Bab 2 Landasan Teori
Pada bab ini penulis akan menjabarkan beberapa teori dari para ahli yang akan menjadi landasan dasar teori yang mendukung analisis pada bab 3. 2.1 Konsep Honne dan Tatemae Konsep honne dan tatemae akan dibagi ke dalam subbab berikut ini: 2.1.1 Konsep Honne Pada Honne「本音」 dapat ditemui kanji 本 (hon) yang berarti dasar, awal, mula, dan prinsip. Sedangkan kanji 音 (ne/oto) berarti suara. Bila kedua kanji itu digabungkan, secara umum akan memiliki makna 「本心から出た言葉。建前の取り除いた本当気 持ち」yang berarti “perasaan yang keluar dari hati terdalam, kebalikan dari tatemae yang berarti diluar perasaan yang sesungguhnya”. Honne mengacu pada kenyataan bahwa setiap individu dalam suatu kelompok akan tetap memiliki motif dan opini sendiri
yang berbeda dan disimpannya dalam hati saja meskipun mereka
memprioritaskan tatemae. (Doi, 2001, hal. 36-37) Menurut Honna dan Hoffer (2002, hal. 94) memaparkan bahwa honne adalah motivasi atau keinginan terpendam dari seseorang yang tidak bisa secara gamblang diutarakan karena hidup dalam masyarakat yang terkekang kebebasan sosialnya.
8
Tanaka dalam Apliana (2005, hal. 21) memaparkan bahwa honne merupakan pendapat atau pikiran seseorang yang sesungguhnya. Ada juga beberapa orang yang mendefinisikan honne sebagai suara pribadi, dengan kata lain hal-hal yang tampak secara pribadi. Honne berarti penampilan batiniah atau apa yang sebenarnya dirasakan oleh pelaku honne itu sendiri dan dapat disamakan dengan sikap kejujuran yang ada dalam diri anak-anak yang tidak lain adalah sifat yang teguh pada pendirian dan sulit untuk dipengaruhi. Honne merupakan pendapat sebenarnya, atau apa yang sebenarnya dipikirkan oleh seseorang. Selain itu, ada juga pihak tertentu yang mendefinisikan honne sebagai suara pribadi. Suara pribadi tersebut adalah apa yang dipikirkan dari seseorang dan mewakili kebenaran sesungguhnya. (Tanaka, 1990, hal. 63). Adapun honne menurut Ushiyama (2007, hal. 69), adalah「本音は心の中で実際に 考えていること。思ったことをそのまま口に出すことは、相手に対する配慮が 足りないと考えられている。」. Artinya, “Honne adalah pemikiran jujur seseorang. Apabila kita mengatakan sesuatu dengan terang-terangan, maka hal itu akan dianggap menyinggung lawan bicara kita. “ 2.1. Konsep Tatemae Tatemae adalah prinsip dan aturan yang terbentuk dalam kehidupan bermasyarakat. Tatemae pun melambangkan sekelompok orang yang menyetujui prinsip dan aturan tersebut. Prinsip dan aturan tersebut dibuat oleh sekelompok orang. Oleh karena itu, prinsip dan aturan tersebut dapat berubah sesuai kesepakatan bersama. (Doi, 2001, hal. 35-36) 9
Menurut Honna dan Hoffer (2002, hal. 94 ) memaparkan bahwa tatemae adalah motivasi atau keinginan yang sejalan dengan norma-norma sosial yang dibentuk, didukung, dan dikekang oleh norma-norma mayoritas sehingga kelakuan seseorang di masyarakat umumnya mengikuti norma yang dipegang teguh oleh masyarakat itu sendiri.
