel. Jika kadar kolesterol ini tinggi dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan kolesterol di dalam sel yang dapat memicu terjadinya pengerasan dinding pembuluh darah arteri yang disebut sebagai proses aterosklerosis. Kolesterol HDL memiliki kerja yang berlawanan dengan kolesterol LDL, yaitu membawa kolesterol dari sel ke hati. Kadar HDL yang rendah justru memiliki efek buruk, memicu timbulya pembentukan plak di dinding pembuluh darah arteri. Peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit jantung seperti ini merupakan faktor risiko terjadinya serangan stroke. Oleh karena itu pemeriksaan kadar kolesterol darah sangat penting dilakukan, karena tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke (Shadine, M., 2010).
Universitas Sumatera Utara
30
5. Obesitas Obesitas adalah kondisi dimana Body Mass Indec (BMI) ≥ 31 kg/m2. Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan sebesar 20% dari berat badan idealnya. Obesitas merupakan faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler dan stroke. Hal ini disebabkan keadaan obesitas berhubungan dengan tingginya tekanan darah dan kadar gula darah. Jika seseorang memiliki berat badan berlebih maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Orang obesitas akan meningkatkan risiko stroke karena obesitas merupakan faktor risiko untuk terjadinya hipertensi, penyakit jantung, ateriosklerosis dan diabetes melitus (Wahjoepramono, E.J., 2005). 6. Merokok Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan untuk meningkatkan risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih berisiko untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan orang yang tidak merokok. Hal ini disebabkan oleh zat-zat kimia beracun dalam rokok, seperti nikotin dan karbonmonoksida yang dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan kerusakan pada sistem kardiovaskuler melalui berbagai macam mekanisme tubuh. Rokok juga berhubungan dengan meningkatnya kadar fibrinogen (faktor penggumpal darah), peningkatan agregasi trombosit, menurunnya HDL dan meningkatnya hematokrit yang dapat mempercepat proses aterosklerosis yang menjadi faktor risiko untuk terkena stroke. Nikotin dalam rokok menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang dapat mengakibatkan naiknya tekanan darah. Arteri juga mengalami
Universitas Sumatera Utara
31
penyempitan dan dinding pembuluh darah menjadi mudah robek yang mengakibatkan produksi trombosit meningkat sehingga darah mudah membeku. Selain itu, merokok dapat mengakibatkan hal buruk bagi lemak darah dan menurunkan kadar HDL dalam darah. Semua efek nikotin dari rokok dapat mempercepat proses aterosklerosis dan penyumbatan pada pembuluh darah. Karbonmonoksida dari rokok juga dapat mengurangi jumlah oksigen yang dibawa oleh darah, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara oksigen yang dibutuhkan dengan oksigen yang dibawa oleh darah (Stroke Association, 2010). Rokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark jantung terutama kaum pria. Apabila dibandingkan dengan yang bukan perokok, maka perokok mempunyai faktor risiko dua kali lipat untuk mengalami jantung koroner. Penyakit ini dapat mengakibatkan mati mendadak maupun stroke (Junaidi, I., 2004). 7. Konsumsi Alkohol Berlebihan Secara umum peningkatan konsumsi alkohol meningkatkan tekanan darah sehingga memperbesar risiko stroke, baik yang iskemik maupun hemoragik. Konsumsi alkohol yang tidak berlebihan dapat mengurangi daya penggumpalan platelet dalam darah, seperti halnya asnirin. Dengan demikian, konsumsi alkohol yang cukup justru dianggap dapat melindungi tubuhnya dari bahaya stroke iskemik (Shadine, M., 2010). Pada edisi 18 November, 2000 dari The New England Journal of Medicine, dilaporkan bahwa Physicians Health Study memantau 22.000 pria yang selama rata-rata 12 tahun mengkonsumsi alkohol satu kali sehari ternyata hasilnya menunjukkan adanya penurunan risiko stroke secara menyuluruh. Klaus Berger
Universitas Sumatera Utara
32
M.D. dari Brigham and Women`s Hospital di Boston beserta rekan-rekan juga menemukan bahwa manfaat ini masih terlihat pada konsumsi seminggu satu minuman. Walaupun demikian, disiplin menggunakan manfaat alkohol dalam konsumsi cukup sulit dikendalikan dan efek samping alkohol justru lebih berbahaya (Shadine, M., 2010). 8. Stress Stress dan kecemasan memengaruhi fungsi biologis tubuh. Pada saat stress peningkatan respon saraf simpatik memicu peningkatan tekanan darah dan terkadang disertai dengan kadar kolesterol darah, sehingga orang yang mudah stress akan berisiko terkena hipertensi dibandingkan seseorang yang tidak mudah mengalami stress. Selain itu jika stress berkombinasi dengan faktor risiko lain seperti ateriosklerosis berat, penyakit jantung akan memicu dan membuat risiko penderita stroke semakin berat. Stress meningkatkan risiko terkena stroke hampir dua kali lipat (Notoatmodjo, S., 2011). 9. Infeksi Di Indonesia infeksi masih merupakan penyakit yang sangat mengganggu kesehatan masyarakat. Infeksi virus maupun bakteri dapat bergabung dengan faktor risiko lain dan membentuk risiko terjadinya stroke. Di antara sekian banyak penyakit infeksi maka yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke adalah tuberculosis, malaria, lues, leptospirosis dan infestasi cacing. Secara alami, sistem kekebalan tubuh biasanya melakukan perlawanan terhadap infeksi dalam bentuk meningkatkan peradangan dan sifat penangkalan infeksi pada darah. Sayangnya, reaksi kekebalan ini juga meningkatkan faktor penggumpalan dalam darah yang memicu risiko stroke embolik-sistemik (Shadine, M., 2010).
