Bab 2 Landasan Teori
Dalam bab dua ini akan dibahas mengenai beberapa teori yang berhubungan dengan semantik yang meliputi makna dan majas disertai dengan pengkajian puisi. Hal tersebut untuk mendukung analisis pemaknaan dari lagu Without You yang terdapat di bab 3.
2.1 Teori Semantik Dalam upaya menemukan makna suatu lirik lagu, memahami pengertian makna lagu tersebut sebagai dasar dari analisis harus dilakukan. Teori semantik adalah salah satu teori linguistik yang dapat digunakan sebagai landasan analisis tersebut.
Ichiro (1991 : 1-3), seorang ahli semantik modern, mengemukakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase, dan kalimat. M enurutnya, bila melihat sebuah makna dengan sudut pandang secara objektif ataupun secara fisik, banyak hal yang berbeda dan tidak sesuai. Dalam melihat sebuah makna dalam kondisi seperti itu, lebih baik menggunakan sudut pandang secara subjektif. Hal ini dikarenakan kata atau kalimat merupakan sesuatu yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari dan dari setiap individu akan lahir makna-makna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
11
2.2 Makna Kata Seperti telah dijelaskan sebelumnya, semantik adalah sebuah studi tentang makna. Untuk memahami makna dalam komunikasi (Keraf, 2007 : 25), pada umumnya, makna kata dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a. M akna denotatif M akna denotatif adalah makna dari sebuah kata atau frase yang tidak mengandung arti atau perasaan-perasaan tambahan. M akna denotatif disebut juga makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau ilmu pengetahuan; stimulus dari pihak pembicara dan respon dari pihak pendengar menyangkut hal-hal yang dapat diserap kesadaran dan rasio manusia. Selain itu, makna ini disebut juga makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Seorang penulis yang hanya ingin menyampaikan informasi, khususnya dalam bidang ilmiah, akan cenderung untuk mempergunakan kata-kata yang denotatif. Sebab tujuan utamanya adalah memberi pengarahan yang jelas terhadap fakta. Ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca (Keraf, 2007 : 28). b. M akna konotatif M akna konotatif merupakan makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Dapat dikatakan, makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional. M akna tersebut sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang dan sebagainya pada
12
pihak pendengar. Sementara, di sisi lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Konotasi pada dasarnya timbul karena masalah hubungan sosial atau hubungan interpersonal, yang mempertalikan seseorang dengan orang lain. Sebab itu, bahasa manusia tidak hanya menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan sebagainya (Keraf, 2007 : 29).
2.3 Analisis Medan Makna Dalam mencari makna konotasi dari larik lagu Without You, penulis terlebih dahulu akan membedah unsur morfem atau frase pada larik tersebut dengan mencari makna referensial yang berlandaskan pada teori analisis medan makna. Kata-kata memiliki asosiasi antara sesamanya. Berdasarkan hal tersebut Ferdinand De Saussure memulai konsep asosiasi makna (Parera, 2004 : 137). Pemikiran Saussure ini kemudian berkembang menjadi medan makna. M edan makna adalah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada similaritas atau kesamaan, kontak atau hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata (Parera, 2004 : 138). Parera memberikan contoh medan makna dengan kata “kerbau” dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata “kerbau” orang mungkin akan berpikir tentang kekuatan atau kebodohan. M edan makna ini kemudian dikembangkan oleh J. Trier. M enurut Trier dalam Parera (2004 : 139), setiap medan makna akan selalu tercocokkan antar-sesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa. Pendekatan medan makna memandang bahasa sebagai satu keseluruhan yang tertata yang dapat dipenggal-penggal atas beberapa bagian yang saling berhubungan secara teratur. Pendekatan medan makna
13
seperti ini dikemukakan oleh Trier dalam Parera (2004 : 139). Perlu diketahui bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa, misalnya:
M elihat
M elirik M engintip M emandang M enatap M eninjau M elotot
Dalam bahasa Indonesia medan makna “melihat” dibedakan atas “ melirik, mengintip, memandang, menatap, meninjau, melotot” dan sebagainya (Parera, 2004 : 140). Untuk mendukung analisis medan makna tersebut, penulis akan menerapkan teori kolokasi. M enurut Trianto (2008), kolokasi adalah penggunaan perkataan lain yang menggambarkan maksud yang sama dalam pembinaan teks. Kebiasaan kolokasi merambatkan makna kata yang satu ke dalam makna kata yang lain, misalnya, meninggal dunia atau berpulang ke rahmatullah.
