BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1
Perkerasan Jalan Perancangan konstruksi perkerasan jalan mutlak diperhitungkan dalam
perencanaan sistem jaringan jalan. Tingginya biaya yang dikeluarkan untuk membangun jalan sangat mempengaruhi keputusan dalam merencanakan sistem jaringan jalan. Hal ini pula turut mempengaruhi pemilihan jenis konstruksi perkerasan jalan yang akan digunakan. Salah satu jenis konstruksi perkerasan jalan adalah konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Berbeda dengan konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement) yang menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. Jika diperhitungkan dari segi biaya pembangunannya, jalan yang dibangun dengan konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement) membutuhkan dana jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jalan yang dibangun dengan konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement). Namun program pemeliharaannya relatif lebih minim dibandingkan bila jalan dibangun dengan konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement). Dalam merencanakan struktur perkerasan jalan, beban dan volume lalu lintas yang akan menggunakan jalan tersebut selama umur rencana menjadi acuan utama dalam perhitungan struktur perkerasannya. Struktur perkerasan berfungsi untuk 5
6 menerima dan menyebarkan beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan tersebut.
2.1.1 Jenis Kerusakan Perkerasan Jalan dan Metoda Perbaikan Kerusakannya Jalan dikatakan mampu memberi rasa aman dan nyaman bagi para penggunanya jika memenuhi dua kriteria utama, yaitu : a.
Kriteria berlalu lintas Dipandang dari segi kenyamanan dan keamanan pengguna jalan, konstruksi perkerasan perlu memenuhi syarat-syarat berikut ini :
• Permukaan yang
rata, tidak berlubang, tidak melendut,
dan
tidak
bergelombang. • Permukaan cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat beban yang bekerja di atasnya. • Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban dan permukaan jalan sehingga tidak mudah selip. • Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika kena sinar matahari b.
Kriteria kekuatan atau struktural perkerasan jalan Dipandang dari kemampuan memikul dan menyebarkan beban, jalan harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :
• Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban atau muatan lalu lintas ke tanah dasar. • Kedap terhadap air, sehingga air tidak mudah meresap ke lapisan di bawahnya. • Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya dapat cepat dialirkan
7 • Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan deformasi yang berarti. Penanganan konstruksi perkerasan yang berupa pemeliharaan, penunjang, peningkatan, ataupun rehabilitas dapat dilakukan dengan baik setelah kerusakankerusakan yang timbul pada perkerasan tersebut dievaluasi penyebab dan akibatnya. Kerusakan pada konstruksi perkerasan jalan dapat disebabkan oleh : •
Lalu lintas diperhitungkan berdasarkan peningkatan beban dan repetisi beban
•
Air, yang dapat berasal dari air hujan dan sistem drainase jalan yang tidak baik
•
Material konstruksi perkerasan, sifat material dan sistem pengolahan bahan yang tidak baik
•
Iklim, Indonesia beriklim tropis dimana suhu udara dan curah hujan umumnya tinggi
•
Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, akibat sistem pelaksanaan yang kurang baik, atau sifat tanah dasarnya yang memang kurang baik
•
Proses pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul tidak disebabkan oleh satu faktor
saja, tetapi merupakan gabungan penyebab yang saling kait
mengait. Sebagai
contoh, retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis bawahnya yang melemahkan ikatan antara aspal dan agregat, hal ini dapat menimbulkan lubang-lubang disamping melemahkan daya dukung lapisan di bawahnya. Dalam mengevaluasi kerusakan jalan perlu ditentukan : -
Jenis kerusakan (distress type) dan penyebabnya
-
Tingkat kerusakan (distress severity)
8 -
Jumlah kerusakan (distress amount) Sehingga dapat ditentukan jenis penanganan yang paling sesuai. Menurut Manual Pemeliharaan Jalan Nomor 03/MN/B/1983 yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, kerusakan jalan dapat dibedakan atas : a.
Retak (cracking)
b.
Distorsi (distortion)
c.
Cacat permukaan (disintegration)
d.
Pengausan (polished aggregate)
e.
Kegemukan (bleeding atau flushing)
f.
Penurunan pada bekas penanaman utilitas
a.
Retak (Cracking) dan Penanganannya Retak yang terjadi pada lapisan permukaan jalan dapat dibedakan atas: •
Retak halus atau retak garis (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama dengan 3 mm, penyebabnya adalah bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil. Retak halus dapat meresapkan air ke dalam lapis permukaan. Retak halus dapat berkembang menjadi retak kulit buaya jika tidak ditangani sebagaimana mestinya.
•
Retak kulit buaya (alligator crack), memiliki lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya. Penyebabnya adalah bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil atau bahan lapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah naik). Retak kulit buaya jika tidak diperbaiki dapat diresapi
9 air sehingga lama kelamaan terlpas butir-butirnya sehingga menyebabkan lubang. •
Retak pinggir (edge crack) yaitu retak memanjang jalan, dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu jalan. Penyebabnya adalah tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase kurang baik, terjadi penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar tanaman tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya retak pinggir. Di lokasi retak, air meresap yang dapat semakin merusak lapisan permukaan.
•
Retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint crack) yaitu retak memnajang yang umumnya terjadi pada sambungan bahu jalan dengan perkerasan. Retak dapat disebabkan oleh kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk dari pada di bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk atau kendaraan berat di bahu jalan
•
Retak sambungan jalan (lane joint crack) yaitu retak memanjang yang terjadi pada sambungan 2 jalur lalu lintas. Penyebabnya yaitu tidak baiknya ikatan sambungan kedua jalur.
•
Retak sambungan pelebaran jalan (widening crack), adalah retak memanjang yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan pelebaran. Penyebabnya ialah perbedaan daya dukung di bawah bagian perlebaran dan bagian jalan lama atau dapat juga disebabkan oleh ikatan sambungan tidak baik
•
Retak refleksi (reflection crack) yaitu retak memanjang, melintang, diagonal, atau membentuk kotak. Terjadi pada lapis tambahan (overlay) yang
10 menggambarkan pola retakan di bawanya. Retak refleksi dapat terjadi jika retak pada perkerasaan lama tidak diperbaiki secara baik sebelum perkerasan overlay dilakukan •
Retak susut (shrinkage cracks) yaitu retak yang saling bersambungan membentuk kotak-kotak besar dengan sudut tajam. Penyebabnya ialah perubahan volume pada lapisan permukaan yang memakai aspal dengan penetrasi rendah, atau perubahan volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar
•
Retak selip (slippage cracks) yaitu retak yang bentuknya melengkung sepertu bulan sabit. Penyebabnya ialah kurang baiknya ikatan antara lapisan permukaan dan lapis di bawahnya. Kurang baiknya ikatan dapat disebabkan oleh adanya debu, minyak, air, atau benda nonadhesif lainnya, atau akibat tidak diberinya tack coat sebagai bahan pengikat di antara kedua lapisan. Pada umumnya perbaikan kerusakan jenis retak dilakukan dengan mengisi
celah retak dengan campuran pasir dan aspal. Bila retak telah meluas dan kondisinya cukup parah maka dilakukan pembongkaran lapisan yang retak tersebut untuk kemudian diganti dengan lapisan yang lebih baik. b.
Distorsi (Distortion) dan Penanganannya Distorsi adalah perubahan bentuk yang dapat terjadi akibat lemahnya tanah
dasar, pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadinya tambahan pemadatan akibat beban lalu lintas. Distorsi (distortion) dapat dibedakan atas : •
Alur (ruts), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Penyebabnya ialah lapis perkerasan yang kurang pada, dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda.
11 Perbaikan dapat dilakukan dengan memberi lapisan tambahan dari lapis permukaan yang sesuai. •
Keriting (corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Penyebabnya ialah rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasalh dari terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyaknya mempergunakan agregat halus, agregat berbentuk bulat dan berpermukaan licin, atau aspal yang dipergunakan mempunya penetrasi yang tinggi. Keriting dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang menggunakan aspal cair).
•
Sungkur (shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, di tempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikangan tajam.
•
Amblas (grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan perkerasan yang akhirnya menimbulkan lubang. Penyebab amblas adalah beban kendaraan yang melebihi apa yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement.
•
Jembul (upheavel) terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif Pada umumnya perbaikan kerusakan jenis distorsi dilakukan dengan cara
membongkar bagian yang rusak dan melapisnya kembali. c.
