5
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1
Definisi Jembatan Secara Umum Pengertian jembatan secara umum adalah Jembatan merupakan bagian dari
jalan raya dan merupakan suatu konstruksi bangunan yang bertujuan untuk menghubungkan antara jalan yang
satu dengan yang lain yang terputus oleh
rintangan, misalnya : sungai, rawa atau hal lain. Berdasarkan fungsinya, jembatan dapat dibedakan sebagai berikut. •
Jembatan jalan raya (highway bridge),
•
Jembatan Jalan Kereta Api (railway bridge),
•
Jembatan pejalan kaki atau penyeberangan (pedestrian bridge).
Berdasarkan bahan konstruksinya, jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain : •
Jembatan kayu (log bridge),
•
Jembatan beton (concrete bridge),
•
Jembatan beton prategang (prestressed concrete bridge),
•
Jembatan baja (steel bridge),
•
Jembatan komposit (compossite bridge).
2.1.1 Struktur Jembatan Secara Umum Secara umum struktur jembatan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu struktur atas dan struktur bawah. A. Struktur Atas (Superstructures) Struktur atas jembatan merupakan bagian yang menerima beban langsung yang meliputi berat sendiri, beban mati, beban mati tambahan, beban lalulintas kendaraan, gaya rem, beban pejalan kaki, dll.
6
Struktur atas jembatan umumnya meliputi : a. Trotoar : • Sandaran dan tiang sandaran, • Peninggian trotoar (Kerb), • Slab lantai trotoar. b. Slab lantai kendaraan, c. Gelagar (Girder), d. Balok diafragma, e. Ikatan pengaku (ikatan angin, ikatan melintang), f. Tumpuan (Bearing) B. Struktur Bawah (Substructures) Struktur bawah jembatan berfungsi memikul seluruh beban struktur atas dan beban lain yang ditumbulkan oleh tekanan tanah, aliran air dan hanyutan, tumbukan, gesekan pada tumpuan dsb. untuk kemudian disalurkan ke fondasi. Selanjutnya beban-beban tersebut disalurkan oleh Pondasi ke tanah dasar. Struktur bawah jembatan umumnya meliuputi : a) Pangkal jembatan (Abutment), o Dinding belakang (Back wall), o Dinding penahan (Breast wall), o Dinding sayap(Wing wall), o Oprit, plat injak (Approach slab) o Konsol pendek untuk jacking (Corbel),
7
oTumpuan (Bearing). b) Pilar jembatan (Pier), o Kepala pilar (Pier Head), o Pilar (Pier), yg berupa dinding, kolom, atau portal, o Konsol pendek untuk jacking (Corbel), o Tumpuan (Bearing). o Tiang pancang beton prategang pracetak (PrecastPrestressed Concrete Pile), spun pile, o Tiang beton cetak di tempat (Concrete Cast in Place), borepile, franky pile, o Tiang pancang komposit (Compossite Pile). 2.2
Jembatan beton prategang (prestressed concrete bridge) Beton prategang adalah jenis beton dimana tulangan bajanya kan
ditarik/ditegangkan terhadap betonnya. Penarikan ini menghasilkan system kesetimbangan pada tegangan dalam (tarik pada baja dan tekan pada beton) yang akan meningkatkan kemampuan beton untuk menahan beban luar. Karena beton cukup kuat dan daktail terhadap tekanan dan sebaliknya lemah serta rapuh terhadap tarikan maka kemampuan menahan beban luar dapat ditingkatkan dengan pemberian pratekan (Collins&Mitchell,1991). 2.2.1
Prinsip Dasar Prategang Pemberian gaya prategang ditentukan berdasarkan jenis sistem yang
dilaksanakan dan panjang bentang serta kelangsingan yang dikehendaki. Akibat gaya prategang diberikan secara longitudinal di sepanjang atau sejajar dengan sumbu komponen struktur, maka prinsip-prinsip prategang dikenal sebagai pemberian prategang linier.
8
2.2.2
Konsep Dasar Tegangan Pada Beton Prategang Menurut T.Y. Lin dan Burns (1982), ada tiga konsep yang berbeda
dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang : a. Sistem prategang untuk mengubah beton menjadi bahan dasar yang elastic Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastic dan merupakan pendapat yang umum dari para insinyur. Menurut Eugene Freyssinet yang memvisualisasikan beton prategang pada dasarnya adalah beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastic dengan memberikan tekanan terlebih dahulu pada bahan tersebut. Benda yang mengalami system pembebanan yaitu gaya internal prategang dan beban eksternal, dengan tegangan tarik akibat gaya eksternal dilawan oleh tegangan tekan akibat gaya prategang, distribusi tegangan dapat d i l i h at pada gambar di bawah ini.
G G a mbar 2.1 Balok diberi gaya prategang secara eksentris dan dibebani
9
Gambar 2.2 Distribusi Tegangan
b.
Sistem prategang untuk kombinasi baja mutu tinggi dengan beton Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari baja dan beton seperti pada beton prategang bertulang dimana baja menahan tarikan dan beton menahan desakan, dengan demikian kedua bahan membentuk tahanan untuk menahan momen eksternal.
Gambar 2.3 Momen tahanan internal pada balok prategang dan beton bertulang c.
Sistem prategang untuk mencapai perimbangan beton Konsep ini menggunakan prategang sebagai usaha untuk membuat seimbang gaya-gaya pada sebuah batang. Pada keseluruhan desain ini struktur beton prategang , pengaruh dari prategang dipandang sebagai keseimbangan berat sendiri sehingga batang yang mengalami lenturan seperti pelat,balok, dan gelagar tidak akan mengalami tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi.
10
2.3
Tahap Pembebanan Tahapan pembebanan terdiri dari dua tahap yaitu, initial stage dan final
stage yang diuraikan sebagai berikut : a.
Initial stage Initial stage adalah tahap dimana gaya prategang dipindahkan pada beton dan tidak ada beban luar yang bekerja selain berat sendiri. Pada tahap ini gaya prategang maksimum sebab belum ada kehilangan prategang dan kekuatan beton minimum sebab umur beton masih muda, konsekuensinya tegangan pada beton menjadi kritis.
Gambar 2.4 Retak pada saat initial stage b.
Final Stage Tahap ini adalah pembebanan yang paling berat untuik kondisi masa
pelayanan, dengan asumsi bahwa semua kehilangan
prategang telah terjadi sehingga gaya prategang telah mencapai nilai terkecil dan kombinasi beban luar mencapai nilai terbesar yaitu meliputi berat sendiri, beban mati, beban hidup, beban kejut dan sejenisnya. 2.4
Pendekatan Perancangan Untuk memperoleh hasil perancangan yang menjamin keamanan,
beberapa pendekatan perancangan dapat diterapkan. Pendekatan ini umumnya berdasarkan teori yang didukung oleh bukti-bukti . Beberapa pendekatan ini antara lain : perancangan tegangan kerja (working stress design), perancangan kekuatan batas (ultimate strength design), perancangan plastis (limit or plastic design), perancangan non linier (non-linear design). a.
