BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Beban Kerja 2.1.1. Pengertian Beban Kerja Menurut Permendagri No. 12/2008, beban kerja adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu (Utomo, 2008). Pengertian beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Pengukuran beban kerja diartikan sebagai suatu teknik untuk mendapatkan informasi tentang efisiensi dan efektivitas kerja suatu unit organisasi, atau pemegang jabatan yang dilakukan secara sistematis dengan menggunakan teknik analisis jabatan, teknik analisis beban kerja atau teknik manajemen lainnya. Lebih lanjut dikemukakan pula, bahwa pengukuran beban kerja merupakan salah satu teknik manajemen untuk mendapatkan informasi jabatan, melalui proses penelitian dan pengkajian yang dilakukan secara analisis. Informasi jabatan tersebut dimaksudkan agar dapat digunakan sebagai alas untuk menyempurnakan aparatur baik di bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusia (Menpan, 1997, dalam. Utomo, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Beban Kerja Rodahl (1989) dan Manuaba (2000, dalam Prihatini, 2007), menyatakan bahwa beban kerja dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut : 1) Faktor eksternal yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti : a. Tugas-tugas yang dilakukan yang bersifat fisik seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, sedangkan tugas-tugas yang bersifat mental seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan, pelatihan atau pendidikan yang diperoleh, tanggung jawab pekerjaan. b. Organisasi kerja seperti masa waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang. c. Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi, lingkungan kerja biologis, dan lingkungan kerja psikologis. Ketiga aspek ini disebut wring stresor. 2) Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Reaksi tubuh disebut strain, berat ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Faktor internal meliputi faktor somatis (Jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan), faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan. keinginan dan kepuasan).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Dampak Beban Kerja Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik fisik maupun mental dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan mudah marah. Sedangkan pada beban kerja yang terlalu sedikit dimana pekerjaan yang terjadi karena pengurangan gerak akan menimbulkan kebosanan dan rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari karena tugas atau pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada pekerjaan sehingga secara potensial membahayakan pekerja (Manuaba, 2000, dalam Prihatini, 2007). 2.1.4. Tanda-Tanda Stres Berkaitan Tingkat Beban Kerja Menurut Keith W. Sehnert (1981), tanda-tanda stres yang dialami berkaitan dengan tingkat beban kerja yaitu : Tabel 2.1. Tanda-tanda Stres Berkaitan dengan Beban Kerja Terlalu Sedikit Beban • • • • • • • •
Kebosanan Terlalu mampu dalam pekerjaan Apatis Tidur yang tak menentu dan terganggu Lekas Marah Menurunnya semangat kerja Kecanduan alcohol Kelesuan
Penampilan Optimal • • • • • • •
Kegembiraan Semangat yang tinggi Kewaspadaan mental Energi yang tinggi Daya ingat yang lebih baik Persepsi yang tajam Ketenangan dalam keadaan tertekan
Terlalu Banyak Beban • • • • • • • • • • • • •
Insomnia (tidak dapat tidur) Lekas marah Kecanduan alcohol Perubahan dalam hal nafsu makan Apatis Hubungan yang tegang Penilaian yang tidak baik Kesalahan yang meningkat Kurangnya kejelasan Keragu-raguan Pengunduran diri Hilangnya perspektif Ingatan yang kurang
Universitas Sumatera Utara
2.2. Stres 2.2.1. Pengertian Stres National
Safety
Council
(2003),
mendefinisikan
stres
sebagai
ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut. Stres adalah keadaan yang membuat tegang yang terjadi ketika seseorang mendapatkan masalah atau tantangan dan belum mempunyai jalan keluarnya atau banyak pikiran yang mengganggu seseorang terhadap sesuatu yang akan dilakukannya (Clonninger, 1996, dalam Safaria dan Safutra, 2009). Lain halnya dengan pendapat Kartono dan Gulo (2000, dalam Safaria dan Safutra, 2009), yang mendefinisikan stres sebagai berikut : 1) Suatu stimulus yang menegangkan kapasitas-kapasitas (daya) psikologis atau fisiologis organisme 2) Sejenis frustasi, dengan aktivitas yang terarah pada pencapaian tujuan telah terganggu atau dipersukar, tetapi tidak terhalang-halangi, peristiwa ini biasanya disertai oleh perasaan was-was khawatir dalam pencapaian tujuan. 3) Kekuatan yang diterapkan pada suatu sistem, tekanan-tekanan fisik dan psikologis yang dikenakan pada tubuh dan pribadi. 4) Suatu kondisi ketegangan fisik atau psikologis disebabkan oleh adanya persepsi ketakutan dan kecemasan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Sumber Stres Menurut Rasmun (2004), sumber stres dapat berasal dari dalam tubuh dan di luar tubuh, sumber stres dapat berupa biologik, fisiologik, kimia, psikologik, sosial dan spiritual, terjadinya stres karena stresor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda umum dan awal dari gangguan kesehatan fisik dan psikologis. 1) Stresor biologik dapat berupa mikroba, bakteri, virus dan jasad renik lainnya, hewan, bermacam tumbuhan dan makhluk hidup lainnya yang dapat mempengaruhi kesehatan, misalnya tumbuhnya jerawat (acne), demam, digigit binatang, dan lain-lain, yang dipersepsikan dapat mengancam konsep diri individu. 2) Stresor fisik dapat berupa perubahan iklim, alam, suhu, cuaca, geografi, yang meliputi letak tempat tinggal, domisili, demografi, berupa jumlah anggota dalam keluarga, nutrisi, radiasi, kepadatan penduduk, imigrasi, kebisingan, dan lain-lain. 3) Stresor kimia, dari dalam tubuh dapat berupa serum darah dan glukosa sedangkan dari luar tubuh dapat berupa obat, pengobatan, pemakaian alkohol, nikotin, kafein, polusi udara, gas beracun, insektisida, pencemaran lingkungan, bahanbahan kosmetika, bahan-bahan pengawet, pewarna dan lain-lain. 4) Stresor
sosial
psikologik,
yaitu
labeling
(penamaan)
dan
prasangka,
ketidakpuasan terhadap diri sendiri, kekejaman (aniaya, perkosaan), konflik peran, percaya diri yang rendah, perubahan ekonomi, emosi yang negatif, dan kehamilan.
Universitas Sumatera Utara
5) Stresor spiritual, yaitu adanya persepsi negatif terhadap nilai-nilai ketuhanan. Tidak hanya stresor negatif yang menyebabkan stres, tetapi stresor positif pun dapat menyebabkan stres, misalnya kenaikan pangkat, promosi jabatan, tumbuh kembang, menikah, mempunyai anak, dan lain-lain, semua yang terjadi sepanjang daur kehidupan. 2.2.3. Jenis Stres Para ahli psikologi mendefinisikan stres dalam berbagai bentuk. Definisi kontemporer menyebut stres dari lingkungan eksternal sebagai stresor (misalnya masalah pekerjaan), respon terhadap stresor sebagai stres atau distres (misalnya perasaan terhadap tekanan). Para peneliti Juga membedakan antara stres yang merugikan dan merusak yang disebut distres, dan stres yang positif dan menguntungkan, yang disebut eustres. Selye (Sarafino, 1998), menyebutkan satu jenis stres sangat berbahaya dan merugikan, disebut dengan distres. Satu jenis stres lainnya yang justru bermanfaat atau konstruktif disebut eustres. Stres jangka pendek mungkin mempunyai akibat yang bermanfaat, tetapi jika stres berlangsung terus-menerus akibat yang terjadi menjadi negatif, karena akan menggangu kesehatan dan kehidupan pada umumnya (Safaria dan Safutra, 2009). 2.2.4. Reaksi Stres Menurut Helmi (2000, dalam Safaria dan. Safutra, 2009), ada 4 macam reaksi stres, yaitu reaksi psikologis, fisiologis, proses berpikir, dan tingkah laku. Keempat macam reaksi ini dalam perwujudannya dapat bersifat positif, tetapi juga dapat
Universitas Sumatera Utara
berwujud negatif reaksi yang bersifat negatif antara lain berikut ini : (1) Reaksi psikologis, biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi, seperti mudah marah, sedih ataupun mudah tersinggung. (2) Reaksi fisiologis, biasanya muncul dalam bentuk keluhan seperti pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal di kulit, ataupun rambut rontok. (3) Reaksi proses berfikir (kognitif), biasanya tampak dalam gejala sulit berkonsentrasi, mudah lupa, ataupun sulit mengambil keputusan. (4) Reaksi perilaku, pada para remaja tampak dari perilaku-perilaku menyimpang seperti mabuk, ngepil, frekuensi merokok meningkat, ataupun menghindar bertemu dengan temannya. 2.2.5. Dampak Negatif Stres Stres dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu. Dampak bisa merupakan gejala fisik maupun psikis dan akan menimbulkan gejala-gejala tertentu. Reaksi stres bagi individu dapat digolongkan menjadi beberapa gejala (Rice, 1992, dalam Safaria dan Safutra, 2009), yaitu sebagal berikut : (1) Gejala fisiologis, berupa keluhan seperti sakit kepala, konstipasi, diare, sakit pinggang,