Cacat permukaan (Disintegration) Yang termasuk dalam cacat permukaan ini adalah : •
Lubang (potholes) berbentuk serupa mangkuk, memiliki ukuran bervariasi dari kecil sampai besar yang mampu menampung dan meresapkan air ke dalam lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.
12 •
Pelepasan butir (raveling), memiliki akibat yang sama dengan yang terjadi pada jalan berlubang. Perbaikan dilakukan dengan memberikan lapisan tambahan di atas lapisan yang mengalami pelepasan butir setelah lapisan tersebut dibersihkan dan dikeringkan.
•
Pengelupasan lapisan permukaan (stripping), dapat disebabkan oleh kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya, atau terlalu tipisnya permukaan. Perbaikan dilakukan dengan cara diratakan kemudian dipadatkan dengan lapisan baru.
d. Pangausan (Polished Aggregate) Pengausan menyebabklan permukaan jalan licin yang membahayakan kendaraan. Penyebabnya adalah karena agregat berasal dari material yang tidak tanah aus terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk cubical. e.
Kegemukan (Bleeding or Flushing) Penyebab kegemukan (bleeding) ialah pemakaian kada aspal yang tinggi pada campuran aspal yang mengakibatkan permukaan jalan menjadi licin, khususnya pada temperatur tinggi aspal menjadi lunak dan menimbulkan jejak roda. Perbaikan dilakukan dengan mengangkat lapis aspal dan kemudian memberi lapisan penutup atau menaburkan agregat panas yang kemudian dipadatkan.
f.
Penurunan Pada Bekas Penanaman Utilitas (Utility Cut Depression) Penurunan lapisan perkerasan ini terjadi akibat pemadatan yang tidak memenuhi syarat setelah dilakukannya penanaman utilitas. Perbaikan dilakukan dengan membongkar kembali dan mengganti dengan lapisan yang sesuai.
13 2.2
Metoda Pengukuran Kerusakan Jalan Kualitas jalan yang ada maupun yang akan dibangun harus sesuai dengan
standard dan ketentuan yang berlaku. Untuk mengetahui tingkat kerataan permukaan jalan dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan berbagai cara atau metoda yang telah direkomendasikan oleh Bina Marga maupun AASHTO. Sebelum merencanakan metoda pemeliharaan yang akan dilakukan, perlu dilakukan terlebih dahulu survey kondisi permukaan. Survey ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja (pavement evaluation) perkerasan jalan yang diamati. Terdapat dua jenis survey untuk mengetahui kondisi permukaan, yaitu : 1.
Survey secara visual Survey secara visual atau visual inspection dilakukan dengan pengamatan mata surveyor untuk mengukur kondisi permukaan jalan yang karenanya data yang dikumpulkan menjadi sangat subjektif sehingga tingkat keakurasiannya rendah. Survey secara visual meliputi : • Penilaian kondisi dari lapisan permukaan, apakah masih baik, kritis, atau rusak. • Penilaian kenyamanan kendaraan dengan menggunakan jenis kendaraan tertentu. Penilaian dikelompokkan menjadi nyaman, kurang nyaman, tidak nyaman. • Penilaian bobot kerusakan yang terjadi, baik kualitas maupun kuantitas. Penilaian dilakukan terhadap retak (crack), lubang (pothole), alur (rutting), pelepasan butir (raveling), pengelupasan lapis permukaan (stripping), keriting (corrugation), amblas (depression), bleeding, sungkur (shoving), dan jembul (upheaval).
14 2.
Survey dengan bantuan alat Metode pengukuran kerataan permukaan jalan yang dikenal pada umumnya antara lain metoda NAASRRA (SNI 03-34260-1994). Metoda lain yang dapat digunakan untuk pengukuran dan analisis kerataan perkerasan Rolling Straight Edge, Slope Profilometer (AASHO Road Test). CHLOE Profilometer, dan Roughometer. Alat ini dipasangkan pada sumbu belakang roda kendaraan penguji. Prinsip dasar alat ini ialah mengukur jumlah gerakan vertikal sumbu belakang pada kecepatan tertentu. Ukuran jumlah gerakan vertikal pada jarak tertentu tersebut dinyatakan dalam indek kerataan permukaan (International Roughness Index) dalam satuan meter per kilometer. Survey dengan bantuan alat lainnya juga dapat dilakukan dengan teknologi laser beam yang secara otomatis dapat memonitor jenis kerusakan jalan seperti retak (crack), alur (rutting), lubang (pothole).
2.3
Kinerja Perkerasan Jalan (Pavement Performance) Kinerja perkerasan meliputi struktural (structural performance) maupun
fungsional (fungsional performance). Kinerja perkerasan secara struktural meliputi keamanan atau kekuatan perkerasan, sedangkan kinerja perkerasan secara fungsional dinyatakan dengan Indek Permukaan (IP) atau Present Serviceability Index (PSI) dan Indeks Kondisi Jalan atau Road Condition Index (RCI).
2.3.1
Present Serviceability Index Indeks Permukaan (IP) atau Present Serviceability Index (PSI) merupakan
konsep hubungan antara opini penilaian pengguna jalan dengan hasil pengukuran ketidakrataan (roughness), kerusakan retak, tambalan, dan kedalaman alur. PSI
15 diformulasikan dari penilaian terhadap kelompok ruas perkerasan yang dinilai oleh suatu grup penilai yang memberi nilai berdasarkan skala antara 0 sampai 5 yang mengindikasikan nilai sangat jelek – sangat bagus. Hal tersebut kemudian dikembangkan pada AASHTO Road Test yang mengkorelasikan penilaian secara subjektif dan penilaian objektif dengan pengukuran ketidakrataan (roughness), kerusakan retak, tambalan, dan kedalaman alur yang dinyatakan dalam bentuk persamaan. PSI = 5,03 − 1,9 log 10 (1 + SV ) − 0,01(C + P ) 0,5 − 1,38( RD ) 2 ………........….(2.1)
Dimana : PSI
= Present Serviceability Index
SV
= Slope Variance
C
= Panjang retak
P
= Luas Tambalan
RD
= Kedalaman alur
Kemudian persamaan ini dikembangkan dengan variasi penggunaan alat pengukur roughness sehingga konstanta persamaan regresi berubah, sehingga persamaan dengan menggunakan alat Bump Integrator menjadi : (Yoder & Witczak, 1975)
PSI = 4,78 − 0,015( Roug hom eter ) − 0,004(C + P ) 0,5 − 0,26( RD) 2 ……....(2.2) Roughometer adalah besaran index berdasarkan alat Bump Integrator, dimana kalibrasi Bump Integrator dengan IRI telah dilakukan pada saat program kerjasama antara TRRL dengan Pusjatan Bandung sekitar tahun 1990 (Djoko Widajat, dkk, 1990). Persamaan IRI dengan alat Bump Integrator menjadi : IRI = 0,0027 BI 0,944 ……………………………............………..……......(2.3)
16 Keterangan : IRI dalam m/km dan BI dalam mm/km BI = 525,96 IRI 1, 0593 (mm/km) atau .……….......…….............………….…(2.4) BI = 33,1568 IRI 1,0593 (in/mile) ...………………………..............................(2.5)
Sehingga persamaan PSI untuk perkerasan lentur menjadi :
PSI = 4,78 − 0,015(525,96IRI 1, 0593 ) − 0,004(C + P ) 0,5 − 0,26( RD) 2 …....…(2.6) Menurut Al-Omari dan Darter (1992) nilai PSI disederhanakan sebagai fungsi dari International Roughness Index (IRI), bahwa kerusakan retak, tambalan dan alur dipandang sudah diwakili oleh IRI. Hubungan antara nilai PSI dan IRI sebagai berikut: PSI = 5 × e ( −0, 26× IRI ) .……………..............……..…………...…..…..………(2.7)
Dimana : PSI
= Present serviceability Index atau Indeks Permukaan
IRI
= International Roughness Index
Nilai PSI bervariasi dari angka 0-5, masing-masing angka menunjukan kinerja fungsional perkerasan, sebagai berikut :
Tabel 2.1 Indeks Permukaan No 1 2 3 4 5
PSI 4-5 3-4 2-3 1-2 0-1
Kinerja Perkerasan Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat kurang
Sumber : Sukirman, 1992
Pada saat perkerasan dibuka struktur perkerasan mempunyai nilai PSI besar yang berarti nilai kerataan masih baik dan kerusakan belum terjadi. Besarnya nilai PSI ini akan menurun seiring dengan terjadinya kerusakaan akibat beban kendaraan.
