BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Organisasi
2.1.1. Pengertian Organisasi Organisasi sebagai kesatuan sosial terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Pandangan terhadap organisasi sangat tergantung pada konteks dan perspektif tertentu dari seseorang yang merumuskannya. Beberapa pandangan mengenai organisasi tersebut dapat diuraikan seperti yang dikemukakan Thompson dalam Thoha (1992), bahwa organisasi adalah: “an organization is a highly rationalized and impersonal integration of a large member of specialists cooperating to achieve some announched specific objectif”. Sedangkan pandangan lain, seperti yang dikemukakan oleh Robbins
(1996), merumuskan bahwa:“an
organization is a consciously coordinated social entity, with a relatively indentiviable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals”. Kedua pandangan tersebut
di atas, jelas memperlihatkan perspektif yang
berbeda. Thompson dalam Thoha (1992), merumuskan organisasi dengan penekanan pada tingkat rasionalitas dalam kerjasama yang terkoordinasi, dengan menekankan pentingnya pembagian tugas sesuai keahlian masing-masing anggota organisasi. Sedangkan menurut Robbins (1996), memandang organisasi sebagai kesatuan sosial, yaitu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Pola
Universitas Sumatera Utara
interaksi yang diikuti oleh anggota organisasi tidak begitu saja timbul, melainkan telah dipikirkan terlebih dahulu. Organisasi merupakan tata hubungan sosial. Dalam hal ini seorang individu melakukan proses interaksi dengan sesamanya di dalam organisasi, baik antara pimpinan dan anggota maupun antar anggota sendiri. Organisasi mempunyai pembatasan-pembatasan tertentu. Setiap anggota organisasi yang melakukan hubungan interaksi dengan yang lainnya tidaklah didasarkan atas kemauan sendiri, akan tetapi mereka dibatasi oleh peraturan tertentu. Organisasi merupakan suatu kumpulan tata aturan. Dengan adanya tata aturan setiap organisasi maka dapat lebih mudah dibedakan suatu organisasi dengan kumpulan kemasyarakatan. Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang berstruktur, yang di dalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Adanya hirarkhi atau tingkatan mulai dari pimpinan sampai pada bawahan atau staf. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang terlibat dalam organisasi harus tunduk pada suatu aturan untuk mengadakan kerjasama dan interaksi guna mencapai suatu tujuan bersama. Peneliti mengkaitkan paradigma organisasi dengan konsep klasik, lebih banyak mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan struktur seperti hirarkhi, wewenang, tanggungjawab, kesatuan komando, dan jenjang pengawasan. Organisasi juga dapat diartikan dalam dua macam yakni: (1) dalam arti statis, organisasi sebagai wadah kerja sama sekelompok orang yang bekerja sama, untuk mencapai tujuan
Universitas Sumatera Utara
tertentu, (2) dalam arti dinamis, organisasi sebagai suatu sistem atau kegiatan sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. 2.1.2. Prinsip-prinsip Organisasi Ada beberapa ahli yang memberikan definisi tentang prinsip-prinsip atau azasazas organisasi, masing –masing ahli memberikan perumusan yang berbeda, baik dalam jumlah maupun istilah yang digunakan. Dibawah ini beberapa pengertian organisasi antara lain: 1. Warren dan Joseph
dalam Wursanto (2003)
dalam bukunya yang berjudul
Management for Business and Industri, menyatakan ada 4 (empat) macam prinsip organisasi yaitu: prinsip kesatuan perintah (unity of command), prinsip rentang kendali atau rentang pengawasan (span of control), prinsip pengecualian (the exeption princeple) dan prinsip hirarki (the scala principle). 2. Henry Fayol dalam Wursanto (2003) Seorang insiniur pertambangan dari Perancis mengemukakan 14 (empat belas) prinsip organisasi yaitu: pembagian kerja (devision of work), wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility), disiplin (discipline), kesatuan komando (unity of command), kesatuan langkah (unity of direction), subordinasi minat dibawah minat pada umumnya
(subordination of individual
interest to general interest), pemberian hadiah (remuneration), sentralisasi atau pemusatan (centralization), jenjang hirarki (line of autority/hierarchie), ketertiban (order), kesamarataaan (equity), stabilitas jabatan pegawai (stability of personel), inisiatif (iniciative) dan kesatuan jiwa korps (esprit de corps).
Universitas Sumatera Utara
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membangun dan menggerakkan organisasi yang kompleks (organisasi modern) diperlukan prinsipprinsip organisasi sebagai dasar atau fondamen sehingga organisasi dapat berjalan dengan baik, serta struktur organisasinya efektif dan efisien. Dengan demikian tercapai tidaknya tujuan organisasi tergantung pada kemampuan pimpinan organisasi dalam melaksanakan prinsip-prinsip organisasi. 2.1.3. Macam-Macam Organisasi Macam atau jenis-jenis organisasi dapat dilihat dari berbagai segi yaitu dari jumlah pucuk pimpinan, segi keresmian, segi tujuan segi luas wilayah, segi kebutuhan sosial serta segi bentuk (Wursanto, 2003). 1. Jenis Organisasi dari Segi Pucuk Pimpinan: Organisasi segi pucuk pimpinan terdiri dari dua macam yakni : (1) organisasi tunggal, apabila pucuk pimpinan organisasi tersebut berada pada tangan satu orang. Nama pimpinan yang dipergunakan tergantung dari jenis kegiatan organisasi tersebut. Contoh dalam bidang pemerintahan presiden, menteri, gubernur, direktur, bupati dan lain-lain,
dalam bidang kemiliteran: panglima,
komandan, kapolri, kapolda, dalam bidang pendidikan; rektor, dekan, ketua program studi, ketua departemen , dalam bidang niaga adalah adminstrator, (2) organisasi jamak, apabila pucuk pimpinan berada di tangan beberapa orang, contohnya: presidium (presidium kabinet ampera), Dewan Pempinan Pusat (DPP), DPD, MAWI, KWI, MUI dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
Masing-masing pimpinan dan dewan memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda sehingga perlu ada pembagian tugas dan wewenang maka dibutuhkan adanya koordinasi kerja. 2. Jenis Organisasi dari Segi Keresmian Menurut segi keresmian organisasi terdiri dari dua yaitu: (1) organisasi formal, apabila kegiatan dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam suatu kelompok secara sadar dikoordinasi guna tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, sehingga orang-orang yang tergabung dalam kelompok itu mempunyai struktur yang jelas, (2) organisasi informal, organisasi disusun secara bebas dan spontan dan keanggotaannya diperoleh secara sadar atau tidak sadar 3. Jenis Organisasi dari Segi Tujuan Menurut segi tujuan yang hendak dicapai, contohnya: organisasi niaga atau ekonomi yang mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya.
Kegiatan
yang
dilakukan
adalah
untuk
memproduksi
dan
mendistribusikan barang dan jasa. Organisasi niaga ini dibedakan lagi menjadi organisasi swasta dan pemerintah. 4. Jenis Organisasi dari Segi Luas Wilayah Menurut luas wilayahnya organisasi dapat dibagi menjadi empat macam yaitu: (1)
organisasi
daerah
(local
organization),
(2)
organisasi
regional
(regional organization), (3) organisasi nasional (national organization) dan (4) organisasi internasional (international organization).