Perancangan tegangan kerja (working stress design/WSD)
11
Pada pendekatan ini tegangan di bawah beton kerja dibatasi dengan tegangan ijin dan struktur diasumsikan elastic linier. Tegangan ijin ditetapkan bermacam-macam peraturan. Sebagai contoh tegangan tekan ijin maksimum terhadap lentur pada beton dapat diambil sebesar 0.45 f’c. perancangan tegangan kerja pada serat terluar umumnya ditinjau dalam dua keadaan yaitu saat baja ditega.Yngkan dan pada masa pelayanan.
• Kondisi awal : :
ft,i ……………………… (2.1)
Serat bawah :
fc,f ……………………… (2.2)
Serat atas
• kondisi setelah kehilangan gaya prategang : Serat atas
:
fc,i……………………… (2.3)
Serat bawah :
fc,f……….….………… (2.4)
Dimana :
b.
Ft,i
: tegangan tarik ijin pada initial stage
Ft,f
: tegangan tarik ijin pada final stage
Fc,I
: tegangan desak ijin pada initial stage
Fc,f
: tegangan desak ijin pada final stage
Perancangan kuat batas (ultimate strength design/USD) Pada pendekatan ini beban kerja rencana dikalikan dengan factor beban dan struktur direncanakan untuk menahan beton terfaktor tersebut pada kapasitas batasnya. Beban terfaktor yang berhubungan dengan jenis beban ditunjukkan untuk mengurangi pengaruh derajat kemajemukan dan ketidaktentuan dari beban-beban tersebut. Pada kondisi batas, kuat batas lentur harus dihitung berdasarkan konsep kompatibilitas regangan dengan memperhitungkan regangan-regangan yang terjadi pada saat transfer prategang. Dalam SNI 1992, untuk perhitungan
12
kuat batas nilai fy harus diganti dengan fps. ACI memberikan persamaan perkiraan nilai fps sebagai berikut: •
Untuk komponen struktur dengan tendon terekat: ………………………… (2.5) dengan: γp
: faktor berdasarkan bentuk hubungan tegangan regangan
kawat prategang ρp
: rasio tulangan prategang = Aps/b.dp
d : jarak titik tangkap gaya tekan ke pusat tulangan non prategang dp 2.5
: jarak titik tangkap gaya tekan ke pusat tulangan prategang
Perancangan Struktur Beton Berdasarkan SNI T-12-2004 tentang Perencanaan Struktur Beton untuk
Jembatan, maka didapatkan beberapa ketetapan : 2.5.1. A.
Beton Umum Standar perencanaan ini berlaku untuk struktur beton prategang untuk jembatan, dengan material beton normal yang memiliki kuat tekan (berdasarkan benda uji silinder) antara 30 MPa sampai dengan 60 MPa. Walaupun demikian, standar ini berlaku juga untuk penggunaan beton bermutu tinggi atau sangat tinggi dengan kuat tekan yang melebihi 60 MPa, dan apabila dianggap perlu dapat dilakukan penyesuaian pada ketentuan perilaku untuk material beton tersebut, berdasarkan suatu acuan teknis atau hasil penelitian yang bisa diterima oleh yang berwenang.
B.
Persyaratan material Sifat-sifat penting material seperti kekuatan (kekuatan tekan, tarik, dan lentur; kekuatan statis dan fatik ), kekakuan, perilaku yang tergantung waktu (rangkak, susut, relaksasi, serta perubahan tegangan dan kekakuan pada regangan tinggi), dan konduktivitas serta pengembangan akibat suhu harus
13
ditetapkan dengan benar sesuai batasan-batasan nilai yang diberikan di dalam bagian I, atau ditetapkan berdasarkan hasil pengujian.
C.
Selongsong Selongsong untuk sistem pasca tarik harus memenuhi ketentuan berikut: Selongsong untuk tendon baja prategang harus kedap mortar dan tidak reaktif dengan beton, baja prategang, atau bahan grouting yang akan digunakan. Selongsong untuk tendon yang akan dilakukan grouting harus mempunyai diameter dalam setidaknya 6 mm lebih besar dari diameter tendon. Selongsong tendon yang akan dilakukan grouting harus mempunyai luas penampang dalam minimum 2 kali luas tendon.
14
D.
Kuat Tekan Bila tidak disebutkan lain dalam spesifikasi teknik, kuat tekan harus diartikan sebagai kuat tekan beton pada umur 28 hari, fc’, dengan berdasarkan suatu kriteria perancangan dan keberhasilan sebagai berikut: -
Ditetapkan berdasarkan prosedur probabilitas statistik dari hasil pengujian tekan pada sekelompok benda uji silinder dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm, dinyatakan dalam satuan MPa, dengan kemungkinan kegagalan sebesar 5%.
- Sama dengan mutu kekuatan tekan beton yang ditentukan dalam kriteria perencanaan, dengan syarat perawatan beton tersebut sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. - Mencapai
tingkat
keberhasilan
dalam
pelaksanaan,
berdasarkan
hasilpengujian pada benda uji silinder, dinyatakan dalam satuan MPa, yang memenuhi kriteria keberhasilan. Dalam segala hal, beton dengan kuat tekan (benda uji silinder) yang kurang dari 20 MPa tidak dibenarkan untuk digunakan dalam pekerjaan struktur beton untuk jembatan, kecuali untuk pembetonan yang tidak dituntut persyaratan kekuatan. Dalam hal komponen struktur beton prategang, sehubungan dengan pengaruh gaya prategang pada tegangan dan regangan beton, baik dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang, maka kuat tekan beton disyaratkan untuk tidak lebih rendah dari 30 MPa. •
Kuat Tarik Kuat tarik langsung dari beton, fct, bisa diambil dari ketentuan: - 0,33 √fc’ MPa pada umur 28 hari, dengan perawatan standar; atau - Dihitung secara probabilitas statistik dari hasil pengujian.
• Tegangan ijin pada saat kondisi layan Tegangan tekan dalam penampang beton, akibat semua kombinasi beban tetap pada kondisi batas layan lentur dan/atau aksial tekan, tidak boleh melampaui nilai 0,45 fc’, di mana fc’ adalah kuat tekan beton yang direncanakan pada umur 28 hari, dinyatakan dalam satuan MPa.
15
• Tegangan ijin tekan pada kondisi beban sementara atau kondisi transfer gaya prategang untuk komponen beton prategang Untuk kondisi beban sementara, atau untuk komponen beton prategang pada saat transfer gaya prategang, tegangan tekan dalam penampang beton tidak boleh melampaui nilai 0,60 fci’, di mana fci’ adalah kuat tekan beton yang direncanakan pada umur saat dibebani atau dilakukan transfer gaya prategang, dinyatakan dalam satuan MPa • Tegangan ijin tarik pada kondisi batas layan Tegangan tarik yang diijinkan terjadi pada penampang beton, boleh diambil untuk: - beton tanpa tulangan : 0,15 √fc’ ....... …………… …………… (2.6) - beton prategang penuh : 0,5 √fc’ ................................................ (2.7) Tegangan ijin tarik dinyatakan dalam satuan MPa. • Tegangan ijin tarik pada kondisi transfer gaya prategang untuk komponen beton prategang Tegangan tarik yang diijinkan terjadi pada penampang beton untuk kondisi transfer gaya prategang, diambil dari nilai-nilai: - Serat terluar mengalami tegangan tarik, tidak boleh melebihi nilai 0,25 √fci’, kecuali untuk kondisi di bawah ini. - Serat terluar pada ujung komponen struktur yang didukung sederhana dan mengalami tegangan tarik, tidak boleh melebihi nilai 0,5 √fci’. Tegangan ijin tarik dinyatakan dalam satuan MPa. •
Massa jenis Massa jenis beton, wc, ditentukan dari nilai-nilai: - Untuk beton dengan berat normal, diambil tidak kurang dari 3
2400kg/m ; atau - Ditentukan dari hasil pengujian. •
Lengkung tegangan-regangan Lengkung tegangan-regangan beton bisa digambarkan sebagai: - Dianggap kurva bilinier atau trilinier berdasarkan persamaan matematik yang disederhanakan.