17 2.3.2 International Roughness Index IRI merupakan parameter kekasaran yang dihitung dari jumlah kumulatif naikturunnya permukaan arah profil memanjang dibagi dengan jarak atau panjang permukaan yang diukur. IRI dinyatakan dalam satuan meter per kilometer (m/km). Indikator kinerja fungsional jalan lainnya yaitu Road Condition Index (RCI). Road Condition Index (RCI) adalah skala tingkat kenyamanan atau kinerja jalan yang dapat diperoleh dengan alat roughometer maupun secara visual. Dari alat roughometer dapat diperoleh nilai International Roughness Index (IRI), yang kemudian dikonversi untuk mendapat nilai RCI. Korelasi antara RCI dengan IRI diformulasikan baik dinyatakan dalam persamaan 2.8 maupun gambar 2.1
RCI = 10 × Exp(−0,0501× IRI 1, 220920 ) …...……..….......….............……...(2.8)
Sumber : Sukirman, 1992
Gambar 2.1 Korelasi antara Nilai IRI dan Nilai RCI
Dari grafik maupun persamaan hubungan antara nilai IRI dengan RCI dapat diketahui kondisi permukaan secara visual. Tabel 2.2 menjelaskan hubungan antara nilai IRI dengan RCI berdasarkan kondisi permukaan jalan secara visual.
18 Tabel 2.2 Kondisi Permukaan Secara Visual dan Nilai RCI RCI 8 - 10 7-8 6-7
Kondisi Permukaan Jalan Secara Visual Sangat rata dan teratur Sangat baik, umumnya rata Baik
5-6
Cukup, sedikit sekali atau tidak ada lubang , tetapi permukaan jalan tidak rata Jelek, kadang-kadang ada lubang, permukaan jalan tidak rata
4-5 3-4 2-3 1-2
Rusak, bergelombang, banyak lubang Rusak berat, banyak lubang, dan seluruh daerah perkerasan hancur Tidak dapat dilalui, kecuali dengan Jeep
Sumber : Sukirman, 1992
2.4
Parameter Perencanaan Perkerasan Dalam perencanaan jalan baru atau lapis tambah membutuhkan beberapa
parameter dalam perencanaannya, parameter yang digunakan dalam metoda SNI 1973-1989-F sebenarnya hampir sama dengan yang digunakan pada metoda AASHTO 1993 yang dimodifikasi sedikit sesuai dengan kondisi lingkungan dan iklim di Indonesia. Beberapa parameter perencanaan yang dibutuhkan pada metoda SNI 17321989-F seperti beban lalu lintas, daya dukung tanah dasar, faktor regional, pertumbuhan lalu lintas, faktor distribusi lajur, koefisien distribusi kendaraan, indeks permukaan dan koefisien kekuatan relatif. Sedangkan pada AASTHO 1993 parameter perencanaan yang dibutuhkan seperti beban lalu lintas, daya dukung tanah dasar, pertumbuhan lalu lintas, faktor umur rencana, reliabilitas, faktor distribusi lajur, koefisien distribusi kendaraan, koefisien drainase, indeks permukaan dan koefisien kekuatan relatif.
19 2.4.1 Beban Lalu Lintas Dengan mengetahui secara tepat tingkat kemampuan suatu jalan dalam menerima suatu beban lalu lintas, maka tebal lapisan perkerasan jalan dapat ditentukan dan umur rencana perkerasan tersebut akan sesuai dengan yang direncanakan. Beban berulang atau repetition load merupakan beban yang diterima struktur perkerasan dari roda-roda kendaraan yang melintasi jalan raya secara dinamis selama umur rencana. Besar beban yang diterima bergantung dari berat kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang kontak antara roda dan kendaraan serta kecepatan dari kendaraan itu sendiri. Hal ini akan memberi suatu nilai kerusakan pada perkerasan akibat muatan sumbu roda yang melintas setiap kali pada ruas jalan. Berat kendaraan dibebankan ke perkerasan melalui kendaraan yang terletak di ujung-ujung sumbu kendaraan. Masing-masing kendaraan mempunyai konfigurasi sumbu yang berbeda-beda. Sumbu depan dapat merupakan sumbu tunggal roda, sedangkan sumbu belakang dapat merupakan sumbu tunggal, ganda, maupun tripel. Berat kendaraan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1.
Fungsi jalan Kendaraan berat yang memakai jalan arteri umumnya memuat muatan yang lebih berat dibandingkan dengan jalan pada medan datar.
2.
Keadaan medan Jalan yang mendaki mengakibatkan truk tidak mungkin memuat beban yang lebih berat jika dibandingkan dengan jalan pada medan datar.
3.
Aktivitas ekonomi di daerah yang bersangkutan Jenis dan beban yang diangkut oleh kendaraan berat sangat tergantung dari jenis kegiatan yang ada di daerah tersebut, truk di daerah industri
20 mengangkut beban yang berbeda jenis dan beratnya dengan di daerah perkebunan. 4.
Perkembangan daerah Beban yang diangkut kendaraan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan daerah di sekitar lokasi jalan. Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh beban lalu lintas tidaklah sama
antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini mengharuskan suatu standar yang bisa mewakili semua jenis kendaraan, sehingga semua beban yang diterima oleh struktur perkerasan jalan dapat disamakan ke dalam beban standar. Beban standar ini digunakan sebagai batasan maksimum yang diijinkan untuk suatu kendaraan. Beban yang sering digunakan sebagai batasan maksimum yang diijinkan untuk suatu kendaraan adalah beban gandar maksumum. Beban standar ini diambil sebesar 18.000 pounds (8.16 ton) pada sumbu standar tunggal. Diambilnya angka ini karena daya pengrusak yang ditimbulkan beban gandar terhadap struktur perkerasan adalah bernilai satu.
2.4.2
Daya Dukung Tanah Dasar Daya tahan konstruksi perkerasan tak lepas dari sifat tanah dasar karena
secara keseluruhan perkerasan jalan berada di atas tanah dasar. Tanah dasar yang baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi itu sendiri atau di dekatnya, yang telah dipadatkan sampai dengan tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun terhadap perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat.
21 Sifat masing-masing jenis tanah tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air, kondisi lingkungan. Tanah dengan tingkat kepadatan yang tinggi mengalami perubahan volume yang kecil jika terjadi perubahan kadar air dan mempunyai daya dukung yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanah yang sejenis yang tingkat kepadatannya lebih rendah. Daya dukung tanah dasar (subgrade) pada perencanaan perkerasan lentur dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio). CBR pertama kali diperkenalkan oleh California Division Of Highways pada tahun 1928. Orang yang banyak mempopulerkan metode ini adalah O.J.Porter. Harga CBR itu sendiri dinyatakan dalam persen. Harga CBR tanah dasar yaitu nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR 100% dalam memikul beban lalu lintas. Terdapat beberapa parameter penunjuk daya dukung tanah dasar yang paling umum digunakan di Indonesia. Harga CBR dapat dinyatakan atas harga CBR laboratorium dan harga CBR lapangan. Hubungan antara daya dukung tanah dasar (DDT) dengan CBR dapat menggunakan rumus : DDT
= 4,3 log CBR + 1,7……............……………………..……...….(2.9)
Pada persamaan AASHTO menggunakan Modulus Resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan. Korelasi CBR dengan Modulus resilien (MR) adalah sebagai berikut : MR (psi) = 1500 x CBR ………..........................………..….....…..…….(2.10)
2.4.3 Faktor Regional Faktor regional berguna untuk memperhatikan kondisi jalan yang berbeda antara jalan yang satu dengan jalan yang lain. Faktor regional mencakup
22 permeabilitas tanah, kondisi drainase yang ada, kondisi persimpangan yang ramai, pertimbangan teknis dari perenrcana seperti ketinggian muka air tanah, perbedaan kecepatan akibat adanya hambatan-hambatan tertentu, bentuk alinyemen (keadaan medan) serta persentase kendaraan berat dan kendaraan yang berhenti, sedangkan iklim mencakup curah hujan rata-rata pertahun. Kondisi lingkungan setempat sangat mempengaruhi lapisan perkerasan jalan dan tanah dasar antara lain : 1.
Berpengaruh terhadap sifat teknis konstruksi perkerasan dan sifat komponen material lapisan perkerasan.
2.
Pelapukan bahan material.
3.
