BAB 2 LANDASANTEORI & PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Agency Theory Teori keagenan menjelaskan hubungan antara pemegang saham selaku principal dan manajemen perusahaan sebagai agen, yang mana agen memiliki tanggung jawab terhadap kepentingan dan tujuan principal.Menurut(Jensen & Meckling, 1976),hubungan agensi merupakan kontrak yang mana satu pihak (principal) menunjuk pihak lain (agen) untuk melakukan suatu servis/pekerjaan atas nama principal meliputi pendelegasian dalam pengambilan keputusan yang diotoritaskan pada agen. Namun, permasalahan agensi dapat terjadi dikarenakan ketersediaan informasi yang tidak efisien dan tidak memadai. terdapat dua permasalahan yang muncul dari teori keagenan ini yaitu i) permasalahan ketika terdapat konflik/ perbedaan tujuan antara agen dan principal dan principal tidak mampu memverifikasi apa yang sesungguhnya dilakukan agen, ii) permasalahan ketika terdapat perbedaan sikap antara agen dan principal terhadap risiko yang didasarkan adanya perbedaan risk tolerance(Investopedia)
2.1.2Laporan Keuangan Menurut PSAK no 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan, tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga merupakan sumber informasi utama untuk menentukan keputusan apakah akan meminjamkan dana kepada perusahaan dengan investasi pada bonds, atau membeli waran dan option pada investasi saham.Informasi dari laporan keuangan dapat digunakan untuk menghitung rasio keuangan dan menganalisa operasional perusahaan dalam menentukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pendapatan , arus kas, dan karakteristik risiko perusahaan (Reilly & Brown, 2012). Laporan keuangan yang lengkap menurut PSAK no 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan terdiri dari : 11
12 a. Laporan Posisi Keuangan (neraca pada akhir periode) b. Laporan Laba Rugi Komprehensif selama periode c. Laporan Perubahan Ekuitas selama periode d. Laporan Arus Kas selama periode e. Catatan atas Laporan Keuangan berisi informasi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasn lain f. Laporan Posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan. 2.1.3 Harga Saham Seperti logika yang disampaikan diatas, ketika akan membeli barang keputusan membeli jika memperoleh penawaran atas nilai barang yang lebih besar atau setara dengan harga yang harus dibayar. Begitu pula dalam menganalisa perusahaan yang akan diinvestasikan, ketika menanamkan investasi tentunya investor memilih investasi pada perusahaan yang memiliki prospek dan dengan biaya investasi yang setimbang. Secara fundamental, nilai saham dapat dibedakan menjadi nilai buku dan nilai pasar. Nilai buku dihitung dari neraca perusahaan sebagai perolehan dari selisih asset dan liabilitas. Dapat diartikan, nilai ini mengindikasikan nilai perusahan jika seluruh asset dijual
dan
telah
memenuhi
seluruh
kewajiban
atau
dalam
kata
lain
dilikuidasi.Sedangkan harga pasar berkaitan dengan pasar atau bursa saham, yang dihitung dengan mengkalikan jumlah saham beredar dengan harga pasar terkini.Nilai pasar menjadi pertimbangan bagi sejumlah analis, investor maupun media dalam kaitan bahasan mengenai nilai suatu bisnis. Menurut Investopedia, (Gad)nilai pasar dan nilai buku dapat tergantung pada industri, perusahaan, karakter asset dan utang perusahaan dan atribut spesifik masing-masing perusahaan. Nilai Pasar dapat berbeda dengan nilai buku karena mencerminkan persepsi investor terhadap nilai perusahaan yang didsasarkan beberapa pertimbangan baik dari informasi keuangan perusahaan maupun informasi ekonomi makro. Tinggi rendahnya nilai perusahaan dapat didasarkan dari kuatnya persepsi pasar yang mempengaruhi keputusan investor terhadap investasi
13 2.1.4 Relevansi Nilai Dalam rangka menganalisa pengaruh informasi dalam laporan keuangan, konsep relevansi nilai digunakan sebagai alat ukur. Kaitannya adalah, sejauh apa informasi dapat menggambarkan perusahaan secara riil dan melihat bagaimana reaksi dan tanggapan pasar terhadap informasi tersebut. Menurut Ohlson Clean Surplus Theory,dikatakan
bahwa
pengukuran
nilai
perusahaan
dilakukan
tanpa
memperhitungkan transaksi yang terkait dengan pemegang saham seperti dividen, pembelian saham kembali,dll. Perhitungan nilai perusahaan sesuai Ohlson Clean Surplus Theory membandingkan relevansi antara book value ekuitas perusahaan dengan harga saham sebagai proksi dari nilai pasar perusahaan yang mana earnings menjadi komponen yang dapat mempengaruhi pertimbangan. Relevansi nilai (Value Relevance) diartikan sebagai kemampuan informasi laporan keuangan untuk menangkap dan merangkum nilai perusahaan, yang diukur dengan asosiasi secara statistik untuk mengamati hubungan antara informasi laporan keuangan dengan nilai pasar saham(Kargin, 2013). 2.1.5 Good Corporate Governance Corporate Governance merupakan suatu sistem yang merujuk pada serangkaian aturan, mekanisme dan hubungan yang mengarahkan dan mengontrol perusahaan secara langsung (International Finance Corporation, Otoritas Jasa Keuangan, 2014). Penerapan GCG meliputi proses penetapan tujuan perusahaan yang dicapai dalam konteks lingkungan sosial, hukum dan pasar ekonomi. Mekanisme GCG meliputi pemantauan aktivitas usaha, pelaksanaan kebijakan dan aturan serta evaluasi pengambilan keputusan bagi stakeholder. Hal ini juga ditopang dengan beberapa regulasi seperti, Peraturan dalam pedoman tata kelola tersebut memuat aspek,prinsip, dan rekomendasi tata kelola perusahaan yang baik (pasal 1; ayat 2), kewajiban perusahaan terbuka untuk menjelaskan alasan jika tidak menerapkan pedoman tata kelola (pasal 2 ayat 2). Selain itu, terkait dengan pengungkapan, pada pasal 3 dari peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 21/POJK.04/2015 dinyatakan bahwa perusahaan terbuka wajib mengungkapkan informasi mengenai penerapan atas rekomendasi dalam pedoman tata kelola sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 pada laporan tahunan perusahaan terbuka. Pelanggaran atas ketentuan OJK tersebut turut disertai adanya pengenaan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban pembayaran sejumlah denda kepada
