BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan pengalaman dan penelitian, perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih kekal daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
2.1.2. Tingkatan Pengetahuan Berdasarkan Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu : a. Tahu (know) Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar
tentang
objek
yang
diketahui
dan
dapat
mengintepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, prinsip, metode dan sebagainya dalam konteks lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja seperti dapat menggambarkan (membuat skema), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan
bagian-bagian
di
dalam
suatu
bentuk
keseluruhan yang baru atau dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan dan dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusanrumusan yang telah ada.
Universitas Sumatera Utara
f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian didasarkan pada kriteria tertentu.
2.1.3. Pengukuran Pengetahuan Pengetahuan dapat diukur dengan melakukan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan pengetahuan diatas (Notoatmodjo, 2007).
2.2. Sikap (attitude) 2.2.1. Definisi Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Menurut Newcomb (seorang ahli psikologis sosial) dalam Notoatmodjo (2007), sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Tingkatan Sikap Menurut Notoatmodjo (2010) seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: a. Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). b. Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. c. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi tingkat ketiga. d. Bertanggungjawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Menurut Azwar (2005) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sikap adalah : 1. Pengalaman Pribadi Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. 2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. 3. Pengaruh Kebudayaan Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
Universitas Sumatera Utara
sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. 4. Media Massa Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya. 5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama
sangat
menentukan
sistem
kepercayaan
yang
tidak
mengherankan jika konsep tersebut mempengaruhi sikap. 6. Faktor Emosional Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
2.2.4. Pengukuran Sikap Sikap diukur dengan hanya minta pendapat atau penilaian terhadap fenomena yang diwakili dengan pernyataan (bukan pertanyaan). Biasanya responden diminta pendapatnya terhadap pernyataan- pernyataan dengan mengatakan atau memilih setuju, tidak setuju; baik; tidak baik; menerima; tidak menerima; atau senag, tidak senang. Akan tetapi, karena dua pilihan tersebut kurang tajam, Likert membuat skala yaitu Skala Likert misalnya dengan memilih jawaban empat, bila sangat setuju; tiga, bila setuju; dua, bila tidak setuju; dan satu, bila sangat tidak setuju (Oskup dan Schult, 2005).
2.3. Konsep Stroke 2.3.1. Anatomi Arteri Serebral Pengetahuan tentang anatomi suplai darah otak membantu dalam diagnosis dan pengelolaan penyakit serebrovaskular serta mengidentifikasi
Universitas Sumatera Utara
area otak yang berkorelasi dengan gejala pasien dan mengidentifikasi arteri yang terkena. Otak disuplai oleh dua arteri karotis interna (anterior) dan arteri basilar (dibentuk oleh penggabungan dari kedua arteri vertebralis secara posterior). Tiga pembuluh darah yang memberi makan ke cincin anastomotik di dasar otak yang disebut cicrle of Willis. Pengaturan ini dapat mengurangi efek oklusi pembuluh darah pengisi proksimal anastomosis dengan memungkinkan pasokan dari pembuluh darah yang terpengaruh. Anatomi circle of Willis bagaimanapun, sangat bervariasi dan banyak orang itu tidak memberikan banyak perlindungan dari iskemia karena karotis, vertebral, atau oklusi arteri basilar (Longmore et al, 2010).
Gambar 2.1. Menunjukkan Circle of Willis Sumber : Frank H. Netter, MD.Atlas of Human Anatomy 4th Edition.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Definisi Stroke Menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler (Israr, 2008).