urat
tegang
pada
tengkuk,
tekanan
darah
tinggi
gangguan pencernaan, berubah selera makan, susah tidur dan kehilangan semangat. (2) Gejala emosional, berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah, gugup, takut, mudah tersinggung, sedih dan depresi.
Universitas Sumatera Utara
(3) Gejala kognitif, berupa keluhan seperti susah berkonsentrasi, keputus asaan, mudah lupa, melamun secara berlebihan dan pikiran kacau. (4) Gejala interpersonal, berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis, agresif, minder, kehilangan kepercayaan pada orang lain, dan mudah mempersalahkan orang lain. (5) Gejala organisasional, berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja/kuliah, menurunnya produktivitas, ketegangan dengan rekan kerja, ketidakpuasan kerja dan menurunnya dorongan untuk berpretasi. 2.2.6. Dampak Psikofisiologis dari Stres Dampak negatif yang terjadi akibat stres dapat dijelaskan menurut teori sindrom adaptasi umum (General Adaptation System) dari Selye. Menurut Selye (Rice, 1992) ada 3 tahap yang disebut sebagai sindrom adaptasi umum , yaitu berikut ini. Tahap pertama : reaksi alarm (alarm reaction). Reaksi alarm terjadi ketika stimulasi pertama kalinya dari stresor yang menimbulkan ketegangan yang diterima oleh reseptor. Selama tahap ini, sistem simpatetik dan kelenjar-kelenjar tubuh mulai mengeluarkan hormon-hormonnya untuk tujuan penciptaan energi tubuh menghadapi tegangan. Jika ketegangan itu terus terjadi maka tubuh akan memasuki tahap berikutnya. Tahap kedua : resistensi (resistence). Selama tahap ini tubuh terus menerus mengeluarkan energinya untuk bertahan dan melawan ketegangan yang ada. Hormonhormon stres mulai meningkat kadarnya di dalam tubuh seperti adrenalin,
Universitas Sumatera Utara
noradrenalin, dan kortisol. Semua hormon-hormon itu digunakan untuk memberi energi pada tubuh untuk melawan ketegangan. Keadaan ini akan menyebabkan sistem-sistem pertumbuhan dalam tubuh akan terganggu fungsinya. dan jika ketegangan masih terus berlangsung tubuh akan masuk pada tahap akhir. Tahap ketiga : kelelahan (exhaustion). Selama tahap ini tubuh telah kehabisan energi untuk terus menerus melawan ketegangan-ketegangan yang ada sehingga jika hal ini terus berlangsung akan berdampak negatif karena rusaknya sistem-sistem pertumbuhan di dalam tubuh. Dampak tersebut antara lain timbulnya penyakit jantung, maag, hipertensi, migrain, diabetes, dan lain sebagainya. Beberapa dampak negatif dari stres yang berlebihan telah diteliti oleh beberapa ahli diantaranya dapat menyebabkan serangan jantung (Haskel, 1987) penurunan kekebalan tubuh dan peningkatan pertumbuhan tumor (Rice, 1986), ketidak hadiran kerja dan turn over (Crampton dkk, 1995, dalam Safaria dan Safutra, 2009). 2.2.7. Klasifikasi Stres Potter dan Perry (1998, dalam Rasmun, 2004), mengklasifikasikan stres menjadi 3 yaitu : (1) Stres ringan, biasanya tidak merusak aspek fisiologis, sebalikmya stres sedang dan berat mempunyai resiko terjadinya penyakit, stres ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya, lupa ketiduran, kemacetan, dikritik. Situasi seperti ini biasanya berakhir dalam beberapa menit atau beberapa jam. Situasi seperti ini nampaknya tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi
Universitas Sumatera Utara
terus menerus. (2) Stres sedang, terjadi lebih lama, beberapa jam sampai beberapa hari, contohnya kesepakatan yang belum selesai, beban kerja yang berlebih, mengharapkan pekerjaan baru, anggota keluarga pergi dalam waktu yang lama, Situasi seperti ini dapat bermakna bagi individu yang mempunyai faktor predisposisi suatu penyakit koroner. (3) Stres berat, adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai beberapa tahun, misalnya hubungan suami istri yang tidak harmonis, kesulitan financial dan penyakit fisik yang lama.