14 perusahaan terbuka yang tidak mengikuti pedoman sebagaimana mestinya (pasal 5 ayat 1 dan 2). Menuju ASEAN Economic Community 2015, sudah sewajarnyaIndonesia meningkatkan praktik Good Corporate Governance (GCG) yang mengacu pada standar internasional dengan tujuan meningkatkan investor confidence, menurunkan cost of capital, dan meningkatkan performa perusahaan (International Finance Corporation, Otoritas Jasa Keuangan, 2014). Didukung dengan pedoman GCG 2006terkait obyektivitas pengelolaan bisnis, perusahaan harus mampu menyediakan informasi yang material dan relevan sebagai pemenuhan unsur transparansi. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang pentinguntuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. Menurut(La Porta, de Silanea, Shleifer, & Vishny, 1998), negara yang menerapkanperlindungan hukum kuat dan menuntut pemaparan yang komprehensif menghasilkan perusahaan dengan komitmen governance yang lebih berkualitasbagi shareholders dikarenakan adanya upaya lembaga hukum untuk mencegah pelanggaran dan menegakkan kompensasi yang menjadi hak shareholders. GCG oleh perusahaan lebih ditujukan pada jaminan bagi investor dan ketaatan terhadap pemerintah sebagai regulator dan pengawas yang memastikan praktik usaha dijalankan secara bersih tanpa merugikan suatu pihak. Dikutip dari Republika berdasarkan 501 perusahaan yang terdaftar di BEI, hanya 20% diantaranya yang dinilai telah mampu menerapkan GCG dengan baik dan baru didominasi oleh perusahaan perbankan dan BUMN(Zuraya, 2014).Penerapannya membutuhkan biaya yang cukup besar dan memakan waktu yang cukup lama sebagai bentuk adaptasi terhadap sistem baru yang membuat perusahaan harus lebih berhatihati dalam mebuat setiap keputusan terkait unsur keterbukaan usaha.Akan tetapi sesungguhnya penerapan praktik GCG menjanjikan ketahanan dan kemapanan usaha jangka panjang di bawah suatu perusahaan yang sehat dan memiliki prospek pertumbuhan usaha yang berkelanjutan menurut Nurhaida, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal. Dalam mendukung hal tersebut, sejak OJK berinisiatif memberi insentif berupa pengurangan iuran bursa atau tidak melakukan pemeriksaan pajak selama setahun.Hal ini ditujukan agar semakin memperkuat urgensi dari
15 pentingnya kualitas GCG dalam membantu perkembangan pasar modal dan memperkuat kompetisi dalam masyarakat Ekonomi Asean(2014, Republika)
Berdasarkan International Finance Corporation (2004) sesuai yang dikutip dalam The Indonesia Corporate Governance Manual, perusahaan yang menerapkan GCG dapat memperoleh beberapa manfaat seperti : (i)Meningkatkan efisiensi operasional (ii)
Sebagai akses memasuki pasar modal
(iii)
menurunkan biaya modal (cost of capital)
(iv)
meningkatkan reputasi bagi perusahaan, direktur, dan manajer. Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perusahaan
harus
senantiasa
memperhatikankepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Menurut(Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006),praktik GCG tersusun atas lima asas yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan yang diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan para pemangku kepentingan (stakeholders).
1. Transparansi (Transparency) Dalam era keterbukaan saat ini, perusahaan dituntut untuk mengelola entitas dengan transparan dan akuntabel. Wujud transparansi dalam penerapan GCG diharapkan mampu meningkatkan pengawasan terhadap manajemen untuk mendorong pengambilan keputusan yang efektif dan menghindari adanya tindakan – tindakan yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan. Transparansi merupakan hal yang terpenting kaitannya dalam hubungan antara pihak eksekutif dengan para stakeholder yaitu mengurangi asimetri informasi. Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakaninformasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahamioleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkantidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, krediturdan pemangku kepentingan lainnya.
16 2. Akuntabilitas (Accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Oleh karena itu, perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengankepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang sahamdan pemangku kepentingan lain. 3. Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakantanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpeliharakesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagaigood corporate citizen. 4. Independensi (Independency) Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secaraindependen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Perusahaan harus memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain berdasar asas kewajaran dan kesetaraan dengan memberi kesempatan atas adanya masukan bagi perusahaan dan keterbukaan akses informasi sesuai prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masingmasing.Selain itu, perusahaan juga harus memberlakukan kesetaraan dan berperilaku wajar kepada pemangku kepentingan sesuai manfaat dan kontribusi yang diberikan pada perusahaan.