2.3.3. Epidemiologi Penyakit serebrovaskular merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan kematian di Amerika Serikat. Stroke memiliki peningkatan insiden dan prevalensi dengan bertambahnya usia tapi bukan merupakan penyakit terbatas pada lansia. Insiden tampaknya menjadi 0,5 per 1000 pada usia 40 tahun, meningkat menjadi sekitar 70 per 1000 pada usia 70 tahun, dengan kejadian tahunan bervariasi 1,5-4 per 1000 penduduk dan prevalensi dari 5 sampai 20 per 1000 penduduk. Lebih dari 700.000 orang menderita stroke setiap tahun di Amerika Serikat dan stroke adalah penyebab utama kematian ketiga pada orang dewasa. Ada tingkat kematian 20 persen dalam 3 hari pertama dan tingkat kematian 25 persen pada tahun pertama. Meskipun risiko seumur hidup dari stroke lebih tinggi pada pria, tapi risiko kematian akibat stroke tertinggi pada wanita. Ini adalah hasil dari wanita yang lebih tua daripada laki-laki pada awal stroke dan harapan hidup yang lebih lama pada wanita, yang merupakan proposi lebih besar dari korban stroke pada lansia. Untuk setiap 100 korban, 10 dapat kembali bekerja tanpa gangguan, 30 memiliki cacat sisa ringan, 50 memiliki cacat lebih parah yang memerlukan layanan khusus dalam situasi perawatan di rumah, dan 10 membutuhkan perawatan institusi permanen (Gilroy, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Etiologi a. Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan) Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan pada pembuluh darah serviko-kranial atau terjadinya hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan hemodinamik. Aterotrombosis terjadi pada arteri arteri besar dari daerah kepala dan leher dan dapat juga mengenai pembuluh arteri kecil atau percabangannya. Trombus yang terlokalisasi terjadi akibat penyempitan pembuluh darah oleh plak aterosklerotik sehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal dari lokasi penyumbatan. Gejala neurologis yang muncul tergantung pada lokasi pembuluh darah otak yang terkena (Israr, 2008). b. Stroke Hemoragik : •
Perdarahan intraserebral Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10 persen dari seluruh kasus stroke, terdiri dari 80 persen di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum (Israr, 2008).
•
Perdarahan subarakhnoid Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer (Israr, 2008).
2.3.5. Faktor Risiko Menurut Israr (2008) ada beberapa faktor risiko stroke (Tabel 2.1.).
Tabel 2.1. Faktor risiko stroke Dapat dikendalikan • •
Hipertensi Penyakit jantung
Potensial dapat dikendalikan • •
Diabetes Mellitus Hiperhomosisteinemia
Tidak dapat dikendalikan • •
Umur Jenis kelamin
Universitas Sumatera Utara
• •
Fibrilasi atrium Endokarditis
•
Stenosis mitralis
•
Infark jantung
•
Merokok
•
Anemia sel sabit
•
Transient Ischemic Attack (TIA) Stenosis Karotis asimtomatik
•
•
Hipertrofi ventrikel kiri
• • •
Herediter Ras dan etnis Geografi
2.3.6. Klasifikasi Stroke diklasifikasikan sebagai berikut (Israr, 2008) : 1. Berdasarkan kelainan patologis a. Stroke hemoragik •
Perdarahan intra serebral
•
Perdarahan ekstra serebral (subarakinoid)
b. Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan) •
Stroke akibat trombosis serebri
•
Emboli serebri
•
Hipoperfusi sistemik
2.
Berdasarkan waktu terjadinya •
Transient Ischemic Attack (TIA)
•
Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
•
Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke
•
Completed stroke
3. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler
Universitas Sumatera Utara
a. Sistem karotis •
Motorik : hemiparese kontralateral, disartria.
•
Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia.
•
Gangguan visual : hemianopsia homonym kontralateral, amaurosis fugaks.
•
Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia.
b. Sistem vertebrobasiler •
Motorik
: hemiparese alternans, disartria.
•
Sensorik
: hemihipestesi alternans, parestesia.
•
Gangguan lain
: gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia.
2.3.7. Patologi Stroke Menurut Setyopranoto (2011) patologi stroke terjadi akibat : a. Infark Infark stroke terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak normalnya adalah 58 ml/100 gram jaringan otak per menit; jika turun hingga 18 ml/100 gram jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun sampai <10 ml/100 gram jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian perubahan biokimiawi sel dan membran yang ireversibel membentuk daerah infark. b. Perdarahan Intraserebral Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa, alkoholisme, terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid. c. Perdarahan Subaraknoid
Universitas Sumatera Utara
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena atau tumor.
