15
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1.
Konsep Lansia 1.1.
Pengertian Lanjut Usia Lansia atau uisa tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup
seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang telah menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock, 1999). 1.2. Batasan Lanjut Usia Negara-negara maju di Eropa dan Amerika menganggap batasan umur lansia adalah 65 tahun dengan pertimbangan bahwa pada usia tersebut orang akan pensiun. Tetapi akhir-akhir ini telah dicapai consensus yang di tetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) bahwa sebagai batasan umur lansia adalah 60 tahun (Suryadi, 2003). 1.3.
Status Kesehatan Lansia Kesehatan dan status fungsional seorang lansia ditentukan oleh resultante dari
faktor-faktor fisik, psikologik dan social ekonomi. Faktor-faktor tersebut tidak selalu sama besar perananya sehingga selalu harus di perbaiki bersamaan dengan perawatan pasien secara menyeluruh. Di Negara-negara sedang berkembang faktor sosial ekonomi atau financial hamper selalu meropakan kendala yang penting (Surayadi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
16
1.4.
Perjalanan Penyakit Lansia Pada umumnya perjalanan penyakit lansia adalah kronik (menahun),
diselingi dengan eksaserbasi akut. Selain dari pada itu penyakitnya bersifat progresif yang mengakibatkan kecacatan. Yang lama sebelum akhirnya penderita meninggal dunia. Penyakit yang progresif ini berbeda dengan penyakit pada usia remaja atau dewasa yaitu tidak memeberikan proteksi atau imunitas tetapi justru menjadikan lansia rentan terhadap penyakit lain karena daya dahan tubuh yang makin menurun (Suryadi, 2003). 1.5.
Sifat Penyakit Lansia Sifat penyakit orang-orang pada lansia perlu sekali untuk dikenali supaya kita
tidak salah ataupun terlambat menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang mengikutinyadengan segera dapat di laksanakan, sebab penyakit pada orang-orang lansia umumnya lebih lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena menurunya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Selain itu produksi zat-zat untuk tahan tubuh akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu faktor penyebab eksogen (infeksi) akan lebih mudah hinggap. Seringkali juga terjadi penyebab penyakit pada lansia tersembunyi, sehingga perlu dicari secara sadar dan aktif. Keluhan-keluhan pasien lansia sering tidak khas, tidak jelas, apatik dan simptomatik. Oleh karena sifat-sifat asimptomatik atau tidak khas tadi, akan mengakibatkan variasi individual munculnya gejala dan tanda-tanda penyakit meskipun penyakitnya sama (Surayadi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
17
1.6.
Diagnosis Penyakit Pada Lansia Membuat diagnosa penyakit pada lansia pada umumnya lebih sukar
dibandingkan pasien usia remaja atau dewasa. Oleh karena menegakkan diagnosis pasien lansia kita perlu melakukan observasi penderita agak lebih lama, sambil dengan mengamati dengan cermat tanda-tanda dan gejala-gejala penyakitnya yang juga sering kali tidak nyata. Dalam hal ini allo- anamneses dari keluarga harus digali. Seringkali sebab penyakitnya bersifat berganda dan kumulatif, terlapes satu sama lain ataupun saling mempengaruhi timbulnya (suriyadi, 2003) 1.7.
Perubahan yang Terjadi Pada Lansia Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, mental, dan
psikososial. a.
Perubahan Fisik Kekuatan fisik secara menyeluruh berkurang, merasa cepat lelah dan stamina menurun, sikap badan yang semula tegap menjadi membungkuk, otot-otot mengecil, hipotropis, terutama di bagian dada dan lengan, dan pada kulit mengerut atau kriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis. Sedangkan pada rambut telah memutih dan pertumbuhan berkurang sedang rambut dalam hidung dan telinga mulai menebal. Dan perubahan pada indra misalnya pada penglihatan, hilangnya daya akomodasi. Pada pendengaran pengumpulan serumen dapat terjadi karena meningkatnya kreatinin. Dan selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
18
adalah pengapuran pada tulang rawan, seperti tulang dada sehingga dada menjadi kaku dan sulit bernafas. b.
Perubahan Sosial Perubahan sosial yang terjadi adalah perubahan peran post power syndrome, single women, dan single parent. Dan ketika lansia lainnya meninggal maka muncul perasaan kapan akan meninggal, terjadinya kepikunan yang dapat mengganggu dalam bersosialisasi serta emosi mudah berubah, sring marah- marah dan mudah tersinggung.
c.
Perubahan Psikologi Perubahan pada lansia meliputi short term memory. Frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan depresi dan kecemasan.