2.3. Stres kerja 2.3.1. Pengertian Stres Kerja Stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stresor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stresor kerja. Stresor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan (Selye, dalam Widyasari, 2010). Menurut Greenberg (2004), stress kerja merupakan kombinasi dari sumbersumber stress pada pekerjaan, faktor individu, dan sumber stress ekstra organisasi. Satu alur yang menggambarkan kompleksitas dari stress kerja diperlihatkan pada gambar 2.1 berikut :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Skema Model Stres Kerja
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Penyebab stres kerja Alasan yang meyebabkan stres kerja sangat banyak, berkisar dari perubahan ekonomi sampai ke kemajuan teknologi yang sangat cepat. Kemajuan di bidang teknologi, yang seharusnya dapat menambah waktu luang, ternyata malah menambah tekanan untuk berbuat lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Penyebab lainnya dapat dikelompokkan kedalam 3 kategori (Safaria dan Safutra, 2009) yaitu : (1) Penyebab organisasional. a. Kurangnya otonomi dan kreativitas. b. Harapan, tenggat waktu, dan kuota yang tidak logis. c. Relokasi pekerjaan. d. Kurangnya pelatihan. e. Karier yang melelahkan. f. Hubungan dengan majikan (penyelia) yang buruk. g. Selalu mengikuti perkembangan teknologi (mesin faks, voice mail, dan lainlain). h. Downsizing, bertambahnya tanggung jawab tanpa penambahan gaji. i. Pekerja dikorbankan (penurunan laba yang didapat). (2) Penyebab individual. a. Pertentangan antara karier dan tanggungjawab keluarga. b. Ketidakpastian ekonomi. c. Kurangnya penghargaan dan pengakuan kerja. d. Kejenuhan, ketidakpuasan kerja, kebosanan.
Universitas Sumatera Utara
e. Perawatan anak yang tidak adekuat. f. Konflik dengan rekan kerja. (3) Penyebab lingkungan. a. Buruknya kondisi lingkungan kerja (pencahayaan, kebisingan, ventilasi, suhu, dan lain-lain). b. Diskriminasi ras. c. Pelecehan seksual. d. Kekerasan di tempat kerja. e. Kemacetan saat berangkat dan pulang kerja. Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo 1992 (dalam Widyasari, 2010), mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni: (1) Kondisi clan situasi pekerjaan (2) Pekerjaannya (3) Job requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas (4) Hubungan interpersonal Luthans (1992, dalam Widyasari, 2010), menyebutkan bahwa penyebab stres (stresor) terdiri atas empat hal utama, yakni: (1). Extra organizational stresors, yang terdiri dari perubahan sosial dan teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.