Universitas Sumatera Utara
5. Jenis Organisasi dari Segi Kebutuhan Sosial/Kemasyarakatan Organisasi kemasyarakatan semua organisasi atau perhimpunan yang dibentuk atas secara sukarela oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia yang keanggotaan terdiri dari warga negara Indonesia dan warga negara asing, namun dalam pelaksanaannya harus tunduk pada ketentuan dan Undang-undang Republik Indonesia.
2.2. Budaya Organisasi 2.2.1. Pengertian Budaya Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan. Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut, semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan serta berpengaruh terhadap lingkungan dan perilaku manusia. Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem perilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi (Ndraha, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Idealnya tiap perusahaan memiliki budaya, yakni suatu sistem nilai yang merupakan kesepakatan kolektif dari semua yang terlibat dalam perusahaan. Yang dimaksud dengan kesepakatan disini adalah dalam hal cara pandang tentang bekerja dan unsur-unsurnya. Suatu sistem nilai merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam alam pemikiran sekelompok manusia/karyawan dan manajemen. Lalu persepsi itu melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku karyawan dan manajemen. Pada hakikatnya, bekerja dapat dipandang dari berbagai perspektif seperti bekerja merupakan bentuk ibadah, cara manusia mengaktualisasikan dirinya, bentuk nyata dari nilai-nilai, dan sebagai keyakinan yang dianutnya. Semua pandangan itu dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan organisasi dan individu. Karena itu setiap karyawan dan manajemen seharusnya memiliki sudut pandang atau pemahaman yang sama tentang makna budaya kerja dan batasan bekerja. Berikut ini dikemukakan beberapa ahli memberi pengertian budaya organisasi sebagai berikut: 1. Tosi, et.all., dalam Munandar, (2001), budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi. 2. Robbins, (1994), budaya organisasi adalah sebagai nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi
Universitas Sumatera Utara
terhadap pegawai dan pelanggan, cara kerja yang dilakukan di tempat organisasi, asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat diantara anggota organisasi. 3. Ndraha (2003), mengartikan budaya organisasi adalah sebagai potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini. 4. Moorhead dan Griffin dalam Kenna,et.al., (1995), budaya organisasi diartikan sebagai, seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya. Bedasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi sesungguhnya tumbuh karena diciptakan dan dikembangkan oleh individu yang bekerja dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota selama mereka berada dalam lingkungan organisasi tersebut, dan dapat dianggap sebagai ciri khas yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. 2.2.2. Tipe Budaya Organisasi Menurut Muchlas, (2008), manajemen harus menyadari tipe umum budaya organisasi kalau perusahaan berkeinginan mengubah budayanya agar lebih sempurna, dan menyadari kenyataan bahwa budaya tertentu terbukti lebih superior dari pada budaya lainnya. Sebagian besar ahli perilaku mengadvokasi budaya organisasi yang
Universitas Sumatera Utara
terbuka dan partisipatif. Bahkan, beberapa di antara mereka berpendapat lebih jauh bahwa budaya terbuka dan partisipatif ini mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1)
kepercayaan kepada bawahan, (2) komunikasi terbuka, (3) kepemimpinan
yang penuh pertimbangan dan suportif, (4) pemecahan masalah secara kelompok, (5) otonomi pekerja, (6) tukar menukar informasi, dan (7) tujuan-tujuan dengan keluaran (out put) yang berkualitas. Lawan dari budaya terbuka dan partisipatif adalah budaya tertutup dan otokratik. Budaya ini bisa jadi dikarakterisasi oleh tujuan-tujuan dengan keluaran yang berkualitas, tetapi tujuan-tujuan tersebut lebih sering dideklarasikan dan diterapkan
pada
organisasi
oleh
pemimpin-pemimpin
otokratik
dan
suka
mengancam. Makin besar rigiditas dalam budaya ini, makin ketat pula keterikatan pada sebuah rantai komando yang formal, makin sempit ruang gerak manajemen, dan makin keras tanggung jawab individualnya. Titik beratnya lebih kepada individu daripada kepada pekerjaan tim. Budaya terbuka dan partisipatif sering kali digunakan untuk memperbaiki moral dan kepuasan karyawan. Keuntungan-keuntungan dari budaya terbuka dan partisipatif adalah sebagai berikut: (1) meningkatnya penerimaan ide-ide manajemen, (2) meningkatnya kerja sama antara manajeman dan staf, (3) menurunnya angka pindah kerja, (4) menurunya angka absent, (5) menurunnya keluhan-keluhan dan kekesalan, (6) lebih besar penerimaan untuk perubahan-perubahan, dan (7) memperbaiki sikap terhadap pekerjaan dan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Partisipasi karyawan yang lebih besar seolah-olah memiliki efek yang langsung dan segera pada moral karyawan. Para karyawan kemudian lebih interest dalam pekerjaan dan organisasi. Mereka cenderung untuk menerima dan kadang-kadang mengambil inisiatif perubahan, tidak hanya karena mereka mengerti kepentingan untuk itu, tetapi juga karena mereka merasa mengerti sebagai akibat pengetahuannya lebih mendalam tentang perubahan. Harrison dalam Kenna, et.al., (1995) membagi empat tipe budaya organisasi yang dihubungkan dengan desain organisasi : 1. Budaya Kekuasaan (Power Culture). Budaya ini lebih memfokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti persepsi dan keinginan anggota suatu organisasi. Seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelaziman yang masih menganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan terkadang merupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya organisasi. 2. Budaya Peran (Role Culture). Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan
Universitas Sumatera Utara
menstabilkan
sistem.