Doi (2001, hal. 37) menegaskan bahwa tatemae itu tidak selalu berwujud perbuatan yang benar dan baik secara moral. Akan tetapi, tatemae juga tidak selalu berwujud perbuatan yang buruk dan penuh kepura-puraan di mana perbuatan itu dinilai buruk secara moral. Adapun tatemae menurut Ushiyama (2007), yaitu「建前はTPOや社会的道徳、 話す相手によって変化する表向きの意味。社会辞令もこれにあたる。」(hal. 69). Artinya, “Tatemae adalah sikap seseorang yang berubah-ubah sesuai dengan konteks sosial, lawan bicara serta tempat, waktu dan objek pembicaraan ( TPO, time, place, object ). Tanggapan diplomatis juga termasuk dalam prinsip tatemae.” Nieda dalam Thamrin (2005, hal. 13) mengatakan bahwa tatemae dalam sebuah kelompok masyarakat itu berbeda-beda dan tidak sama dalam praktiknya ketika interaksi sosial dilakukan. Semua tergantung dari sudut pandang individu itu sendiri sebagai pelaku tatemae. Di samping itu, ada juga pengaruh motif ketika ia melakukan tatemae tersebut. Tatemae jika dilihat dari jenisnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Tatemae ideal seorang manusia Tatemae yang ideal bagi manusia adalah bagaimana manusia itu bisa menjadi seorang manusia yang ideal. Sebagai manusia, sangatlah alami bila mempunyai
10
sifat baik dan juga sifat buruk. Dalam interaksi dengan sesamanya, manusia akan berperan sebagai pemberi ataupun sebagai penerima. Dengan mempertimbangkan hal inilah maka seseorang harus bisa mengikuti suatu aturan agar dapat menjadi seorang manusia yang baik. Tatemae ideal ini terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu : - Tatemae untuk menghormati orang lain Tatemae
untuk
menghormati
orang
lain
maksudnya
adalah
mengembangkan kepribadian untuk menjadi sosok manusia yang ideal dalam masyarakat dengan cara mengintropeksi diri. Setidaknya kesan itu yang ingin disampaikan pelaku tatemae kepada masyarakat. - Tatemae yang dilakukan untuk terlihat baik Berbeda dengan tatemae untuk menghormati orang lain. Tatemae jenis ini dilakukan untuk memberi kesan yang baik terhadap lawan bicara. Pada tatemae jenis ini, peluang munculnya kebohongan-kebohongan atau usaha yang disertai kepura-puraan sangatlah besar. Hal itu dilakukan hanya untuk terlihat baik di hadapan lawan bicara. Berikut adalah kutipannya:
とくに日本人というものは区欠米人と違って言葉と心は裏腹 になる ことが少なくない。たとえば極端な例だが「顔で笑って心で泣い て。。。」といったようなものである。区欠米人はこのように心と 表現が違うようなことはすくない。(hal. 14) Terjemahan : Maka orang Jepang itu berbeda dengan orang barat, tidaklah sedikit situasi di mana apa yang diucapkan oleh orang Jepang berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya. Contoh yang ekstrim misalnya “ di wajah tersenyum, sedangkan di hati menangis…” pada masyarakat barat hal semacam ini sangatlah langka dan jarang ditemui.
11
2. Tatemae yang diperlukan dalam mencapai kedamaian di dalam masyarakat Tatemae ini merupakan tatemae untuk menciptakan kehidupan damai dan makmur tanpa saling melakukan kejahatan. Sejauh manakah bangsa Jepang melakukan tatemae jenis ini, buktinya dapat dilihat dari kecilnya angka kejahatan di Jepang. Sampai saat ini Jepang adalah negara terkecil di dunia dari tindak kejahatan. (Tanaka, 1990, hal. 121) 3. Tatemae sebagai syarat untuk mencapai tujuan tertentu Tatemae ini dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh, jika seseorang ingin menciptakan keharmonisan, maka orang itu akan melakukan tatemae demi tujuan tersebut. Akan tetapi, jika orang tersebut bertujuan untuk mendapatkan sesuatu, maka orang itu akan melakukan tatemae agar ia bisa mendapat sesuatu yang diidamkannya. Pada kenyataannya, tatemae merupakan perilaku yang tidak selalu berupa perbuatan yang benar dan baik secara moral. Akan tetapi di samping itu, tatemae juga tidak selalu berupa perbuatan yang buruk dan penuh kepura-puraan. (Doi, 2001, hal.37) 2.1.3 Hubungan Antara Honne dengan Tatemae Menurut Doi (2001, hal. 37) honne sering kali diartikan sebagai aplikasi ura atau lapisan dalam, sedangkan tatemae adalah sesuatu yang mengaplikasikan omote atau lapisan luar. Hubungan antara omote dan ura sama dengan hubungan antara honne dan tatemae. Honne ada karena adanya tatemae dan honne itu sendiri memanipulasi tatemae dari belakang. Maka dari itu kedua konsep ini akan saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan dalam setiap interaksi sosial masyarakat Jepang. 12