Universitas Sumatera Utara
(2). Organizational stresors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi. (3). Group stresors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup. (4). Individual stresors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, sel-efficacy, dan daya tahan psikologis. Sedangkan Cooper dan Davidson (1991, dalam Widyasari, 2010) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjadi dua, yakni: (1). Group stresor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara karyawan, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan. (2). Individual stresor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran. Cooper (dalam Widyasari, 2010), memberikan daftar lengkap stresor dari sumber pekerjaan yang tertera pada tabel berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Stresor dari Sumber Pekerjaan Stresor dari Stres Kerja Kondisi pekerjaan
Stres karena peran
Faktor interpersonal
Perkembangan karir
Struktur Organisasi
Faktor yang Memengaruhi (Hal-hal yang Mungkin Terjadi di Lapangan) • Beban kerja berlebihan secara. kuantitatif. • Beban kerja berlebihan secara kualitatif • Assembly-line hysteria • Keputusan yang'dibuat oleh seseorang • Bahaya fisik • Jadwal. Bekerja • Technostres • Ketidakjelasan peran • Adanya bias dalam membedakan gender dan stereotype peran gender • Pelecehan seksual • Hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk • Persaingan politik, kecemburuan dan kemarahan • Kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan • Promosi ke jabatan yang lebih rendah dari kemampuannya • Promosi ke jabatan yang lebih tinggi dari kemampuannya • Keamanan pekerjaannya • Ambisi yang berlebihan sehingga mengakibatkan frustasi • Struktur yang kaku dan tidak bersahabat • Pertempuran politik • Pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang • Ketidakterlibatan dalam membuat keputusan
Konsekuensi Konsisi yang Mungkin Muncul • • •
•
Kelelahan mental dan/atau fisik Kelelahan yang amat sangat dalam bekerja (burnout) Meningkatkan kesensitivan dan ketegangan
•
Meningkatnya kecemasan dan ketegangan Menurunnya prestasi pekerjaan
• • •
Meningkatnya ketegangan Meningkatnya tekanan darah Ketidakpuasan kerja
• • •
Menurunnya produktivitas Kehilangan rasa percaya diri Meningkatkan kesensitifan dan ketegangan Ketidakpuasan kerja
•
• •
Menurunnya motivasi dan produktivitas Ketidakpuasan kerja
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 (Lanjutan) Tampilan rumahpekerjaan
• • • •
Mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi Kurangnya dukungan dari pasangan hidup Konflik pernikahan Stres karena memiliki dua pekerjaan
• • •
Meningkatnya konflik dan kelelahan mental Menurunnya motivasi dan produktivitas Meningkatnya konflik pernikahan
2.3.3. Dampak Stres Kerja Pada urnumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya (Rice, 1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya. Sedangkan Arnold (1986), menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan (Widyasari, 2010). Penelitian yang dilakukan Halim (1986), di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel manager dan mandor di perusahaan swasta menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan ada dua. Dua hal tersebut adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Efek pada fisiologis mereka, seperti : Jantung berdegup kencang, denyut jantung meningkat, bibir kering, berkeringat, mual. 2. Efek pada psikologis mereka, dimana mereka merasa tegang, cemas. tidak bisa berkonsentrasi, ingin pergi ke kamar mandi, ingin meninggalkan situasi stres. 2.3.4. Gejala Stres Kerja Terry Beehr dan John Newman (dalam Widyasari, 2010), mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu: 1. Gejala psikologis Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stres pekerjaan : a.
Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersingmmg
b.
Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
c.
Sensitif dan hyperreactivity
d.
Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
e.
Komunikasi yang tidak efektif
f.
Perasaan terkucil dan terasing
g.
Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
h.
Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi
i.
Kehilangan spontanitas dan kreativitas
j.
