Bab 2
Landasan Teori
Pada bab ini, penulis akan mengemukakan teori mengenai penerjemahan, teori kalimat, dan teori paragraf. Teori penerjemahan yang akan dikemukakan pada bab ini meliputi teori terjemahan secara umum, teori pergeseran penerjemahan, teori Needs Analysis, dan teori Relativitas dalam penerjemahan.
2.1 Teori Penerjemahan
Penulis akan menganalisis mengenai pergeseran penerjemahan kalimat dalam bahasa Jepang menjadi paragraf dalam bahasa Indonesia yang terdapat pada novel 14 Ren-ai Hakusho Haru Monogatari ( 2000 ) dan terjemahannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul A Secret ( 2002 ). Karena itu, penulis akan mencantumkan teori penerjemahan itu sendiri.
Penerjemahan merupakan penghubung antar negara-negara di dunia yang berbeda bahasa dan adat istiadatnya. Di sini Werner dalam Soesilo ( 1990 : 180 ) mengatakan bahwa, 8
Terjemahan dapat membuka pintu informasi yang semula tertutup rapat-rapat. Bahkan terjemahan telah membantu meniadakan dinding pemisah antar bangsa, dan merupakan sarana kerja sama, pengertian, serta perdamaian dunia ( Soesilo,1990 : 180 ). Ada banyak definisi tentang penerjemahan yang diberikan oleh para ahli. Menurut Miyagawa dan Takaoka ( 1991 : 115 ) yang dimaksud dengan penerjemahan adalah sebagai berikut, 翻訳というのは、原文を解析し、その意味を自然な表現に盛る 作業なのです。 Terjemahannya yaitu, Penerjemahan adalah suatu kegiatan menganalisis teks sumber, kemudian arti dari teks sumber tersebut disajikan dengan sewajar mungkin ke dalam teks sasaran. Kemudian, pengertian penerjemahan menurut Simatupang ( 2000 : 2 ), adalah sebagai berikut, Menerjemahkan adalah mengalihkan makna yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dan mewujudkan kembali di dalam bahasa sasaran dengan bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa sasaran. Selain itu, bahasa yang satu berbeda dari bahasa yang lain karena adanya perbedaan aturan gramatikal bahasa-bahasa yang bersangkutan. Akan tetapi, pada tataran struktur dalam (atau semantik), bahasa-bahasa yang berbeda memperlihatkan lebih banyak persamaan, dan itulah sebabnya menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dapat dilakukan ( Simatupang, 2000 : 2 ).
Sehingga dari ketiga teori tersebut, dapat disimpulkan, penerjemahan adalah memahami dengan cara menganalisis sebuah teks dalam bahasa sumber,
9
kemudian arti dari teks sumber tersebut diungkapkan kembali secara wajar ke dalam bahasa sasaran. 2.1.1 Pergeseran Penerjemahan Dalam sub bab ini, penulis akan mencantumkan beberapa teori pergeseran penerjemahan. Pergeseran penerjemahan dalam setiap penerjemahan sangat mungkin terjadi, seperti yang diungkapkan oleh Simatupang ( 2000 : 74 ), Setiap bahasa mempunyai aturan-aturan sendiri. Aturan-aturan yang berlaku pada suatu bahasa belum tentu berlaku pada bahasa lain. Dengan adanya perbedaan aturan dan bentuk untuk mengungkapkan makna di antara berbagai bahasa, maka terlihat adanya pergeseran yang terjadi dalam terjemahan ( Simatupang, 2000 : 74 ). Selain itu, seorang penerjemah juga berperan dalam terjadinya pergeseran penerjemahan, seperti yang diungkapkan Blum-Kulka dalam Venuti ( 2006 : 292 ) berikut ini, “The process of interpretation performed by the translator on the source text might lead to a TL text which is more redundant than the SL text.” Terjemahannya yaitu, karena adanya proses penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah, dapat menyebabkan isi pada teks sasaran menjadi berlebihan dibandingkan dengan teks sumber ( Blum-Kulka dalam Venuti, 2006 : 292 ).