2.4 Teori Majas dan Teori Majas Metafora
2.4.1 Teori Majas Sebuah konotasi atau makna konotatif berhubungan erat dengan penggunaan majas. Keraf (2007 : 113) mendefinisikan
gaya bahasa atau majas sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. M ajas memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. M enurut Pateda (2001 : 233) dijelaskan pengertian majas sebagai berikut:
14
1) Pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis 2) Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu 3) Keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra 4) Cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Dalam meneliti makna majas lirik lagu bahasa Jepang, tentu harus melakukan analisis menggunakan dasar majas yang dipakai dalam bahasa Jepang. Namun sebelumnya, untuk mengetahui majas di Jepang, kita harus melihat kembali sejarah retorika di negara tersebut. M enurut Tomasi (2004 : 27), retorika Jepang memiliki pengaruh dari barat. Hal ini dimulai pada era M eiji. Pada saat itu, banyak karya-karya sastra dari Barat mulai masuk ke Jepang. Namun, di samping itu, terdapat pula bagian dari retorika yang memang telah ada sebelum era M eiji, yaitu melalui rakugo, kodan, dan rokyoku. Berdasarkan dalam teori retorika terhadap puisi-puisi Jepang, banyak teori-teori yang mengungkapkan bahwa puisi Jepang tersebut menggunakan majas perbandingan seperti majas metafora, majas simile, dan majas personifikasi. Dan majas-majas seperti ini sering kali digunakan untuk memberikan sebuah gambaran dari sebuah konsep untuk menekankan sebuah pemikiran dan membuat seseorang terpengaruh dalam tingkatan emosional dan intelektual. Namun, Wakan (1993 : 63) mengemukakan bahwa hal tersebut memiliki pengecualian karena puisi-puisi Jepang seperti haiku tidak menggunakan semacam ketiga majas tersebut. Hal tersebut dibenarkan karena dalam karya-karya sastra Jepang, majas yang paling sering ditemui adalah majas metafora. M etafora selalu menjadi majas yang paling menonjol, seperti yang diungkapkan oleh Sato (1992 : 113) di bawah ini:
15
古代から、現喩はつねにレトリックの中心的な関心のまとである。一九世 紀 後半に古典レトリックがすっかり見捨てられたのちも、隠喩だけは い つも哲学者、時人たちの興味をひきつづけている。かぞえてみることなど とても不司研究され書かれてきた隠喩書かれてきた論の書物や論文は、何 百、いや何千か、数知れず、隠喩にかかわる問題はもう出つくしているの ではないかとさえ思われるありまだ。 Terjemahan : “Sejak zaman dahulu, bahkan sampai sekarang, metafora selalu menjadi titik perhatian dalam retorika. Pada paruh kedua abad kesembilan belas, retorika klasik telah benar-benar ditinggalkan, namun hanya metafora yang terus menarik minat para filsuf dan penyair. Jika dihitung, memang tidak mungkin, namun, buku-buku dan disertasi mengenai teori metafora yang telah diteliti terdapat ratusan, ribuan, bahkan tidak terhitung. Pertanyaan mengenai metafora pun telah muncul, bahkan masih dipikirkan hingga sekarang.”
Satu pendapat lagi mengatakan bahwa masyarakat Jepang sering kali menggunakan metafora untuk menunjukkan secara halus bahwa mereka tidak menyukai sesuatu atau seseorang (Truth, 2005). Berdasarkan pada kutipan tersebut, penulis akan menggunakan majas metafora sebagai landasan teori pada analisis makna yang terkandung dalam lirik lagu Without You.