Aplikasi luar merujuk pada apa yang diperlihatkan seseorang dari apa yang dilakukannya, omote merupakan kebalikan dari ura yaitu lapisan dalam. Bisa dikatakan omote dan ura merupakan hubungan antara wajah dan pikiran. Omote dapat dilihat, sedangkan ura bersembunyi dibalik omote. Bagaimanapun omote hanya sekedar citra yang ditampilkan dan juga sesuatu yang menyembunyikan ura secara sederhana. (Doi, 2001, hal. 26) Doi (2001) menyatakan bahwa tatemae adalah gejala yang tidak alami dan sebaliknya, honne merupakan
gejala alami
yang mewakili kebenaran
yang
sesungguhnya. Berikut kutipannya: In my explanation of the concepts of tatemae and honne, I mentioned that we often imply our use of these words that the opposition between tatemae and honne is hierarchical: that tatemae is directed of omote, and therefore false, and that only honne represents the real truth. There are many other expressions that suggest hierarchy: “that is nothing but tatemae” or “ I wont do any good to keep talking about tatemae.” We are more anxious to learn the honne of a situation than tatemae, and this is an expression of the same feeling that honne is the natural state, while tatemae is an “unnatural complication” (hal. 76) Terjemahan: Dalam penjelasan saya tentang konsep tatemae dan honne, saya menyebutkan bahwa kita sering menyatakan secara tidak langsung penggunaan kata-kata ini bahwa pertentangan antara tatemae dan honne adalah hirarkis: bahwa tatemae diarahkan dari omote, dan karena itu salah, hanya honne lah yang mewakili kebenaran yang sesungguhnya. Ada banyak ungkapan lain yang menunjukkan hirarki: "itu hanya tatemae" atau "Saya tidak akan mendapatkan keuntungan jika terus berbicara tentang tatemae." Kami lebih ingin mempelajari honne dari sebuah situasi daripada tatemae, dan ini adalah ekspresi dari perasaan yang sama bahwa honne adalah keadaan alami, sedangkan tatemae adalah "komplikasi yang tidak alami”
Doi (2001, hal. 89) mengemukakan bahwa orang bisa memanipulasi tatemae dan honne, tergantung pada salah satu dari berbagai hubungan yang mereka hadapi. Bahkan dalam kasus ini, tentu saja, ada pemisahan ego, tetapi manusia mampu bertahan dalam 13
pemisahan ini untuk tingkat tertentu. Tapi sebagai tingkat pemisahan, identitas orang sebagai seorang individu akan menjadi aneh. Doi (2001, hal. 87) pun menyatakan bahwa hubungan antara tatemae dan honne adalah simbiosis, bahwa mereka saling menguntungkan. Penyebab konflik ekstrim di antara mereka mungkin tampak bertentangan. Bahwa kontradiksi ini hanya bisa dilihat, namun dapat dengan mudah dipahami, situasi dimana seseorang ingin menyingkirkan tatemae untuk beberapa alasan, tetapi tidak dapat melakukannya. Jika orang ini bersikap kurang ajar, berperilaku tanpa memperhatikan apa pun kecuali keinginan pribadi, dia bisa mendapatkannya melalui situasi, bahkan berpikir orang tersebut dapat dituduh "memiliki ura omote" (menjadi tidak tulus). Jika orang tersebut dapat menyingkirkan ketidaknyamanan saat melakukan tatemae dengan membuat yang baru, tidak ada yang bisa lebih baik. Honne dan tatemae dilakukan untuk menjaga keharmonisan antar orang-orang, dan masyarakat Jepang sudah menggunakan kedua konsep ini sejak zaman dahulu kala. Konsep honne dan tatemae erat kaitannya dengan ketulusan. Berikut kutipan Doi dalam Shimizu dan Le Vine (2002) :
The Japanese notion of sincerity is intimately intertwined with the notion of omote (front) and ura (back). In everyday, normal circumstances, individuals display tatemae as “face” i.e., omote, and conceals honne, their real feelings, behind it. The cultural consensus is that individuals have their individualized and idiosyncratic honne behind tatemae. Respect for this general rule helps to maintain harmony among people. (hal. 10) Terjemahan: Gagasan orang jepang mengenai “ketulusan” ini berkaitan dengan gagasan omote (depan) dan ura (belakang). Dalam keadaan sehari-hari atau keadaan normal, individu menampilkan tatemae sebagai “wajah” yang juga bisa berarti omote, dan 14
menyembunyikan honne, perasaan mereka sesungguhnya di balik itu. Budaya konsensus menyatakan bahwa individu memiliki honne individual dan keistimewaan honne di belakang tatemae. Menghormati aturan umum ini membantu untuk mempertahankan harmoni antara orang-orang.