10
Pergeseran penerjemahan dapat terjadi pada bermacam-macam jenis. Berikut ini adalah klasifikasi pergeseran penerjemahan yang diungkapkan oleh Simatupang
( 2000 : 74-82 ):
1) Pergeseran pada tataran morfem. 2) Pergeseran pada tataran sintaksis. Pergeseran pada tataran ini dapat dibagi lagi menjadi: a) Pergeseran dari kata ke frasa b) Pergeseran dari frasa ke klausa c) Pergeseran dari frasa ke kalimat d) Pergeseran dari kalimat ke wacana 3) Pergeseran kategori kata. 4) Pergeseran pada tataran semantik. 5) Pergeseran makna karena perbedaan sudut pandang budaya.
Selain yang diungkapkan oleh Simatupang, Hatim dan Munday ( 2004 : 89 ) juga mengungkapkan jenis pergeseran penerjemahan berikut ini, “Rhetorical Purposes of this kind impose their own constraint on how a sequence of sentences becomes a ‘text’.” Terjemahannya yaitu, Rhetorical Purpose inilah yang menyebabkan beberapa kalimat diterjemahkan menjadi sebuah teks ( Hatim dan Munday, 2004 : 89 ).
11
Untuk membahas maksud dari Rhetorical Purpose di atas, penulis mengutip dari beberapa teori pendukung. France ( 2005 : 258 ) mengungkapkan bahwa yang dimaksud Rhetorical Purpose adalah suatu cara dalam penerjemahan, dimana penerjemah menerjemahkan dengan melebih-lebihkan suatu fakta yang terdapat dalam teks sumber.
Kemudian, ditambahkan oleh Hatim dan Munday ( 2004 : 75 ) berikut ini, “Finally, Rhetorical Purpose is important not only in defining norms but also in spotting deviations which must be heeded and preserved in translation.” Terjemahannya yaitu, Rhetorical Purpose menjadi penting bukan hanya untuk memberi definisi kepada norma, akan tetapi juga untuk mendeteksi pergeseran yang terjadi yang harus diperhatikan di dalam penerjemahan ( Hatim dan Munday, 2004 : 75 ).
Kemudian, maksud dari istilah teks pada kutipan Hatim dan Munday di atas, dijelaskan oleh Kridalaksana ( 1993 : 212 ) berikut ini: Teks adalah: (1) Satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak. Bd.wacana; (2) Deretan kalimat, kata, dsb. yang membentuk ujaran. (3) Bentuk bahasa tertulis; naskah.
12
2.1.2 Needs Analysis dalam penerjemahan Setiap terjemahan harus dibuat berdasarkan kebutuhan pembacanya, seperti yang diungkapkan oleh Soesilo ( 1990 : 186 ) berikut ini, Ketepatan terjemahan harus ditentukan oleh pengertian pembacanya, yaitu seberapa jauh penerimanya menangkap makna yang sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam naskah aslinya. Apabila dampak terjemahan dalam bahasa sasaran pada pembacanya sepadan dengan dampak naskah aslinya pada pembaca bahasa sumber, itulah terjemahan yang tepat ( Soesilo, 1990 : 186 ). Kemudian, Hoed ( 2006 : 35-36 ) mengungkapkan bahwa, Penerjemah berpengalaman biasanya melakukan “Audience Design”, yakni mempelajari siapa pengguna terjemahan kita. Lebih dari itu, penerjemah biasanya harus mengetahui untuk tujuan (purpose) atau keperluan (need) apa terjemahan itu dibuat. Jadi, Audience Design biasanya disertai Needs Analysis. Dengan demikian, pelaksanaan penerjemahan harus berorientasi kepada klien (client oriented) ( Hoed, 2006 : 35-36 ). Sehingga, Needs Analysis dapat didefinisikan oleh Hoed ( 2006 : 36 ) sebagai berikut, Pengertian Needs Analysis di sini dapat diartikan dengan upaya untuk mengetahui “untuk kebutuhan apa penerjemahan dilakukan” atau “tujuan” penerjemahan berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh yang menyuruh menerjemahkan. Ini bisa dilakukan dengan cara sederhana, misalnya dengan menanyakan untuk keperluan apa terjemahan itu harus dibuat ( Hoed, 2006 : 36 ).
13
2.1.3 Relativitas dalam penerjemahan
Selain, teori mengenai Needs Analysis dalam penerjemahan, penulis juga akan mencantumkan beberapa teori mengenai Relativitas dalam penerjemahan, karena teori mengenai Needs Analysis juga berhubungan dekat dengan teori Relativitas dalam penerjemahan.