2.3.8. Patofisiologi Stroke Infark serbral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerotik sering/cenderung sebagai faktor penting terhadap otak, trombus dapat berasal dari flak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan (Darpianur, 2011) : 1. Iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan. 2. Edema dan kongesti disekitar area otak. Edema disekitar area otak ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai menunjukan perbaikan. Karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur. Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh rupturnya plak yang terbentuk dari proses arterosklerotik dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit serebrovaskuler. Jika sirkulasi serebral terhambat dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya cardiac arrest. Jika dilihat bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa (Darpianur, 2011) : •
Stroke hemisfer kanan
•
Hemiparese sebelah kiri tubuh.
•
Penilaian buruk
•
Mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
•
Stroke yang hemifer kiri
•
Mengalami hemiparese kanan
•
Perilaku lambat dan sangat hati-hati
•
Kelainan bidang pandang sebelah kanan.
•
Disfagia global
•
Afasia
•
Mudah frustasi
2.3.9. Pemeriksaan Diagnosis a. Rontgen kepala dan medula spinalis b. Elektro ensefalografi c. Punksi lumbal d. Angiografi e. Computerized Tomografi Scanning ( CT Scan)
Universitas Sumatera Utara
f. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
2.3.10. Diagnosis Banding Menurut Longmore et al (2010) diagnosa banding stroke adalah : cedera kepala, hemoragik subdural, hipoglikemia atau hiperglikemia, tumor intrakranial, epilepsi (Cerebral Todd), limfoma pada sistem saraf pusat, pneumocephalus (udara masuk melalui: otitis, sel-sel udara mastoid, trauma), ensefalopati Wernicke (kondisi, biasanya terjadi sekunder terhadap penyakit hati lanjut, ditandai dengan gangguan yang dapat berlanjut ke koma, perubahan kejiwaan dari berbagai derajat, flapping tremor, dan fector hepaticus), overdosis obat (jika koma), ensefalopati hepatik, herpes ensefalitis, toksoplasmosis (pada pasien acquired immune deficiency syndrome), abses (misalnya tifoid) dan mikotik aneurisma (aneurisma terinfeksi disebabkan oleh jamur).
2.3.11. Penatalaksanaan Stroke 2.3.11.1. Stadium Hiperakut Tindakan pada stadium ini dilakukan di instalasi gawat darurat dan merupakan tindakan resusitasi jantung-paru-otak (RJPO) bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2L/menit dan cairan kristaloid atau koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin isotonik. Dilakukan pemeriksaan CT scan, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time (PT), active partial protrombin time (APTT), glukosa darah, elektrolit darah; jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di instalasi gawat darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang (Setyopranoto, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.3.11.2. Stadium Akut Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor penyebab maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, psikologis serta membantu pemulihan sosial pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga (Setyopranoto, 2011). 1. Stroke Iskemik a. Terapi umum : Letakkan kepala pasien dan dada pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter urin). Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000ml dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik. Kadar gula darah >150mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah <60mg% atau <80mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% intravena sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya (Setyopranoto, 2011). Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu
Universitas Sumatera Utara
segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220mmHg, diastolik ≥120mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤90mmHg, diastolik ≤70mmHg, diberi NaCl 0,9% (250mL) selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih <90mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg intravena pelanpelan selama 3 menit, maksimal
100mg
per
hari;
dilanjutkan
pemberian
antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka
panjang.
Jika
didapatkan
tekanan
intrakranial
meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid (Setyopranoto, 2011). b. Terapi khusus: Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator).
Universitas Sumatera Utara
Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam jika didapatkan afasia (Setyopranoto, 2011).
2. Stroke Hemoragik a. Terapi umum : Pasien stroke hemoragik harus dirawat di instalasi gawat darurat
jika
volume
hematoma
>30mL,
perdarahan
intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah pramorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol intavena 10mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300mg; enalapril intravena 0,625-1.25mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25mg per oral (Setyopranoto, 2011). Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 sekitar 20-35mmHg). Penatalaksanaan pada stroke iskemik adalah sama dengan penyakit tukak lambung, diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas (Setyopranoto, 2011). b. Terapi khusus : Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (2007) dalam Setyopranoto (2011), neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya semakin memburuk dengan perdarahan
Universitas Sumatera Utara
serebelum berdiameter >3cm³, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VPshunting, dan perdarahan lobar >60mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi (Setyopranoto, 2011).