Keyakinan
dan
asumsi
dasar
tentang
kejelasan
status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu menstabilkan suatu organisasi. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi. 3. Budaya Pendukung (Support Culture) Budaya dimana di dalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota di bawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas di dalamnya ada keselarasan antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terusmenerus (longlife education). 4. Budaya Prestasi (Achievement Culture) Budaya ini sudah berlaku di kalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Fungsi Budaya Organisasi Menurut Robbins, (1996), fungsi budaya organisasi sebagai berikut: (1) budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain, (2) budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi, (3) budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan individual, (4) budaya merupakan perekat sosial yang membantu memersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan, dan (5) budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. 2.2.4. Indikator Budaya Organisasi Beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang menentukan budaya organisasi adalah sebagai berikut: Menurut Robbins (1994), ada 10 indikator budaya organisasi yaitu: (1) inisiatif individual, tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi yang dipunyai individu, (2) toleransi terhadap tindakan beresiko, sejauh mana pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan mengambil resiko, (3) arah, sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi, (4) integrasi, tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi, (5) dukungan dari manajemen, tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta dukungan terhadap bawahan mereka, (6) kontrol, jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai, (7) identitas,
Universitas Sumatera Utara
tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau bidang keahlian profesional, (8) sistem imbalan, tingkat sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasih, (9) toleransi terhadap konflik,
tingkat sejauh mana para pegawai
didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik terbuka, dan (10) pola-pola komunikasi, tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Menurut Tampubolon, (2008), menyimpulkan indikator budaya organisasi menjadi 6 yaitu: a. Inovatif memperhitungkan risiko, norma yang dibentuk beradasarkan kesepakatan menyatakan bahwa setiap karyawan akan memberikan perhatian yang sensitif terhadap segala permasalahan yang mungkin dapat membuat resiko kerugian bagi kelompok dan oragnisasi secara keseluruhan. Perilaku karyawan yang demikian dibentuk apabila berdasarkan kesepakatan bersama sehingga secara tidak langsung membuat rasa tanggung jawab bagi karyawan
untuk melakukan
tindakan
mencegah terjadi kerugian secara konsisten. Kerugian ini lebih pada waktu, dari rasa sensitifnya karyawan dapat mengantisipasi risiko yang mengakibatkan kerugian lain, seperti merusak nama baik perusahaan yang kemungkinan larinya konsumen ke produk lain. b. Memberi perhatian pada setiap masalah secara detail, memberikan perhatian pada setiap masalah secara detail di dalam melakukan pekerjaan akan mengambarkan
Universitas Sumatera Utara
ketelitian dan kecermatan karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Sikap yang demikian akan menggambarkan tingkat kualitas pekerjaan yang sangat tinggi. Apabila semua karyawan memberikan perhatian secara detail terhadap semua permasalahan yang ada dalam pekerjaaan, maka tingkat penyelesaian masalah dapat digambarkan menjadi suatu pekerjaan yang berkualitas tinggi dengan demikian kepuasan konsumen akan terpenuhi. c. Berorientasi terhadap hasil yang akan dicapai, supervisi seorang manejer terhadap bawahannya merupakan salah satu cara manajer untuk mengarahkan dan memberdayakan staf. Melalui supervisi dapat diuraikan tujuan organisasi dan kelompok serta anggotanya, dimana tujuan dan hasil yang hendak dicapai. Apabila persepsi bawahan dapat dibentuk dan menjadi satu kesatuan didalam melakukan tugas untuk mencapai hasil. Dengan demikian semua karyawan berorientasi pada pencapaian tujuan/hasil. d. Berorientasi kepada semua kepentingan karyawan,
keberhasilan atau kinerja
organisasi salah satunya ditentukan ke kompakan tim kerja (team work), di mana kerjasama tim dapat dibentuk jika manajer dapat melakukan supervisi dengan baik. Kerjasama tim yang dimaksud adalah setiap karyawan bekerjasama dalam persepsi dan sikap yang sama didalam melakukan pekerjaannya dan secara tidak langsung, sesama karyawan akan selalu memeerhatikan permasalahan yang dihadapi masing-masing. Dengan demikian karyawan selalu berorientasi kepada sesama agar dapat tercapai target tim dan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
e. Agresif dalam bekerja, produktivitas yang tinggi dapat dihasilkan apabila performa karyawan dapat memenuhi standard yang dibutuhkan untuk melakukan tugasnya. Performa yang baik dimaksudkan antara lain: kualifikasi keahlian (ability and skill) yang dapat memenuhi persyaratan produktivitas serta harus diikuti dengan disiplin dan kerajinan yang tinggi. Apabila kualifikasi ini telah di penuhi, maka masih dibutuhkan ketahanan fisik dan keagresifan karyawan untuk menghasilkan kinerja yang baik. f. Mempertahankan dan menjaga stabilitas kerja, performa yang baik dari karyawan harus didukung oleh kesehatan yang prima. Performa yang baik tidak akan dapat tercipta secara kontinu apabila karyawan tidak dalam kondisi kesehatan yang prima. Kesehatan yang prima akan membentuk stamina yang prima, dengan stamina yang prima akan terbentuk ketahanan fisik yang akurat (endurance) dan stabil, serta dengan endurance yang prima, maka karyawan akan dapat mengendalikan
(drive)
semua
pekerjaan
dengan
baik.
Dengan
tingkat
pengendalian yang prima, menggambarkan performa karyawan tetap prima dan stabilitas kerja dapat dipertahankan. Berdasarkan pendapat oleh beberapa ahli di atas pada penelitian ini, peneliti menggunakan 6 item indikator budaya organisasi yang disimpulkan oleh Tampubolon (2008) dengan alasan bahwa ke enam indikator ini dapat diaplikasikan pada kinerja perawat dan sesuai dengan kondisi Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan sebagai tempat penelitian.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Hal yang Memengaruhi Budaya Organisasi Menurut Tosi et. All., dalam Munandar (2001), budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) pengaruh umum dari luar yang luas, mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi, (2) pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan, (3) faktor-faktor yang spesifik dari organisasi, organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Amnuai dalam Ndraha, (2003), bahwa pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi. Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi, (2) seseorang menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia, biaya dan teknologi dan mereka meletakkan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja. Dalam mengatasi masalah baik eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Kinerja 2.3.1. Pengertian Kinerja Kinerja adalah penampilan hasil kerja baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu unit pelayanan. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja suatu tim. Penampilan suatu hasil karya tidak terbatas kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga kepada seluruh jajaran personil di dalam suatu organisasi (Ilyas, 2001). Kinerja merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya (Sulistiyani, 2003). Menurut Hasibuan, (2001), kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugastugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Menurut Haryono, (2004), kinerja perawat adalah aktivitas perawat dalam mengimplementasikan sebaik-baiknya suatu wewenang, tugas dan tanggungjawabnya dalam rangka pencapaian tujuan tugas pokok profesi dan terwujudnya tujuan dan sasaran unit organisasi. Menurut Nur’aini, (2004) kinerja perawat adalah aktivitas perawat dalam mengimplementasikan sebaik-baiknya suatu wewenang, tugas dan tanggungjawabnya dalam rangka pencapaian tujuan tugas pokok profesi dan terwujudnya tujuan dan sasaran unit organisasi. Berdasarkan pengertian diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh individu maupun kelompok sesuai dengan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya dalam rangka mencapai tujuan