Makino (1996, hal. 23) menjelaskan apabila konsep uchi dan soto tidak jelas, maka akan jadi hal yang mudah bagi masyarakat Jepang untuk mengatakan honne kepada pihak soto. Akan tetapi, karena mereka dapat memisahkan dengan jelas orang-orang yang berada dalam lingkaran uchi dan soto mereka, maka mereka cenderung menggunakan tatemae ketika berinteraksi dengan pihak soto. Apabila seseorang berbicara dengan honne kepada pihak soto, maka dapat dikatakan mereka sedang berbagi perasaan pribadinya dengan pihak luar tersebut. 2.2 Konsep Masyarakat Jepang Modern Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sebatang kara. Sejak manusia dilahirkan dan tumbuh berkembang menjadi seorang dewasa ia memerlukan perawatan manusia lain, baik dalam artian fisik maupun psikis atau mental. Mereka senantiasa hidup berkelompok dan membina kerja sama dalam mempertahankan hidup dan mengembangkan hidup bersama. Setiap individu sebagai anggota dalam suatu kelompok masyarakat harus mampu membina dan menjaga hubungan dengan sesamanya. Oleh karena itu, ia harus menguasai pengetahuan budaya agar mampu memainkan perannya dalam kehidupan sosial bermasyarakat (Madubrangti, 2008, hal 1). Ciri masyarakat Jepang modern dimulai dengan perkembangan ekonomi yang pesat. Industrialisasi dan urbanisasi telah mempengaruhi seluruh komunitas dan semua kelas dalam masyarakat. Kerangka sosial tradisional dalam komunitas lokal dan kelompok-
15
kelompok kecil menjadi semakin lemah, diikuti dengan lunturnya sanksi-sanksi kelompok dan penduduk setempat yang meninggalkan tempatnya masing-masing. Mereka pun menjadi masyarakat kapitalis yang didasarkan pada produksi dengan menggunakan mesin-mesin di mana modernisasi tersebut mengarahkan setiap manusia ke dalam proses pembagian kerja yang semakin khusus. Hal ini berdampak pada hubungan sosial yang impersonal dalam masyarakat yang mekanis itu sehingga membuat mereka merasa terasing dan kesepian ( Fukutake, 1990, hal. 10 ). Bagi masyarakat Jepang, kelompok merupakan sekumpulan orang-orang yang didasari atas kerja sama dan usaha untuk mencapai kesejahteraan pemenuhan kebutuhan. Masyarakat modern terbagi ke dalam kelompok-kelompok eksklusif yang memisahkan diri dari kelompok kecil, terlebih lagi tidak ada ikatan yang mempersatukan mereka bersama-sama, semuanya mempunyai asal-usul pekerjaan dan kelas-kelas sosial yang berbeda satu sama lainnya. Karena tidak ada komunitas yang dapat meringankan perasaan keterasingan, juga tidak ada pula tradisi atau kebiasaan bersama, maka mereka hidup dalam suasana anomi. Setelah mereka sepenuhnya menerjunkan diri ke dalam kehidupan yang penuh sesak ini, mereka tetap kesepian karena kurangnya hubunganhubungan manusiawi. Unsur-unsur pembentuk masyarakat dewasa ini akhirnya berubah menjadi mayoritas yang anonim dan kerumunan tanpa bentuk (Riesman, 1991, hal. 123 ). Pekerjaan membuat orang-orang ini menjadi seperti roda gerigi dalam mesin atau menjadi seperti butiran pasir yang bertebaran. Akibatnya mereka selalu mengalami frustasi. Keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan meledaknya emosi secara besar-besaran. Riesman pun mengatakan bahwasanya masyarakat Jepang dewasa ini (1991, hal. 125) terlihat seperti manusia yang 16