2. Konsep Penyakit Kronik 2.1. Definisi Penyakit Kronis Menurut Blesky (1990) penyakit kronis adalah penyakit yang mempunyi karakteristik yaitu suatu penyakit yang bertahap-tahap, mempunyai perjalan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan. Sedangkan menurut Adelman & Daly (2001) penyakit kronis adalah penyakit yang membutuhkan waktu yang cukup lama, tidak terjadi secra tiba-tiba atau spontan, dan biasanya tidak dapat disembuhkan dengan sempurna. Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya tidak pasti, memilki faktor resiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama, menyebabkan kerusakan
Universitas Sumatera Utara
19
fungsi natau ketidak mampuan, dan tidak dapat di sembuhkan. Penyakit kronis ini tidak disebabkan oleh infeksi atau pathogen melainkan oleh gaya hidup, prilaku beresiko, pajanan yang berkaitan dengan proses penuaan. Penyakit kronis cendrung menyebabkan kerusakan yang bersifat permanen yang memperlihatkan adanya penurunan atau menghilangnya suatu kemampuan untuk menjalankanberbagai
fungsi,
terutama
muskuloskletal
dan
organ-organ
pengindraan. Penyakit kronis tidak dapat disembuhkan ttapi dapat diminimalkan tingkat keparahanya dengan merubah prilaku, gaya hidup dan pajanan terhadap faktor-faktor tertentu di dalam kehidupan.
2.2. Kategori Penyakit Kronis Menurut Christianson, dkk (1998 dikutip dari Conrad, 1978) ada beberapa penyakit kronis yaitu, Lived With Illnesses. Pada kategori ini individu diharuskan beradaptasi dan mempelajari kondisi penyakitnya selam hidup, dan biasanya mereka tidak mengalami kehidupan yang mengancam. Penyakit yang termasuk dalam katgori ini adalah diabetes, asma, arthritis, dan epilepsi. Mortal Illnesses. Pada kategori ini secara jelas individu kehidupannya terancam dan individu yang menderita penyakit ini hanya bias merasakan gejalagejala dari penyskitnya dan ancaman kematian. Penyakit yang dalam kategori ini adalah kanker dan penyakit kardiovaskuler. At Risk Illnesses. Kategori penyakit ini sangat berbeda dari dua kategori sebelumnya. Pada kategori penyakit ini tidak menekankan pada penyakitnya
Universitas Sumatera Utara
20
tetapi pada resiko penyakitnya. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah hipertensi, dan penyakit yang berhubungan dengan hereditas. 2.3. Fase-fase Penyakit Kronis Menurut Smeltzer & Bare (2001) ada sembilan fase dalam penyakit kronis, yaitu : Fase Pra-trajectory.Indivividu berisoko terhadap penyakit kronis karena faktor-faktor genetik atau prilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap penyakit kronis. Fase Trajectory. Adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis. Fase ini sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan pemeriksaan diagnostic sering dilakukan. Fase stabil. Terjadi ketika gejala-gejala dan perjalanan penyakit terkontrol. Aktifitas kehidupan sehari-hari dapat tertangani dalam keterbatasan penyakit. Terhadap gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Fase tidak stabil. Periode ketidakmampuan untuk menjaga gejala tetap terkontrol atau reaktivasi penyakit. Terdapat gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Fase akut. Ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak dapat pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk menanganinya. Fase krisis. Ditandai dengan situasi kritis atau mengancam jiwa yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan.
Universitas Sumatera Utara
21
Fase pulih. Pulih kembali pada cara hidup yang diterima dalam batasan yang dibebani oleh penyakit kronis. Fase penurunan. Terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang dan disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam mengatasi gejalaa-gejala. Fase kematian. Ditandai dengan penurunan bertahap tau cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual. 2.4. Penyakit Kronis Pada Lansia Beberapa penyakit yang di derita lansia antara lain, penyakit Alzheimer, ateroskoliosis, kanker, gagal jantung kongestif, penyakit arteri koroner, diabetes glukoma, hipertensi, osteoarthritis, stroke (Timmreck, 2005). Dari penelitian bersama badan kesehatan dunia (WHO: World Health Organization) dan 4 negara di Asia Tenggara Termasuk Indonesia pada tahun 1990 para lansia (usia 60 tahun ke atas) penyakit arthritis/rematik menempati peringkat pertama yaitu 49,0%.