Mempengaruhi penurunan tingkat kenyamanan dari perkerasan jalan. Pengaruh perubahan musim, perbedaan temperatur kerusakan-kerusakan
akibat lelahnya bahan, sifat material yang digunakan dapat juga mempengaruhi umur pelayanan jalan. Rumus: Persentase Kendaraan Berat =
Jumlah Kendaraan Berat × 100% …........(2.11) Jumlah Kendaraan
Setelah itu dapat dilanjutkan dengan melihat tabel dibawah ini:
Tabel 2.3 Faktor Regional (FR) Kelandaian I (< 6%) % kendaraan berat ≤ 30% > 30%
Kelandaian II (6 10%) % kendaraan berat ≤ 30% > 30%
Kelandaian III > 10%) % kendaraan berat ≤ 30% > 30%
Iklim I < 900mm/th
0,5
1,0 - 1,5
1,0
1,5 - 2,0
1,5
2,0 - 2,5
Iklim I > 900mm/th
1,5
2,0 - 2,5
2,0
2,5 - 3,0
2,5
3,0 - 3,5
Catatan: Pada bagian tertetu jalan, seperti persimpangan, pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah 0,5, Pada daerah raw, FR ditambah 1,0 Sumber : SNI 1732-1989-F
23 2.4.4 Pertumbuhan Lalu Lintas (i %) Yang dimaksud dengan pertumbuhan lalu lintas adalah pertambahan atau perkembangan lalu lintas dari tahun ke tahun selama umur rencana. Faktor yang mempengaruhi besarnya pertumbuhan lalu lintas adalah : 1. Perkembangan daerah tersebut 2. Bertambahnya kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. 3. Naiknya keinginan untuk memiliki kendaraan pribadi. Faktor pertumbuhan lalu lintas dinyatakan dalam persen/tahun (%/thn).
2.4.5 Faktor Umur Rencana Umur rencana adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis permukaan baru. Faktor umur rencana merupakan variable dalam umur rencana dan faktor pertumbuhan lalu lintas yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
N=
(1 + i )UR − 1 ………………..…..............…...........………………….(2.12) i
Dimana : N
=
faktor pertumbuhan lalu lintas yang sudah disesuaikan dengan perkembangan lalu lintas.
UR
=
umur rencana
i
=
faktor pertumbuhan lalu lintas.
2.4.6 Reliabilitas Reliabilitas adalah kemungkinan (probability) jenis kerusakan tertentu atau kombinasi jenis kerusakan pada struktur perkerasan akan tetap lebih rendah dalam
24 rentang waktu yang diijinkan dalam umur rencana. Konsep reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat kepastian (degree of certainty) ke dalam proses perencanaan untuk menjamin bermacam-macam alternatif perencanaan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan (umur rencana). Faktor perencanaan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu lintas dan karenanya memberikan tingkat reliabilitas (R) dimana seksi perkerasan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan. Pada umumnya, dengan meningkatnya volume lalu lintas dan kesukaran untuk mengalihkan lalu lintas, resiko tidak memperlihatkan kinerja yang diharapkan harus ditekan. Hal ini dapat diatasi dengan memilih tingkat reliabilitas yang lebih tinggi. Tabel 2.4 memperlihatkan rekomendasi tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi jalan. Perlu dicatat bahwa tingkat reliabilitas yang tinggi menunjukkan jalan yang melayani lalu lintas paling banyak, sedangkan tingkat yang paling rendah 50% menunjukkan jalan lokal.
Tabel 2.4 Rekomendasi Tingkat Reliability Untuk Bermacam-macam Klasifikasi Jalan Rekomendasi Tingkat Reliabilitas Klasifikasi Jalan Perkotaan
Antar Kota
Bebas Hambatan
85-99,99
80-99,99
Arteri
80-99
75-95
Kolektor
80-95
75-95
Lokal
50-80
50-80
Sumber : AASHTO 1993
Reliabilitas kinerja perencanaan dikontrol dengan faktor reliabilitas (FR) yang dikalikan dengan perkiraan lalu lintas (W18) selama umur rencana untuk memperoleh prediksi kinerja (W18). Untuk tingkat reliabilitas (R) yang diberikan,
25 reliabilitas faktor merupakan fungsi dari deviasi standar keseluruhan (overall standard deviation, So) yang memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu lintas dan perkiraan kinerja untuk W18 yang diberikan. Dalam persamaan desain perkerasan lentur, level of reliability (R) diakomodasi dengan parameter penyimpangan normal standar (standard normal deviate, ZR). Tabel 2.5 memperlihatkan nilai ZR untuk level of reliability tertentu. Penerapan konsep reliabilitas harus memperhatikan langkah-langkah berikut ini : 1. Definisikan klasifikasi fungsional jalan dan tentukan apakah merupakan jalan perkotaan atau jalan antar kota. 2. Pilih tingkat reliabilitas dari rentang yang diberikan pada tabel 2.14 3. Deviasi standar (So) harus dipilih yang mewakili kondisi setempat. Rentang nilai So adalah 0,40 – 0,50
Tabel 2.5 Nilai Penyimpangan Normal Standar (Standar Normal Deviate) Untuk Tingkat Reliabilitas Tertentu Reliabilitas, R (%) 50 60 70 75 80 85 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 99,9 99,99 Sumber : AASHTO 1993
Standar Normal Deviate, ZR 0,000 -253 -524 -674 -841 -1,037 -1,282 -1,340 -1,405 -1,476 -1,555 -1,645 -1,751 -1,881 -2,054 -2,327 -3,090 -3,750
26 2.4.7
Jumlah lajur Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya,
yang menampung lalu lintas terbesar (lajur dengan volume tertinggi). Umumnya lajur rencana adalah salah satu lajur dari jalan raya dua lajur atau tepi dari jalan raya yang berlajur banyak. Persentase kendaraan pada jalur rencana dapat juga diperoleh dengan melakukan survey volume lalu lintas. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka ditentukan dari lebar perkerasan menurut tabel 2.6
Tabel 2.6 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan Lebar Perkerasan L < 4,50 m 4,50 m ≤ L < 8,00 m 8,00 m ≤ L < 11,25 m 11,25 m ≤ L < 15,00 m 15,00 m ≤ L < 18,75 m 18,75 m ≤ L < 22,00 m
Jumlah Lajur (n) 1 jalur 2 jalur 3 jalur 4 jalur 5 jalur 6 jalur
Sumber : AASHTO 1993
Tabel 2.7 Faktor Distribusi Lajur (DL) Jumlah lajur per arah 1 2 3 4
% beban gandar standar dalam lajur rencana 100 80 – 100 60 – 80 50 – 75
Sumber : AASHTO 1993
2.4.8
Koefisien Distribusi Kendaraan Koefisien distribusi kendaraan untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat
pada jalur rencana ditentukan menurut tabel 2.8.
27 Tabel 2.8 Koefisien Distribusi Kendaraan Jumlah Jalur
Kendaraan Ringan
Kendaraan Berat
1 arah
2 arah
1 arah
2 arah
1 Jalur
1,00
1,00
1,00
1,00
2 Jalur
0,60
0,50
0,70
0,50
3 Jalur
0,40
0,40
0,50
0,475
4 Jalur
-
0,30
-
0,45
5 Jalur
-
0,25
-
0,425
6 Jalur
-
0,20
-
0,40
Sumber : SNI 1732-1989-F
2.4.9 Koefisien Drainase Faktor yang digunakan untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif sebagai fungsi yang menyatakan seberapa baiknya struktur perkerasan dapat mengatasi pengaruh negatif masuknya air ke dalam struktur perkerasan. Tabel 2.9 memperlihatkan definisi umum mengenai kualitas drainase.
Tabel 2.9 Defini Kualitas Air Kualitas Drainase Baik sekali Baik Sedang Jelek Jelek sekali
Air Hilang Dalam 2 jam 1 hari 1 minggu 1 bulan air tidak akan mengalir
Sumber : AASHTO 1993
Faktor untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini adalah koefisien drainase (m) dan disertakan ke dalam persamaan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif (a) dan ketebalan (D). Tabel 2.10 memperlihatkan nilai koefisien drainase (m) yang merupakan fungsi dari kualitas drainase dan persen waktu selama setahun struktur perkerasan akan dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh.