Universitas Sumatera Utara
33
11. Cedera Kepala dan Leher Cedera pada kepala atau cedera otak traumatik dapat menyebabkan pendarahan di dalam otak dan menyebabkan kerusakan yang sama seperti pada stroke hemoragik. Cedera pada leher, bila terkait dengan robeknya tulang punggung atau pembuluh karotid akibat peregangan atau pemutaran leher secara berlebihan atau adanya tekanan pada pembuluh merupakan penyebab stroke yang cukup berperan terutama pada orang dewasa usia muda (Shadine, M., 2010). 12. Penggunaan Kontrasepsi Oral Faktor risiko stroke ini berkaitan dengan terjadinya fluktuasi dan perubahan hormonal yang memengaruhi seorang wanita dalam berbagai tahapan dalam kehidupannya. Peneliti memerlihatkan bahwa kontrasepsi oral jenis lama dengan kandungan estrogen yang tinggi dapat memperbesar risiko stroke pada wanita, tetapi kontrasepsi oral jenis baru dengan kandungan estrogen lebih rendah secara nyata tidak meningkatkan risiko stroke pada wanita (Shadine, M., 2010). 2.11 Pencegahan Stroke Tujuan umum pencegahan stroke adalah menurunkan kecacatan dini, kematian serta memperpanjang hidup dengan kualitas yang baik. Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu; 2.11.1 Pencegahan Primordial Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Sasaran
dari
pencegahan primordial adalah orang-orang yang masih sehat dan belum memiliki faktor risiko timbulnya kejadian stroke. Contohnya dengan menjaga pola makan
Universitas Sumatera Utara
34
sehat dan teratur, mempertahankan berat badan ideal, tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol dan memperbanyak aktivitas fisik diawali dengan berjalan kaki dan berolahraga secara teratur (Bustan, M.N., 2007). 2.11.2 Pencegahan Primer Tujuan pencegahan primer adalah mencegah atau mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi individu yang sudah mempunyai faktor risiko. Sasarannya adalah orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi yaitu orang-orang yang belum terkena stroke, tetapi berpotensi untuk menderita terjadinya stroke. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain (Bustan, M.N., 2007): 1. Menghindari: rokok, stress mental, minum kopi dan alkohol, obesitas dan golongan obat-obatan yang dapat memengaruhi cerebrovaskuler (amfetamin, kokain dan sejenisnya). 2. Mengurangi: asupan lemak, kalori, garam dan kolesterol yang berlebihan. 3. Mengontrol atau mengendalikan: hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung dan aterosklerosis, kadar lemak darah, konsumsi makanan seimbang, serta olahraga teratur 3-4 kali seminggu. 4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penemuan dini faktor risiko penyakit tidak menular (PTM), yaitu dengan mengikuti program pemerintah salah satunya adalah Program Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM). Posbindu PTM merupakan peran serta masyarakat dalam melakukan kegiatan deteksi dini dan pemantauan faktor risiko PTM utama yang dilaksanakan secara terpadu, rutin, dan periodik. Faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) meliputi merokok,
Universitas Sumatera Utara
35
konsumsi minuman beralkohol, pola makan tidak sehat, kurang aktifitas fisik, obesitas, stres, hipertensi, hiperglikemi, hiperkolesterol serta menindak lanjuti secara dini faktor risiko yang ditemukan melalui konseling kesehatan dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penemuan dini faktor risiko PTM, yang menjadi sasaran utama adalah kelompok masyarakat sehat, berisiko dan penyandang PTM berusia 15 tahun ke atas (Kemenkes RI, 2012). 