2.3.11.3. Stadium Subakut Tindakan medis berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder. Terapi fase subakut (Setyopranoto, 2011) : a. Melanjutkan terapi sesuai dengan kondisi akut sebelumnya b. Penatalaksanaan komplikasi c. Restorasi atau rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi d. Prevensi sekunder e. Edukasi keluarga
2.3.12. Pencegahan Stroke Menurut Longmore et al (2010) pencegahan stroke adalah : 1. Pencegahan primer (yaitu sebelum stroke) Pengendalian faktor risiko: mencari dan mengobati hipertensi, diabetes mellitus, peningkatan lipid (pengobatan dengan statin penurunan lipid sebanyak 17%), dan penyakit jantung. Olahraga yang teratur membantu (meningkatkan high density lipoprotein (HDL), meningkatkan toleransi glukosa). Suplemen folat juga dapat membantu (penurunan homosistein serum). Membantu pasien untuk merokok terutama pada pria jika tekanan darah meningkat. Selain itu, berhenti
Universitas Sumatera Utara
merokok mengurangi risiko stroke, dengan manfaat terlihat dalam ≤5 tahun). Gunakan antikoagulan seumur hidup jika rematik atau katup jantung prostetik di sisi kiri, dan mempertimbangkan pada fibrilasi atrium non-rematik kronis, terutama jika ada faktor-faktor risiko vaskular lainnya.
2. Pencegahan sekunder (yaitu mencegah stroke lanjut) Kontrol faktor risiko (sebagai pencegahan primer di atas). Beberapa penelitian besar menunjukkan keuntungan yang cukup besar jika menurunkan tekanan darah dan kolesterol. Pemberian antiplatelet setelah stroke, kecuali jika pada pasien dengan perdarahan primer diberikan aspirin 300mg/24 jam selama 2 minggu, kemudian 75mg/hari. Clopidogrel setidaknya sama baiknya dengan aspirin sebagai
monoterapi,
dan
mungkin
sebagus
aspirin
ditambah
dipyridamole. Jika aspirin toleran, tambahkan inhibitor pompa proton, jika aspirin hipersensitivitas, pengganti clopidogrel. Pemberian antikoagulasi setelah stroke seperti warfarin harus digunakan, bukan sebagai agen antiplatelet tapi hanya untuk stroke atau fibrilasi emboli atrium yang kronis, dan hanya dari 2 minggu setelah stroke (jika klinis dan radiologis menunjukan stroke minor, pertimbangkan 7-10 hari). Gunakan terapi antiplatelet sampai antikoagulasi, jika sudah antikoagulan, tahan antikoagulan dan ganti dengan antiplatelet selama 1 minggu. Gunakan terapi antiplatelet jika risiko jatuh, trauma dan lain-lain. Pemberian warfarin dengan aspirin meningkatkan risiko perdarahan tanpa manfaat tambahan. Oleh karena itu, pemberian warfarin bersamaan dengan aspirin tidak dianjurkan.
2.3.13. Komplikasi Menurut Longmore et al. (2010) komplikasi stroke adalah : a. Aspirasi pneumonia
Universitas Sumatera Utara
b. Luka tekanan c. Konstipasi d. Depresi e. Stres dalam keluarga (misalnya alkoholisme).
2.3.14. Prognosis Perawatan yang baik (misalnya untuk mencegah luka) pada unit stroke, agen
antiplatelet, dan intervensi cepat (misalnya setelah carotid
doppler imaging) adalah kunci. Bagi mereka dengan iskemik stroke yang minor atau TIA, penilaian darurat dan perawatan menyelamatkan nyawa (Longmore et al, 2010).