28 Tabel 2.10 Koefisien drainase (m) untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif material untreated base dan subbase pada perkerasan lentur Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh < 1% 1 - 5% 5 - 25% > 25% 1,40 - 1,35 1,35 - 1,30 1,30 - 1,20 1,2 1,35 - 1,25 1,25 - 1,15 1,15 - 1,00 1 1,25 - 1,15 1,15 - 1,05 1,00 - 0,80 0,8 1,15 - 1,05 1,05 - 0,80 0,80 - 0,60 0,6 1,05 - 0,95 0,80 - 0,75 0,60 - 0,40 0,4
Kualitas Drainase Baik sekali Baik Sedang Jelek Jelek sekali Sumber : AASHTO 1993
2.4.10 Indeks Permukaan Awal (IPo) Indeks permukaan adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan nilai daripada kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Dalam menentukan indeks permukaan awal rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana. Adapun beberapa nilai IPo seperti tabel 2.11.
Tabel 2.11 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo) Jenis Lapis Permukaan Laston Lasbutag HRA Burda Burtu Lapen Latasbum Buras Latasir Jalan Tanah Jalan Kerikil
IPo
Roughness (mm/km)
≥4 3,9 - 3,5 3,9 - 3,5 3,4 - 3,0 3,9 - 3,5 3,4 - 3,0 3,9 - 3,5 3,4 - 3,0 3,4 - 3,0 2,9 - 2,5 2,9 - 2,5 2,9 - 2,5 2,9 - 2,5 ≤ 2,4 ≤ 2,4
≤ 1000 > 1000 ≤ 2000 > 2000 ≤ 2000 > 2000 < 2000 < 2001 ≤ 3000 > 3000 -
Sumber : SNI 1732-1989-F
29 2.4.11 Indeks Permukaan Akhir (IPt) Dalam
menentukan
indeks
permukaan
akhir
umur
rencana
perlu
dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER), berdasarkan tabel 2.12.
Tabel 2.12 Indeks Permukaan Akhir (IPt) Klasifikasi Jalan
Lintas Ekivalen Rencana
Lokal
Kolektor
Arteri
Tol
< 10
1 - 1,50
1,50
1,50 - 2
-
10 - 100
1,50
1,50 - 2
2
-
100 - 1000
1,50 - 2
2
2 - 2,50
-
>1000
-
2 - 2,5
2,50
2,50
Sumber : SNI 1732-1989-F
2.4.12 Koefisien Kekuatan Relatif (a) Koefisien kekuatan relatif (a) diperoleh berdasarkan jenis lapisan perkerasan yang digunakan. Pemilihan jenis lapisan perkerasan ditentukan dari : 1. Material yang tersedia 2. Dana awal yang tersedia 3. Tenaga kerja dan peralatan yang tersedia 4. Fungsi jalan Besarnya koefisien kekuatan relatif ditentukan oleh tabel 2.13.
30 Tabel 2.13 Koefisien Kekuatan Relatif Koefisien Kekuatan Relatif a1
a2
a3
0,40 0,35 0,32 0,30 0,35 0,31 0,28 0,26 0,30 0,26 0,25 0,20 -
0,28 0,26 0,24 0,23 0,19 0,15 0,13 0,15 0,13 0,14 0,13 0,12 -
0,13 0,12 0,11 0,10
Kekuatan Bahan MS (kg) 744 590 454 340 744 590 454 340 340 340 590 454 340 -
KT (Kg/cm2) 22 18 22 18 -
CBR (%) 100 80 60 70 50 30 20
Jenis Bahan Laston
Lasbutag
HRA Aspal Macadam Lapen (mekanis) Lapen (manual) Laston Atas Lapen (mekanis) Lapen (manual) Stabilisasi tanah dengan semen Stabilisasi tanah dengan kapur Batu pecah (kelas A) Batu pecah (kelas B) Batu pecah (kelas C) Sirtu/pitrun (kelas A) Sirtu/pitrun (kelas B) Sirtu/pitrun (kelas C) Tanah/lempung berpasir
Sumber : SNI 1732-1989-F
2.4.13 Kategori Kendaraan Survey volume lalu lintas yang dipakai untuk acuan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga mengkategorikan 12 kendaraan termasuk kendaraan tidak bermotor (non motorized). Sebelumnya, survey pencacahan lalu lintas dengan cara manual
31 perhitungan lalu lintas tersebut mengkategorikan menjadi 8 kelas (Ditjen Bina Marga Pd-T-19-2004). Tabel 2.14 membedakan beberapa kategori kendaraan tersebut. Untuk perencanaan perkerasan jalan digunakan 12 klasifikasi kendaraan. Untuk perencanaan geometrik digunakan hanya 5 kelas kendaraan (MKJI, 1997).
Tabel 2.14 Kategori Jenis Kendaraan IRMS, BM 1
2 3 4 5a 5b 6a 6b 7a 7b 7c 8
Sepeda motor, skuter, kendaraan roda tiga Sedan, jeep, station wagon Opelet, kombi, dan mini bus Pikup, mikro truk, dan mobil hantaran Bus kecil Bus besar Truk ringan 2 As Truk sedang 2 As Truk 3 As Truk gandeng Truk semi trailer Kendaraan tidak bermotor
BM 1992 1
Sepeda motor, skuter, kendaraan roda tiga
4
Sedan, jeep, station wagon Opelet, kombi, dan mini bus Pikup, mikro truk, dan mobil hantaran
5
Bus
2 3
6
Truk 2 As
7
Truk 3 As atau lebih dan Gandengan
8
Kendaraan tidak bermotor
1
MKJI 1997 Sepeda motor (MC), kendaraan bermotor roda dua dan roda tiga
2
Kendaraan Ringan (LV) : Mobil penumpang, opelet, pickup, bis kecil, truk kecil
3
Kendaraan Berat (LHV) : bis, truk 2 As
4
HGV : truk 3 As, dan truk gandengan
5
Kendaraan tidak bermotor (UM)
Sumber : International Road Management System, Bina Marga, Manual Kapasitas Jalan Indonesia
Tabel 2.15 Parameter Perhitungan SNI 1732-1989-F dan AASHTO 1993 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Parameter Lintas Harian Rata-rata Pertumbuhan Lalu Lintas Koefisien Distribusi Kendaraan Beban Lalu Lintas Daya Dukung Tanah Dasar Faktor Regional Reliabilitas Indeks Permukaan Koefisien Kekuatan Relatif
Sumber : Hasil Analisis
SNI
AASHTO
32 2.5
Metoda SNI 1732-1989-F Penetuan tebal perkerasan lentur jalan didasarkan pada buku Petunjuk
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Metode Analisa Komponen SNI 1732-1989-F. Data lalu lintas harian rata-rata dapat diperoleh dengan cara: LHR =
Jumlah kendaraan tertinggi ………...........…................……….…(2.13) k
Dimana:
a.
k = 0,09
Lintas harian rata-rata awal Rumus: LHR awal umur rencana = (1 + i) n × Volume kendaraan …….............................…...(2.14)
Dimana:
i = Angka pertumbuhan lalu lintas pada masa pelaksanaan n = Masa pelaksanaan
b.
Lintas harian rata-rata akhir Rumus:
LHR akhir umur rencana = (1 + i) n × Volume kendaraan ..............……(2.15) Dimana:
i = Angka pertumbuhan lalu lintas pada masa operasional n = Masa operasional jalan
c.
Koefisien distribusi untuk masing-masing kendaraan Berdasarkan
Daftar
II
SNI-1732-1989-F
tentang
“TATA
CARA
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN”, nilai koefisien masingmasing kendaraan dapat dilihat dari tabel 2.8
33 d.
Angka ekivalen masing-masing kendaraan Berdasarkan
Daftar
III
SNI-1732-1989-F
tentang
“TATA
CARA
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN”, nilai ekivalen masingmasing kendaraan dapat dilihat dari tabel di bawah ini: Tabel 2.16 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan Beban Sumbu Kg
Lb
1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 8160 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000
2205 4409 6614 8818 11023 13228 15432 17637 18000 19841 22046 24251 26455 28660 39864 33069 35276
Angka Ekivalen Sumbu Sumbu Tunggal Ganda 0,0002 0,0036 0,0003 0,0183 0,0016 0,0577 0,0050 0,1410 0,0121 0,2933 0,0251 0,5415 0,0466 0,9328 0,0794 1,0000 0,0860 1,4798 0,1273 2,2555 0,1940 3,3022 0,2840 4,6770 0,4022 6,4419 0,5540 8,6447 0,7452 11,4184 0,9820 14,7815 12,712
Sumber : SNI 1732-1989-F
e.