Pengukuran kualitas penerapan GCG perusahaan dapat dilakukan dengan beberapa indikator, dalam penelitian ini penulis mengambil empat indikator yang akan diuji antara lain komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan komite audit independen. 2.1.5.1 Komisaris Independen Dalam menerapkan praktik GCG, perusahaan membutuhkan pegawai atau pihak yang memiliki kemampuan dan kesediaan dalam mengimplementasikan aturan GCG yang ditetapkan.Untuk menjaga objektivitas, peran tersebut harus diberikan kepada pihak yang independen dan dapat berlaku netral atau tidak terikat pada
17 kepentingan perusahaan.Salah satu bentuk penunjukkan tugas tersebut adalah pada komisaris independen yang bertugas melakukan pengawasan dan bertanggung jawab atas pengawasan terhadap kebijakan pengurusan dan usaha perusahaan publik selayaknya para dewan komisaris (POJK No.33/POJK.04/2014 Pasal 28).Komisaris Independen diartikan sebagai anggota dewan yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya, dan pemegang saham pengendali, bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Menurut Peraturan Pencatatan Efek Nomor: 339/BEJ/07-2001, Komisaris Independen diperlukan perusahaan dalam pengambilan keputusan Dewan Komisaris, yang mana independensinya dianggap dapat menilai kinerja direksi dan memberi pandangan secara objektif. Sesuai poin C.1 dalam Peraturan pencatatan Efek Nomor I-A Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa, perusahaan tercatat wajib memiliki Komisaris Independen, Komite Audit dan Sekertaris Perusahaan sebagai pemenuhan praktik GCG. Proporsi Komisaris Independen sendiri ditentukan dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari total anggota komisaris. Oleh sebab itu, dalam memilih komisaris independen diperlukan penetapan kriteria-kriteria tertentu. Di Indonesia, kriteria komisaris independen sesuai dengan Roadmap Tata Kelola Perusahaan Indonesia(OJK, 2014)meliputi: i. Bukan merupakan orang yang bekerja atau memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, mengendalikan atau mengawasi kegiatan emiten pada perusahaan publik tersebut dalam waktu 6 bulan terakhir. ii. Tidak mempunyai hubungan afiliasi iii. Tidak mempunyai saham pada perusahaan publik tersebut iv. Tidak mempunyai hubungan usaha baik yang berkaitan dengan perusahaan publik tersebut
Selain dituntut untuk memenuhi sejumlah kriteria tersebut, perusahaan juga dituntut untuk mengungkapkan profil Komisaris Independen sebagai bukti pemenuhan independensi mereka sesuai yang telah diatur oleh ketentuan pasar modal yang berlaku.(Solomon & Solomon, 2004) menunjukkan bahwa terkait prinsip
18 keagenan, keberadaan Komisaris Independen dapat mengurangi konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajemen perusahaan karena fungsi pengawasannya dapat dilakukan dengan menyuarakan pendapat independen dalam rapat. 2.1.5.2 Komite Audit Independen Seperti yang telah dinyatakan diatas, bahwa dalam PeraturanPencatatan Efek Nomor I-A poin C.1, selain Komisaris Independen dan Sekertaris Perusahaan, perusahaan tercatat juga wajib memiliki Komite Audit sebagai pemenuhan praktik GCG. Komite Audit Perusahaan dibentuk sesuai Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. Kep-643/BL/2012 tanggal 07 Desember 2012, diartikansebagai komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan tugas dan fungsi Dewan Komisaris. Menurut (Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006), komite audit bertugas membantu Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa : 1. Laporan keuangan disajikan secara wajar, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum 2. Struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik 3. Pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku 4. Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen
Berdasarkan Peraturan No. IX.I.5 tentang pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite audit, Tugas utama Komite Audit adalah untuk membantu Dewan Komisaris dengan meninjau, antara lain: -
Hasil keuangan Perseroan dan informasi keuangan terkait lainnya;
-
Kepatuhan Perseroan kepada peraturan yang relevan;
-
Efektivitas kegiatan dan kontrol internal Perseroan; dan
-
Kemampuan Perseroan untuk mengelola risiko dan menangani keluhan konsumen;
Selain itu, Komite Audit bertugas memantau kinerja Perseroan secara keseluruhan dan melaporkan temuan-temuannya secara rutin kepada Dewan Komisaris.Pemantauan rutin tersebut mencakup :
19 i.
Meninjau pekerjaan auditor eksternal, menilai independensi dan obyektivitas serta kecukupan audit eksternal
ii.
Meninjau kegiatan pengelolaan risiko Perseroan
iii.
Meninjau sistem kontrol internal yang penting
iv.
Meninjau bagian-bagian dengan risiko penyalahgunaan wewenang atau penipuan yang tinggi
v.
Menilai peluang-peluang yang dapat meningkatkan efisiensi biaya dan/atau keuntungan
vi.
Menilai aspek operasional keuangan dan teknologi informasi dari bisnis
vii.
Meninjau kepatuhan Perseroan terhadap peraturan-peraturan otoritas jasa keuangan dan UU serta peraturan lain
viii.
Menguji keputusan yang dibuat dalam rapat Direksi dan implementasinya.