16
- Dianggap linier, berdasarkan tegangan kerja. •
Modulus elastisitas Modulus elastisitas beton, Ec , nilainya tergantung pada mutu beton, yang terutama dipengaruhi oleh material dan proporsi campuran beton. Namun untuk analisis perencanaan struktur beton yang menggunakan beton normal dengan kuat tekan yang tidak melampaui 60 MPa, atau beton 3
ringan dengan berat jenis yang tidak kurang dari 2000 kg/m dan kuat tekan yang tidak melampaui 40 MPa, •
Angka Poisson Angka Poisson untuk beton, ν, bisa diambil sebesar: - 0,2 atau - Ditentukan dari hasil pengujian.
2.5.2
Faktor beban dan kombinasi pembebanan Untuk besaran beban dan kombinasi pembebanan, diambil mengacu kepada
Standar Pembebanan untuk Jembatan Jalan Raya. •
Faktor reduksi kekuatan Faktor reduksi kekuatan diambil dari nilai-nilai berikut: - Lentur
0,80
- Geser dan Torsi
0,70
- Aksial tekan : * dengan tulangan spiral
0,70
* dengan sengkang biasa
0,65
- Tumpuan beton 2.5.3
0,70
Lendutan Dan Penampang Prategang Defleksi pada balok beton prategang dapat diprediksi dengan ketelitian yang
lebih besar daripada balok beton bertulang. Pada beban kerja, balok beton prategang tidak akan retak, sedangkan beton bertulang akan retak. Karena adanya eksentrisitas kabel prategang, elemen balok prategang biasanya melengkung ke atas pada saat momen luar yang bekerja masih kecil. Defleksi ke atas ini disebut camber. Nilai camber ini dapat membesar atau mengecil dengan bertambahnya waktu. Sebaliknya beban luar yang bekerja akan menyebabkan defleksi ke bawah pada balok
17
Lendutan dari komponen struktur beton prategang harus dikontrol dengan alasan sebagai berikut : •
Adanya gaya prategang membuat struktur melengkung ke atas. Lengkungan ke atas (camber) yang besar bias menyebabkan kegagalan suatu komponen.
•
Pada struktur jembatan, lendutan ke bawah yang besar akan mengurangi kenyamanan pengedara.
•
Lendutan yang besar bias merusak finishing, partisi atau bagian bangunan yang lain pada struktur gedung
Tabel 2.1 Batasan defleksi menurut panjang bentang Jenis Elemen Bentang sederhana atau menerus Kantilever
Defleksi yang Ditinjau
Defleksi seketika akibat beban hidup layan dan beban impak
Defleksi Maksimum yang Diizinkan Beban Beban Kendaraan Kendaraan +Pejalan Kaki L/800
L/1000
L/400
L/375
Tabel 2.2 Lendutan Akibat Beban dan Prategang Kondisi Pembebanan dan Profil Tendon pada Balok Sederhana dengan Bentang l Beban Merata
Beban Terpusat (1)
Beban Terpusat (2)
Eksentrisitas Konstan
Defleksi di Tengah bentang
18
Titik Harping Tunggal
Titik Harping Ganda
Profil Parabola
2.5.4
Tegangan Normal dan Lentur Dalam perhitungan tegangan terdapat 2 kondisi, yaitu tegangan normal dan
tegangan lentur. • Tegangan Normal Pada gambar 2.4, digambarkan suatu balok persegi panjang dengan tumpuan sederhana yang mengalami gaya prategang P konsentris.
Gambar 2.5 Distribusi tegangan akibat gaya prategang pada tendon Konsentrik Dari gambar di atas terlihat bahwa tegangan tekan di penampang balok tersebut seragam dan mempunyai intensitas sebesar :
…………………………………………..………..……………(2.8) dimana:
f
: Tegangan
A
: Luas penampang balok (bxh)
P
: Gaya tekan konsentris
19
• Tegangan Lentur Apabila suatu balok persegi panjang dengan tumpuan sederhana yang mengalami gaya prategang P konsentris dan beban transversal disepanjang balok, maka akan menimbulkan momen M ditengah Besar tegangan yang terjadi sebagai berikut: ……………………………...……………………………(2.9)
…………………………...……………………………...(2.10) dimana : f t : Tegangan di serat atas fb : Tegangan di serat bawah c : Titik Berat, H/2 untuk penampang persegi panjang I : Momen Inersia Bruto penampang 2.6
)
Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga, 1997, terdapat beberapa ketentuan : 2.6.1
Klasifikasi Menurut Kelas Jalan Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton. Tabel 2.3 Klasifikasi Kelas Jalan Fungsi
Kelas
Arteri
I II IIIA IIIA IIIB
Kolektor
2.6.2
Muatan Sumbu Terberat/MST(ton ) >10 10 8 8
Kendaraan Rencana Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Dilihat dari bentuk, ukuran dan daya dari kendaraan – kendaraan yang menggunakan jalan, kendaraan - kendaraan tersebut dapat dikelompokkan (Bina Marga, 1997).
20
Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan geometrik disesuaikan dengan fungsi jalan dan jenis kendaraan yang dominan menggunakan jalan tersebut. Pertimbangan biaya juga tentu ikut menentukan kendaraan yang dipilih sebagai perencanaan. Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori antara lain: 1. Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang. 2. Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as. 3. Kendaraan Besar, diwakili oleh truk semi-trailer. 2.6.3
Kecepatan Rencana Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh
kendaraan dibagi waktu tempuh, biasanya dinyatakan dalam km/jam. Kecepatan Rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang dan lain- lain (Sukirman, 1994). Tabel 2.4 Kecepatan Rencana, VR, Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Klasifikasi Medan Jalan Fungsi
Kolektor Lokal
2.6.4
Kecepatan Rencana,VR (km/jam) Datar Bukit Pegunungan 70-120 60-80 40-70 60-90 50-60 30-50 40-70 30-50 20-30
Lebar Lajur Lalu Lintas Lebar lajur lalu lintas merupakan bagian yang paling menentukan lebar
melintang jalan secara keseluruhan (Sukirman, 1994). Besarnya lebar lajur lalu lintas hanya dapat ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan karena : a. Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin akan dapat diikuti oleh lintasan kendaraan lain dengan tepat. b. Lajur lalu lintas mungkin tepat sama degan lebar kendaraan maksimum. Untuk keamanan dan kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan ruang gerak antara kendaraan.