2.11.3 Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder lebih ditujukan kepada masyarakat yang sudah pernah menderita stroke. Pada tahap ini ditekankan melakukan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat terhadap penderita stroke agar tidak berlanjut menjadi kronis atau terjadi stroke berulang. Jika seseorang mengalami serangan stroke, segera melakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah penyebabnya dan kemudian mengobati penyakit lain yang merupakan faktor risiko terjadinya stroke seperti hipertensi, jantung, diabetes melitus dan secara teratur berobat ke dokter (Lumbantobing, S.M., 2004). Penyakit stroke dapat didiagnosis melalui tiga langkah yaitu dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik penderita stroke, serta pemeriksaan penunjang diagnostik (Ginanjar, G., 2009). 1. Anamnesis Anamnesis biasanya dilakukan dokter terhadap penderita dan keluarga penderita. Anamnesis ditujukan untuk menentukan faktor risiko stroke yang dimiliki oleh penderita seperti kebiasaan merokok, meminum alkohol, riwayat
Universitas Sumatera Utara
36
hipertensi dan sebagainya. Selain itu, anamnesis juga diperlukan untuk mendiagnosis riwayat keluarga, tipe stroke yang diderita serta perencanaan pengelolaan stroke yang tepat 2. Pemeriksaan Fisik Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain pemeriksaan fisik secara umum, pemeriksaan fungsi saraf pusat, serta pemeriksaan fisik lainnya sesuai indikasi. a. Pemeriksaan fisik secara umum Pemeriksaan fisik secara umum meliputi kesadaran penderita, denyut nadi, tekanan darah dan irama jantung. Pemeriksaan kesadaran penderita stroke dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian GCS dilakukan melalui sistem scoring. b. Pemeriksaan fungsi saraf pusat Pemeriksaan fungsi saraf pusat ini diperlukan untuk menentukan gangguan saraf yang terjadi, lokasi kerusakan saraf dan memperkirakan jenis terapi yang sesuai bagi penderita stroke. Contohnya, jika penderita stroke mengalami gangguan fungsi kognitif, misalnya kehilangan kemampuan menghitung angkaangka yang sederhana, maka lokasi kerusakan sarafnya adalah di daerah korteks otak yang mungkin disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah dari arteri karotis interna. c. Pemeriksaan fisik lainnya sesuai indikasi Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan fisik lanjutan yang dilakukan jika ditemukan adanya kelainan fisik yang spesifik, misalnya gangguan dalam memahami isi pembicaraan.
Universitas Sumatera Utara
37
3. Sistem Skoring Stroke Berdasarkan Klinis Membedakan stroke hemoragik dan stroke iskemik merupakan langkah pertama yang terpenting untuk manajemen kedua jenis stroke tersebut. Penegakan diagnosis memerlukan alat penunjang CT (Computerized Tomo-graphy) Scan kepala sebagai pemeriksaan baku emas. Selain itu, juga dapat berguna untuk mengetahui lokasi lesi dan menentukan luas atau beratnya penyakit. Di Indonesia alat CT Scan ini hanya terdapat di kota-kota besar terutama di beberapa ibukota provinsi karena harga alat dan biaya perawatannya yang mahal. Oleh karena itu, dikembangkan berbagai sistem skoring berdasarkan gambaran klinis dengan akurasi yang tidak jauh berbeda dengan CT Scan kepala sebagai gold standard, agar dapat membedakan antara stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Ada beberapa sistem skoring untuk membedakan stroke hemoragik atau strok eiskemik, antara lain: skor Siriraj, skor Allen, skor Greek, dan lainnya. Skor Siriraj telah banyak digunakan di Thailand, serta telah divalidasi di berbagai negara dan memiliki ringkat sensivitas tinggi, baik untuk stroke hemoragik maupun stoke iskemik yang masing-masing sebesar 89,3% dan 93,2%, sehingga tingkat akurasi rata-rata 90,3% (Widiastuti, P., 2015).
Universitas Sumatera Utara
38
Tabel 2.1 Skor Siriraj A.