Komite audit diwajibkan beranggotakan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota, yang mana salah seorang anggotanya merupakan Komisaris Independen Perusahaan Tercatat sekaligus merangkap sebagai Ketua Komite Audit.Kemudian, ditetapkan pula bahwa anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen dan sekurang-kurangnya 1 (satu) diantaranya memiliki kemampuan di bidang akuntansi atau keuangan. (Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A, poin C.3)
Struktur Kepemilikan Perusahaan 2.1.5.3 Kepemilikan Keluarga Perusahaan keluarga adalah perusahaan yang struktur kepemilikannya secara kontinyu
terpusat
pada
keluarga,
dimana
perusahaan
tersebut
dijalankan
dandikendalikan oleh pihak keluarga (Anderson & Reeb, 2003). Perusahaan dapat dikatakan dimiliki oleh keluarga apabila pimpinan atau keluarga memiliki lebih dari 20% hak suara(La Porta & Lopez D.L, Corporate Ownership Around The Word, 1999).Seperti yang dikutip Mia Unja dalam (Arifin, 2003),kepemilikan saham di negara berkembang sebagian besar dikontrol oleh kepemilikan keluarga termasuk perusahaan di Indonesia.(Fama & Jensen, 1983) menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga lebih efisien daripada perusahaanyang dimiliki publik karena biaya pengawasan yang dikeluarkan atau monitoring cost nya lebih kecil, seperti dikutip dalam. Akan tetapi, (Anderson & Reeb, 2004) menemukan bahwa
20 kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan perusahaan hal ini disebabkan karena perlindungan hukum terhadap investor dalam struktur kepemilikan sangatlah lemah sehingga timbul masalah agensi yang dapat mengganggu kinerja perusahaan(La Porta, Lopez de Silanez, Shleifer, & Vishny, 2000). Pemegang saham mayoritas yang berasal dari kepemilikan keluarga berpotensi menjadi ancaman bagi pemegang saham minoritas.Pemegang saham minoritas adalah pihak-pihak yang memiliki saham dalam suatu perusahaan dalam jumlah yang terbatas atau sedikit dan pada umumnya tidak memiliki kedudukan dalam perusahaan baik sebagai direksi maupun komisaris (Manalu, 2008). Masalah agensi dari kepemilikan keluarga dimungkinkan, yang mana kepemilikan keluarga dapat menekan pemilik saham minoritas (kepemilikan <5%) dengan mendilusi kepemilikan saham dari kemampuan dana dan posisinya dalam manajemen terhadap pemegang saham minoritas. 2.1.5.4Kepemilikan Manajerial Kepemilikan Manajerial adalah pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan (Wahidahwati, 2002).Kepemilikan manajerial dapat mengurangi masalah agensi dikarenakan dapat mendorong manajer untuk mengelola perusahaan dengan optimal untuk meningkatkan nilai perusahaan sekaligus meningkatkan kekayaannya sendiri dari porsi saham yang dimiliki.Sebagai perwujudan penerapan transparansi dalam GCG, perusahaan seharusnya mampu memastikan tidak terjadi konflik kepentingan antara pihak manajemen dengan para pemegang
kepentingan
terutama
investor
selaku
pemegang
saham.Untuk
meminimalisir adanya konflik kepentingan tersebut, dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran dan kehati-hatian manajemen dalam menjalankan operasional perusahaan. Menunjukkan bahwa peningkatan kepemilikan manajerial akan menyelaraskan antara kepentingan manajer dan kepentingan pemegang saham. Maka dari itu, terdapat insentif bagi manajer untuk mengoptimalkan nilai perusahaan seiring meningkatnya kepemilikan manajerial, dan hal tersebut dapat mengontrol insentif manajer.Penelitian (Listyani, 2003) menunjukkan kepemilikan saham manajerial akan mendorong manajer untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan karena mereka akan ikut merasakan manfaat secara langsung dari keputusan yang diambil dan ikut menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari keputusan yang salah.
21 2.1.5.5 Kepemilikan Institusional Kepemilikan saham institusional adalah saham perusahaan yang dipegang oleh institusi lain, berupa lembaga yang memiliki kepemilikan lebih dari 5% dengan indikasi usaha pengawasan yang lebih tinggi ketimbang investor ritel/perorangan. Investor ritel mewakili individu atau orang perorangan, sedangkan institusi mewakili perusahaan, baik perusahaan yang bergerak di bidang investasi, pengelolaan dana, ataupun perusahaan yang berinvestasi di saham(Pasopati, 2015). Dalam menerapkan transparansi informasi dan responsibilitas akankewajiban pematuhan perundangan dan penerapan usaha yang wajar, keterlibatan pihak luar dapat mendukung pengelolaan
risiko
dalam
hal
pengawasan
terhadap
kinerja
manajemen
perusahaan.Investor institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain dalam suatu perusahaan dapat membuat penyebaran distribusi saham lebih meluas dan mendorong optimalisasi pengawasan eksternal. Peran investor institusional dapat memiliki arti penting dalam memonitor kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan terutama penggunaan modal yang diperoleh dari pendanaan. Menurut (Sujoko & Soebiantoro, 2007) meningkatnya kepemilikan institusional mendorong fungsi pengawasan semakin berjalan efektif dan membuat manajemen berhati-hati dalam mengelola perusahaan terutama dalam memperoleh dan mengelola pinjaman. (La Porta R. , Lopez de Silanez, Shleifer, & Vishny, 1999)mengemukakan bahwa institutional shareholders memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Hal ini akan berpengaruh positif bagi perusahaan tersebut, baik dari segi peningkatan nilai perusahaan maupun peningkatan kinerja usaha. Oleh karena itu, kepemilikan institusional juga termasuk perwujudan penerapan GCG yang mana diartikan sebagai persentase kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki investor institusional yaitu pemerintah, bank, perusahaan asuransi, kepemilikan lembaga atau perusahaan lain. 2.1.5.6Kepemilikan publik (Free Float) Dalam upaya meningkatkan likuiditas perdagangan pasar modal di Indonesia,
pemerintah
terus
mendorong
keterlibatan
masyarakat
dalam
perdagangan dan investasi. Seperti yang tertuang dalam Keputusan Direksi BEI Nomor Kep-00001/BEI/01/2014, mengenai perubahan peraturan nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang diterbitkan perusahaan tercatat, salah satu pokoknya adalah mengenai ketentuan