21
c. Lintasan kendaraan tidak mengkin dibuat tetap sejajar sumbu lajur lalu lintas, karena selama bergerak akan mengalami gaya – gaya samping seperti tidak ratanya permukaan, gaya sentritugal ditikungan, dan gaya angin akibat kendaraan lain yang menyiap. Lebar lajur lalu lintas merupakan lebar kendaraan ditambah dengan ruang bebas antara kendaraan yang besarnya sangat ditentukan oleh keamanan dan kenyamanan yang diharapkan. Pada jalan lokal (kecepatan rendah) lebar jalan minimum 5,50 m (2 x 2,75) cukup memadai untuk jalan 2 jalur dengan 2 arah. Dengan pertimbangan biaya yang tersedia, lebar 5 m pun masih diperkenankan.Jalan arteri yang direncanakan untuk kecepatan tinggi, mempunyai lebar lajur lalu lintas lebih besar dari 3,25 m sebaiknya 3,50 m. Tabel 2.5 Lebar Lajur Ideal
2.6.5
FUNGSI
KELAS
LEBAR LAJUR IDEAL (m)
Arteri
I
3.75
II,IIIA
3.50
Kolektor
IIIA,IIIB
3,00
Lokal
IIIC
3,00
Kelas Jalan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1993 pasal 11,kelas jalan
terdiri dari: a. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton; b. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton;
22
c. Jalan kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton; d. Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton; e. Jalan kelas III C, yaitu jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 millimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 ton. 2.7
Pembebanan Lalu Lintas Beban lalu lintas berdasarkan RSNI T-02-2005 mengenai “ Standar
Pembenanan Untuk Jembatan” terdapat beberapa ketentuan,yaitu : 2.7.1
Umum Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur “D”
dan beban truk “T”. Beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri. Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” yang diterapkan per lajur lalu lintas rencana. Secara umum, beban “D” akan menjadi beban penentu dalam perhitungan jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedang beban “T” digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan.
23
2.7.2
Lajur lalu lintas rencana beban “D”
• Lajur lintas rencana Beban lajur “D” terdiri dari beban tersebar merata(BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT). Lalu lintas rencana harus mempunyai lebar 2,75m. Jumlah maksimum lajur lalu lintas yang digunakan, yaitu : Tabel 2.6 Jumlah lajur lalu lintas rencana Tipe Jembatan Satu lajur Dua arah, tanpa median Banyak arah
Lebar Jalur Kendaraan (m) 4,0 – 5,0 5,5 – 8,25 11,3-15,0
Jumlah lajur lalu lintas rencana (n) 1 2(3) 4
8,25-11,25 11,3-15,0 15,1-18,75 18,8-22,5
3 4 5 6
CATATAN: • Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas harus ditentukan oleh instansi berwenang. • Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb /rintangan/median dengan median untuk banyak arah. • Lebar minimum yang aman adalah dua lajur kendaraan adalah 6,0m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan mengiap.
Tabel 2.7 Faktor beban akibat lajur “D” Jangka Waktu Transien
Faktor Beban K s;;TD; K U;;TD; 1,0 1,8
• Beban terbagi rata (BTR) Mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani L seperti berikut L ≤ 30 m : q= 9,0 kPa L > 30 m : q= 9,0 q
: intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang
24
L
: panjang total jembatan yang dibebani (m)
• Beban garis (BGT) Intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas adalah 49,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negative maksimum pada jembatan menerus,
BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam
arah melintang jembatan pada bentang lainya. Gambar 2.6 Beban Lajur “ D”
Luas jalur yang ditempati median yang dimaksud dalam pasal ini harus dianggap bagian jalur dan dibebani dengan bebanh yang sesuai, kecuali apabila median tersebut terbuat dari penghalang lalu lintas yang tetap. 2.7.3
Pembebanan truk “T” Faktor untuk pembebanan T, dalam kondisi SLS dan ULS dapat dilihat pada
tabel 2.8 Tabel 2.8 Faktor beban akibat pembebanan truk “T” Jangka Waktu Transien
Faktor Beban K S;; TT; K U;;TT; 1,0 1,8
Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai susunan dan berat as. Berat masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara
25
roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bias diubah-ubah antara 4,0m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan. 2.7.4
Respon terhadap beban lalu lintas “T” Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh
momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan dengan: a. Menyebar beban truk tunggal “T” pada balok memanjang sesuai dengan faktor yang diberikan dalam table berikut : Tabel 2.9 Faktor distribusi untuk pembebanan truk “T” Jenis bangunan atas Pelat lantai beton di atas: • balok baja I atau balok beton pratekan • balok beton bertulang T •
balok kayu
Jembatan jalur tunggal
Jembatan jalur majemuk
S/4,2 (bila S > 3,0 m lihat catatan 1) S/4,0 (bila S > 1,8m lihat catatan 1) S/4,8 (bila S > 3,7 m, lihat catatan 1) S/2,4 S/3,3
S/3,4 (bila S > 4,3 m lihat catatan 1) S/3,6 (bila S > 3,0 m lihat catatan 1) S/4,2 (bila S > 4,9 m, lihat catatan 1) S/2,2 S/2,7
Lantai papan kayu Lantai baja gelombang tebal 50 mm atau lebih Kisi-kisi baja : S/2,6 S/2,4 • kurang dari S/3,6 S/3,0 tebal 100mm (bila S > 3,6 m lihat (bila S > 3,2 m lihat • tebal 100mm catatan 1) catatan 1) atau lebih CATATAN : • Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban roda dengan menganggap lantai antara gelagar sebagai balok sederhana. • Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang disebarkan oleh S/faktor ≥ 0,5 • S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang (m)
b. Momen lentur ultimit rencana akibat pembebanan truk “T” yang diberikan dapat digunakan untuk pelat lantai yang membentangi gelagar atau balok dalam arah melintang dengan bentang anatara 0,6 dan 7,4 m .
26
c. Bentang efektif S diambil sebagai berikut : • Untuk pelat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding (tanpa peninggian) , S= bentang bersih. • Untuk pelat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak dicor menjadi kesatuan, S= bentang bersih + setengah lebar dudukan tumpuan 2.7.5 A.
Kombinasi Pembebanan Highway Bridge Umum Kombinasi gaya untuk keadaan batas daya layan dan keadaan batas ultimit
dapat dilihat pada tabel 2.10 Tabel 2.10 Tipe aksi rencana Aksi Tetap Nama Berat Sendiri Beban mati tambahan Penyusutan/rangkak Prategang Pengaruh pelaksanaan tetap Tekanan tanah Penurunan
B.
Aksi Transien Simbol Nama Simbol TTD PMS Beban lajur “D” PMA Beban truk “T” TTT TTB Gaya rem PSR TTR Gaya sentrifugal PPR TTP Beban pejalan kaki PPL TTC Beban tumbukan TEW PTA Beban angin PES TEQ Gempa TVI Getaran TBF Gesekan pada perletakan Pengaruh temperature TET Arus/hanyutan/tumbukan TEF Hidro/daya apung TEU Beban pelaksanaan TCL
Kombinasi untuk aksi tetap Seluruh aksi tetap yang sesuai untuk jembatan tertentu diharapkan bekerja bersama-sama. Akan tetapi, apabila aksi tetap bekerja mengurangi pengaruh total, kombinasi beban harus diperhitungkan dengan menghilangkan aksi tersebut, apabila kehilangan tersebut bias diterima.
27
C.