Universitas Sumatera Utara
organisasi sesuai standard dan kriteria yang ditetapkan untuk perkerjaan tesebut sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perawat pelaksana adalah tenaga profesional yang diberikan wewenang untuk melaksanakan pelayanan keperawatan di ruang rawat inap. Adapun persyaratan perawat pelaksana mempunyai ijazah formal atau yang berwenang. Tugas pokoknya melaksanakan asuhan keperawatan kepada klien atau keluarga di ruang rawat (Depkes, 1999; Swanburg, 2000). Merujuk dari beberapa penjelasan mengenai pengertian kinerja, maka kinerja perawat pelaksana dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja perawat pelaksana adalah perilaku kerja atau hasil kerja perawat pelaksana sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang harus dicapai dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada klien atau keluarga di ruang rawat inap. 2.3.2. Faktor –faktor yang Memengaruhi Kinerja Faktor-faktor penentu pencapaian prestasi kerja atau kinerja individu dalam organisasi menurut Mangkunegara, (2005) adalah sebagai berikut: 1. Faktor Individu, secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini
merupakan
modal
utama
manusia
untuk
mampu
mengelola
dan
mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor Lingkungan Organisasi Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarier dan fasilitas kerja yang relatif memadai. Dari pendapat di atas dapat dijelaskan, bahwa faktor individu dan faktor lingkungan organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai. 2.3.3. Peningkatan Kinerja Dalam rangka peningkatan kinerja pegawai, menurut Mangkunegara, (2005), terdapat tujuh langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut: (1) mengetahui adanya kekurangan dalam kinerja, (2) mengenal kekurangan dan tingkat keseriusan, (3) mengidentifikasikan hal-hal yang mungkin menjadi penyebab kekurangan, baik yang berhubungan dengan sistem maupun yang berhubungan dengan pegawai itu sendiri (4) mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi penyebab kekurangan tersebut, (5) melakukan rencana tindakan tersebut, (6) melakukan evaluasi apakah masalah tersebut sudah teratasi atau belum, dan (7) mulai dari awal apabila perlu. Bila langkah-langkah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka kinerja perawat pelaksana dapat ditingkatkan. 2.3.4. Hubungan Budaya Organisasi dengan Peningkatan Kinerja Menurut Robbin, (2006), budaya organisasi dapat memengaruhi kinerja dan kepuasan karyawan. Subjektif karyawan secara keseluruhan terhadap organisasi
Universitas Sumatera Utara
didasarkan pada beberapa faktor seperti derajat toleransi resiko, tekanan atau perhatian tim serta dukungan masyarakat. Hal yang mendukung atau tidak mendukung ini kemudian mempengaruhi kinerja dan kepuasan karyawan, dengan dampak yang lebih besar pada penguatan budaya. Pengaruh budaya organisasi pada kinerja dan kepuasan dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini. Kekuatan
Faktor Tujuan 1. Inovatif dan penempatan risiko 2. Perhatian secara jelas 3. Orientasi hasil 4. Orientasi orang 5. Orientasi tim 6. Keagresifan 7. Stabil
Berdampak pada
Tinggi/ Kuat
Kinerja
Rendah
Kepuasan
Budaya Organisasi
Gambar 2.1. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja dan Kepuasan (Robbins, 2006)
Menurut Kotter dan Heskett dalam Tika, (2008), hubungan budaya organisasi/perusahaan dengan kinerja adalah sebagai berikut: 1. Budaya organisasi dapat mempunyai dampak yang berarti terhadap kinerja ekonomi jangka panjang. 2. Budaya perusahaan mungkin menjadi suatu faktor yang bahkan lebih penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam dasawarsa yang akan datang 3. Budaya perusahaan yang menghambat kinerja keuangan jangka panjang cukup banyak, mudah berkembang bahkan dalam perusahaan-perusahaan yang penuh dengan orang-orang pandai dan berakal sehat.
Universitas Sumatera Utara
4. Walaupun sulit untuk diubah, budaya perusahaan dapat dibuat agar bersifat lebih meningkatkan kinerja. Beberapa penelitian terdahulu pernah dilakukan menyangkut budaya organisasi rumah sakit dan perusahaan di Indonesia, antara lain hasil penelitian Muluk, (1999), menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai hubungan yang signifikan dengan kinerja dan kepuasan kerja karyawan pada Budaya Organisasi Pelayanan Publik kasus Rumah Sakit X di Malang. Demikian juga hasil penelitian Hartanto, (2004) tentang Analisis Perbedaan Budaya Organisasi dan Kinerja Karyawan PT Sari Warna Asli Textile IV dan PT Kusuma Mulia Textile Karanganyar didapatkan bahwa ada perbedaan kinerja karyawan kedua perusahaan tersebut dengan penerapan variabel– variabel budaya organisasi yang sama. Hasil penelitian Juliani, (2007) di rumah sakit Pirngadi Medan tentang pengaruh motivasi intrinsik terhadap kinerja perawat pelaksana menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara kinerja perawat pelaksana dengan motivasi intrinsik. Demikian juga hasil penelitian Zuliani, (2008), menyatakan bahwa ada pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja perawat ruang rawat di Rumah Sakit Sri Pamela Tebing Tinggi. Hasil penelitian Kotter dan Heskett dalam Soetjipto dan Firmansyah (2006), menyatakan bahwa budaya organsasi berpengaruh pada kinerja jangka panjang di PT.Perkebunan Nusantara III (Persero). Hasil penelitian Zebua (2009), menyatakan ada pengaruh budaya organisasi dan insentif terhadap kinerja staf Rekam Medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Demikian juga hasil penelitian
Universitas Sumatera Utara
Rosary (2011), menyatakan bahwa ada pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja petugas Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam Pengelolaan Data di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang. 2.3.5. Penilaian Kinerja Perawat Penilaian kinerja adalah merupakan cara pengukuran kontribusi-kontribusi dari individu dalam instansi yang dilakukan terhadap organisasi. Nilai penting dari penilaian kinerja adalah menyangkut penentuan tingkat kontribusi individu atau kinerja yang diekspresikan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya (Sulistiyani dan Rosidah, 2003). Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manejer perawat dalam mengontrol perawat dan produktivitas berdasarkan standar-standar tertentu, Swanburg (2000 ). Proses penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku perawat, dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas dan volume yang tinggi. Perawat manejer dapat menggunakan proses operasional kinerja untuk mengatur arah kerja dalam memilih, melatih, membimbing perencanaan karier, serta memberi penghargaan kepada perawat yang berkompeten. Penilaian kinerja adalah merupakan cara pengukuran kontribusi-kontribusi dari individu dalam instansi yang dilakukan terhadap organisasi. Nilai penting dari penilaian kinerja adalah menyangkut penentuan tingkat kontribusi individu atau kinerja yang diekspresikan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Subekti (2008), dengan melakukan penilaian demikian, manejer akan menggunakan uraian-uraian pekerjaan sebagai tolak ukur. Bila hasilnya di bawah uraian pekerjaan berarti pelaksanaan pekerjaan tersebut berkurang. Dengan demikian penilaian kinerja merupakan proses formal yang dilakukan untuk mengevaluasi tinggkat pelaksanaan pekerjaan atau unjuk kerja (performace appraisal) seorang personil, memberikan umpan balik untuk kesesuaian tingkat kinerja dengan kilas balik unjuk kerja (performance review) atau penilaian personil (employee evaluation). Dalam rangka menggunakan proses evaluasi kerja untuk meningkatkan susunan kepegawaian, menggabungkan organisasi dan memudahkan kontrol keuangan, manejer keperawatan sebaiknya memahami dan mengerti beberapa hal berikut: (1) policy (kebijaksanaan) merupakan pernyataan sasaran jangka panjang organisasi, (2) procedure (prosedur) merupakan pernyataan jangka pendek tekhnis yang digunakan untuk mewujudkan sasaran kelembagaan, (3) task (tugas) merupakan kewajiban tenaga kerja yang memerlukan pengeluaran usaha manusia untuk maksud tertentu, (4) potition (posisi) merupakan kesatuan kewajiban, tugas, dan tanggungjawab yang memerlukan jasa seseorang, (5) job (pekerjaan) merupakan penugasan jabatan kerja yang terdiri dari satu set tugas, tanggungjawab, dan kondisi yang berbeda dengan tugas kerja lainnya, (6) job analysis (analisa jabatan) merupakan proses menentukan melalui pengamatan dan studi, informasi berarti mengenai kewajiban dan kondisi pekerjaan tertentu, (7) job description (deskripsi kerja) merupakan catatan tertulis mengenai hubungan organisasional, tanggungjawab, kewajiban dan kondisi kerja pada jabatan tertentu dan (8) job specification (spesifikasi kerja) merupakan