22 jumlah saham beredar di publik. “Perubahan peraturan ini bertujuan untuk meningkakan kualitas emiten dan perusahaan tercatat serta meningkatkan likuiditas saham emiten di pasar modal” Ito Warsito, Direktur Utama BEI(Akhir, 2014). Dalam ketentuan tersebut, emiten harus melepas minimal 7,5% kepemilikan saham yang disetorkan kepada publik dan kepemilikan saham minimal oleh 300 pihak. Sebelum
diberlakukannya
peraturan
tersebut,
pemerintah
telah
mengupayakan likuiditas pasar melalui dorongan kepemilikan publik dengan adanya kebijakan penurunan tarif Pajak penghasilan bagi perusahaan. Menurut Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany sampai saat ini masih banyak perusahaan yang belum melepas 40% sahamnya ke publik terutama perusahaan domestik disebabkan kebanyakan perusahaan masih bersifat kekeluargaan dan sulit menjual sahamnya ke publik (Decilya, 2011). Maka dari itu, pemerintah terus mengupayakan perusahaan untuk meningkatkan kepemilikan saham kepada publik dengan memberi insentif pajak sebagai imbalannya. Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan no. 238/2008tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka. Perusahaan selaku wajib pajak dapat memperoleh penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari tarif tertinggi PPh wajib pajak badan dalam negeri apabila jumlah kepemilikan saham publiknya 40 % atau lebih dari keseluruhan saham yang disetor dan saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 pihak (Peraturan Menteri Keuangan no. 238/2008 Pasal 2, butir 1 dan 2). Perusahaan yang beroperasi di emerging marketmemiliki resiko tinggi dari lemahnya penegakkan hukum dan peraturan serta mekanisme yang masih belum terstruktur.Hal ini menjadi alasan pentingnya perusahaan untuk mengungkapkan informasi material melebihi standar yang ditetapkan. Sesuai dengan tujuan utama investor memperoleh keuntungan atas investasinya, maka pemerintah tidak bisa sepenuhnya menghindari tindak pengambilan keuntungan dari informasi internal yang diperoleh investor mayoritas diatas para pemegang saham minoritas. Informasi insider yang diperoleh tersebut meliputi informasi yang akurat terkait perusahaan publik yang tidak atau belum dipublikasikan yang dapat secara langsung maupun tidak langsung memberi pengaruh signifikan pada perdagangan sekuritas atau pada
23 harga perdagangan saham pada waktu tertentu(International Finance Corporation, Otoritas Jasa Keuangan, 2014) Hal tersebut seturut dengan salah satu misi OJK dalam mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, menunjukkan pentingnya penerapan GCG bagi perusahaan.Maka dari itu, sesuai dengan keputusan Ketua OJK No. Kep-86/PM/1996 (Peraturan No. X.K.1), perusahaan publik dengan laporan registrasi yang telah efektif, wajib melaporkan kepada OJK adan mempublikasikan segala informasi material terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi keputusan investor atau berpengaruh terhadap nilai sekuritas perusahaan kepada OJK selambat-lambatnya dua hari kerja setelah hal tersebut terjadi. 2.1.5.7 Pendanaan Infrastruktur Anggaran APBN dan berbagai kebijakan pemerintah telah mengisyaratkan pentingnya
pembangunan
infrastruktur
di
Indonesia.Pemerintah
juga
telah
merencanakan berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan Indonesia.Akan tetapi, masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah terkait pendanaan.Pendanaan infrastruktur tidak bisa selamanya tergantung dari pendanaan pemerintah dikarenakan alokasi APBN yang terbatas tidak mampu memenuhi kebutuhan pendanaan yang ingin dicapai. Maka dari itu, pemerintah turut berinisiatif untuk menghimpun keikutserrtaan badan usaha dengan skema Public Private Partnership (PPP) atau Kerjasama pemerintah Swasta (KPS) antara pemerintah dengan badan usaha swasta(Islami, 2015). Sektor infrastruktur di Indonesia selama ini mengandalkan pendanaandengan konsep users pay yang mana merupakan hasil dari pembayaran masyarakat atas sarana infrastruktur yang digunakan seperti jalan, jembatan,pelabuhan,dsb. Pembayaran masyarakat dengan sistem users pay berasal dari pungutan seperti pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, retribusi parkir dan road pricing (cont. pembayaran toll). Sedangkan, pada dasarnya sumber pendanaan infrastruktur dapat berasal dari : 1. Modal Sendiri Sumber dana diperoleh dari dana perusahaan infrastruktur yang mana diukur dari rasio Debt to Equity perusahaan. Semakin tinggi rasio Debt to Equity artinya hutang/kewajiban perusahaan lebih besar dari modal yang meningkatkan
24 solvabilitas. Tingginya solvabilitas perusahaan mengindikasikan resiko yang tinggi,menjadi pertimbangan dan menurunkan minat investor dalam melakukan investasi. 2. Pinjaman Lembaga Keuangan Sumber dana diperoleh melalui pinjaman dari perbankan dan lembaga simpan pinjam dengan faktor penilaian kredit yang mempertimbangkan ; rencana penggunaan dana, kondisi keuangan perusahaan, tinjauan industri/lingkungan bisnis perusahaan, jaminan yang dapat mendukung pinjaman. 3. Obligasi Sesuai dengan UU pasar modal no.8 tahun 1995, Obligasi Konvensional merupakan “Surat berharga jangka panjang yang bersifat hutang yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada priode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo”. Perusahaan besar dapat menerbitkan obligasi sebagai instrumen sekuritas hutang jangka panjang yang dibeli oleh investor sebagai investasi dengan imbalan kupon obligasi. 4. Pasar Modal Sumber dana diperoleh dari hasil penawaran perdana atau IPO (initial public offering) dengan menjual sebagian saham perusahaan di bursa efek. IPO berfungsi memberi informasi kepada masyarakat untuk dapat berinvestasi ke dalam perusahaan tersebut dengan tolak ukur laporan keuangan perusahaan sebagai
salah
satu
komponen
penilaian
kelayakan
investasi.
Untuk
sektorinfrastruktur, perusahaan pelayaran dan pelabuhan membidik sumber pendanaan ini sebagai pendanaan yang efektif.