“diarahkan dari dalam”. Orang-orang Jepang yang “diarahkan oleh tradisi” hanya mempunyai sedikit sumber untuk membuat kepuasan pribadi bilamana mereka dihadapkan pada suatu perubahan luar yang ditimbulkan oleh modernisasi. Karena dunia sekitarnya mulai menampakkan ciri-ciri masyarakat dewasa ini, reaksi mereka adalah menyesuaikan diri. Dalam proses itu, mereka belajar mengikuti orang-orang yang berwenang serta kecenderungan yang sudah unggul,dan mereka pun menjadi manusia yang “diarahkan oleh orang lain”. 2.3 Teori Kesusastraan Kata sastra menurut Teeuw dalam Ratna (2005, hal. 4), berasal dari akar kata sas (sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik, seperti silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan). Goldman dalam Faruk (1999, hal. 17), mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya. Pertama, bahwa karya sastra merupakan pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa dalam usaha mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Antara manusia anggota masyarakat dan masyarakat sebagai satu keseluruhan ada proses saling mempengaruhi. Jika kita menerima sastra sebagai suatu ekspresi seni pengarang yang peka terhadap apa yang hidup dalam masyarakatnya, dan juga memiliki daya observasi yang tajam dan peka pula terhadap masalah masyarakat maupun manusia, dan karya sastranya dapat menggugah perasaan orang, atau mendorong orang 17
memikirkan masalah masyarakat maupun manusia yang dilukiskannya, maka tentulah dapat diterima bahwa ada peran sastra dalam masyrakat. Selain itu, membaca sastra adalah salah satu dari sekian banyak masukan yang diterima oleh manusia selama hidupnya, dan menimbulkan pikiran, motivasi atau malahan menggerakkannya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Lubis, 1996, hal. 18 ). Tanaka dalam Endraswara (2003, hal. 9) mengenalkan dua pendekatan yaitu mikro sastra dan makro sastra. Mikro sastra artinya kajian yang menganggap bahwa memahami karya sastra dapat berdiri sendiri tanpa bantuan aspek lain di sekitarnya. Sebaliknya, makro sastra adalah pemahaman sastra dengan bantuan unsur lain di luar sastra. Kemudian Abrams dalam Endraswara (2003, hal. 9) juga mengemukakan jenis pendekatan yang lebih spesifik dari teori yang dicetuskan Tanaka. Dalam kaitan ini, pendekatan dalam suatu karya sastra dibagi menjadi 4 bagian, yaitu pendekatan ekspresif yang berhubungan dengan pengarang, kemudian ada pendekatan obyektif yang menitikberatkan pada teks sastra yang kelak disebut strukturalisme atau instrinsik, kemudian pendekatan mimetik, yaitu penelitian sastra yang berhubungan dengan kesemestaan, dan yang terkahir ada pendekatan pragmatik, yaitu penelitian sastra yang berhubungan dengan resepsi pembaca terhadap teks sastra. 2.3.1 Komik Sebagai Karya Sastra Menurut Lubis (2002) komik seringkali dijadikan sasaran kritik masyarakat (orang tua, guru, wartawan) yang mendukung bacaan yang sehat untuk anak-anak. Mereka menganggap komik sebagai terbitan pornografis, non-gramatis, dan non-edukatif. Atau paling tidak mengkhawatirkan kemalasan berpikir yang ditimbulkan komik. Padahal
18
dengan bentuk cerita seperti itu, komik jelas memukau perhatian anak. Dengan gambargambar yang seram, menarik, dan mengesankan, anak-anak akan membaca sambil terhibur. Daya khayal anak-anak juga akan terpancing melalui komik, dengan demikian komik akan mempunyai peranan yang positif untuk mengembangkan kebiasaan membaca. Lubis dalam Boneff (2002, hal. 99), mengatakan “komik menurut anggapan saya adalah salah satu alat komunikasi massa yang memberi pendidikan baik untuk kanak-kanak maupun untuk orang dewasa.” McCloud
(2001,
hal.