Universitas Sumatera Utara
persyaratan pribadi bagi pelaksanaan kerja yang efektif dari jabatan tertentu, yakni yang mengandung faktor pendidikan, pengalaman, usaha, kecerdasan, kebutuhan fisik dan mental yang dalam sebuah pekerjaan tertentu. 2.3.6. Prinsip Penilaian Kinerja Perawat Menurut Gillies,1989 dalam Nursalam (2007) untuk mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil manejer sebaiknya mengamati prinsip-prinsip dibawah ini: (1) evaluasi pekerja sebaiknya didasarkan pada standar pelaksanaaan kerja, dan orientasi tingkah laku untuk posisi yang di tempati, (2) sampel tingkah laku perawat cukup representatif sebaiknya diamati dalam rangka evaluasi pelaksanaan kerjanya. Perhatian harus diberikan untuk mengevaluasi tingkah laku umum atau tingkah laku konsistennya, serta guna menghindari hal-hal yang diinginkan, (3) perawat sebaiknya diberi salinan deskripsi kerjanya, standar pelaksanaan kerja, dan bentuk evaluasi untuk peninjauan ulang sebelum pertemuan evaluasi, sehingga baik perawat maupun supervisor dapat mendiskusikan evaluasi dari kerangka kerja yang sama, (4) di dalam menuliskan penilaian pelaksanaan kerja pegawai, manajer sebaiknya menunjukkan segi-segi di mana pelaksanaan kerja itu bisa memuaskan dan perbaikan apa yang di perlukan, (5) jika diperlukan, sebaiknya menjelaskan area mana yang akan diprioritaskan, sering dengan usaha perawat untuk meningkatkan pelaksanaan kerja, (6) pertemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang cocok bagi perawat dan manajer, dan diskusi evaluasi sebaiknya dilakukan dalam waktu yang cukup bagi keduanya, dan (7)
baik laporan evaluasi maupun pertemuan sebaiknya disusun
Universitas Sumatera Utara
dengan terencana, sehingga perawat tidak merasa kalau pelaksanaan kerjanya sedang dianalisis. 2.3.7. Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja Perawat Penilaian kinerja perawat adalah alat yang paling dapat dipercaya
dalam
mengontrol sumber daya dan produktivitas. Penilaian kinerja juga dapat digunakan untuk kegiatan promosi, terminasi, kompensasi dan pengawasan kinerja untuk mewujudkan pekerja secara efektif. Selain hal tersebut di atas penilaian kinerja juga memiliki tujuan untuk memastikan keputusan penarikan tenaga kerja. Hal ini biasanya dilakukan bila seorang pegawai menjalani masa percobaan sebelum berstatus pegawai tetap. Nursalam, (2007) menyatakan manfaat penilaian kinerja dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu atau kelompok, dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan rumah sakit, (2) peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan pada gilirannya akan mempengaruhi
SDM
secara
keseluruhan,
(3)
merangsang
minat
dalam
pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil karya dan prestasi, dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka tentang prestasinya, (4) membantu rumah sakit dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan yang lebih tepat guna, (5) menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan meningkatkan gaji atau sistem imbalan yang baik dan (6) memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaan, atau
Universitas Sumatera Utara
hal lain yang ada kaitannya melalui komunikasi dan dialog sehingga tecipta hubungan yang baik antara atasan dan bawahan. 2.3.8. Alat dan Jenis Penilaian Kerja Berbagai macam alat ukur telah digunakan dalam pelaksanaan kerja keperawatan. Agar efektif, alat evaluasi sebaiknya dirancang untuk mengurangi bias, meningkatkan objektivitas, serta menjamin keabsahan dan ketahanan. Objektivitas yaitu kemampuan untuk mengalihkan diri sendiri secara emosional dari suatu keadaan untuk mempertimbangkan fakta, tanpa adanya penyimpangan oleh perasaan pribadi. Keabsahan diartikan sebagai tingkatan alat mengukur pokok isi, serta apa yang harus diukur. Alat pengukur yang digunakan dalam menilai pelaksanaan kerja dan tugas-tugas yang ada dalam deskripsi kerja dari kepala perawat, perlu dirinci satu-satu dan dilaksanakan secara akurat. Menurut Nursalam, (2001), jenis alat penilaian pelaksanaan kerja perawat yang umum digunakan ada lima yaitu: laporan bebas, pengukuran yang sederhana, checklist pelaksanaan kerja. 1. Laporan Tanggapan Bebas. Pemimpin atau atasan diminta memberikan komentar tentang kualitas pelaksanaan kerja bawahan dalam jangka waktu tertentu. Karena tidak adanya petunjuk yang harus dievaluasi, sehingga penilaian cenderung menjadi tidak sah. Alat ini kurang objektif karena mengabaikan satu atau lebih aspek penting, dimana penilaian hanya berfokus pada salah satu aspek.
Universitas Sumatera Utara
2. Checklist Pelaksanaan Kerja Checklist terdiri atas daftar kriteria pelaksanaan kerja untuk tugas yang paling penting dalam deskripsi kerja karyawan, dengan lampiran formulir di mana penilai dapat menyatakan apakah bawahan dapat memperlihatkan tingkah laku yang diinginkan atau tidak. 2.3.9. Standar Instrumen Penilaian Kerja Perawat dalam Melaksanakan Asuhan Keperawatan Dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada klien, digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktik keperawatan telah dijabarkan oleh PPNI (2000) yang mengacu dalam tahapan proses keperawatan, yang meliputi: pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Standar I: Pengkajian Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan. Kriteria pengkajian keperawatan yang baik meliputi: (a) pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, (b) sumber data adalah klien, keluarga atau orang yang terkait, tim kesehatan, rekam medis dan catatan lain, (c) data yang dikumpulkan difokuskan untuk mengevaluasi: status kesehatan masa lalu, saat ini, bio-psiko-sosio dan spiritual, respon, harapan dan risiko-risiko tinggi
Universitas Sumatera Utara
masalah, (d) kelengkapan data dasar mengandung unsur LARB (lengkap, akurat, relevan dan baru). Standar II: Diagnosis Keperawatan Perawat
menganalisis
data
pengkajian
untuk
merumuskan
diagnosa
keperawatan. Kriteria proses meliputi: (a) proses diagnosa terdiri atas analisa, interpretasi data, identifikasi masalah klien dan perumusan diagnosis keperawatan, (b) diagnosis keperawatan terdiri dari: Problem (P), Etiologi (E), dan Sign (S), atau terdiri dari Problem dan Etiologi tergantung jenis diagnosa keperawatan, (c) bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lainnya untuk memvalidasi diagnosa keperawatan, (d) melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa berdasarkan data terbaru. Standar III: Perencanaan Keperawatan Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan klien. Kriteria
proses ini meliputi: (a)
perencanaan terdiri atas penetapan prioritas masalah, tujuan dan rencana tindakan keperawatan, (b) bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan, (c) perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien, (d) mendokumentasikan rencana keperawatan. Standar IV: Implementasi Keperawatan Perawat mengimplementasikan tindakan yang tela diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan. Kriteria implementasi keperawatan meliputi:(a) bekerjasama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan, (b)
Universitas Sumatera Utara
kolaborasi dengan tim kesehatan lain, (c) melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasai masalah klien, (d) memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep, ketrampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakan, (e) mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respona klien. Standar V: Evaluasi Keperawatan Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan. Proses ini meliputi: (a) menyususun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif, tepat waktu, dan terus menerus, (b) menggunakan data dasar dan respons klien dalam mengukur perkembangan ke arah pencapaian tujuan, (c) memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat, (d) bekerjasama dengan klien, keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan, dan (e) mendokumentasikan hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan. Dengan standar asuhan keperawatan tersebut, maka pelayanan keperawatan menjadi lebih terarah sehingga mutu pelayanan keperawatan dapat ditingkatkan.