Derajat Kesadaran :2 Koma Apatis :1 Sadar :0
B. Muntah (+) (-)
:1 :0
C. Sakit Kepala (+) :1 (-) :0
D. Tanda-Tanda Ateroma 1. Angina Pectoris (+) :1 (-) :0 2. Claudicatio Intermitten (+) :1 (-) :0 3. DM (+) (-)
:1 :0
Score Siriraj = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0,1 x diastol) – (3xfaktor ateroma) – 12
Jika hasilnya: >1 = stroke hemoragik < -1 = stroke iskemik -1 < x < 1 = butuh evaluasi CT Scan
4. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik a. Pemeriksaan Darah Pemeriksaan darah rutin dalam kasus stroke perlu dilakukan untuk mencari faktor-faktor risiko agar dapat mencegah terjadinya stroke yang berulang di kemudian hari dan untuk mencari kemungkinan penyebab lain dari stroke. b. Elektrokardiografi (EKG) Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai adanya kelainan aritmia jantung dan penyakit jantung yang mungkin pernah diderita seperti penyakit infark miokardium (kematian sel-sel otot jantung). Kelainan aritmia merupakan faktor
Universitas Sumatera Utara
39
risiko
terjadinya
emboli
yang
dapat
menimbulkan
stroke
tipe
infark
tromboemboli. c. Pemeriksaan Pemindai Terkomputerisasi Pemeriksaan Pemindai Terkomputerisasi dilakukan dengan Computierized Tomografi Scanning (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT Scan dan MRI digunakan untuk memvisualkan beberapa kelainan atau penyakit seperti tumor, perdarahan di otak dan beberapa penyakit degeneratif. CT Scan mendiagnosa dengan memanfaatkan sinar x, sedangkan MRI menggunakan pancaran gelombang radio dan medan elektromagnetik. CT Scan sangat handal untuk mendeteksi perdarahan tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik dan MRI lebih sensitive dibandingan CT Scan untuk mendeteksi stroke iskemik. d. Pemeriksaan Cairan Otak (Pungsi Lumbal) Pemeriksaan cairan otak dilakukan jika ada kemungkinan terjadinya tipe stroke perdarahan subaraknoid (PSA). Pada penderita stroke perdarahan subaraknoid, cairan otak yang normalnya benih dan jernih berubah menjadi agak kemerahan (xantokromatis) karena bercampur dengan darah akibat stroke. e. Pemeriksaan Angiografi Angiografi merupakan suatu prosedur pemeriksaan yakni suatu zat warna (cairan kontraspen) disuntikkan melalui arteri kemudian di rontgen. Hasilnya akan terlihat kondisi pembuluh darah yang mengalami kerusakan, penyempitan ataupun tersumbat. Selain berfungsi untuk kepentingan diagnostik, angiografi juga berperan dalam perencanaan terapi stroke.
Universitas Sumatera Utara
40
f. Ultrasonografi (USG) Ultrasonografi (USG) Doppler sangat bermanfaat untuk mendiagnosa berbagai kelainan pada arteri karotis termasuk penyempitan, peradangan maupun penyumbatan dinding arteri sebagai penyebab stroke. Selain itu, pemeriksaan USG juga bermanfaat untuk mendeteksi suatu spasme pembuluh darah setelah penderita mengalami stroke perdarahan subaraknoid akibat pecahnya aneurisme. 2.11.4 Pencegahan Tersier Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan peran serta keluarga (Lumbantobing, S.M., 2004). a. Rehabilitasi Fisik Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan keseimbangan serta mobilitas ditempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi okupasional (Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi dengan orang lain (Lumbantobing, S.M., 2004).
Universitas Sumatera Utara
41
b. Rehabilitasi Mental Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat memengaruhi mental mereka. Masalah emosional yang mereka alami akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahli psikologi klinis (Lumbantobing, S.M., 2004). c. Rehabilitasi Sosial Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke menghadapi masalah social seperti
mengatasi perubahan gaya hidup,
hubungan perorangan, pekerjaan dan aktivitas sengggang (Lumbantobing, S.M., 2004). 2.12 Kerangka Konsep Karakteristik Penderita Stroke 1. Faktor Sosiodemografi: Umur Jenis kelamin Suku Tingkat pendidikan Pekerjaan Status perkawinan 2. Faktor risiko 3. Onset serangan 4. Jenis serangan stroke 5. Pemeriksaan CT Scan 6. Tipe stroke 7. Letak kelumpuhan 8. Lama rawatan 9. Sumber biaya 10. Keadaan sewaktu pulang
Universitas Sumatera Utara