2.4. Caregivers 2.4.1. Definisi Caregiver Caregivers didefinisikan sebagai mereka yang memberikan perawatan tanpa bayaran, kepada orang dewasa atau anak yang memerlukan kebutuhan khusus. Diperkirakan 65,7 juta orang-orang di Amerika Serikat pada tahun 2009 telah menjabat sebagai caregiver yang tidak dibayarkan kepada orang dewasa atau anak-anak dan sekitar 28,5% dari responden yang disurvei melaporkan menjadi caregiver. Persentase caregiver tampaknya tidak berubah secara signifikan sejak tahun 2004. Caregivers didominasi perempuan (66%), rata- rata 48 tahun. Sepertiga caregiver yang mengurus dua orang atau lebih (34%). Sebagian besar perawat memberikan perawatan untuk keluarga sendiri (86%), dengan lebih dari sepertiga mengurus orang tua (36%). Satu per tujuh perawatan untuk anak mereka sendiri (14%). Caregivers berperan selama rata-rata 4,6 tahun, dengan tiga per sepuluh telah memberikan perawatan selama lima tahun atau lebih (31%). Sebagian besar penerima layanan adalah perempuan (62%) dan rata-rata 61 tahun. Tujuh per sepuluh caregiver merawat orang
Universitas Sumatera Utara
berusia 50 tahun atau lebih, 14% merawat usia dewasa 18-49, sementara 14% mengurus anak di bawah usia 18 tahun (Greenwald et al, 2009).
2.4.2. Kondisi Penerima Perawatan Caregiver Menurut Greenwald et al (2009) ketika caregiver ditanya apa yang mereka anggap menjadi alasan utama pasien mereka membutuhkan perawatan, caregiver melaporkan ada dua masalah besar yaitu usia tua (12%) dan mengalami Alzheimer atau demensia (10%). Selain itu ada yang menyebutkan pasien mereka mengalami gangguan mental atau emosional (7%), kanker (7%), penyakit jantung (5%), dan stroke (5%). Rata-rata, caregiver menghabiskan 20,4 jam per minggu memberikan perawatan. Caregiver perempuan menghabiskan lebih banyak waktu memberikan
perawatan
daripada
caregiver
pria,
rata-rata
(21,9
dibandingkan 17,4 jam/minggu). Sejak tahun 2004, telah terjadi perubahan dalam jumlah caregiver yang memberi perawatan kepada orang dewasa yang membutuhkan rawatan khusus; dengan menghabiskan waktu merawat orang yang mereka kasihi, dan dengan cara memanfaatkan waktu dalam perawatan mereka. Jumlah jam yang dihabiskan memberikan pelayanan menurun sebesar 2,6 jam, sekarang caregiver untuk orang dewasa menghabiskan rata-rata 18,9 jam per minggu. Mayoritas caregiver menghabiskan waktu mereka dengan membantu orang yang mereka rawat dengan setidaknya satu kegiatan kehidupan sehari-hari (56%). Yang paling umum adalah membantu penerima layanan masuk dan keluar dari tempat tidur dan kursi (40%). Tugas perawatan pribadi juga cukup umum adalah membantu pasien berpakaian (32%), membantu dengan mandikan (26%), bantuan dengan mendapatkan ke kamar mandi (24%), bantuan berurusan dengan inkontinensia (18%) dan membantu memberi makan kepada pasien mereka (19%) (Greenwald et al, 2009).
2.4.3. Kehadiran Caregiver Lain
Universitas Sumatera Utara
Menurut Greenwald et al (2009) kebanyakan caregiver yang merawat pasien yang menerima perawatan tidak di rumah perawatan (nursing-home) mengatakan setidaknya satu caregiver yang tidak dibayar membantu dalam perawatan pasien mereka (66%), sementara hanya 35% menggunakan bantuan caregiver yang dibayar seperti pembantu rumah tangga atau orang lain yang bersedia merawat pasien tersebut. Di antara caregiver yang berusia 65 atau lebih tua, merupakan caregiver yang tidak dibayar untuk merawat pasien yang memerlukan perawatan (47%) dibandingkan dari caregiver yang berusia muda (30%). Caregiver yang tinggal satu rumah dengan pasien mereka juga merupakan salah seorang caregiver yang memberikan perawatan kepada pasien mereka dan tidak dibayar (49%) dibandingkan caregiver yang tidak tinggal bersama pasien mereka (25%). Diantara caregiver yang merawat pasien dewasa yang tidak menerima perawatannya dirumah perawatan mengatakan ada setidaknya satu caregiver yang tidak dibayar lainnya membantu dalam perawatan pasien mereka (68%). Di sisi lain, caregiver yang dibayar, pembantu rumah tangga atau staf lain menurun dari 41% pada 2004 menjadi 35% pada tahun 2009 (Greenwald et al, 2009).