Berikut ini adalah pengertian mengenai Relativitas dalam penerjemahan Menurut Nida dan Taber dalam Hoed ( 2007 : 26 ), “Correctness must be determind by the extent to which the average reader for which a translation is intended will likely to understand it correctly.”
Terjemahannya yaitu, betul
atau salahnya suatu terjemahan ditentukan oleh seberapa jauh kemampuan pembaca memahami teks terjemahan tersebut ( Nida dan Taber dalam Hoed, 2007 : 26 ).
Kemudian, dipertegas oleh Hoed ( 2007 : 26 ) berikut ini, Menurut saya, disamping konsep “betul-salah”, dalam penerjemahan juga ada konsep “baik-buruk” (good vs. bad translation). Konsep “betul-salah” terutama menyangkut hal yang bersifat kebahasaan, sedangkan konsep “baik-buruk” menyangkut estetika dan selera pribadi. Sebenarnya, baik atau buruknya sebuah terjemahan menjadi relatif, tidak hanya memang hakikat bahasa itu Sui Generis, tetapi karena penerjemah (dan penerbit) mempunyai peran penting dalam menentukan bagaimana nanti bentuk terjemahannya ( Hoed, 2007 : 26 ). 14
Untuk membahas maksud dari Sui Generis di atas, penulis mengutip dari teori pendukung. Sutrisno ( 2005 : 116 ) mengungkapkan bahwa, bahasa merupakan fenomena yang Sui Generis. Artinya, bahasa itu otonom sebab makna diproduksi dalam sistem linguistik melalui sebuah sistem pembedaan.
Sehingga relativitas itu sendiri dapat disimpulkan oleh Hoed ( 2003 ) berikut ini, Oleh karenanya, konsep benar-salah (correctness) dalam penerjemahan didasari oleh “untuk siapa” penerjemahan itu dibuat. Dengan demikian, tidak ada terjemahan yang benar atau salah secara mutlak. Bahkan saya dapat menambahkan bahwa benar-salah dalam penerjemahan juga tergantung pada “untuk tujuan apa” penerjemahan itu dilakukan ( Hoed, 2003 ).
2.2
Teori Kalimat
Pada sub bab teori kalimat ini, penulis akan menjabarkannya menjadi dua sub lagi, yaitu teori kalimat dalam bahasa Jepang, dan teori kalimat dalam bahasa Indonesia.
2.2.1 Teori Kalimat dalam Bahasa Jepang
Berikut ini adalah penjelasan kalimat menurut Iwabuchi di dalam Sudjianto, 15
Pada umumnya yang dimaksud kalimat adalah bagian yang memiliki serangkaian makna yang ada di dalam suatu wacana yang dibatasi dengan tanda titik. Di dalam ragam lisan sebuah kalimat ditandai dengan penghentian pengucapan pada bagian akhir kalimat tersebut ( Iwabuchi di dalam Sudjianto, 2004 : 140 ).
Di sini, Iwabuchi di dalam Sudjianto juga menambahkan seperti berikut ini, Bentuk kalimat juga sangat bervariasi dan tidak ada aturan-aturannya yang khusus. Memang subjek dan predikat menjadi bagian yang sangat penting dalam sebuah kalimat, tetapi hal itu pun tidak menjadi syarat mutlak. Sebab ungkapan-ungkapan seperti ‘Anata ga?’ yang tidak memiliki predikat, ‘Watashi desu’ yang tidak memiliki subjek, atau ‘Ame’ yang tidak jelas hubungan subjek-predikatnya pun semua termasuk kalimat ( Iwabuchi di dalam Sudjianto, 2004 : 140 ).
2.2.2 Teori Kalimat dalam Bahasa Indonesia
Menurut Kridalaksana ( 1993 : 92 ), kalimat dapat didefinisikan menjadi sebagai berikut: 1) Satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa. 2) Klausa bebas yang menjadi bagian kognitif percakapan ; satuan proposisi yang merupakan gabungan klausa atau merupakan satu klausa yang 16
membentuk satuan yang bebas; jawaban minimal, seruan, salam, dan sebagainya. 3) Konstruksi gramatikal yang terdiri atas satu atau lebih klausa yang didata menurut pola tertentu, dan dapat berdiri sendiri sebagai satu satuan. Kemudian, Wahyudin ( 2003 ), mendefinisikan kalimat menjadi sebagai berikut, Kalimat dalam ragam tulis baku harus memiliki minimal subjek dan predikat. Sebagai satuan bahasa yang relatif dapat berdiri sendiri, kalimat ditandai oleh huruf kapital pada bagian awal dan tanda titik, tanda seru, serta tanda tanya pada bagian akhir. Selain itu, di dalam kalimat yang unsur-unsurnya berupa kata, terdapat tanda-tanda baca dan spasi ( Wahyudin, 2003 ).