Perubahan aksi tetap terhadap waktu Beberapa aksi tetap, seperti halnya beban mati tambahan PMA, penyusutan dan rangkak PSR, pengaruh prategang PPR dan pengaruh penurunan PES bias berubah perlahan-lahan berdasarkan kepada waktu. Kombinasi beban yang diambil termasuk harga maksimum dan minimum dari semua aksi untuk menentukan pengaruh total yang paling berbahaya.
D.
Kombinasi pada keadaan batas daya layan Kombinasi pada keadaan batas layan primer terdiri dari jumlah pengaruh aksi tetap dengan satu aksi transien. Pada keadaan batas daya layan, lebih dari satu aksi transien bias terjadi secara bersamaan.
Tabel 2.11 Kombinasi beban untuk keadaan batas daya layan Kombinasi Aksi tetap + satu aksi transien ( cat point 1& 2) Primer Kombinasi Kombinasi primer + 0,7 x(satu aksi transien lainnya) sekunder Kombinasi Kombinasi primer + 0,5 x (dua atau lebih aksi transien) tersier CATATAN : 1.Beban lajur “D” yaitu TTD atau beban truk “T” yaitu TTT diperlukan untuk membangkitkan gaya rem TTS dan gaya sentrifugal TTR pada jembatan. Tidak ada faktor pengurangan yang harus digunakan apabila TTB atau TTR terjadi dalam kombinasi dengan TTD atau TTT sebagai kombinasi primer. 2. Gesekan pada perletakan TBF bias terjadi bersamaan dengan pengaruh temperatur TET dan harus dianggap sebagai salah satu aksi untuk mobinasi beban.
2.7.6 A.
Beban Kerb Beban rencana pengahalang lalu lintas tingkat 1 Pembebanan rencana harus ditentukan berdasarkan refrensi literature khusus dan pertimbangan –pertimbangan berikut :
Tingkat resiko yang mungkin terjadi
Ukuran kendaraan yang bekerja
Kecepatan rencana lalu lintas
Lantai kendaraan dan sudut tumbukan yang mungkin terjadi
28
B.
Beban rencana penghalang lalu lintas tingkat 2
Beban rencana ultimit Penghalang lalu lintas tingkat 2 harus direncakan untuk menahan beban tumbukan rencana ultimit arah menyilang , P seperti berikut : P* = 100 kN untuk h ≤ 850 ………………………………...…(2.11) Beban rencana P* harus bekerja sebagai beban titik h
: tinggi sumbu dari bagian atas palang lalu lintas (mm)
28
2.8
Perencanaan Jembatan Pratekan Sesuai Bina Marga Perencanaan Struktur Beton Pratekan Untuk Jembatan sesuai dengan Manual
Bina Marga(021/BM/2011), terdapat beberapa ketetapan yaitu : 2.8.1 Perencanaan Berdasarkan Batas Layan(PBL) • Tegangan izin Tegangan izin tekan kondisi layan Tegangan izin tekan penampang beton
......................... (2.12) ................. (2.13)
Tegangan izin tarik pada kondisi batas layan(beton tanpa tulangan) : .......................................................................... (2.14) Tegangan izin tarik pada kondisi batas layan(beton prategang penuh): ............................................................................. (2.15) Tegangan izin tarik pada kondisi transfer gaya prategang (selain di perletakan) : ........................................................................... (2.16) Tegangan izin tarik pada kondisi transfer gaya prategang (di perletakan) : ............................................................................. (2.17) • Perjanjian Tanda: Tanda(+) untuk tegangan tarik Tanda(-) untuk tegangan tekan • Rumus perhitungan tegangan saat kondisi transfer dan kondisi Pe ≤ σti (tarik) ....................................... (2.18) ≥ σci (tekan) ....................................... (2.19)
29
Periksa tegangan pada serat atas dan serat bawah pada saat kondisi layan (midspan), yaitu : ≥ σcs (tekan) ................................... (2.20) (tarik) … ................................ (2.21) • Menentukan daerah aman kabel LIMIT KERN
CGC
eom =
Yb-dc
DAERAH AMAN KABEL
• Menghitung Nilai Lendutan Lendutan awal (initial), chamber akibat prestress : .................................................................................. (2.22) Defleksi akibat beban sendiri ................................................................................ (2.23) Defleksi jangka panjang : ................................................................. (2.24) Lendutan akhir ................................................................ (2.25)
......................................................... (2.26) ........................... (2.27) Sesuai dengan Peraturan Manual Perencanaan Struktur Beton Pratekan untuk Jembatan (021/BM/2011) halaman 2-14, nilai untuk maksimum defleksi untuk bentang sederhana atau menerus yaitu
.
30
Kontrol atau Check defleksi Defleksi jangka panjang total ................................................................ (2.28) Defleksi total .................................................................... (2.29) 2.8.2 •
Perencanaan Berdasarkan Batas Kekuatan Terfaktor (PBKT) Menentukan Sifat Penampang Komposit Rasio Modulus (nc) =
…………………………...(2.30)
Lebar sayap transform (be) =ncxbpl ……………………………(2.33) Luas Penampang Komposit ( Ack) = Ac + (be h slab)……….....(2.32) Momen Inersia Penampang Komposit … ……………………………………………………… (2.33) ................................................................................. (2.34) ................................................................... ……….(2.35) ................................................................................. (2.36) ................................................................................ (2.37) Garis berat bawah komposit ............................ (2.38) ............................................................. (2.39) •
Menghitung Momen Kapasitas ........................................................ (2.40) ........................................ (2.41) Nilai γp = γp
................................................................... (2.42)
: 0,55 bila fpy/fpu ≥ 0,8
31
0,40 bila fpy/fpu ≥ 0,85 0,28 bila fpy/fpu ≥ 0,9 γp =
, maka diambil 0,28
β1 tergantung dari nilai f’c : f’c ≤ 30 MPa, maka β1 = 0,85 f’c ≥ 55 MPa, maka β1 = 0,65
.................................................................. ..(2.43) .................................................................. ..(2.44) ................................................................... ..(2.45) ................................................................... ..(2.46) ................................................................... ..(2.47) Kabel Post- Tension Grouting (fps) ......................... ..(2.48) •
Lebar stress blok pada beton Dalam mencari lebar stress blok pada beton, diasumsikan blok beton berada di dalam flens( sesuai Peraturan Bina Marga halaman 3-22) ................................................................... ..(2.49) ................................................................... ..(2.50) ................................................................... ..(2.51)
•
Periksa tulangan maksimum Berdasarkan ACI/ Nawy untuk balok segi empat sebagai berikut : ................................................................... ..(2.52) Baja Tulangan Jika baja tulangan diperhitungkan, maka terdapat beberapa ketentuan
.................................................... ..(2.53)
32
•
Periksa Momen Desain Ultimate .................................. . (2.54) Cek :
•
Mu <
, dimana
Momen Retak Penampang ..................................... (2.55) ................................................. (2.56) ................................................................... (2.57)
•
Menghitung Gaya Geser Ultimate Sesuai dengan Peraturan Bina Marga pada halaman 3-26 untuk kekuatan rencana harus diambil sebesar ϕ, dimana kuat geser batas Vn , dan ϕ adalah faktor reduksi yang diambil 0,75 . Oleh karena itu agar dapat memenuhi syarat keamanan geser, maka kuat geser rencana harus diambil tidak lebih kecil dari gaya geser ultimit ϕVn≥Vu
................................................................... . (2.58)
bv
= lebar penampang geser
d
= tinggi efektif penampang geser
Menentukan Luas Tulangan Geser (Av) ....................................................... . (2.59) Untuk ketentuan beton normal λ= 1 digunakan ketentuan
............................ . (2.60)
jika
,
Menentukan luas tulangan minimum ................................................................... . (2.61) Luas tulangan untuk titik x0 ................................................................... . (2.61) ........................................................... . (2.62)
33
........................... ..(2.63) 2.8.3
Kehilangan Gaya Pratekan (Losses) Dikutip dari Peraturan Bina Marga halaman 4-1, secara umum kehilangan
gaya pratekan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : A.