2.4.2 Teori Majas Metafora M etafora berasal dari bahasa Yunani ‘metaphora’ yang berarti ‘memindahkan’. Istilah tersebut memiliki kata dasar meta (di atas; melebihi) dan pherein (membawa). Sebagai perbandingan langsung, metafora tidak menggunakan kata-kata yang menyatakan persamaan secara eksplisit. Sehingga di dalam metafora, tidak terdapat kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana sebagaimana halnya simile (Keraf, 2007 : 139)
16
M enurut Kusumi (2008) mengatakan : 広義のメタファーは,隠喩,直喩,提喩,換喩などの比喩表現全般を指す。 狭義のメタファー(隠喩)は,主題(topic)とたとえる概念(vehicle)を,類似性 に基づいて結びつけた比喩である。メタファー(隠喩)は、比喩指標 (例:のようだ,みたいだ)のない表現である。 Terjemahan: M etafora ( メ タ フ ァ ) secara garis besar digunakan untuk mengindikasikan ungkapan metaforis seperti metafora (隠喩), simile (直喩), sinekdok (提喩), metonimia (換喩), dan sebagainya. Secara lebih spesifik metafora (隠喩) adalah perbandingan antara konsep dan topik, dalam hal ini metafora (隠喩) memiliki kemiripan dengan simile (比喩) dalam hal keterikatan dan ketergantungannya. M etafora adalah ungkapan yang tidak mengandung indikator simile (misalnya: noyouda, mitaida).
Struktur dasar metafora yaitu ada sesuatu yang dibicarakan dan ada sesuatu yang dipakai sebagai perbandingan. Itu sebabnya Badudu (2007 : 70) mengatakan bahwa majas metafora adalah majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda lain. M enurut Suharto dan Iryanto (2007 : 137) yang menjelaskan majas metafora sebagai kata-kata yang bukan dalam arti yang sebenarnya melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Seperti pada contoh majas metafora dalam haiku Jepang karya Kuniyoshi (1843), di bawah ini:
雲の衣を冨士は着てけり (Pakaian awan yang dikenakan gunung Fuji)
Pakaian awan yang dimaksudkan di sini adalah pakaian yang berarti baju seperti layaknya manusia memakai baju, sedangkan maksud awan disini berarti halus, lembut,
17
sejuk, dan berwarna putih seperti layaknya salju. Dengan kata lain, yang dimaksud pada contoh kalimat diatas adalah puncak gunung Fuji yang terselimuti oleh putihnya salju seperti layaknya mengenakan pakaian awan.
2.5 Teori Pengkajian Puisi Menurut Pradopo M enurut Pradopo (1990 : 3) mengemukakan bahwa puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Lalu menurut Wellek dalam Pradopo (1990 : 14), puisi itu merupakan sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Kemudian menurut Altenbernd dalam Pradopo (1990 : 5), puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa. Dari ketiga makna tersebut, dapat dikatakan bahwa puisi mempunyai sifat, struktur, dan konvensikonvensi puisi apa pun pada umumnya.
Pradopo (1990 : vi) mengemukakan bahwa pengkajian puisi terbagi dalam dua bagian, yaitu:
1) Analisis struktur puisi berdasarkan lapis-lapis normanya yang merupakan fenomena puisi yang ada. Arti lapis disini, berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga yang berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan (Pradopo, 1990 : 15). 2) Analisis sajak satu per satu yang membicarakan kaitan antar unsur dan saranasarana kepuitisan yang menyeluruh . Dalam analisis ini, lapis-lapis norma puisi di lihat hubungan keseluruhannya dalam sebuah sajak yang utuh. Hal ini disebabkan
18
norma-norma puisi itu saling berhubungan erat dan saling berhubungan maknanya (Pradopo, 1990 : 117).
19