2.3
Teori Paragraf
Pada sub bab teori paragraf ini, penulis akan menjabarkannya menjadi dua sub lagi, yaitu teori paragraf dalam bahasa Jepang, dan teori paragraf dalam bahasa Indonesia.
2.3.1 Teori Paragraf dalam Bahasa Jepang
Berikut ini adalah penjelasan paragraf menurut Hiramoto ( 2001 : 20 ), 一つの内容がまとまっているのが段落です。一つの段落の中に は、いくつかの文があります。その段落で言いたいことをいち ばんよく示している分を中心文と言います。その他の文は支持 文で、具体的な例や、説明、理由などを示します。段落の構成 はだいたい次の3タイプになります 。 17
中心文
支持文
支持文
B 支持文
支持文
中心文
C 支持文
中心文
支持文
A
( Hiramoto, 2001 : 20 ). Terjemahannya yaitu, Paragraf adalah satu kumpulan yang berada dalam isi tertentu. Dalam satu paragraf, terdapat beberapa kalimat. Dalam sebuah paragraf, kalimat yang paling ingin ditekankan, disebut kalimat inti. Kalimat pendukung lainnya yang terdapat di dalam paragraf, bisa berupa contoh-contoh, penjelasan, atau penjabaran dari suatu alasan. Struktur paragraf dibagi menjadi 3 tipe:
A Kalimat Inti B
Kalimat Pendukung
C
Kalimat Pendukung
Kalimat Pendukung Kalimat Pendukung Kalimat Inti
Kalimat Pendukung Kalimat Inti Kalimat Pendukung
2.3.2 Teori Paragraf dalam Bahasa Indonesia
Berikut ini adalah pengertian dan ciri-ciri paragraf menurut Widjono ( 2007 : 173 ): 1) Paragraf adalah karangan mini. Artinya, semua unsur karangan yang panjang ada di dalam paragraf. 2) Paragraf adalah satuan bahasa tulis yang terdiri dari beberapa kalimat yang tersusun secara runut, logis, dalam satu kesatuan ide yang tersusun secara lengkap, utuh, dan padu. 3) Paragraf adalah bagian dari suatu karangan yang terdiri dari sejumlah kalimat yang mengungkapkan satuan informasi dengan 18
pikiran utama sebagai pengendalinya dan pikiran penjelas sebagai pendukungnya. 4) Paragraf yang terdiri atas satu kalimat berarti tidak menunjukkan ketuntasan atau kesempurnaan. Ciri-ciri paragraf: 1) Kalimat pertama biasanya bertakuk ke dalam lima ketukan spasi untuk jenis karangan biasa, misalnya surat, dan delapan ketukan untuk jenis karangan ilmiah formal, misalnya: makalah, skripsi, thesis, dan disertasi. Karangan berbentuk lurus yang tidak bertakuk (Block Style) ditandai dengan jarak spasi merenggang, satu spasi lebih banyak daripada jarak antarbaris lainnya. 2) Paragraf menggunakan pikiran utama (gagasan utama) yang dinyatakan dalam kalimat topik. 3) Setiap paragraf menggunakan sebuah kalimat topik dan selebihnya merupakan kalimat pengembang yang berfungsi menjelaskan, menguraikan, atau menerangkan pikiran utama yang ada dalam kalimat topik. 4) Paragraf menggunakan pikiran penjelas (gagasan penjelas) yang dinyatakan dalam kalimat penjelas. Kalimat ini berisi detail-detail kalimat topik. Paragraf bukan kumpulan kalimat-kalimat topik. Paragraf hanya berisi satu kalimat topik dan beberapa kalimat penjelas. Setiap kalimat penjelas berisi detail yang sangat spesifik, dan tidak mengulang pikiran penjelas lainnya.
19