Lintas ekivalen permulaan (LEP) Rumus:
LEP = ∑( LHR Dimana:
awal umur rencana
× c × E ) ...............……........…….……(2.16)
c = Koefisien distribusi masing-masing kendaraan E = Angka ekivalen untuk masing-masing kendaraan
f.
Lintas ekivalen akhir (LEA) Rumus:
LEA = ∑( LHR
akhir umur rencana
× c × E ) ….........…...................……...(2.17)
34 Dimana:
c = Koefisien distribusi masing-masing kendaraan E = Angka ekivalen untuk masing-masing kendaraan
g.
Lintas ekivalen tengah (LET) Rumus: LET =
h.
LEP + LEA …..................................................................…....….(2.18) 2
Faktor penyesuaian Rumus:
FP =
UR …...………............................………………..…...…..……...(2.19) 10
Dimana: i.
UR = Umur Rencana/masa operasional jalan
Lintas ekivalen rencana (LER) Rumus:
LER = LET × FP ….……........…...............................................………(2.20) j.
Analisa daya dukung tanah Untuk menentukan nilai daya dukung tanah dasar, digunakan persamaan 2.9 pada subbab 2.3.2 berdasarkan SNI-1732-1989-F tentang “TATA CARA PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN”.
k.
Analisa tebal perkerasan lentur •
Faktor regional Rumus: Persentase Kendaraan Berat =
Jumlah Kendaraan Berat × 100% ................ Jumlah Kendaraan
............................................................................................................(2.21) Setelah itu dapat dilanjutkan dengan melihat tabel dibawah ini:
35 Tabel 2.17 Faktor Regional (FR) Kelandaian I (< 6%) % kendaraan berat ≤ 30% > 30%
Kelandaian II (6 10%) % kendaraan berat ≤ 30% > 30%
Kelandaian III (> 10%) % kendaraan berat ≤ 30% > 30%
Iklim I < 900mm/th
0,5
1,0 1,5
1,0
1,5 - 2,0
1,5
2,0 - 2,5
Iklim I > 900mm/th
1,5
2,0 2,5
2,0
2,5 - 3,0
2,5
3,0 - 3,5
Catatan: Pada bagian tertetu jalan, seperti persimpangan, pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah 0,5, Pada daerah rawa, FR ditambah 1,0 Sumber : SNI 1732-1989-F
•
Indeks permukaan Dalam menentukan indeks permukaan awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana. Besarnya nilai indeks permukaan pada awal umur rencana dapat dilihat pada tabel 2.11.
•
Indeks permukaan akhir Untuk menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER). Adapun kisaran nilai indeks tersebut dapat dilihat pada tabel 2.12.
•
Indeks tebal perkerasan Adalah suatu angka yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasan. Penentuan nilai indeks tebal perkerasan dapat dihitung dengan menggunakan pesamaan berikut ini :
36
ITP Log10(LER× 3650) = 9,36× Log10 +1 − 0,2 + 2,54
∆PSI Log10 4,2 −1,5 + Log 1 + 0,372× (DDT− 3,0) 10 FR 1094 0,4 + 5,19 ITP 2,54
………………..............……………………………………....…......(2.22) Dimana : LER
= Lintas Ekivalen Rencana
3650
= Jumlah hari dalam 10 tahun
ITP
= Indeks Tebal Perkerasan
DDT
= Daya Dukung Tanah Dasar
∆PSI
= Perbedaan Serviceability Index di awal dan akhir umur rencana
FR •
= Faktor Regional
Koefisien kekuatan relatif Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan yang diperkuat dengan semen atau kapur) atau CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah). Jika alat Marshall Test tidak tersedia, bahan beraspal bias diukur dengan cara lain seperti Hveem
Test, Hubbard Field, dan Smith Triaxial. Besarnya keofisien kekuatan relatif dapat dilihat pada tabel 2.13. •
Susunan lapisan perkerasan Dalam menentukan tebal lapisan perkerasan, dipergunakan persamaan ini:
37 Rumus:
ITP = a 1 ⋅ D1 + a 2 ⋅ D 2 + a 3 ⋅ D 3 .............….................……..….……..(2.23) Dimana:
ITP
= Indeks Tebal Perkerasan
a1 = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan a2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi atas a3 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah D1 = tebal lapis permukaan D2 = tebal lapis pondasi atas D3 = tebal lapis pondasi bawah
Berikut adalah batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan: 1.
Lapis permukaan Tabel 2.18 Batas Tebal Minimum Lapis Permukaan
ITP
Tebal Minimum (cm)
< 3,00
5
Lapis pelindung : (Buras / Burtu / Burda)
3,00 - 6,70
5
Lapen / Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
6,71 - 7,49
7,5
Lapen / Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
7,50 - 9,99
7,75
Lasbutag, Laston
≥ 10,00
10
Sumber : SNI 1732-1989-F
Bahan
Laston
38 2.
Lapis pondasi Tabel 2.19 Batas Tebal Minimum Lapis Pondasi
ITP
Tebal Minimum (cm)
< 3,00
15
3,00 - 7,49
20* 10
7,50 - 9,99
20 15
10 - 12,14
20
≥ 12,25
25
Bahan Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur Laston Atas Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam Laston Atas Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas
*) Batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah digunakan material butir kasar Sumber : SNI 1732-1989-F
3.
Lapis pondasi bawah Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah
10 cm.
2.5.1
Perencanaan Tebal Lapis Tambah/Overlay Diberikan pada jalan yang telah/menjelang habis masa pelayanannya dimana
kondisi permukaan jalan telah mencapai indeks permukaan akhir (IP) yang diharapkan. Adapun maksud dan tujuan overlay : 1.
Mengembalikan (meningkatkan) kemampuan/kekuatan struktural.
2.
Kualitas permukaan -
Kemampuan menahan gesekan roda (skin resistance)
-
Tingkat kekedapan terhadap air
-
Tingkat kecepatannya mengalirkan air
39 a.
Tingkat keamanan dan kenyamanan
Perancangan Tebal Pelapisan Tambahan •
Prosedur perencanaan tebal overlay menggunakan metode analisa komponen Langkah-langkah perencanaannya : -
Perlu dilakukan survey penilaian terhadap kondisi perkerasan jalan lama (existing pavement), yang meliputi lapis permukaan, lapis pondasi atas, dan lapis pondasi bawah.
-
Tentukan LHR pada awal dan akhir umur rencana
-
Hitung LEP, LEA, LET, dan LER
-
Tentukan nilai ITPR dengan menggunakan persamaaan 2.22
-
Tentukan nilai ITPsisa dari jalan yang akan diberi lapis tambah dengan menggunakan persamaan 2.24 ITPsisa = ∑ (K i ⋅ a i ⋅ Di ) ...............................................................(2.24)
Keterangan : K
-
= kondisi Lapisan
a
= koefisien kekuatan relatif
D
= tebal lapisan
i
= nomor yang menunjukkan lapisan
Tetapkan tebal lapisan tambahan (Dol) ∆ITP = ITPR − ITPsisa ……………..……..............................…...(2.25)
Keterangan :
∆ITP = selisih dari ITPR dan ITPsisa ITPR
= ITP diperlukan sampai akhir umur rencana
ITPsisa = ITP yang ada
40 ∆ITP = Dol × a ol …………………..........................…….....……(2.26)
Keterangan : Dol = tebal lapisan tambahan aol = koefisien kekuatan relatif lapisan tambah
2.6
Metoda AASHTO 1993 Metode ASSHTO 1993 merupakan salah satu metode perencanaan untuk
tebal perkerasan jalan yang sering digunakan. Metode ini telah dipakai secara umum diseluruh dunia untuk perencanaan serta diadopsi sebagai standar perencanaan di berbagai negara. Metode ASSHTO 1993 pada dasarnya adalah metode perencanaan yang didasarkan pada metode empiris dengan menggunakan beberapa parameter yang dibutuhkan dalam perencanaan diantaranya : a.
Structural Number (SN)
b.
Lalu Lintas
c.
Reliability
d.
Faktor Lingkungan
e.
Serviceability
a.
Structural Number (SN) Structural Number (SN) merupakan fungsi dari ketebalan lapisan dan koefisien relatif lapisan (layer coefficients). Persamaan untuk Structural
Number adalah sebagai berikut : SN = a1D1 + a2 D2 m2 + a3 D3m3 ……..............………..…....……………..(2.27)
Dimana : SN
= nilai Structural Number
a1, a2, a3
= koefisien relatif masing-masing lapisan
D1, D2, D3
= tebal masing-masing lapisan perkerasan
41 m2, m3
b.
= koefisien drainase pondasi dan pondasi bawah
Lalu Lintas Prosedur perencanaan untuk parameter lalu lintas didasarkan pada kumulatif beban gandar standar ekivalen (Cumulative Equivalent Standart Axel, CESA). Perhitungan untuk CESA ini didasarkan pada konversi lalu lintas yang lewat terhadap beban gandar standar 8,16 ton dan mempertimbangkan umur rencana, volume lalu lintas, faktor distribusi lajur, serta faktor bangkitan lalu lintas (growth factor).
c.
Reliability Dalam proses perencanaan perkerasan terdapat beberapa ketidaktentuan (uncertainties). Konsep reabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat kepastian (degree of certainty) ke dalam proses perencanaan untuk menjamin bermacam-macam alternative perencanaan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan (umur rencana). Tingkat reliability ini yang digunakan tergantung pada volume lalu lintas, maupun klasifikasi jalan yang direncanakan. Secara garis besar pengaplikasian konsep reliability adalah sebagai berikut : a. Penentuan klasifikasi ruas jalan yang akan direncanakan menjadi hal pertama yang harus dilakukan. Klasifikasi ini mencakup apakah jalan tersebut adalah jalan dalam kota (urban) atau jalan antar kota (rural). b. Menetukan tingkat reliability yang dibutuhkan dengan menggunakan tabel yang ada pada metode perencanaan AASHTO 1993. Semakin tinggi tingkat reliability yang dipilih, maka semakin tebal lapisan perkerasan yang dibutuhkan.
42 c. Satu nilai standar deviasi (So) harus dipilih. Nilai ini mewakili dari kondisi-kondisi lokal yang ada. Nilai tipikal untuk perkerasan lentur adalah 0,40 - 0,50.
d.
Faktor Lingkungan Diantara faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah cuaca atau iklim dan kembang susut tanah dasar. Sedangkan pengaruh jangka panjang akibat temperature
dan
kelembaban
pada
penurunan
serviceability
belum
dipertimbangkan.
e.
Serviceability Serviceability merupakan tingkat pelayanan yang diberikan oleh sistem perkerasan
yang
kemudian
dirasakan
oleh
pengguna
jalan.
Nilai
serviceability ini diberikan dalam beberapa tingkatan antara lain : a. Untuk perkerasan yang baru dibuka (open traffic), nilai serviceability ini diberikan sebesar 4,0 – 4,2. Nilai ini dalam terminologi perkerasan diberikan sebagai nilai initial serviceability (Po). b. Untuk perkerasan yang harus dilakukan perbaikan pelayanannya, nilai
serviceability ini diberikan sebesar 2,0. Nilai ini dalam terminologi perkerasan diberikan sebagai nilai terminal serviceability (Pt). c. Untuk perkerasan yang sudah rusak dan tidak bisa dilewati, maka nilai
serviceability ini akan diberikan sebesar 1,5. Nilai ini diberikan dalam terminologi failure serviceability (Pf).
2.6.1
Persamaan AASHTO 1993 Dari hasil percobaan jalan AASHO untuk berbagai macam variasi kondisi
dan jenis perkerasan, maka disusunlah metode perencanaan AASHO yang kemudian
43 berubah menjadi AASHTO. Dasar perencanaan metode AASHTO 1972, AASHTO 1986, hingga yang terbaru yaitu AASHTO 1993, adalah persamaan berikut ini : ∆PSI log 10 4,2 − 1,5 log 10 W18 = Z R So + 9,36 log 10 ( SN + 1) − 0,20 + + 2,32 log 10 Mr − 8,07 1094 0,40 + 5 ,19 SN + 1 ..…………………………………..........................…………………....…......…(2.28)
Dimana : W18
= kumulatif beban gandar standar
ZR
= Standar Normal Deviate
So
= Combined Standard Error dari prediksi lalu lintas dan kinerja
SN
= Structural Number
∆PSI = Perbedaan Serviceability Index di awal dan akhir umur rencana Mr
= Modulus Resilien (psi)
2.6.2 Langkah-langkah Perencanaan dengan Metode AASHTO 1993 Langkah-langkah perencanaan dengan metode AASHTO 1993 yaitu sebagai berikut : a.
Menentukan lalu lintas rencana yang akan diakomodasi di dalam perencanaan tebal perkerasan. Lalu lintas rencana ini jumlahnya tergantung dari komposisi lalu lintas, volume lalu lintas yang lewat, beban aktual yang lewat, serta faktor bangkitan lalu lintas serta jumlah lajur yang direncanakan. Semua parameter tersebut akan dikonversikan menjadi kumulatif beban gandar standar ekivalen atau Cumulative Equivalent Standart Axle (CESA).
b.
Menghitung CBR tanah dasar yang mewakili ruas jalan tersebut. Pengambilan data CBR biasanya dilakukan setiap jarak 100 meter. Dari nilai
44 CBR representative tersebut kemudian diprediksi modulus elastisitas (resilien) tanah dasar dengan persamaan berikut : Mr = 1500 CBR (psi)…………………………………......................…..(2.29) Dimana : CBR = nilai CBR representative (%) Mr c.
= Modulus resilien tanah dasar (psi)
Menentukan besaran-besaran fungsional dari sistem perkerasan jalan yang ada seperti Initial Present Serviceability Index (Po), Terminal Serviceability
Index (Pt), Failure Serviceability Index (Pf). Masing-masing besaran ini nilainya tergantung dari klasifikasi jalan yang akan direncanakan. d.
Menentukan reliability dan standard normal deviate. Keduanya ditentukan berdasarkan beberapa asumsi antara lain tipe perkerasan dan klasifikasi jalan.
e.
Menggunakan data lalu lintas, modulus elastisitas tanah dasar serta besaranbesaran fungsional Po, Pt, dan Pf serta reliability dan standar deviate untuk mendapatkan
nilai
Structural
Number
yang
dibutuhkan
untuk
mengakomodasi lalu lintas rencana. Selain menggunakan rumus AASHTO tersebut dapat juga digunakan grafik-grafik AASHTO. f.
Menentukan bahan pembentuk lapisan perkerasan. Masing-masing bahan pembentuk memiliki koefisien lapisan berbeda.
g.
Menggunakan koefisien masing-masing lapisan tersebut untuk mendapatkan tebal masing-masing lapisan perkerasan dengan persamaan 2.15.
45 Tabel 2.20 Ketebalan Minimum Lapisan Perkerasan Tebal Minimum (cm)
Lalu Lintas Kurang dari 50.000 50.001-150.000 150.001-500.000 500.001-2.000.000 2.000.001-7.000.000 7.000.001
Aspal Beton 1,0 (atau perbaikan permukaan) 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0
Pondasi Atas 4 4 4 6 6 6
Sumber : AASHTO 1993
2.6.3 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perencanaan tebal lapis tambah dengan menggunakan metode AASHTO. Adapun langkah perhitungannya, antara lain : Tentukan Structural Number Original (SNo)
1.
Structural Number Original (SNo) dihitung berdasarkan kekuatan relatif bahan, tebal lapis perkerasan yang terpasang dengan menggunakan persamaan 2.26. Tentukan Structural Number Effektif (SNeff)
2.
a. Analisa Lalu lintas -
Hitung Kumulatif ESAL pada saat ini atau Past Cumulative 18-kip ESAL in
Design Lane (Np)
N P = ∑ LHR × E × DD × D L …........................................……......…..…(2.30) Dimana :
-
LHR
= Lintas Harian Rata-rata
E
= Ekivalen Faktor
DD
= Faktor Distribusi Arah
DL
= Faktor Distribusi Lajur
Hitung Kumulatif ESAL pada akhir umur rencana atau Future Cumulative
18-kip ESAL in Design Lane over the Design Period (Nf)
46 N f = ∑ LHR × E × DD × D L × TGF ……………...........................…......(2.31)
Dimana : TGF = Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas b.
Hitung Umur Sisa Untuk menentukan umur sisa terlebih dahulu hitung jumlah lalu lintas aktual (Np) dan jumlah lalu lintas pada akhir umur rencana (N1.5) dimana kedua jumlah lalu lintas ini dinyatakan dalam 18-Kips ESAL. Nilai umur sisa dinyatakan dalam persentase dari jumlah lalu lintas pada saat terjadi kerusakan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung umur sisa atau Remaining Life sebagai berikut :
N RL = 100 1 − P ……………..……………..........................…..…(2.32) N 1.5 Dimana :
RL
= Remaining Life atau Umur Sisa (%)
Np
= jumlah lalu lintas aktual
N1.5
= jumlah lalu lintas akhir umur rencana
Untuk jalan arteri nilai N1.5 digunakan N2.5 dimana IPt = 2.5 adalah perkerasan pada kondisi kritis. Setelah menentukan umur sisa, maka dengan menggunakan gambar 2.2 untuk mendapatkan nilai faktor kondisi (CF), sehingga dapat menentukan kapasitas struktur yang ada saat ini dengan persamaan : SNeff = CF × SNO ……………………........................…..……….......…(2.33) Dimana :
SNeff = Kapasitas Struktur pada saat ini CF
= Faktor Kondisi (CF min = 0,5)
SNO
= Kapasitas Struktur awal rencana
47
Sumber AASHTO 1993
Gambar 2.2 Hubungan Faktor Kondisi dengan Umur Sisa 3.
Tentukan Structural Number in Future (SNf) Untuk menentukan struktural number in future dapat di tentukan dengan menggunakan nomogram dan grafik atau dengan menggunakan persamaan 2.26 dengan trial and error hingga didapat nilai W18 sama dengan nilai future design ESALs (Nf)
4.
Perencanaan Tebal Overlay Perhitungan tebal lapis tambah dengan menggunakan persamaan :
Dol =
SN ol SN f − SN eff = ………………..…....................…...…......(2.34) a ol a ol
Dimana :
Dol
= Tebal Overlay rencana
SNol
= Structural Number Overlay yang disyaratkan
SNf
= Structural Number in Future
SNeff = Structural Number Effective aol
= Koefisien Material Untuk Overlay
48
2.7
Biaya Definisi biaya menurut Standar Akutansi Keuangan (1999:12) adalah
penurunan manfaat ekonomi selama satu periode akutansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal. The Commite on Cost Concepts and Standards of The American Accounting Association memberikan definisi Cost sebagai berikut : “Cost is foregoing measured in monetary terms incurred or potentially to be incurred to achive o specific objective”, yang berarti biaya merupakan pengeluaran-pengeluaran yang diukur
secara terus menerus dalam uang atau yang potensial harus dikeluarkan untuk mencapai suatu tujuan. Jadi, menurut beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa biaya merupakan kas atau nilai ekuivalen kas yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan guna untuk memberikan suatu manfaat yaitu peningkatan laba.
2.8
Penelitian Yang Berhubungan Dengan Tugas Akhir
a.
Nama : Ferdian, T., Prasasya, A., Subagio, B. S., Hendarto, S. Tahun : 2008 Judul :Analisis
Struktur
Perkerasan
Lentur
Menggunakan
Program
Everseries dan Metoda AASHTO 1993 Studi Kasus : Jalan Tol
Jakarta-Cikampek Tujuan Penelitian : untuk menganalisa struktur perkerasan jalan tol JakartaCikampek.
49 Dalam
salah
satu
kesimpulan
penelitiannya
menyebutkan
dengan
membandingkan Kumulatif ESAL Rencana dan Aktual selama periode 19982008, terdapat suatu perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya. Nilai Kumulatif ESAL Aktual lebih besar dibandingkan Kumulatif ESAL rencana. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi faktor pertumbuhan 7,5% tidak sesuai dengan tingkat pertumbuhan aktual yang terjadi. Dalam hal ini nilai Kumulatif ESAL Aktual lebih dapat menggambarkan kondisi struktur perkerasan akibat beban kendaraan , sehingga nilai Kumulatif ESAL Aktual dianggap yang lebih menentukan dalam perencanaan tebal overlay dibandingkan Kumulatif ESAL Rencana.
b.
Nama : Wahid Ahmad Tahun : 2009 Judul : Perencanaan Pelapisan Tambah Pada Perkerasan Kaku Berdasarkan Metoda Bina Marga dan AASHTO (Study Literatur) Tujuan Penelitian : Membahas Pelapisan Tambah Pada Perkerasan Kaku Dengan Menggunakan Metoda Bina Marga 2002 dan AASHTO 1993, Menghitung Tebal Lapis Tambah Dengan Pemisah dan Tebal Lapis Tambah Langsung Dengan Menggunakan Metoda Bina Marga dan AASHTO 1993 dan Membandingkan Hasil Yang Diperoleh Dari Kedua Metoda Tersebut. Dalam salah satu kesimpulan penelitiannya menyebutkan tebal lapis tambah yang diperoleh dengan menggunakan metoda Bina Marga 2002 untuk desain overlay pada pelapisan tambah langsung lebih besar jika dibandingkan
dengan menggunakan metoda AASHTO 1993, sedangkan tebal lapis tambah yang diperoleh dengan menggunakan metoda Bina Marga 2002 untuk desain
50 overlay pada pelapisan tambah dengan pemisah lebih kecil jika dibandingkan
dengan menggunakan metoda AASHTO 1993.
c.
Nama : Makmur Sairung Tahun : 2011 Judul : Penerapan Metode AASHTO Pada Perencanaan Perkerasan Jalan Poros Maros-Pangkep Tujuan Penelitian : Untuk Membandingkan Tebal Perkerasan dengan Menggunakan Metode Bina Marga. Dalam salah satu kesimpulan penelitiannya menyebutkan Perhitungan dengan metode AASHTO menghasilkan nilai lapisan pondasi bawah = 20 cm, sedangkan metode Bina Marga menghasilkan hasil pondasi bawah = 27 cm.
d.
Nama : Care, F.R.A.M., Subagio, B.S., Rahman, H., Kusumawati, A Tahun : 2012 Judul : Evaluasi Kondisi Struktural Perkerasan Lentur Menggunakan Metoda AASHTO 1993 Studi Kasus : Ciasem-Pamanukan (Pantura) Tujuan Penelitian : Mengevaluasi kinerja struktural perkerasan lentur menggunakan metode non-destructive lewat evaluasi struktural dengan alat FWD menggunakan metoda AASHTO 1993. Dalam salah satu kesimpulan penelitiannya menyebutkan pada jalur cepat untuk kedua arah ketebalan overlay rata-rata yang dibutuhkan cukup besar yaitu ± 21 cm dimana hal ini disebabkan oleh nilai SNf yang besar yang dibutuhkan pada tahun 2014 akibat nilai kumulatif ESAL yang tinggi
51 sehingga pada ruas ini kemungkinan diperlukan suatu penanganan khusus, sedangkan pada jalur lambat ketebalan overlay rata-rata yang dibutuhkan tidak terlalu besar yaitu ± 11 cm dimana hal ini disebabkan oleh nilai SNf yang lebih kecil yang dibutuhkan pada tahun 2014 akibat nilai kumulatif ESAL yang lebih rendah.
e.
Nama : Andika, R.P., Subagio, B.S., Hariadi, E.S., Sulaksono, S.W. Tahun : 2012 Judul : Analisis Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur Menggunakan Metode AASHTO 1993 dan Program ELMOD 6 Tujuan Penelitian : Melakukan kajian perbandingan tebal lapis tambah (overlay) perkerasan lentur dengan metode AASHTO 1993 dan Program ELMOD 6. Dalam salah satu kesimpulan penelitiannya menyebutkan tebal lapis tambah hasil analisis dari metode AASHTO 1993 adalah hampir sama dengan tebal lapis tambah hasil perhitungan dari Program ELMOD 6 untuk asumsi struktur 5 lapis. Hal ini menunjukkan tingkat ketelitian perhitungan yang sejalan dengan meningkatnya jumlah lapisan.
52
2.8.1
Roadmap Penelitian
Tabel 2.21 Roadmap Penelitian No. 1
2
3
4
Deskripsi Penelitian Metoda a AASHTO 1993 b SNI 1732-1989-F c Bina Marga Program a ELMOD 6 b Everseries Analisis a Volume Lalu Lintas b Faktor Truk c Kumulatif ESAL d Lintas Ekivalen Rencana e Faktor Regional Umur Sisa f g Tebal Lapis Tambah h Biaya Studi Parameter
Sumber :
a
b
c
Penelitian d e
Penelitian ini
a. Ferdian, T. Dkk, b. Wahid Ahmad, c. Makmur Sairung, d. Care, F.R.A.M. Dkk, e. Andika, R.P. Dkk