Selain masalah pendanaan, masalah utama yang menghambat pembangunan infrastruktur tidak hanya di Indonesia namun juga di negara lain seperti Thailand adalah masalah transparansi. Menurut President of The Dow Chemical Company in Southeast
Asia,
Eddy
Setiawan,
sumber
pendanaan
seharusnya
tidak
dipermasalahkan karena investor akan tertarik untuk berinvestasi asalkan ada kepastian akan keberhasilan proyek infrastruktur tersebut. Sebagian besar proyek infrastruktur berhubungan dengan pemerintah dan politik, yang mana transparansi dan pengakuan kontrak dinilai menjadi hal penting bagi investor dalam memandang investasi di sektor infrastruktur. (Olavia & Timmerman, 2015). Selain itu, seperti
25 yang telah dikemukakan sebelumnya, Indonesia masih terkendala daya saing yang lemah dibanding negara-negara lain.Rendahnya daya saing infrastruktur di Indonesia tidak terlepas dari masalah good governance proyek-proyek infrastruktur. Berdasarkan hasil survey, setidaknya terdapat empat permasalahan utama yang dihadapi dalam public private partnership yaitu: (1) kurang matangnya persiapan proyek sehingga penawaran tidak dapat direspon dengan baik oleh pasar, (2) faktor pembebasan
tanah
yang
berlarut-larut,(3)ketidakmampuan
investor
untukmenggalang pendanaan sehingga tidak tercapai financial closure, dan risiko proyek yang dianggap terlalu tinggi (Schwab, The Global Competitiveness Report 2011-2012, 2011). Pelaksanaan PPP dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip adil, terbuka, transparan, dan bersaing. Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparansi dan persaingan, manfaat yang dapat diraih adalah (i) meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP, (ii) mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan tanpa sovereign guarantees, (iii) mengurangi risiko kegagalan proyek, (iv) dapat menarik bidders yang sangat berpengalaman dan berkualitas tinggi, dan (v) mencegah aparat pemerintah dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
26 2.2 Model Penelitian
Gambar 2.1 Kerangka Teori Value Relevance
Model penelitian di atas ditujukan untuk mempermudah pemahaman dengan menunjukkan hubungan antar variabeldalam penelitian.Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini menggunakanharga saham dalam mengukur relevansi nilai. Harga saham digunakan sebagai gambaran dari reaksi dan keputusan investor dalam menilai perusahaan berdasar informasi yang dapat diperoleh, salah satunya dalam laporan keuangan, laporan tahunan, dan informasi yang dipublikasikan. Earnings per share dan book value per share merupakan variabel independen yang didasarkan dari valuasi Ohlson Clean Surplus Model. Selain itu, untuk mengetahui hubungan dengan relevansi nilai, pertimbangan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah praktik penerapanGCG yang diproksikan ke beberapa variabel yaitu Komisaris Independen, Komite Audit Independen, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, dan Kepemilikan Publik/ Free Float.GCG dipilih dalam rangka menilai sejauh apa transparansi dan keterbukaan perusahaan dapat meningkatkan kepercayaan investor.
27 2.3 Kajian Penelitian Terdahulu 1. Penelitian (Malik , 2013) dalam jurnal yang berjudul “Value Relevance of Firm Spesific Corporate Governance and Macroeconomic Variables : Evidence from Karachi Stock Exchange”meneliti relevansi nilai terhadap Corporate Governance spesifik dan variabel makroekonomi terhadap perusahaan non-financial yang tercatat di Karachi Stock Exchange. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh signifikan positif dari dampak atas penerbitan code of corporate governance dan mandatory adoption IFRS terhadap relevansi nilai atas book value dan EPS. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa 2. (Klapper & Love, 2002) dalam jurnal yang berjudul “Corporate Governance, Investor Protection, and Performance in Emerging Markets” meneliti hubungan antara hukum dan keuangan dengan konsentrasi pada pengukuran atas country-level investor protection dan berfokus pada sistem hukum yang berbeda antar negara.Penelitian ini membuktikan bahwa ketentuan penerapan GCG perusahaan lebih berpengaruh pada negara dengan penegakkan hukum yang lemah.Penelitian ini juga mengusulkan agar perusahaan dapat mengimbangi penegakkan hukum yang kurang efisien secara parsial dengan cara menerapkan GCG dan menyediakan perlindungan investor yang kredibel. Hal ini dikarenakan meskipun tugas untuk melindungi investor dengan menerapkan peratutran yang memadai dinilai sulit, membutuhkan waktu dan memerlukan keterlibatan pemerintah dan penegak hukum, namun peningkatan GCG perusahaan dapat membantu peningkatan yang lebih terukur.
3. (Habib & Azim, 2008) dalam jurnal yang berjudul “Corporate Governance and The Value Relevance of Accounting Information : Evidence from Autralia” meneliti hubungan antara corporate governance dan relevansi nilai atas informasi akuntansi di Australia. Penelitian ini menunjukkan
4. (Toruan, 2015) dalam jurnal "Pengaruh Good Corporate Governance dalam Menpengaruhi Harga Saham Perusahaan Perbankan yang Terdaftar
28 di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012” meneliti efek dari corporate governance terhadap harga saham
pada perusahaan perbankan yang
terdaftar di Bursa Efek pada tahun 2012 dan pengukuran kepemilikan institusional dan blockholder. Hasil penelitian menunjukkan adanya signifikansi terhadap penerapan GCG dan kepemilikan institusional dan blockholder menunjukkan signifikansi positif terhadap harga saham
5. Penelitian (Murwaningsari, 2012) dalam jurnal “Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Return Saham” menunjukkan hasil bahwa kepemilikan institusional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap return sahamSemakin besar tingkat kepemilikan saham oleh institusi maka semakin efektif pula mekanisme kontrol terhadap kinerja manajemen. Dalam hal ini investor institusional mayoritas akanberpihak pada
kepentingan
pemegang
saham
minoritas
karena
memiliki
kepentinganyang sama terutama dalam hal insentif ekonomis baik jangka panjang berupa dividen, maupun jangka pendek berupa abnormal return saham.Tindakan ini berdampak pada meningkatnya nilai perusahaan yang ditunjukkan melaluikenaikan harga saham yang pada akhirnya dapat meningkatkan return saham. Kemudian, penelitian ini juga berhasil menunjukkan
kepemilikan
manajerial
memiliki
pengaruh
positif
signifikan terhadap return saham yang mana manajemen perusahaan mempunyai kendali terhadap perusahaan, sejalan dengan penelitian jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka manajemen akan berupaya lebih untuk memenuhi kepentingan pemegang saham termasuk dirinya sendiri yang memiliki kepemilikan saham.