Friksi Kehilangan tegangan akibat friksi antara tendon dan selongsong beton sekitarnya dapat dihitung menggunakan rumus : ........................................................... ..(2.64) = kehilangan gaya prategang akibat friksi = tegangan baja prategang saat jacking = nilai dasar natural naverian = koefisien friksi sesuai spesifikasi material = perubahan sudut total dari profil lay out kabel dalam radian dari titik jecking
L
= koefisien baja prategang diukur dari titik jacking
Koefisien friksi untuk tendon pasca tarik ( CL.59522 AASHTO -2004) B.
Kehilangan Akibat Slip Angkur Modulus Elastisitas Kabel (Eps) Besarnya slip angkur ( Kehilangan akibat friksi sejarak L (d) ................................................................... ..(2.65) Jarak yang terpengaruh oleh slip angkur (x) : ................................................................... ..(2.66) Kehilangan tegangan akibat anchor set (
):
................................................................... ..(2.67) Check tegangan pada posisi angkur setelah slip (tegangan harus > 0,7 fpu)
34
................................................................... . (2.68)
C.
Kehilangan Akibat Pemendekan Beton ................................................................... . (2.69) ................................................................... . (2.70)
D.
Modulus Elastisitas (Eps) ................................................................... . (2.71) ................................................................... . (2.72) fpj = 0,75 fpu
................................................................... . (2.73)
Berdasarkan layout tendon yang memiliki eksentrisitas terhadap pusat penampang dan berat sendiri beton ikut diperhitungkan, maka : ........................................................ . (2.74) fcs
= tegangan dalam beton pada level pusat tendon prategang
Kehilangan tegangan pada beton pra-tarik ................................................................... . (2.75) ................................................................... . (2.76) Berdasarkan Manual Design Bina Marga, halaman 4-13, terdapatbeberapa ketentuan mengenai kehilangan tegangan akibat beton paska-tarik:
Untuk ditarik tidak bersamaan masing-masing per 2 tendon ntj
=2
jumlah penarikan ............................... . (2.77) Untuk ditarik masing-masing penarikan ntj
=1
35
jumlah penarikan .............................. ..(2.78)
Untuk ditarik semua tendon sekaligus ntj
=4
jumlah penarikan
................................ ..(2.79) E. Kehilangan gaya prategang akibat susut Rumus kehilangan tegangan akibat susut berdasarkan PCI, yang ditulis sebagai berikut : . ..(2.80) Ksh
= konstanta, untuk beton umur 28 hari yaitu 0,64
Rh
= kelembaban relatif , 70%
V
= volume girder atau luas girder = 734.750 mm2 atau dikali 0,00155
inch = 1.138,86 sq inch s
= luas permukaan girder (keliling tanpa alas bawah
menumpu di
tanah) .................................................... ..(2.81) Rumus kehilangan tegangan akibat susut berdasarkan AASHTO( kondisi post tension), yang ditulis sebagai berikut :
Tegangan prategang setelah susut
F.
Kehilangan Tegangan Akibat Rangkak Beton Dikutip berdasarkan Peraturan Bina Marga Tahun 2011, halaman 4-21 regangan atau deformasi pada beton umunya disebabkan oleh 3 hal yaitu susut, rangkak dan beban itu sendiri. Regangan akibat susut dan rangkak
36
disebut regangan fungsi waktu (time-depent), sedangkan regangan akibat beban disebut regangan seketika. Regangan susut mulai terjadi sesaat setelah pengeringan dimulai waktu td (seketika setelah setting atau pada akhir most curring). Regangan susut terus meningkat seiring dengan penambahan waktu. Saat tegangan pertama diaplikasikan pada to, tegangan ini menyebabkan lonjakan regangan secara seketika dalam diagram regangan yang langsung diikuti pula oleh regangan rangkak. o
Perkiraan kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan menggunakan rumusan dari AASHTO : ............................................. . (2.82) ......................................................... . (2.83) fcs
= tegangan beton di level pusat prategang = perbedaan tegangan beton di level pusat pratekan
akibat
beban permanen dengan pengecualian beban yang bekerja saat gaya pratekan diaplikasikan. = tegangan beton di titik kabel prategang akibat momen beban mati tambahan. o
Perkiraan kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan menggunakan rumusan dari ACI-ASCE: ........................................... . (2.84) dimana untuk post-tension Kcr = 1,6
o
Tegangan prategang setelah rangkak ......................................................... . (2.85)
G.
Kehilangan Akibat Relaksasi Tahapan kehilangan akibat relaksasi terbagi dalam kondisi sebagai berikut : Tahap I : Saat transfer gaya prategang (18 hari setelah
o
pengecoran) ...................... . (2.86) t1
= 18 hari
t0
= 1 hari
37
o Tahap II : Saat beban superimposed diletakan (hari 30) t2
= 30 hari
t1
= 18 hari ........................... ..(2.87)
o Tahap III : Setelah 2 tahun beban superimposed diletakkan t2 = 730 hari t1 = 30 hari ......................... ..(2.88) Tegangan akhir pratekan setelah relaksasi: ............................................................ ..(2.89) H.