2.4. Proses Keperawatan. 2.4.1. Pengertian Menurut Nursalam, (2001), proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini disebut sebagai suatu Problem
Universitas Sumatera Utara
Solving Approach (PSA) yang memerlukan ilmu, tehknik, dan ketrampilan interpersonal yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga. Proses keperawatan telah dianggap sebagai suatu dasar hukum praktik keperawatan.
American
Nursing
Ascosiation
(ANA),
menggunakan
proses
keperawatan sebagai suatu pedoman pengembangan standar praktik keperawatan. Standar praktik keperawatan profesional di Indonesia telah dijabarkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI, 2000). Standar tersebut mengacu pada tahapan dalam proses keperawatan, yang terdiri dari lima (5) standar: pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi, (Nursalam, 2001). Berikut ini akan diuraikan beberapa pengertian dari proses keperawatan menurut beberapa ahli keperawatan sebagai berikut: 1. Yura, 1978, dalam Ali, (2002) mengatakan proses keperawatan adalah: langkahlangkah sistematik untuk menentukan masalah klien, merencanakan penyelesaian masalah, mengimplementasikan dan mengevaluasi apakah rencana yang dibuat efektif dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. 2. Wolf dan Fuerst, 1979, dalam Ali, (2002) menyebutkan bahwa proses keperawatan adalah serangkaian perbuatan atau tindakan untuk menetapkan, merencanakan dan melaksanakan pelayanan keperawatan dalam rangka membantu klien untuk mencapai kesehatan yang seoptimum. 3. Zaidin,1997 dalam Ali (2002), menyebutkan bahwa proses keperawatan adalah: metode asuhan keperawatan yang ilmiah, sistematis, dinamis dan terus-menerus serta berkesinambungan dalam rangka pemecahan masalah kesehatan klien
Universitas Sumatera Utara
dimulai
dari
pengkajian,
diagnosa
keperawatan,
perencanaan
tindakan
keperawatan, pelaksanaan dan penilaian tindakan keperawatan. 2.4.2. Tujuan dan Manfaat Proses Keperawatan Menurut Alimul, (2004), tujuan dari penerapan proses keperawatan pada tatanan pelayanan kesehatan adalah untuk menghasilkan asuhan kesehatan yang berkualitas sehingga berbagai masalah kebutuhan klien dapat diatasi. Tujuan ini dapat dispesifikkan sebagai berikut: (1) untuk mempraktekkan suatu metoda pemecahan masalah dalam praktek keperawatan, (2) sebagai standar untuk praktek keperawatan, (3) untuk memperoleh suatu metoda yang baku, sistematis, rasional, serta ilmiah dalam memberikan asuhan keperawatan, (4) untuk memperoleh suatu metoda dalam memberikan asuhan keperawatan yang dapat digunakan dalam segala situasi sepanjang siklus kehidupan, dan (5) untuk memperoleh hasil asuhan keperawatan yang bermutu. Penerapan proses keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan klien akan memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut: (1) meningkatkan mutu pelayanan keperawatan, (2) pengembangan keterampilan intelektual dan teknis bagi tenaga keperawatan, (3) meningkatkan citra profesi keperawatan, (4) meningkatkan peran dan fungsi keperawatan dalam pengelolaan asuhan keperawatan: (a) pengakuan otonomi keperawatan, (b) peningkatan rasa solidaritas, (c) meningkatkan kepuasan kerja tenaga keperawatan, dan (d) untuk pengembangan ilmu keperawatan.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Karakteristik Proses Keperawatan Berdasarkan pentingnya manfaat proses keperawatan baik bagi pasien maupun perawat, (Alimul, 2004), menyebutkan bahwa proses keperawatan mempunyai enam (6) karakteristik, antara lain: (1) merupakan metode pemecahan masalah yang bersifat terbuka dan fleksibel untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari klien, keluarga, kelompok dan komunitas dan berkembang terhadap masalah dan mengikuti perkembanagan zaman, (2) dilakukan melalui pendekatan secara individual dari pemenuhan kebutuhan klien, (3) melalui proses keperawatan terdapat beberapa permasalahan yang sangat perlu direncanakan, (4) melalui proses keperawatan akan diarahkan tujuan pelayanan keprawatan yang sangat perlu direncanakan, (5) proses keperawatan merupakan suatu siklus yang saling berhubungan antara tahap satu dengan yang lain dan tidak dapat berdiri sendiri, dan (6) penentuan masalah lebih cepat diatasi mengingat di dalam proses keperawatan terdapat penekanan validasi data serta adanya pembuktian masalah dan menekankan pada umpan balik atau pengkajian ulang dalam mengetahui kebutuhan dasar secara komprehensif . 2.4.4. Tahap-tahap Proses Keperawatan Berdasarkan pandangan beberapa ahli tentang proses keperawatan terdapat beberapa komponen yang disimpulkan melalui lima tahapan yang secara berurutan dan setiap tahap tergantung pada tahap berikutnya yakni: tahap pengkajian, tahap menetapkan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan/implementasi dan evaluasi.
Universitas Sumatera Utara
1. Tahap I (Pengkajian) Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi
atau
data
tentang
respon
klien
agar
dapat
mengidentifikasi dan mengenali masalah atau kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien. Area yang termasuk respon klien antara lain kegiatan seharihari, emosional, sosio-ekonomi, kultural dan spiritual. Yura & Walls, 1983, (dalam Alimul, 2004). Proses pengkajian terdiri atas empat kegiatan, yaitu: pengumpulan data, organisasi data, validasi data, dan analisa data. 2. Tahap II (Diangnosa Keperawatan) Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) dalam Waluyo, (2006) diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis mengenai respon seseorang, keluarga atau masyarakat terhadap masalah-masalah kesehatan/proses kehidupan yang aktual atau risiko. Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan intervensi untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat perawat. Adapun persyaratan dari diagnosa keperawatan adalah perumusan harus jelas dan singkat dari respons klien terhadap situasi atau keadaan yang dihadapi, spesifik dan akurat, memberikan arahan pada asuhan keperawatan, dapat dilaksanakan oleh perawat dan mencerminkan keadaan kesehatan klien. a. Tipe Diagnosa Keperawatan, diagnosa keperawatan adalah struktur dan proses. Struktur diagnosa keperawatan komponennya tergantung pada tipenya, antara lain: (1) diagnosa keperawatan aktual (actual nursing diagnoses). Diagnosa keperawatan aktual menyajikan keadaan yang secara klinis telah divalidasi
Universitas Sumatera Utara
melalui batasan karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi. Tipe dari diagnosa keperawatan ini mempunyai empat komponen yaitu label, definisi, batasan karakteristik, dan faktor-faktor yang berhubungan, (2) keperawatan risiko tinggi
diagnosa
(risk and high-risk nursing diagnoses), adalah
keputusan klinis bahwa individu, keluarga dan masyarakat sangat rentan untuk mengalami masalah bila tidak diantisipasi oleh tenaga keperawatan, dibanding yang lain pada situasi yang sama atau hampir sama, (3) diagnosa keperawatan sejahtera (wellness nursing diagnoses), adalah ketentuan klinis mengenai individu, keluarga dan masyarakat dalam transisi dari tingkat kesehatan khusus ketingkat kesehatan yang lebih baik. Pernyataan diagnostik untuk diagnosa keperawatan sejahtera merupakan bagian dari pernyataan yang berisikan hanya sebuah label. b. Komponen
rumusan
diagnosa
keperawatan.