29
2.4 Pengembangan Hipotesis Pada penelitian ini saya menggunakan metode hipotesis null dan alternatif. A. Hipotesis Null Penerapan praktik Good Corporate Governance tidak berpengaruh terhadap relevansi nilai (value relevance) perusahaan. B. Hipotesis Alternatif Sesuai dengan model (Ohlson & Feltham, 1995) menyatakan sebuah model valuasi ekuitas nilai pasar perusahaan berkaitan dengan pendapatan dan prediksi pendapatan, nilai buku. Penelitian tersebut mendukung bahwa penerapan teori OhlsonClean Surplus Accounting berpengaruh dalam menunjukkan bahwa nilai perusahaan yang dicerminkan pada harga saham memiliki keterkaitan dengan informasi akuntansi dan informasi lain yang memiliki pengaruh dalam pelaporan akuntansi. Nilai buku dan pendapatan juga dibuktikan memiliki pengaruh berupa pengaruh signifikan positif pada perusahaan yang melaporkan penerimaan laba dan pengaruh negatif pada perusahaan yang melaporkan kerugian(Papadaki & Siougle, 2007) Akan tetapi, kondisi yang ditunjukkan dalam penerapan teori Clean Surplus Accounting hanya dapat dibuktikan apabila kondisi pasar ideal atau pasar efisien. Apabila kondisi pasar sedang dalam masa krisis, relevansi nilai perusahaan terhadap nilai buku dan pendapatan cenderung menurun (Davis-Friday, Eng, & Liu, 2006). Kondisi krisis juga seringkali menjadi acuan penelitian, bahwa dalam menilai relevansi nilai perusahaan, terdapat faktor ekonomi lain diluar valuasi perusahaan yang turut memberi pengaruh. Sebagai contoh adalah ketika krisis Indonesia 19971998, didorong lemahnya institusional, kurangnya penegakan regulasi perbankan, praktik perbankan yang tidak memadai serta lemahnya penegakan peraturan perseroan dan keuangan (Hartono & Herman, 2001). Oleh sebab itu, penerapan GCG dapat menjadi salah satu faktor eksternal yang menjadi pertimbangan dalam menilai relevansi nilai perusahaan, terutama pada negara berkembang seperti Indonesia. Merujuk pada penelitian (Davis-Friday et al, 2006) tersebut, ditunjukkan pula adanya penurunan relevansi nilai perusahaan ketika ditemukan penerapan CG masih lemah dan kurang memadai.
30 Penelitian(Malik , 2013)turut membuktikan bahwa book value, earnings per share, kualitas GCG dan tingkat pertumbuhan GDP signifikan mempengaruhi penentuan harga saham. Akan tetapi, secara statistikmenunjukkan koefisien inflasi dan penawaran uang adalah tidak signifikan. Selain itu, ditemukan pula dampak positif yang signifikan dari penerbitan code of corporate governance dan mandatory adoption IFRS terhadap value relevance dari book value dan earnings. Dengan berlandaskan prinsip/asas aksesibilitas, akurasi, kelengkapan, efisiensi dan transparansi pada setiap level, GCG dapat menentukan aksesibilitas perusahaan dalam memasuki pasar modal. Hal ini dikarenakan perusahaan yang menerapkan GCG sesuai standar dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap profitabilitas investasi tanpa mencederai hak yang dimiliki investor. Penerapan asas transparansi ditujukan agar investor dapat memperoleh kesempatan menangkap data dan informasi dari operasi bisnis perusahaan dan data keuangan yang dilaporkan. Data dan informasi yang diperoleh berguna sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, baik informasi positif maupun negatif.Pengungkapan informasi negatif justru dapat berperan penting dalam memberi keuntungan bagi investor dengan mengurangi resiko dan ketidakpastian investasi.Penerapan maupun peningkatan
kualitas
dari
implementasi
CG
menuntut
perusahaan
untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan perusahaan yang bertujuan meminimalisir risiko kecurangan
Independensi dan Nilai Perusahaan Komponen GCG pertama pada penelitian ini adalah komisaris independen. Dengan adanya kondisi komisaris independen yang baik, pengawasan terhadap transparansi, pengungkapan memadai (disclosure), kemandirian, akuntabilitas, dan praktek keadilan dapat lebih terjamin. Menurut (Susiana & Herawaty, 2007), saat perusahaan memiliki komisaris independen, laporan keuangan yang disajikan cenderung memiliki integritas yang lebih tinggi, dikarenakan adanya perlindungan dan pengawasan hak – hak pihak yang berada di luar manajemen. Selain itu, dengan standar yang ditetapkan dalam GCG, akan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dikarenakan antara pihak manajemen, Board of Commisioners, Board of Directorsmaupun pihak berkepentingan lain seperti pemegang saham memperoleh informasi jelas akan peran dan tanggung jawab masing-masing.