Kehilangan Total Untuk metode pasca tarik, yaitu : ............................... ..(2.90)
2.9
Standar Perencanaan AASHTO LRFD Standar perencanaan setiap Negara bermacam-macam, jika di Indonesia
digunakan Bina Marga dan SNI, maka di Amerika digunakan AASHTO, terdapat beberapa ketentuan dalam merencanakan jembatan dengan menggunakan standar AASHTO, yaitu: 2.9.1
Standar Pembebanan Dikutip dari AASHTO LRFD Bridge Design untuk jembatan pratekan
terdapat beberapa macam Faktor Beban dan Kombinasi Pembebanan, yaitu Tabel 2.12 Load Factors and Load Combinations Service I Service II Service III Service IV
Used for compression and transverse tension in prestressed concrete. Hanya untuk steel, tidak untuk beton pratekan Used for longitudinal tension in prestressed concrete girders. Used for tension in prestressed columns, for crack
38
Fatigue
control. Fatigue of reinforcement does NOT need to be checked
39
Tabel 2.13 Load Factors and Load Combination Use One of These at a time
Load Combinatio n
EXTREME EVENT I EXTREME EVENT II FATIGUELL,IM,&CE ONLY
DC DD DW EH EV ES EL
LL IM CE BR PL LS
P
EQ
WA 1,0
WS -
WL -
FR 1,0
TU CR SH -
P
0,5
1,0
-
-
1,0
-
-
-
-
0,75
-
-
-
-
-
-
-
-
TG -
SE -
EQ 1,0
IC -
CT -
CV -
1,0
1,0
1,0
-
-
-
Tabel 2. 14 Load Factors and Load Combinations
Use One of These at a time
Load Combinatio n
Strength 1 Strength 2 Strength 3 Strength 4 Strength 5
DC DD DW EH EV ES EL P
P P P P
LL IM CE BR PL LS 1,75
WA 1,0
WS -
WL -
FR 1,0
TU CR SH 1,2
1,35 1,35
1,0 1,0 1,0 1,0
1,4 0,4
-
1,0 1,0 1,0 1,0
1,2 1,2 1,2 1,2
1,0
TG
SE
TG
SE
TG
SE
TG
SE
TG
SE
TG
SE
EQ -
IC -
CT -
CV -
-
-
40
Tabel 2.15 Load Factors and Load Combinations Use One of These at a time
Service I
DC DD DW EH EV ES EL 1,0
LL IM CE BR PL LS 1,0
WA 1,0
WS 0,3
WL 1,0
FR 1,0
TU CR SH 1,2
Service II Service III Service IV
1,0 1,0 1,0
1,3 0,8 -
1,0 1,0 1,0
0,7
-
1,0 1,0 1,0
1,2 1,2 1,2
Load Combinatio n
2.9.2
-
TG
SE
TG
SE
TG
SE
TG
SE
TG
SE
EQ -
IC -
-
-
CT -
CV -
-
-
Resistance Factors
• Untuk non prestress ........................................................... . (2.91) dimana : 0,75≤
................................................ . (2.92)
• Untuk Prestress ......................................................... . (2.93) dimana : 0,75≤
2.9.3
......................................... . (2.93)
c
= jarak serat tekan terluar sampai dengan garis netral
dt
= jarak titik berat besi tarik sampai dengan serat tertekan
Faktor Distribusi Untuk Momen dan Shear
• Untuk Shear One Design Load ................................................................... . (2.94) • Untuk Shear Two or More Design Load ................................................................... . (2.95) • Untuk Momen (Disribution Factor) One Design Load .............................................. ( 2.96)
41
• Two or more design load ............................................. .( 2.97) 2.9.4 •
Camber and Deflection Camber
Akibat Prestress ................................................................... .( 2.98)
•
Camber
Akibat berat sendiri girder .................................................................. ( 2.99) ............................ …………….…………… (2.100) ................................................................... (2.101)
Sesuai dengan AASHTO LRFD 2012 ( 5.4.2.3.2-1), dimana : .......................... (2.102) .............................................. (2.103)
............................................... (2.104) sehingga, ............... (2.105)
•
Camber
Akibat deck (2.106)
•
Defleksi untuk beban hidup Dikutip dari AAHSTO LRFD 2012 point S 3.6.1.3.2 terdapat beberapa ketentuan, yaitu : - Hanya dari beban truk saja ,atau - 25% beban truck+lane load
2.9.5 •
Perencanaan Kondisi Ultimate Menghitung Momen Kapasitas
42
Nilai c dikutip dari AASHTO LRFD 2012 point 5.7.3.1.1-4) ............................................................. (2.107) Menentukan nilai fps .................................................................. (2.108) dimana : ................................................................... (2.109) ..... (2.110) 2.9.6
Kehilangan Gaya Pratekan (Losses)
• Friksi Dikutip dari AASHTO LRDF
point 5.9.5.2.2b-1(halaman 5-99) rumus
untuk kehilangan gaya pratekan akibat friksi untuk kabel post-tension , yaitu: ......................................................... (2.111) dimana: = kehilangan gaya prategang akibat friksi = tegangan baja prategang saat jacking
= koefisien friksi sesuai spesifikasi material • Akibat Slip Angkur ................................................................... (2.112) ................................................................... (2.113) • Kehilangan Tegangan Akibat Pemendekan Beton (Elastic Shortening) Dikutip dari AASHTO LRFD point C 5.9.5.2.3b (halaman 5-102), didapatkan rumus kehilangan tegangan akibat slip angkur untuk post tensioned members, yaitu:
43
............................................ (2.114) • Kehilangan Akibat Relaksasi Berdasarkan AASHTO LRFD pada point 5.9.5.4.2c-1(halaman 449), didapatkan : ............................................................ (2.115) 2.10
British Standart
2.10.1 Standart Pembebanan Kombinasi Pembebanan terdiri dari 5 kombinasi, yaitu kombinasi 1-5. Setiap kombinasi memiliki ketentuan yang berbeda-beda. Sedangkan untuk pembebanan terdiri dari 2 pembebanan yaitu HA Loading dan HB Loading, HA Loading terdiri dari KEL dan UDL, dan HB Loading terdiri dari beban truck. A. HA Loading UDL (Nominal Uniformly Distributed Load) ..................................................................... (2.115) KEL KEL adalah point load, nilai KEL diketahui menurut point 6.2.2, pada Brirish Standart yaitu 120kN B. HB Loading Menurut BS 5400-4: 1990 (4.2.2) kombinasi perhitungan yang digunakan yaitu kombinasi II, maka unit truk yang dijadikan perhitungan 25 unit saja. Jadi beban gandar ( sesuai point 6.3.1) 2.10.2
Perencanaan Berdasarkan Batas Layan
• Menghitung nilai P eff σb=0 = Batas Minimum =
.................................... (2.116) ................................................................ (2.117)
Daerah aman kabel = Yb-(Kb+Batas Minimum) • Tegangan serat atas dan bawah pada saat kondisi transfer : ≤ σti (tarik) ....................................... (2.118)
44
≥ σci (tekan) ...................................... (2.119) • Periksa tegangan pada serat atas dan serat bawah pada saat kondisi layan (midspan), yaitu : ≥ σcs (tekan) .................................... (2.220) (tarik) ......................... ….
(2.221)
• Lendutan
Camber Pada saat Transfer ........................................................ (2.222) ................................................... (2.223)
Defleksi Jangka Pendek dengan Beban Layan Total ............................................................ (2.224) .................................................. (2.225) ............................................... (2.226)
Defleksi Jangka Pendek Akibat Beban Permanen ............................................................ (2.227)
Defleksi Jangka Panjang Akibat Beban Total ............................................................ (2.228) akibat permanen load :
Total Lendutan Long Term: <
45
2.10.3 •
Perencanaan Berdasarkan Batas Ultimate Menghitung Momen Ultimate Berdasarkan BS pada point 3.4.4.4 disebutkan bahwa momen kapasitas hanya dilakukan oleh tension steel saja (dalam hal ini baja prategang) Mu0 = Aps ×fpb (dp×0,45x) ...................................................... .. (2.229) T = Aps × fpbbal + As×fs ............................................................... (2.230) Mubal = Aps × fpbbal (dp - )+Asbal×fsbal(dp - ) .................................. (2.231)
•
Momen Crack MCR = (0,49
•
+ fpt) ............................................................ (2.232)
Perhitungan Gaya Geser Vcr = 0,37×b×d×
2.10.4 •
+
................................................ (2.233)
Kehilangan Gaya Prategang Friksi Kehilangan gaya prategang akibat friksi, dikutip berdasarkan BS 5400-4 : 1990 point 6.7.3 .......................................................... (2.224)
•
Slip Angkur Kehilangan tegangan akibat slip angkur, sesuai dengan BD 44/95; 6.7.2.6), maka didapatkan persamaan sebagai berikut : Jarak yang terpengaruh oleh slip angkur (x) : ............................................................................ (2.225) Kehilangan tegangan akibat anchor set (
):
.............................................................................. (2.226)
46
•
Pemendekan Beton Perhitungan Pemendekan Beton Akibat pemendekan elastic dikutip berdasarkan BS 5400-4:1990; 6.7.23 dan BD 44/95 di tarik tidak serentak dengan rumus berdasarkan MK system (lampiran). .............................................................. (2.227)
•
Relaksasi Kehilangan tegangan akibat relaksasi , dihitung untuk waktu 100 hari, s sesuai dengan ketentuan BS 5896-1980 Tabel 4.6 point 4.8.2.1 ………………………(2.228) : relaxation value of prestressing steel at time infinite (1000hari) : untuk 60%(GUTS) fpu = 0,029 : untuk 70%(GUTS) fpu = 0,058, diambil nilai 0,058
•
Losses Akibat Creep dan Shrinkage Creep Berdasarkan BS 5400-4:1990 Appendix C5, ditentukan untuk t yaitu : ................................................ (2.229) = KL Km Kc Ke Kj (Appendix C2 tentang Creep) ...... (2.230) Shrinkage Deformation ( Acs = KL+Kc+Ke+Kj............................................................... (2.231) KL, untuk RH 70%, KL = 275.10-6 ......................................... (2.232) Kj
: koefisien tergantung pada perkembangan susut terhadap waktu ,
Kj =0,34 .......................................................... (2.233) ................................................ (2.234)
47
2.11
Jurnal Referensi
2.11.1
Dikutip dari Jurnal Ilmiah dengan judul : ” Comparison of Design
Standards for Steel Railway Bridges” ditulis oleh Midhun B Sankar and Priya A Jacob(Department of Civil Engineering, Karunya University, Coimbatore). •
Dalam jurnal ini dibahas tentang Perbandingan ketentuan kode untuk desain jembatan baja, berdasarkan India standard an Eropa standar hasilnya dibandingkan. Penelitian ini terkonsentrasi pada defleksi total dan berat dari gelagar baja dengan memvariasikan kelas baja, aspek rasio panel, rasio kelangsingan web.
•
Untuk bahan baja yang sama, karakteristik kekuatan luluh berbeda sesuai dengan kode, IS 800 dan EN 1991-2.
Tabel 2.16 Comparison between grades of steel used Indian E 250(Fe 410) E 410 (Fe 540) E 450 (Fe 570)
European S 235 S 420 S 460
Tabel 2.17 Yield strength and ultimate strength for different grades of steel Code
Indian
European
•
Grade of Steel E 250 E 410 E 450 S 235 S 420 S460
Yield Strength (N/mm2) 250 410 450 235 420 460
Ultimate strength (N/mm2) 410 540 570 360-510 410-560 470-630
Pembahasan Dalam pembahasan penelitian ini yaitu depth of web, flange, cek momen kapasitas, cek shear buckling, local capacity of the web, design of end stiffener, design of intermediate stiffener. Setiap item tersebut di cek dengan menggunakan code dari masing-masing Negara.
48
•
Result Indian standards design results
Gambar 2. 7 Grafik Perbandingan nilai deflection dan span length
Tabel 2.18 Effect of grade of steel Deflection mm
Weight (tons)
2500 2500 2500 2500
Permissible limit L/600, mm 66.67 66.67 66.67 83.33
33.214 49.52 53.12 67.19
26.87 20.77 19.93 44.21
50
2500
83.33
71.41
42.17
450
50
2500
83.33
76.59
40.01
250
60
2500
100
88.65
86.24
410
60
2500
100
94.94
81.25
450
60
2500
100
99.31
78.18
Steel
Span (L),m
Web Depth,(D) mm
250 410 450 250
40 40 40 50
410
49
Gambar 2.8 Grafik Perbandingan nilai weight dan span length
Europe Result Tabel 2. 19 Effect of grade of steel Steel
Span (L),m
Web Depth,(D) mm
S235 S420 S460 S235 S420 S460 S235 S420 S460
40 40 40 50 50 50 60 60 60
2500 2500 2500 2500 2500 2500 2500 2500 2500
Permissible limit L/600, mm 66.67 66.67 66.67 83.33 83.33 83.33 100 100 100
Deflection mm
Weight (tons)
32.27 45.94 48.91 66.4 74.92 79.74 77.23 91.85 97.97
19.33 17.81 17.21 42.73 40.62 38.84 59.44 55.35 54.53
50
Gambar
2. 9 Grafik Perbandingan
nilai
deflection
dan
weight
Gambar 2. 10 Grafik Perbandingan nilai deflection dan span length
51
Gambar 2.11 Deflection
52
Gambar 2.12 Deflection
53
• Kesimpulan Ketentuan kode untuk desain baja jembatan kereta api dipelajari dan dibandingkan sesuai standar India dan Eropa . Studi parametrik dilakukan untuk berbagai kelas baja yang digunakan di India dan Eropa. Sehingga didapatkankesimpulan,yaitu: 1 . Untuk jembatan kereta api bentang konstan dan kedalaman , total defleksi balok meningkat sebagai kelas baja meningkat tetapi berat total berkurang
sesuai
dengan
desain
standar
India
.
2 . Sebuah perilaku yang sama ditemukan untuk standar Eropa yakni sebagai kelas baja meningkat , defleksi meningkat dan berat badan berkurang. 3 . Untuk rentang 40m dengan berbagai aspek rasio ( c / d ) 0,8-1,6 defleksi maksimum sesuai standar desain India lebih ( 55.68mm ) bila dibandingkan dengan desain standar Eropa ( 54.39mm ) . Hasil serupa ditemukan
untuk
bentang50m&60m
4 . Dari hasil yang diperoleh sesuai standar India dan Eropa teramati bahwa jarak pengaku memiliki banyak dampak pada defleksi jembatan gelagar
plat.
5 . Sebagai rasio kelangsingan web ( d / tw ) meningkat ( 125-178 ) meningkat defleksi . Dari hasil didapatkan bahwa defleksi berbanding terbalik dengan ketebalan web. • Daftar Pustaka dari Referensi Dr. N. Subramanian, (2008). “Code Of Practice On Steel Structures” -A Review Of IS 800: 2007, Civil Engineering and Construction Journal. Mr. Arijit Guha, Mr. M M Ghosh , (2008). “IS: 800 - Indian Code of Practice for Construction in Steel and its Comparison with International Codes”, Institute for Steel Development & Growth (INSDAG). M. Krishnamoorthy, D.Tensing , (2008). “Design of Compression members based on IS 800-2007 and IS 800-1984- Comparison”, Journal of Information Knowledge and Research in civil engineering
54
F. Faluyi , and C. Arum, (2012). “Design Optimization of Plate Girder Using Generalized Reduced Gradient and Constrained Artificial Bee Colony Algorithms”, International Journal of Emerging Technology and Advanced Engineering