Secara
umum
diagnosa
keperawatan yang lazim dipegunakan oleh perawat di Indonesia adalah diagnosa keperawatan aktual dan diagnosa keperawatan risiko atau risiko tinggi yang dalam perumusannya menggunakan tiga komponen utama dengan merujuk pada hasil analisa data, meliputi: problem (masalah), etiologi (penyebab), dan sign/symptom (tanda/ gejala). Dalam perumusannya sebuah diagnosa keperawatan dapat menggunakan 3 komponen atau 2 komponen yang tergantung kepada tipe dari diagnosa keperawatan itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
c. Persyaratan diagnosa keperawatan, meliputi: (a) perumusan harus jelas dan singkat berdasarkan respon klien terhadap situasi atau keadaan kesehatan yang sedang dihadapi, (b) spesifik dan akurat, (c) merupakan pernyataan dari: P (Problem) + E (Etiologi) + S (Sign/Symptom) atau P (Problem) + E (Etiologi), (d) memberikan arahan pada rencana asuhan keperawatan, dan (e) intervensi keperawatan dapat dilaksanakan oleh perawat. d. Perbedaan
diagnosa
keperawatan
dengan
diagnosa
medis.
Beberapa perbedaan antara diagnosa keperawatan dengan diagnosa medis dapat dilihat dalam tabel 2.1. Tabel 2.1 Perbedaan Diagnosa Medis dengan Diagnosa Keperawatan N0
Diagnosa Keperawatan Berfokus pada respons atau reaksi klien 1 terhadap penyakitnya. Berfokus pada respons atau reaksi klien 2 terhadap penyakitnya. Berorientasi pada kebutuhan individu, 3 bio-psiko-sosio-spiritual. Berubah sesuai dengan perubahan 4 respons klien. Mengarah kepada fungsi mandiri 5 perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi. (Waluyo, 2006)
Diagnosa Medis Berfokus pada faktor-faktor/keadaan bersifat patologis. Berfokus pada pengobatan dan penyembuhan penyakit. Berorientasi kepada keadaan patologis Cenderung tetap, mulai dari sakit sampai sembuh. Mengarah kepada tindakan medik yang sebahagian besar dikolaborasikan kepada perawat.
3. Tahap III (Perencanaan) Perencanaan adalah fase ketiga dari proses keperawatan yang berarti merancang dasar bagaimanan sesuatu dapat dicapai dengan cara, alat, waktu tertentu. Perencanaan keperawatan berisi: pernyataan tujuan, tindakan, kriteria evaluasi. Tujuan bergantung pada apa yang diinginkan, tindakan menuju hasil yang
Universitas Sumatera Utara
diharapkan. Langkah-langkah dalam membuat perencanaan keperawatan meliputi: (1) penetapan prioritas, (2) penetapan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan, (3) menentukan intervensi keperawatan yang tepat dan (4) pengembangan rencana asuhan keperawatan. Penetapan prioritas bertujuan untuk mengidentifikasi urutan intervensi keperawatan yang sesuai dengan berbagai masalah klien, Waluyo, ( 2006). Penetapan prioritas dilakukan karena tidak semua masalah dapat diatasi dalam waktu yang bersamaan. Prioritas dapat diklasifikasi menjadi tiga tingkatan, antara lain high priority, intermediate priority, dan low priority. Tujuan adalah petunjuk untuk menyeleksi intervensi keperawatan dan kriteria hasil dalam mengevaluasi intervensi yang telah diberikan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan rencana intervensi keperawatan adalah: (a) mengidentifikasi alternatif tindakan, (b) menetapkan dan menguasai teknik serta prosedur keperawatan yang akan dilakukan, (c) melibatkan klien dan keluarganya, (d) melibatkan anggota tim kesehatan lainnya, (e) mengetahui latar belakang budaya dan agama klien, dan (f) mempertimbangkan lingkungan, sumber, dan fasilitas yang tersedia, seperti: memperhatikan kebijaksanaan dan peraturan yang berlaku, harus dapat menjamin rasa aman klien, mengarah pada tujuan dan kriteria hasil yang akan dicapai, bersifat realistik dan rasional dan rencana tindakan disusun secara berurutan sesuai prioritas. 4. Tahap IV (Pelaksanaan/Implementasi) Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke
Universitas Sumatera Utara
status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan, Alimul, (2004). Beberapa pedoman dalam pelaksanaan implementasi keperawatan. adalah sebagai berikut: (1) berdasarkan respons klien, (2) berdasarkan ilmu pengetahuan, hasil penelitian keperawatan, standar pelayanan professional, hukum dan kode etik keperawatan, (3) berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia, (4) sesuai dengan tanggung jawab dan tanggung gugat profesi keperawatan, (5) mengerti dengan jelas pesanan-pesanan yang ada dalam rencana intervensi keperawatan, (6) harus dapat menciptakan adaptasi dengan klien sebagai individu dalam upaya meningkatkan peran serta untuk merawat diri sendiri, (self care), (7) menekankan pada aspek pencegahan dan upaya peningkatan status kesehatan, (8) dapat menjaga rasa aman, harga diri dan melindungi klien, (9) memberikan pendidikan, dukungan dan bantuan, (10) bersifat holistic, (11) kerjasama dengan profesi lain dan (12) melakukan dokumentasi Secara garis besar terdapat tiga kategori dari implementasi keperawatan, yakni : cognitive
implementations,
interpersonal
implementations,technical
implementations. Sedangkan dalam melakukan implementasi keperawatan, perawat dapat melakukannya sesuai dengan rencana keperawatan dan jenis implementasi
keperawatan.
Dalam
pelaksanaannya
implementasi
keperawatan
antara
lain:
terdapat
independent
tiga
jenis
implementations,
interdependent implementations, dependent implementations.