31 Penerapan GCG yang berkualitas dapat mempersingkat proses bisnis, dan hal tersebut berujung pada performa operasional yang lebih baik dan pengeluaran modal yang lebih rendah, yang mana memberi kontribusi pada pertumbuhan penjualan dan keuntungan yang secara simultan mengurangi kebutuhan dan pengeluaran modal(Gompers, 2001) dikutip dari The Indonesia Corporate Governance Manual 2014.Hal ini dapat diartukan dari penerapan CG yang konsisten, maka dewan komisaris dapat melaksanakan peran dan tanggung jawabnya secara konsisten terutama dalam hal pengawasan manajemen.Penelitian(Chtourou, S.M., Jean, & Lucie, 2001)menunjukkan bahwa komisaris independen secara umum memiliki pengawasan yang lebih baik terhdapan manajemen sehingga mempengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan komisaris independen dalam perusahaan dapat memberi pengaruh positif pada integritas laporan keuangan yang disajikan manajemen, dikarenakan terdapat pihak yang tidak terikat perusahaan memonitor secara langsung dan melindungi hak pihak berkepentingan diluar manajemen. Maka hipotesis pertama dapat dirumuskan sebagai berikut : H1A: Proporsi komisaris independen berhubungan positif dengan harga saham. Sesuai dengan PeraturanPencatatan Efek Nomor I-A poin C.1, selain Komisaris Independen dan Sekertaris Perusahaan, perusahaan tercatat juga wajib memiliki Komite Audit sebagai pemenuhan praktik GCG. Keberadaan komite audit difungsikan untuk membantu dewan komisaris dalam meinjau hasil pelaporan keuangan perusahaan, kepatuhan perusahaan atas peraturan yang relevan, audit internal maupun eksternal perusahaan,dll yang menunjukkan bahwa keberadan komite audit ada kaitannya dengan integritas laporan keuangan perusahaan. Dengan pertimbangan laporan keuangan perusahaan merupakan salah satu sumber informasi yang menggambarkan kinerja perusahaan dan kebijakan pengelolaan perusahaan, maka independensi komite audit dinilai penting. Peran tersebut akan memadai apabila ditunjang oleh pihak independen, yang mana tidak terikat dengan perusahaan dan dapat bertindak adil dan bebas dari kepentingan sepihak. Dalam membantu dewan komisaris mengawasi kinerja manajemen perusahaan, independensi dan integritas menjadi hal penting yang harus ada dari komite audit terkait tuga yang dibebankan. Hal ini didukung juga oleh (Turley & Zaman, 2004) yang menelitipengaruh corporate governance dan komite
32 audit, menemukan bahwa bukti menunjukkan adanyahubungan positif antara eksistensi komite auditdengan kualitas laporan keuangan dan kinerjaperusahaan. H2A: Proporsi komite audit independen berhubungan positif dengan harga saham
Struktur Kepemilikan dan Nilai Perusahaan Pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan berpotensi menimbulkan konflik keagenan yang didasarkan adanya perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham dapat menyebabkan kerugian di satu pihak baik disadari maupun tidak disadari. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tujuan antara manajer dan pemegang saham, di satu sisi manajemen bertanggung jawab untuk meningkatkan kekayaan pemegang saham dari pendanaan yang diterima, akan tetapi manajemen juga ingin mengembangkan usahanya lebih lanjut dengan keuntungan yang diperoleh dari hasil pengelolaan perusahaan. Maka dari itu, dibutuhkan suatu sistem pengendalian yang dapat mempertemukan perbedaan tersebut, salah satunya adalah konsep kepemilikan manajerial. Manajer yang juga bertindak selaku pemegang saham akan bertindak hati – hati dalam pengambilan keputusan, terutama terkait hutang untuk menghindari risiko kesulitan keuangan atau kebangkrutan di masa yang akan datang. Hubungan antara kepemilikan manajerial dan nilai perusahaan telah banyak diteliti sebelumnya dengan hasil yang beragam. Semakin besar kepemilikan saham oleh manajemen maka akan meningkatkan kecenderungan manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan pendanaan terutama dalam pengelolaan perusahaan yang akan meningkakan nilai perusahaan itu sendiri(Jensen & Meckling, 1976). Penelitian
(Soliha & Taswan, 2002) juga
menemukan adanya hubungan signifikan dan positif antara kepemilikan manajemen dan nilai perusahaan. Sehingga, dapat diasumsikan bahwa konflik keagenan dapat diminimalisir apabila manajemen juga memiliki porsi kepemilikan dalam perusahaan. Maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut : H3A: Proporsi kepemilikan manajerial berhubungan positif dengan harga saham Selanjutnya adalah komponen kepemilikan institusional yang berpengaruh dalam risiko perusahaan yang dapat ditekan menjadi lebih rendah dan lebih aman, sehingga perusahaan tidak perlu mengembalikan return yang terlalu tinggi, namun lebih fokus pada pengendalian risiko. Dengan kepemilikan dominan oleh investor
33 institusional, maka pengawasan dan analisa yang dilakukan pada suatu perusahaan akan dilakukan secara ketat ketimbang bagi para investor minoritas (investor dengan kepemilikan dibawah 5%). Penelitian(Robert & Yuan, 2006) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional dapat mengurangi biaya peminjaman secara signifikan.Hal ini dilatarbelakangi adanya peran investor individual yang melakukan pengawasan terhadap perusahaan. (Shleifer & Vishny, 1997) menyatakan investor institusional berperan penting dalam menciptakan sistem corporate governance yang baik dalam perusahaan dengan secara independen mengawasi manajemen serta memiliki voting right untuk menanggapi kebijakan manajemen yang dinilai tidak efektif dalam mengelola perusahaan. Maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut : H4A: Proporsi kepemilikan institusional berhubungan positif dengan harga saham. Komponen terakhir dari GCG yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah Kepemilikan Publik. Berkaitan dengan adanya potensi masalah agensi yang ditimbulkan dari kepemilikan sahm keluarga, kepemilikan publik dapat menjadi kontrol dan pengawasan eksternal sama hal nya dengan kepemilikan institusional. Seperti yang ditunjukkan penelitian (Manalu, 2008), Pemegang saham mayoritas yang berasal dari kepemilikan keluarga berpotensi menjadi ancaman bagi pemegang saham minoritas. Dengan pertimbangan kondisi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang dinilai masih kurang stabil dalam hal politik dan ekonomi serta belum memiliki penegakan hukum yang mapan, maka dapat dipertimbangkan kontol publik sebagai perlindungan investor. Hal ini turut sejalan dengan inisiatif pemerintah untuk menetapkan minimum kepemilikan saham yang dilepas ke publik dengan tujuan untuk meningkatkan likuiditas pasar dan menciptakan pasar yang aman dan menarik yang mana pembentukan harga terjadi didasari permintaan dan penawaran pasar bukan di bawah kendali pemegang saham mayoritas yang merangkap manajemen perusahaan seperti dalam kepemilikan keluarga. Sehingga, dengan meningkatnya kepemilikan publik dapat diasumsikan meningkatkan relevansi harga saham yang terbentuk dari permintaan pasar.Maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut : H5A: Proporsi kepemilikan publik berhubungan positif dengan harga saham
34