Menurunnya rasa percaya diri
Universitas Sumatera Utara
2. Gejala fisiologis Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah : a. Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular b. Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin) c. Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung) d. Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan e. Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome) f. Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada g. Gangguan pada kulit h. Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot i. Gangguan tidur j. Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker 3. Gejala sosial Gejala-gejala sosial yang utama dari stres kerja adalah: a. Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan b. Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas c. Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan d. Perilaku sabotase dalam pekerjaan e. Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan,
Universitas Sumatera Utara
mengarah ke obesitas f. Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi g. Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi h. Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas i. Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman j. Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri
2.4. Perawat 2.4.1. Definisi Perawat Ellis dan Hartley (1984) dalam Gaffar (1999), menjelaskan pengertian dasar, seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, cedera dan proses penuaan. Di Indonesia, keperawatan sebagai profesi dirumuskan melalui Lokakarya Nasional Keperawatan, 1983. Keperawatan didefinisikan suatu bentuk pelayanan professional sebagai bagian integral pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan meliputi aspek biologi, psikologi, sosial, dan spiritual yang bersifat komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat yang sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia untuk mencapai derajat kesehatan optimal (Gaffar, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Peran Perawat Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokat, pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan dan pembaharu (Hidayat, 2004). a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks. b. Peran sebagai advokat klien Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga, dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang, diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
Universitas Sumatera Utara
c. Peran edukator Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan. d. Peran koordinator Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien. e. Peran kolaborator Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya. f. Peran konsultan Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan. g. Peran pembaharu. Peran
sebagai
pembaharu
dapat
dilakukan
dengan
mengadakan
perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian layanan keperawatan.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Fungsi Perawat Dalam menjalankan perannya, perawat (Hidayat, 2004) akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya : a. Fungsi independen Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis, pemenuhan keamanan dan kenyamanan, pemenuhan kebutuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri. b. Fungsi dependen. Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi perawat lain. Sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana. c. Fungsi interdependen. Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter atau lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Masa Bekerja Durasi masa bekerja yang lama juga akan membentuk pola kerja yang efektif, karena berbagai kendala yang muncul akan dapat dikendalikan berdasarkan pengalamnya. Sehingga karyawan yang berpengalaman akan dapat menyelesaikan tugas yang sebaiknya. Menurut Nitisemito (2006), senioritas atau sering disebut dengan istilah “length of service” atau masa bekerja adalah lamanya seorang karyawan menyumbangkan tenaganya pada perusahaan tertentu. Sejauh mana tenaga kerja dapat mencapai hasil yang memuaskan dalam bekerja tergantung dari kemampuan, kecakapan dan ketrampilan tertentu agar dapat melaksanakan pekerjaanyan dengan baik. Masa bekerja merupakan hasil penyerapan dari berbagai aktivitas manusia, sehingga mampu menumbuhkan keterampilan yang muncul secara otomatis dalam tindakan yang dilakukan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan. Masa bekerja seseorang berkaitan dengan pengalaman kerjanya. Karyawan yang telah lama bekerja pada perusahaan tertentu telah mempunyai berbagai pengalaman yang berkaitan dengan bidangnya masing-masing, dalam pelaksanakan kerja sehari-harinya karyawan menerima berbagai input mengenai pelaksanaan kerja dan berusaha untuk memecahkan berbagai persoalan yang timbul, sehingga dalam segala hal kehidupan karyawan menerima informasi atau sebagai pelaku segala kegiatan yang mereka lakukan.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Pendidikan Perawat Tingkat pendidikan formal yang semakin tinggi berakibat pada peningkatan harapan dalam hal karir dan perolehan pekerjaan dan penghasilan. Akan tetapi di sisi lain, lapangan kerja yang tersedia tidak selalu sesuai dengan tingkat dan jenis pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki oleh para pencari kerja tersebut (Ellitan, 2003). Menurut Arfida (2003), terdapat dua konsekuensi yang dihadapi oleh organisasi pengguna tenaga kerja, yaitu : a. Menyelenggarakan pelatihan secara intensif dan terprogram agar para pegawai memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. b. Menawarkan
pekerjaan
yang
sebenarnya
memerlukan
pengetahuan
dan
keterampilan yang lebih rendah dari yang dimiliki oleh para pekerja berkat pendidikan formal yang pernah ditempuhnya apabila diterima oleh pekerja yang bersangkutan berarti tingkat imbalan yang diperoleh lebih rendah dari yang semula diharapkan. Konfigurasi ketenagakerjaan menuntut kesiapan dan kesediaan manajemen melakukan perubahan, bukan hanya dalam bentuk berbagai kebijaksanaan manajemen SDM, tetapi juga menyangkut kultur organisasi, etos kerja dan persepsi tentang pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia. Seiring dengan meningkatkan persaingan global maka tersedianya sumber daya manusia berkualitas berpengaruh terhadap hubungan teknologi dan kinerja (Ellitan, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu faktor yang dapat meingkatkan produktifitas atau kinerja perawat adalah pendidikan formal perawat. Pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja yang
langsung
dengan
pelaksanaan
tugas,
tetapi
juga
landasan
untuk
mengembangkan diri serta kemampuan memanfaatkan semua sarana yang ada di sekitar kita untuk kelancaran tugas, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula produktivitas kerja (Arfida, 2003). Menurut Grossman (1999), pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mudah mereka menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sehingga akan meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Agar perawat termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, sebaiknya instansi pelayanan kesehatan menggunakan keterampilan sebagai dasar perhitungan kompensasi. Kepada perawat juga perlu dijelaskan bahwa kompensasi yang diberikan, dihitung berdasarkan keterampilan dan kemampuannya menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada perawat. Misalnya perawat yang mampu menggunakan komputer dengan terampil, dinilai lebih dari perawat yang hanya mampu mengoperasikan mesin ketik manual.