Universitas Sumatera Utara
22
Table studi komunitas lansia oleh badan kesehatan dunia (WHO) di Jawa Tengah Tahun (1990). NO 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10
Penyakit/Keluhan Artritis/reumatik Hipertensi + PJK Bonkitis/Dispnea Diabetes militus Jatuh Stroke/ paralisis TB paru Patah tulang Kanker Masalah kesehatan yang mempengaruhi kepada aktivitas hidup sehari-hari
% 49.0 15,2 7,4 3,3 2,5 2,1 1,8 1,0 0,7 29,3
W:P W>P W>P W
P W=P W=P W=P
2.5. Manajemen penyakit kronis penyakit kronis menghasilkan beban terbesar dari bidang kesehatan dalam masyarakat di masa modern saat ini. Para dokter sedang menghadapi tantangan terbesar dalam mengatasi masalah tersebut. Sedangkan jumlah penderita penyakit kronis terus bertambah dari tahun ke tahun. Kebanyakan penderita penyakit kronis tersebut memiliki minimal dua atau bahkan lebih dari dua penyakit yang diderita. Istilah manajemen penyakit kronis atau chronic disease management (CDM) adalah sistem pelayanan yang dirancang untuk meningkatkan dejarat kesehatan pasien dan mengurangi biaya yang berkaitan dengan penyakit jangka panjang Maver (2008). Pada dasarnya sistem ini bertujuan untuk menciptakan cost-effective treatment yang terdiri dari promosi kesehatan, tindakan preventif, mendeteksi secara dini, dan gaya hidup sehat.
Universitas Sumatera Utara
23
Keberhasilan sebuah manajemen penyakit kronis yang baik dapat tercipta apabila komponen-komponen kunci ini dapat terpenuhi yaitu, penggunaan sistem informasi untuk mengakses data kunci pada individu dan populasi, mengidentifikasi pasien dengan penyakit kronis, stratifikasi pasien menurut risiko, melibatkan pasien dalam perawatan mereka sendiri, melibatkan multidisciplinary teams, mengintegrasikan keahlian dokter spesialis dan dokter umum, mengintegrasikan perawatan melintasi batas organisasi, bertujuan untuk meminimalkan kunjungan yang tidak perlu. Sehingga, untuk mencapai semua syarat tersebut diperlukan sebuah hubungan timbal balik yang erat antara masyarakat, sistem kesehatan dan kinerja institusi kesehatan. Dalam hal kinerja institusi kesehatan, sebuah institusi di katakan memiliki kinreja yang baik apabila memenuhi aspek menurut Grumbach & Bodenheimer (2004) adalah sistem organisasi yang terintregasi dan terstuktur secara baik, pembagian kerja antara dokter spesialis, dokter umum perawat , dan profesional kesehatan lainnya yang tidak overlapping satu sama lain, Effective team work antar profesional kesehatan, komunikasi dan kolaborasi antar profesional kesehatan dalam pengelolaan konflik (managing conflict) Saat ini, manajemen penyakit kronis sendiri telah diaplikasikan di Indonesia, khususnya di puskesmas. Dengn merubah tren pengobatan kuratif menjadi preventif, puskesmas yang notaben garda depan pelayanan kesehatan dituntut untuk mampu menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat.
Universitas Sumatera Utara
24
3. Konsep Interaksi Sosial 3.1. Definisi Interaksi Sosial Menurut Maryati dan Suryawati (2003) bahwa interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respon antar individu, anatar kelompok atau antar individu dan kelompok. Pendapat lain dikemukakan oleh Murdiyatmoko dan Handayani (2004) interaksi social adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi yang menhasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial. Dan menurut Siagian (2004) interaksi positif hanya mungkin terjadi apabila terdapat suasana saling mempercayai, menghargai dan saling mendukung. 3.2. Macam-macam Interaksi Sosial Menurut Muryati dan Suryawati (2003) interaksi sosial dibagi menjadi 3 macam anatara lain: 1. Interaksi antar individu dan individu artinya, dalam hubungan ini bisa terjadi hubungan positif dan negative. Interaksi positif jika hubungan yang terjadi saling menguntungkan. Interaksi negatife, jika hubungan timbal balik merugikan satu pihak atau keduanya (bermusuhan), 2. Interaksi antar invidu dan kelompok artinya, interaksi ini pun dapat berlangsung secara positif maupun negatif. Bentuk interaksi sosial individu dan kelompok bermacam-macam sesuai situasi dan kondisi. Dan yang ke 3. Interaksi sosial antar kelompok dan kelompok, intraksi sosial kelompok dan kelompok ini terjadi sebagai satu kesatuan bukan kehendak pribadi. 3.3. Bentuk- bentuk Interaksi Sosial
Universitas Sumatera Utara
25
Menurut Indah (2002), interaksi social dikategorikan kedalam bentuk yaitu, Interaksi sosial yang bersifat asosiatif yaitu yang mengarah kepada bentuk-bentuk asosiasi (hubungan atau gabungan) seperti : a)
Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
b)
Akomodasi adalah suatu proses penyesuaian sosial dalam interaksi antara pribadi dan kelompok-kelompok untuk meredakan pertentangan.
c)
Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam jangka waktu lama.
d)
Aukulturasi adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok masyarakat manusia dengan satu kebudayaan tertentu di hadapkan dengan unsur-unsur dari kebudayaan asing.sedemikian rupa sehingga lambat laun usur-unsur kebudayaan asing itu di terima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.
e)
Interaksi sosial yang bersifat disosiatif, yakni yang mengarah pada bentuk-bentuk pertentangan atau konflik seperti, 1) Persaingan adalah suatu perjuangan yang dilakukan perorangan atau kelompok sosial tertentu, agar memperoleh kemenangan atau ahsil secara kompetetif, tanpa menimbulkan ancaman atau benturan fisik dipihak lawannya. 2) Kontravensi adalah bentuk proses sosial yang berada
Universitas Sumatera Utara
26
diantara persaingan dan pertentengan atau konflik. Wujud kontravensi antara lain sikap tidak senang, baik secara tersembunyi maupun secara terang-terangan yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok atau terhadap unsur-unsur kebudayaan golongan tertentu. Sikap tersebut dapat berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai pada kebencian akan tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau konflik. 3) Konflik adalah proses sosial antara perorangan atau kelompok masyarakat tertentu, akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya semacam gap atau jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial dianatara mereka yang bertikai tersebut.
3.4. Ciri-ciri Interaksi Sosial Menurut Beriadi (2002), ada empat ciri-ciri interaksi sosial anatara lain, jumlah pelakunya lebih dari satu orang, terjadinya komunikasi diantara pelaku melalui kontak sosial, mempunyai maksud atau tujuan yang jelas, dan dilaksanakan melalui satu pola sistem sosial tertentu. 3.5. Faktor-faktor Terjadinya Interaksi Sosial Menurut zaini (2003), interaksi sosial bisa berlangsung jika memenuhi dua syarat anatar lain, adanya kontak sosial, adalah hubungan antara satu pihak dengan pihak lain yang merupakan awal terjadinya interaksi sosial, dan masingmasing pihak saling beraksi antara satu sama lain meski tidak harus bersentuhan
Universitas Sumatera Utara
27
secara fisik. Dan yang ke dua adalah komunikasi, berhubungan atau bergaul dengan orang lain. 3.6.
Bentuk-bentuk penyimpangan pada interaksi sosial Bentuk-bentuk penyimpangan dalam interaksi sosial dikategorikan
menjadi 2 antara lain, penyimpangan primer adalah penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi sipelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Sedangkan penyimpangan sekunder adalah penyimpangan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai prilaku penyimpang. Penyimpangan ini tidak biasa ditolerir oleh masyarakat. Penyimpangan ini juga mempunyai faktor dan penyebab antara lain, longgar tidaknya nilai norma, sosialisasi yang tidak sempurna, sosialisasi sub kebudayaan yang menyimpang. Dan peneybab prilaku menyimpang ada 3 anatara lain adalah, 1) penyebab biologis berdasarkan ciri-ciri biologis tertentu orang dapat diidentifikasikan ciri-ciri tersebut antara lain bentuk muka, 2) psikologis menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecendrungan untuk melakukan penyimpangan atau traumatik, 3) sosiologis menjelaskan sebab terjadinya prilaku menyimpang ada kaitannya dengan sosialisasi yang kurang tepat individu tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya (Hariono, 2005). 3.7. Sosialisai Pada Lansia
Universitas Sumatera Utara
28
Sosialisasi
pada lansia mengalmi
kemunduran setelah terjadinya
pemutusan hubungan kerja atau tibanya saat pensin. Teman-teman sekerja yang biasanya menjadi curahan sgala masalah sudah tidak dapat dijumpai setiap hari. Lebih-lebih lagi ketika teman sebaya sudah lebih dahulu meninggalkannya. Sosialisa yang dapat dilakukan adalah dengan keluarga dan masyarakat yang relatif berusia lebih muda. Pada umumnya hubungan sosial yang dilakukan para lansia karena mengacu pada teori pertukaran sosial. Dalam teori pertukaran sosial sumber kebahagian manusia umumnya berasal dari hubungn sosial. Hubungan ini mendatangkan kepuasan yang timbul dari prilaku oramng lain (Ratnasuhartini, 2005).
Universitas Sumatera Utara