149)
mendefinisikan
komik
sebagai
gambar
yang
menyampaikan informasi dan menghasilkan respon yang esterik pada para penikmatnya. Komik juga merupakan imaji-imaji yang berderet, kemudian berdamping dalam suatu urutan, dengan tujuan menyampaikan informasi serta menghasilkan respon artistik bagi yang membaca. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Boneff (2008, hal. 156) yang menyimpulkan bahwa komik sangat erat hubungannya dengan budaya suatu bangsa. Komik adalah alat komunikasi massa yang menggabungkan khayalan dan pandangan tentang kehidupan nyata yang dianggap sesuai dengan masyarakat luas. Komik dapat dipandang sebagai sebuah representasi realitas sosial, politik dan ideologi yang tumbuh dalam masyarakat pada zamannya. McCloud (2008, hal. 10) memetakan potensi-potensi komik dalam sembilan arah, yaitu komik sebagai karya sastra, komik sebagai seni, komik sebagai kendali atas hakhak komikus, komik sebagai industri bisnis yang selalu berinovasi, komik sebagai alat membentuk persepsi masyarakat, pengawasan institusional, komik sebagai bukti
19
keseimbangan gender, komik sebagai representasi kaum moniritas, dan komik mampu menampilkan beraneka ragam genre. Menurut McCloud (2008, hal. 11), potensi komik sebagai karya sastra sebagaimana bentuk karya sastra yang lain semisal novel, puisi, drama, dan sebagainya dapat menghasilkan sekumpulan karya yang layak dipelajari, yang menampilkan makna hidup, waktu, dan cara pandang terhadap dunia lewat sang pengarang. Komik menawarkan medium dengan keleluasaan dan kendali yang besar bagi sang pengarang, hubungan yang akrab dan unik dengan pembacanya, dan potensi yang amat besar. Hanya saja, komik sebagai salah satu jenis bacaan masih terperangkap dalam persepsi yang salah, yang menganggap komik sebagai bacaan ringan dan tak layak disebut karya sastra. 2.3.2 Teori Penokohan Aminuddin dalam Siswanto (2008, hal. 142-143), tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan. Kemudian masih menurut Aminuddin dalam Siswanto (2008, hal. 143), mengemukakan bahwa apabila dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh dinamis dan tokoh statis. Bila dilihat dari masalah yang dihadapi tokoh, dapat dibedakan atas tokoh yang mempunyai karakter sederhana dan kompleks. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya selalu berkembang. Sedangkan tokoh statis merupakan tokoh yang memiliki kepribadian tetap. 20
Aminuddin dalam Siswanto (2008, hal. 145) menyatakan bahwa ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian, menunjukkan bagaimana perilakunya, melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, memahami bagaimana jalan pikirannya, melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, melihat tokoh lain berbincang dengannya, melihat bagaimana tokoh-tokoh lain itu memberi reaksi terhadapnya, dan bagaimana tokoh itu mereaksi tokoh yang lain. Berikut adalah penjelasan mengenai metode penyajian watak tokoh menurut Nurgiyantoro dalam Lizarti (2011, hal. 25-27) di mana perwatakan memegang peranan penting dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Artinya, pembaca dapat memahami dan menafsirkan tokoh-tokoh sesuai dengan logika cerita dan persepsinya. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu: 1. Metode analitis ( langsung atau diskursif ) Penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung. Tokoh yang dihadirkan oleh pengarang kepada pembaca dilakukan dengan tidak berbelit-belit, langsung disertai deskripsi terhadap tokoh yang bisa berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, dan bahkan ciri fisiknya. 2. Metode dramatik ( tak langsung atau ragaan)
21
Penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Terdapat beberapa teknik penyajian watak dalam metode dramatik, yaitu: 1) Teknik cakapan: Pendeskripsian tokoh yang dilakukan dengan percakapan (verbal). 2) Teknik tingkah laku: Pendeskripsian tokoh bersifat nonverbal atau fisik. 3) Teknik pikiran dan perasaan: Pendeskripsian terhadap keadaan dan jalan pikiran serta perasaan oleh tokoh sehingga mencerminkan penokohan atau kepribadiannya. 4) Teknik arus kesadaran Abrams dalam Nurgiyantoro (2007) menjelaskan bahwa: Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan indra bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, dan asosiasi-asosiasi acak.(hal. 206)
Aliran kesadaran berusaha menangkap dan mengungkapkan proses kehidupan batin yang berada di bawah sadar. 5) Teknik reaksi tokoh: Reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata dan sikap tingkah laku orang lain yang berupa rangsangan dari luar dari tokoh yang bersangkutan.
22
6) Teknik reaksi tokoh lain: Reaksi tokoh lain terhadap tokoh yang dipelajari watak atau penokohannya. 7) Teknik pelukisan latar Pelukisan suasana latar dapat lebih mengidentifikasikan sifat kedirian tokoh, misalnya suasana rumah yang jorok, kotor dan berantakan akan menimbulkan kesan bahwa pemilik rumah itu adalah seorang jorok, pemalas, cuek, dan sebagainya. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung secara kuat walaupun latar merupakan sesuatu yang berada di luar kedirian tokoh. 8) Teknik pelukisan fisik 3. Metode kontekstual Penyajian watak tokoh dengan cara gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang. Dari situlah baru bisa terlihat gambaran penokohan yang dimaksudkan oleh si pengarang itu sendiri kepada tokoh rekaannya.
23