2.7. Landasan Teori Dalam bekerja hampir setiap orang mempunyai stres yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Menurut Beer dan Newman (dalam Luthans, 1998), stres kerja adalah suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu dengan pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian karakteristik dan perubahan-perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam perusahaan. Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, 2003), merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak kesehatan, dan variabel- variabelnya saling berkaitan. Selye (dalam Rice, 1992), menyatakan bahwa stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa gejala pada fisiologis, psikologis, dan perilaku. Terry B dan John N menyatakan gejala stres kerja dapat dibagi dalam 3 aspek yaitu gejala psikologis seperti : hipersensitif emosi dan hiperaktif, merasa frustasi, marah, dan kebencian, cemas, tegang, kebingungan dan sensitive, merasa tertindas, berkurangnya efektifitas berkomunikasi, menarik diri dan depresi, merasa terisolasi dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan kerja, kelelahan mental dan penurunan fungsi intelektual, kehilangan konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreatifitas, menurunnya self-esteem. Sedang gejala fisiologis seperti: meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya sekresi adrenalin dan nonadrenalin, gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung), mudah terluka, mudah lelah secara fisik, kematian, gangguan kardiovaskuler, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringat, gangguan pada kulit, kepala pusing, migrain, kanker, ketegangan otot, problem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur). Serta gejala perilaku seperti : Menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan
Universitas Sumatera Utara
atau kekurangan), kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan, meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi seperti berjudi, kecenderungan bunuh diri, meningkatnya agresifitas, kriminalitas dan mencuri, penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman, serta penurunan prestasi dan produktivitas. Banyak hal yang dapat menyebabkan pegawai mengalami stres kerja, seperti yang dikatakan oleh (Rice, 1992), ada beberapa hal yang dapat menyebabkan stres kerja, salah satunya adalah kondisi kerja, seperti people decisions, kondisi fisik yang berbahaya, pembagian waktu kerja, kemajuan teknologi (technostres), beban kerja yang kurang (work underload) dan beban kerja yang berlebihan (work overload). Seringkali beban kerja yang berlebihan (work overload) diakibatkan oleh pegawai sendiri yang selalu menunda dan tidak dapat mengatur jadwal dalam menyelesaikan tugasnya, namun terkadang pegawai menunda mengerjakan tugasnya diakibatkan karena pekerjaan yang terlalu mudah ataupun sedikit Pada umumnya pegawai yang memiliki beban kerja yang tinggi cenderung menimbulkan stres kerja, hal ini juga dipengaruhi oleh masa bekerja dan faktor internal pegawai (Buchari, 2007).
2.8. Kerangka Konsep Penelitian
- Tingkat Pendidikan - Masa Bekerja - Beban Kerja
Stres Kerja
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Kerangka konsep di atas menjelaskan tentang Pengaruh Tingkat Pendidikan, Masa Bekerja dan Beban Kerja terhadap Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Aceh. Beban kerja akan dikategorikan menjadi 3 yaitu beban kerja ringan, sedang dan berat, sedangkan stres akan dikategorikan menjadi stres fisik, psikologis, dan sosial.
Universitas Sumatera Utara