2.4.4. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Caregiver Pasien Stroke Meskipun kemajuan terbaru dalam terapi stroke, mayoritas stroke pasien tidak mencari perhatian medis segera. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Perancis ada kurangnya pengetahuan antara pasien stroke tentang stroke warning sign dan faktor risiko. Menurut Pandian et al ditemukan ada hubungan antara pengetahuan stroke dan pendidikan tinggi. Menurut Kothari et al tidak menemukan korelasi antara kesadaran yang lebih baik dan pendidikan. Kebanyakan penelitian tentang kesadaran masyarakat stroke dari negara-negara maju telah menemukan bahwa pengetahuan tentang stroke bervariasi dengan pendidikan (Pandian et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian Kumar Das et al (2011) dari 418 peserta, 280 (67,0%) ditemukan menyadari tanda-tanda dan gejala stroke dan sisanya 138, (33,0%) tidak menyadari tanda-tanda dan gejala stroke. Hampir 56% hingga 62% dari populasi penelitian Kumar Das et al (2011) tidak menyadari faktor risiko stroke dan hampir 35% hingga 46% tidak menyadari gejala stroke. Menurut Kumar Das et al (2011) kurangnya kesadaran dapat menyebabkan keterlambatan dalam membawa pasien yang mengalami stroke ke rumah sakit dan memulai pengobatan yang diperlukan. Pengetahuan tentang faktor risiko stroke dapat mempengaruhi kejadian stroke, dan membantu merancang strategi pencegahan. Dalam penelitian Kumar Das et al (2011), 49,8% dari subjek lansia, tidak mengetahui adanya faktor risiko stroke, 17,2% bisa mengenali satu sampai 3 faktor risiko, 20,6% diakui 4 sampai 7 faktor risiko dan 12,4% diakui ≥ 8 faktor risiko (Kumar Das et al, 2011). Menurut Pandian et al (2004) prevalensi stroke di India bervariasi di berbagai wilayah negara dan berkisar 40-270 per 100 000 penduduk. Meskipun kemajuan terbaru dalam terapi stroke, masyarakat masih kurang informasi tentang stroke, dan beberapa pasien stroke datang ke rumah sakit pada waktunya untuk menerima pengobatan. Bahkan di negaranegara maju, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Kanada, ada kurangnya pengetahuan masyarakat tentang faktor risiko stroke dan stroke warning sign. Cara terbaik bagi pasien untuk menerima pengobatan stroke yang paling efektif adalah untuk mendapatkan ke ruang gawat darurat secepat mungkin setelah mereka memiliki gejala. Studi dari Australia dan India telah menyelidiki berbagai faktor yang menghambat rawat inap pada pasien dengan stroke. Namun, tidak ada penelitian dari India dan negara berkembang lain mengenai persepsi masyarakat tentang stroke warning sign dan faktor risiko. Kesadaran gejala dan faktor risiko yang penting bagi masyarakat untuk secara efektif menggunakan terapi trombolitik untuk stroke akut pada waktu yang tepat. Menurut Pandian et al (2004) kesadaran faktor risiko stroke di antara individu yang berisiko tinggi
Universitas Sumatera Utara
masih rendah dan tidak berbeda secara signifikan dari responden yang tidak memiliki faktor risiko. Upaya pendidikan masa depan harus fokus tidak hanya pada masyarakat umum, tetapi juga di antara individu yang berisiko tinggi stroke (Pandian et al, 2004). Menurut Safitri et al (2012) beberapa caregiver pasien stroke mengatakan mereka jarang membantu pasien untuk melakukan gerakan fisik di rumah, tidak terlalu mengerti makanan seperti apa yang seharusnya dihindari, dan karena banyaknya kesibukan, caregiver terkadang lalai untuk mengantar pasien untuk kontrol ke rumah sakit. Sikap caregiver dalam memberikan perawatan pada pasien yang dilatarbelakangi oleh minimnya pengetahuan yang mereka punya tentang penyakit stroke serta perawatannya inilah yang nantinya memberikan kemungkinan terjadinya serangan stroke ulang (Safitri et al, 2012).
Universitas Sumatera Utara