Universitas Sumatera Utara
5. Tahap V (Evaluasi) Meskipun
proses
keperawatan
mempunyai
tahap-tahap,
namun
evaluasi
berlangsung terus menerus sepanjang pelaksanaan proses keperawatan. Tahap evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Tujuan dari evaluasi antara lain: (1) untuk menentukan perkembangan kesehatan klien, (2) untuk menilai efektifitas, efisiensi, dan produktifitas dari tindakan keperawatan yang telah diberikan, (3) untuk menilai pelaksanaan asuhan keperawatan, (4) mendapatkan umpan balik, dan (5) sebagai tanggungjawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan. Perawat menggunakan berbagai kemampuan dalam memutuskan efektif atau tidaknya pelayanan keperawatan yang diberikan. Untuk memutuskan hal tersebut dalam melakukan evaluasi seorang perawat harus mempunyai pengetahuan tentang standar pelayanan, respon klien yang normal, dan konsep model teori keperawatan. Dalam melakukan proses evaluasi, ada beberapa kegiatan yang harus diikuti oleh perawat, antara lain: (1) Mengkaji ulang tujuan klien dan kriteria hasil yang telah ditetapkan. (2) Mengumpulkan data yang berhubungan dengan hasil yang
Universitas Sumatera Utara
diharapkan. (3) Mengukur pencapaian tujuan. (4) Mencatat keputusan atau hasil pengukuran pencapaian tujuan. (5) Melakukan revisi atau modifikasi terhadap rencana keperawatan bila perlu. Menurut Ziegler,et.all., dalam Waluyo, (2006), evaluasi terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1) evaluasi struktur, evaluasi struktur difokuskan pada kelengkapan tata cara atau keadaan sekeliling tempat pelayanan keperawatan diberikan. Aspek lingkungan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi dalam pemberian pelayanan. Persediaan perlengkapan, fasilitas fisik, ratio perawat-klien, dukungan administrasi, pemeliharaan dan pengembangan kompetensi staf keperawatan dalam area yang diinginkan, (2) evaluasi proses, evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat dan apakah perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan merasa cocok, tanpa tekanan, dan sesuai wewenang. Area yang menjadi perhatian pada evaluasi proses mencakup jenis informasi yang didapat pada saat wawancara dan pemeriksaan fisik, validasi dari perumusan diagnosa keperawatan, dan kemampuan tehnikal perawat, (3) evaluasi hasil, evaluasi hasil berfokus pada respons dan fungsi klien. Respons prilaku klien merupakan pengaruh dari intervensi keperawatan dan akan terlihat pada pencapaian tujuan dan kriteria hasil. Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi : (a) masalah teratasi; jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan, (b) masalah sebagian teratasi; jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari kriteria hasil yang telah ditetapkan dan (c) masalah tidak
Universitas Sumatera Utara
teratasi; jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan dan atau bahkan timbul masalah/ diagnosa keperawatan baru. Untuk penentuan masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi adalah dengan cara membandingkan antara Subjective, Objective, Analisis ,Plan (SOAP) dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan. Subjective adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien setelah tindakan diberikan. Objective adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan. Analisis adalah membandingkan antara informasi subjective dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi. Planning adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisa. 2.4.5. Dokumentasi Proses Keperawatan Perawat memerlukan ketrampilan dalam mencatat proses keperawatan. Pencatatan proses keperawatan merupakan metode yang tepat untuk pengambilan keputusan yang sistematis, problem-solving. Format proses keperawatan merupakan kerangka atau dasar keputusan dan tindakan keperawatan termasuk juga pencatatan hasil tindakan keperawatan. Dokumentasi adalah bagian integral proses, bukan sesuatu yang berbeda dari metode problem-solving. Dokumentasi proses keperawatan mencakup pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi dan evaluasi tindakan, Nursalam, (2001). Dokumentasi keperawatan mengandung makna yang
Universitas Sumatera Utara
sangat penting dan luas dalam praktek keperawatan dan terdiri dari beberapa aspek yakni: hukum, jaminan mutu/kualitas pelayanan, komunikasi, keuangan, pendidikan, penelitian dan akreditasi.
2.5. Landasan Teoritis Pelayanan keperawatan sebagai bagian integral
dari pelayanan kesehatan
merupakan pelayanan esensial dan sentral dari pelayanan rumah sakit dan kelangsungannya sangat di tentukan oleh kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi keperawatan sehingga pelayanan keperawatan dapat menjadi faktor penentu dalam keberhasilan suatu rumah sakit jika penataan sistem dan pengelolaannya dilakukan secara profesional, (DepkesR.I, 2001). Menurut Miner dalam As’ad, (2004) mengartikan kinerja sebagai tingkat keberhasilan individu dalam melaksanakan pekerjaan. Ada beberapa variabel yang digunakan untuk menilai perilaku karyawan yang ditunjukkan dengan skor total, yaitu: (1) kualitas pekerjaan, (2) kuantitas pekerjaan, (3) ketepatan waktu kerja, (4) kerjasama dengan rekan sekerja. Kinerja juga merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai moral maupun etika. Demikian juga terbentuknya budaya organisasi yang baik diharapkan dapat menunjang dan meningkatkan kinerja yang maksimal.
Universitas Sumatera Utara
Organisasi merupakan suatu kesatuan yang kompleks dan berusaha mengalokasikan sumber daya secara penuh demi tercapainya tujuan. Apabila suatu organisasi mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka dapat dikatakan bahwa organisasi tersebut efektif. Salah satu tujuan organisasi adalah peningkatan budaya organisasi pegawai. Budaya organisasi merupakan kepribadian yang ada pada organisasi, pada banyak organisasi peran budaya organisasi sangat menonjol, karena membentuk karakter organisasi, cara anggota organisasi melakukan pekerjaannya, Widjaja, (2001). Menurut Robbins dalam Tampubolon, (2008), bahwa budaya organisasi juga merupakan perekat sosial bagi anggota-anggota organisasi secara bersama bersama-sama melalui nilai serta norma standar yang jelas tentang apa yang dapat dilakukan oleh anggotanya. Budaya organisasi menentukan kepribadian organisasi secara keseluruhan dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku organisasinya, dengan perilaku anggota yang kuat maka anggota bertindak sesuai dengan pemahaman yang mendukung pencapaian tujuan-tujuan penting organisasi. Ini adalah hasil secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Dalam rangka mewujudkan budaya organisasi yang cocok diterapkan pada sebuah organisasi, maka diperlukan adanya dukungan dan partisipasi dari semua anggota yang ada dalam lingkup organisasi tersebut. Para karyawan membentuk persepsi keseluruhan berdasarkan karakteristik budaya organisasi yang antara lain meliputi inovasi, kemantapan, kepedulian, orientasi hasil, perilaku pemimpin,
Universitas Sumatera Utara
orientasi tim. Persepsi karyawan mengenai kenyataan terhadap budaya organisasi menjadi dasar karyawan berperilaku. Persepsi akan memunculkan suatu tanggapan berupa dukungan pada karakteristik organisasi yang selanjutnya mempengaruhi kinerja karyawan, Robbins, (1996). Bagi perawat profesional standard penilaian kinerja didasarkan pada kemampuan seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan
metode
pemberian
asuhan
berdasarkan
proses
keperawatan.
Pelaksanaan proses keperawatan bertujuan untuk menghasilkan asuhan keperawatan yang berkualitas sehingga masalah pasien dapat diatasi dengan baik, Alimul, (2004).
2.6. Kerangka Konsep Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan kerangka konsep untuk penelitian ini dengan mengunakan teori Robbins, (1996), modifikasi Tampubolon, (2008), dan Gillies, (1996), yang digambarkan sebagai berikut: Variabel Independen
Variabel Dependen Kinerja Perawat
Budaya Organisasi 1. Inovatif memperhitungkan risiko 2. Memberi perhatian pd setiap masalah detail 3. Berorientasi terhadap hasil 4. Berorientasi pada semua karyawan 5. Agresif dalam bekerja 6. Mempertahankan stabilitas kerja
- Baik - Kurang Baik Karakteristik Perawat Pelaksana 1. 2. 3. 4.
Jenis Kelamin Umur Pendidikan Lama bekerja
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara