Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Agama Dalam Masyarakat Jepang Pengertian agama bagi orang Jepang berbeda dengan orang Indonesia. Pengertian agama menurut orang Indonesia lebih mengarah kepada agama Samawi, agama yang mempunyai Nabi dan kitab suci (Rosidi, 1981:80). Kebanyakan orang Jepang memeluk agama Buddha dan Shintō. Agama Buddha dan Shintō telah banyak berperan penting dalam kehidupan spiritual orang Jepang selama berabad-abad. Prinsip agama Buddha mengenai pemujaan leluhur membuat agama Buddha mudah diterima oleh orang Jepang dan berfusi dengan Shintō. Meskipun demikian, agama bagi orang Jepang lebih seperti suatu kebiasaan daripada kepercayaan (Takei, 2001: 36-37). Ross (1983: 3) mengemukakan agama bagi orang Jepang adalah sebuah cara untuk menjalani hidup, bukan sebuah kepercayaan atau teori seperti yang terdapat pada agama-agama lain yang ada di dunia. Rosidi (1981) juga mengungkapkan bahwa agama Buddha dan Shintō sama-sama tidak mempunyai konsep Ketuhanan. Oleh karena itu agama Buddha dan Shintō dapat berfusi dengan baik, peleburan agama Buddha dan Shintō akhirnya dapat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari orang Jepang. Bila ada kelahiran, maka orang Jepang akan pergi ke kuil Shintō, tetapi bila ada yang meninggal maka orang Jepang akan pergi ke kuil Buddha. Menurut Robinson (2002), masyarakat Jepang kebanyakan menganut dua kepercayaan yaitu Shintō dan Buddha. Agama Buddha pertama kali diperkenalkan di 13
Jepang oleh orang Korea dan Cina sekitar abad ke-7 masehi. Kedua kepercayaan tersebut mempunyai dasar kepercayaan yang sama tentang makhluk hidup dan dunia. Shintō mempunyai Tuhan yang berbeda dengan agama Buddha. Dalam Shintō, Tuhan disebut dengan kami. Sedangkan keberadaan agama Buddha di Jepang itu sendiri selalu memiliki anggapan bahwa agama Buddha selalu dimanifestasikan oleh bermacammacam dewa Shintō dan Boddhisatva. Agama merupakan salah satu folkor penting di dalam kehidupan manusia. Setiap negara mengakui eksistensi agama, bahkan ada yang menjadikannya sebagai dasar negara. Orang Jepang biasanya melakukan upacara perkawinan dengan cara Shintō atau Kristen, dan hidup dengan cara Konfusianisme, dimana mereka memegang beberapa kepercayaan Taoisme mengenai ”beruntung” dan ”tidak beruntung” dan biasanya orang Jepang melaksanakan upacara kematian dengan cara Buddha. にほん
しゅうきょうしん
せかい
しゅうきょう
なか
もっとも ふくざつ
日本の 宗 教 心 は, 世界 の 宗 教 の中 でも最も複雑なものの1つである ま ち が い な い
い
わ
れ
る
しょうがつ
じんじゃ
はつもうで
い
き
ことは間違いない。よく言われるのが、 正 月 には神社 に初詣でに行き 、 しゅんじゅう
ひがん ぼさん
く
り
す
ま
す
かちゅう
け
っ
き
た
べ
こ とも
春 秋 の 彼岸 墓参 、 クリスマス に は 家中 で ケッキ を 食べ 、 子 供 に
ぷ
れ
せ
ん
と
ねんじゅう ぎょうじ
しちごさん
じんじゃ
いときち こんしき
きょうかい
こぶし
プレセント する 年 中 行事 や、七五三 で神社 に、糸吉 婚式 は 教 会 で 拳 そうしき
つ う か れい
むねたかおく
たようせい
げ、葬式は通過礼における宗孝夂の多様性である。(Gakken,1990). Artinya: Kepercayaan orang Jepang merupakan yang paling kompleks di dunia karena keterbukaannya pada semua agama, seperti yang terlihat pada kunjungan ke kuil Shintō pada tahun baru, pergi ke kuil Buddha pada saat musim semi dan musim gugur untuk mengunjungi kuburan keluarga, dan kebiasaan membuat kue dan hadiah pada saat natal. Pada perayaan shi-chi-go-san masyarakat Jepang pergi ke kuil Shintō setempat, pada upacara pernikahan biasa dilaksanakan di gereja Kristen, dan pada upacara pemakaman kebanyakan dilakukan dalam upacara agama Buddha. Walaupun setiap tahun pada perayaan-perayaan tertentu mereka pergi ke kuil untuk berdoa, memasang kamidana (altar Shintō) dan butsudan (altar Buddha) untuk
14
mendoakan leluhur dan sepanjang hidupnya dipenuhi dengan ritual
keagamaan, tetapi
praktek-praktek ini dianggap sebagai adat, bukan agama. Ada dua karakteristik agama di Jepang yang tampak bertolak belakang namun keduanya benar. Di satu sisi, orang Jepang sama setianya terhadap ritual tradisi agamanya seperti orang lain di dunia. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat tidak pernah mengganggap bahwa jika tidak mengunjungi kuil pada saat tahun baru, atau melanggar apa yang diperintahkan oleh agamanya, mereka akan dianggap sebagai mushinsha (kafir) (Sakaiya:1993). Dalam Jepang Dewasa Ini (1989), terdapat penjelasan bahwa agama di Jepang dipandang sebagai hal yang terpisah dengan negara, hal ini terdapat dalam UUD Jepang pasal 20 yang menyatakan bahwa ”tidak ada satupun organisasi agama dapat menerima hak istimewa dari negara, dan tidak satupun dapat mempunyai wewenang politik apapun”. Tidak seorangpun dapat dipaksa mengambil bagian dalam keagamaan, perayaan, upacara atau praktek agama. Negara dan instansinya harus membatasi diri tidak melakukan pendidikan agama atau kegiatan agama apapun. Pendapat yang dikemukakan oleh Kobayashi tentang agama Shintō sebagai berikut: The state made Shintō both religious and secular phenomenon. In many was, however, the state treated Shintō as a ”non-religion”. For example, while all nonShintō religions were under the juridiction of the Education Ministry, Shintō was under the jurisdiction of the interior ministry (Kobayashi, 2005). Artinya: Negara menjadikan Shintō sebagai agama dan bukan agama, tetapi banyak contoh yang menunjukkan, negara memperlakukan Shintō sebagai ”Bukan Agama”. Contohnya, semua agama lain selain Shintō berada dalam naungan Departemen pendidikan, sedangkan Shintō berada dalam naungan Departemen Dalam Negeri.
15
2.2 Konsep Budaya Dalam Masyarakat Jepang Jepang seperti kita ketahui adalah negara yang maju. Tetapi dibalik semua itu Jepang juga memiliki kebudayaan dan tradisi yang kuat. Kebudayaan dan tradisi tersebut sebagian besar berasal dari kepercayaan mereka. Kebudayaan Jepang yang ada saat ini merupakan suatu akumulasi yang prosesnya telah berjalan sejak sebelum zaman Masehi. Keahlian orang Jepang yaitu mengimport kebudayaan dan teknologi dari luar dan dikembangkan sesuai dengan lingkungan dan kebudayaan mereka, lalu menjadikannya suatu kebudayaan yang baru dan unik, sehingga dapat membuat para ahli peneliti ingin mengetahui bagaimana sebenarnya kebudayaan Jepang tersebut (Badib:1957). Jepang dalam berbagai hal tidak berkembang sekejap mata, tetapi melalui proses yang mendasar dan lama serta menyatu dengan kehidupan religi mereka. Perpaduan antara kepercayaan, ilmu administrasi, dan perang diimpor dan disesuaikan dengan lokal. Itulah yang menjiwai bangsa Jepang. Gakken mengungkapkan tentang kebudayaan Jepang sebagai berikut: にほん
ぶんがく
ちいき
しゅうきょう
ひと
い
日本の文学は地域によって, 宗 教 によって,あるいは人によって異すると たもつ
きんしつ
い
う
きり
いうことはなく、ほぽ 均 -、均質であると言うことができる。どこを切 お な じ だんめん
あ ら わ れ る き ん た ろ う あめ
おなじ
つても同じ断面が現れる金太郎飴と同じである.(Gakken:1990). Artinya: Kebudayaan Jepang, dengan berbagai macam daerah, agama, atau orang, budaya Jepang pada dasarnya seragam di seluruh negeri-seperti Kintarou-ame (permen), yang menunjukkan kesamaan bentuk dimanapun dipotongnya. Tentang kebudayaan Jepang Lebra mengatakan bahwa: The Japenese are known for their eagerness to borrow indiscriminately. Despite the fact that such borrowing is likely to obliterate cultural differences. It is also known that the Japanese have maintained their identity (Lebra, 1993).
16
Artinya: Orang Jepang dikenal dengan keinginan mereka untuk menyamakan kedudukan (tidak perduli siapapun mereka). Meskipun pada kenyataannya hal itu seperti untuk menghapuskan perbedaan budaya. Orang Jepang juga dikenal selalu mempertahankan identitas mereka. Secara singkat kebudayaan Jepang yang menonjol dapat dibagi menjadi tiga, yaitu solidaritas, kebersamaan, dan kerjasama. Yang harus didahulukan di Jepang adalah kepentingan kelompok, bukan individu. Seperti menurut Takeo Doi (1973) bahwa hal yang paling tidak dibenarkan di Jepang adalah apabila seseorang menghianati kepercayaan anggota di dalam kelompoknya. Jepang dikenal sebagai bangsa yang homogen. Bukan hanya karena populasi yang besar dengan daerah yang terbatas, tapi masyarakatnya telah hidup berabad-abad di bawah pemerintahan sentral yang mengatur kehidupan masyarakatnya sampai hal yang terkecil.
2.3 Konsep Shintō 2.3.1 Pengertian Shintō Dalam Tanaka (1990:294-295) terdapat pengertian Shintō seperti berikut ini: ぱん
しんとう
い
ばあい
に ほ ん みんぞく
かみ
しんれい
もと
般 に「神 道 」と言った場合、日本 民 族 などのこゆうの神 、神 霊 に基 しんねん
でんてき
さい
としばかり
ひろ
せいかつしゅうぞく
でんしょう
つ“いての信 念 や伝 的 な祭 。祀場仮でなく,広 く生 活 習 俗 や 伝 承 かんがえがた
なか
ふくまれる
されている考 え 方 などもその中 に含まれる。 Secara umum Shintō adalah sebuah kata yang dipakai untuk mewakili kepercayaan tradisional orang Jepang yang berbasis kepercayaan terhadap dewa dan roh.Dan bukan hanya itu saja, secara luas ajaran Shintō juga menjadi pedoman bagi orang Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
17
Dalam buku yang berjudul ”Agama dan Adat”, pengertian Shintō dinyatakan seperti berikut: Shintō adalah agama asli Jepang, yang berakar pada kepercayaan animis orang Jepang kuno. Shintō berkembang menjadi agama masyarakat dengan pelindung setempat. Pahlawan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang terkemuka didewakan dari generasi ke generasi, dan arwah nenek moyang keluarga juga disembah. ( Jepang Dewasa ini, 1989:113-114 ). Sebagai agama asli Jepang, agama Shintō tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaranajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat rumit. Banyak istilah-istilah dalam agama Shintō yang sukar dialih-bahasakan dengan tepat kedalam bahasa lainnya (Djam’annuri, 1981:15). Kata-kata Shintō sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Cina yang berarti ”Jalan Para Dewa”, ”Pemujaan Para Dewa”, ”Pengajaran Para Dewa” atau ”Agama Para Dewa”. Agama Shintō baru dipergunakan pertama kalinya untuk menyebut agama asli Jepang itu ketika agama Buddha dan agama Konfusius sudah memasuki Jepang pada abad ke-6 masehi. Tsuda menjelaskan pengertian Shintō adalah kepercayaan religius yang ditemukan dalam adat masyarakat di Jepang dan diwariskan secara turun-temurun di Jepang,
termasuk
juga
kepercayaan
terhadap
hal-hal
yang
bersifat
gaib
(Kuroda,1976:10). Pengertian Shintō (神道) menurut Kodansha Ensiklopedia of Japan (1983:125) seperti dijelaskan dalam kutipan berikut ini: ” Shintō is rich and complex system of religious practises, ideas, and intitutions with slowly emerged religious system during the Nara (710-794) and Heian (794-1185) periods and subsequently was in constant and dynamic interaction
18
with other religious and phylosophical system of Asia : Buddhism, Taoism and Confusianism”. Artinya: ” Shintō adalah suatu sistem yang kompleks dan kaya dari praktek-praktek keagamaaan, pemikiran-pemikiran dan lembaga yang perlahan-lahan muncul pada awal sejarah Jepang, mengkristal sebagai sistem keagamaan selama periode Nara (710-794) dan Heian (794-1185) yang selanjutnya berinteraksi dengan stabil dan dinamis dengan agama-agama lain dan sistem filosofi Asia : Buddhisme, Taoisme, dan Confusienisme”. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Shintō lebih dari sekedar sebuah kepercayaan melainkan sebagai dasar bagi pola pikir dan tingkah laku dalam kehidupan masyarakat Jepang yang terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan pada umunya adat dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat Jepang biasanya didasari oleh kepercayaan Shintō seperti halnya kegiatan-kegiatan matsuri, kelahiran, pernikahan, dan lain-lain. Kuroda ( 1976:7 ), mengemukakan bahwa Shintō memiliki karakteristik yang paling benar dari kepercayaan kuno, termasuk menyembah alam dan tabu terhadap kegare atau ketidaksucian. Shintō tidak memiliki sistem pengajaran atau doktrin. Shintō muncul dari kepercayaan rakyat dalam bentuk yang bermacam-macam yang dianggap sebagai kepercayaan asli Jepang yang merupakan kelanjutan dari garis yang tidak terputus dari zaman pra sejarah sampai saat ini. Pandangan mengenai Shintō yang dikemukakan oleh Danandjaja: Walaupun mempunyai satu nama, agama Shintō merupakan gabungan kepercayaan primitif yang sukar untuk digolongkan sebagai suatu agama, namun bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan. Kepercayaan Shintō adalah berupa pemujaan terhadap leluhur, alam. Tuhan yang dipuja dalam kepercayaan Shintō disebut sebagai kami (dewa). Menurut kepercayaan mereka, dewa dapat ditemukan dimana saja, seperti dipohon tua, air terjun dan lain sebagainya (Danandjaja 1997:164).
19
Yamakage (1978) memberikan pengertian Shintō sebagai berikut: しんとう
むきょうぎ
むかいりつ
むぐうぞう
たてまえ
かぐのごとく、神道 は(無教義 ,無戒律 、無偶像 )が立前 である.では、 しんせいぶつ
しんとう
むかし
しんとう
いかなる神聖物が神道にあるのかということになるが、その 昔 、 神道 せいいき
な
か
っ
た
こだい
しんとう
かがみ
な
く
せいげんかざりぶつ
の聖域には無かった .もちろん古代 の神道には{ 鏡 }も無く,性 厳 飾 物 な
か
っ
た
いわ
じゅもく
も無かったのである。だた,{岩と樹木}があっただけである(Yamakage, 1978:13)。 Shintō adalah suatu prinsip hidup yang bukan merupakan suatu agama, bukan juga firman Tuhan, dan bukan pula penyembahan berhala. Lalu mengapa sebuah bangunan menjadi hal penting dalam Shintō, padahal pada zaman dahulu tidak terdapat tempat suci kepercayaan Shintō. Shintō zaman dahulu tidak memakai cermin dan hiasan megah/agung untuk tempat pemujaannya. Mereka hanya menggunakan batu dan pohon. Tsuda dalam Kuroda (1993:10) membagi kata Shintō menjadi enam bagian: 1. Kepercayaan yang terbentuk dari adat istiadat orang Jepang, termasuk juga di dalamnya kepercayaan terhadap takhayul. 2. Wewenang, kekuatan, kegiatan atau perbuatan dewa, status dewa, menjadi dewa atau dewi itu sendiri. 3. Konsep dan ajaran mengenai dewa. 4. Ajaran yang disebarkan oleh kuil-kuil tertentu. 5. ”Jalan Dewa” sebagai norma politik dan moral. 6. Sekte Shintō seperti yang ditemukan pada agama baru. Shintō telah lama menjadi elemen penting di dalam kepercayaan masyarakat Jepang. Shintō juga merupakan kepercayaan primitif yang mengajarkan tentang pemujaan terhadap alam dan pantangan terhadap kegare (kekotoran). Tetapi Shintō tidak memiliki sistem doktrin, Shintō hanya terbentuk dari bermacam-macam kepercayaan rakyat. Tetapi pada saat bersamaan, Shintō juga memiliki unsur keagamaan seperti, ritual keagamaan dan kuil. Bahkan Shintō juga berperan penting di dalam mitologi kuno
20
Jepang dan telah memberikan pedoman dasar bagi orang Jepang untuk memuja leluhur dan kaisar (Kuroda, 1993:7).
2.3.2 Unsur-unsur Shintō Konsep dasar Shintō adalah kepercayaan terhadap kedewaan, maka di dalam Shintō juga terdapat dunia para dewa. Dewa-dewa yang berada di dunia dewa tersebut adalah dewa-dewa yang dipuja oleh para pengikut Shintō. Kepercayaan Shintō mengenal beberapa tempat yang diakui sebagai tempat yang suci atau keramat. Yaitu gunung, sumber mata air, dan kuil. Para penganut Shintō biasanya pergi ke kuil untuk bersembahyang memohon kepada dewa agar melimpahkan rahmat. Segala bentuk upacara yang dilakukan di kuil termasuk penyucian, persembahan, doa-doa dan tarian-tarian yang dipersembahkan untuk kami atau dewa. Dalam melaksanakan upacara Shintō tersebut banyak melibatkan perilaku religius (Robinson,2001). Kepercayaan Shintō menekankan pada hak, sensibilitas dan sikap. Dimana terdapat empat penegasan atau penguatan (Greider,2001), yaitu: 1.
Tradisi dan keluarga
: berhubungan dengan kelahiran dan pernikahan.
2.
Kecintaan akan alam
: alam adalah suci, berhubungan dengan alam berarti berhubungan dekat dengan Tuhan.
3.
Kebersihan fisik
: mandi, cuci tangan dan membersihkan mulut.
4.
Matsuri
: untuk pemujaan kepada para dewa dan leluhur.
Dalam Shintō terdapat dewa yang dinamakan kami, dewa tersebut merupakan roh suci yang mengambil bentuk sebagai benda atau konsep penting untuk kehidupan, seperti angin, hujan, gunung, sungai dan kesuburan. Bangsa Jepang purba 21
mempergunakan istilah kami terhadap kekuatan-kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan tertentu yang terdapat dalam berbagai hal atau benda, tanpa membeda-bedakan apakah objek kepercayaan itu merupakan benda hidup atau mati. Semua yang memiliki sifatsifat misterius dan menakutkan dapat dianggap sebagai kami. Penganut Shintō juga menghormati binatang sebagai pembawa pesan dari kami sehingga sepasang patung dengan wajah anjing penjaga atau yang disebut ”Koma-inu” diletakkan di dalam kuil (Robinson,2001). Norinaga memberikan penjelasan mengenai maksud istilah kami tersebut sebagai berikut: ”istilah kami pada mulanya diterapkan terhadap berbagai macam dewa Langit dan Bumi yang disebutkan dalam catatan-catatan kuno, dan juga terhadap spiritspirit Mereka (mi-tama) yang berdiam ditempat-tempat suci dimana mereka dipuja. Bukan hanya manusia, tetapi burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan gunung-gunung, dan semua benda yang lain apapun bentuknya yang patut ditakuti dan dipuja sebab kekuasaan yang luar biasa dan tinggi yang mereka miliki, semua kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan yang luar biasa. Wujud-wujud yang jahat dan mengerikan disebut kami, apabila mereka itu merupakan objek-objek yang pada umumnya ditakuti. Di antara kami yang berujud manusia perlu sebutkan Mikados….Diantara lain-lainnya adalah guntur (dalam bahasa Jepang kami Naru atau Dewa Suara); naga, gema (di Jepang disebut Kodama, atau spirit Pohon), dan rubah, yang dianggap kami karena sifatnya yang mengerikan dan menakutkan. Istilah kami dipergunakan dalam kitab Nihongi dan Manyoshu, sebuah kumpulan puisi kuno, terhadap harimau dan serigala. Dalam berbagai kejadian, laut dan gunung-gunung disebut kami. Ini bukan dimaksudkan spirit-spirit mereka. Dunia yang dihadapi langsung dalam wujud laut dan gunung-gunung itu sendiri, merupakan wujud-wujud yang menakutkan” (Norinaga, 1779:33). Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya tiga hal, yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shintō menurut Djam’annuri (1981:58) yaitu: 1.
Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat, dan sebagainya sehingga harus dipuja langsung.
22
2.
Dewa-dewa tersebut dapat terjadi pula dari manusia, dan
3.
Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang berdiam ditempattempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud dengan kami menurut Ono adalah: Kami are the object of worship in Shintō. What is meant by ”kami”? Fundamentally, the term is an honoric for noble, sacret spirits, which implies a sense of adoration for their virtues and authority (Ono, 1992:6). Kami merupakan objek penyembahan dalam kepercayaan Shintō. Apakah yang disebut dengan kami? Pada dasarnya, istilah kami adalah sebuah sebutan kehormatan bagi kaum bangasawan, sebuah semangat suci yang menyatakan rasa penyembahan untuk kebaikan dan kekuasaan kami. Sebagai contoh seorang manusia akan menjadi dewa setelah mereka meninggal
dan akan dihormati oleh keluarganya sebagai dewa nenek moyang atau leluhur. Dewa dari orang penting biasanya diabadikan di kuil tertentu. Salah satu dewa terpenting dalam kepercayaan Shintō adalah dewi Matahari Amaterasu. Berdasarkan kepercayaan Shintō, biasanya tidak ada dewa yang menunjukkan bentuknya atau menyatakan dirinya. Karena itulah peranan penting tersebut dimainkan oleh Go-Shintai, sebuah objek penyembahan yang dipercaya dewa tinggal didalamnya. Go-Shintai hanyalah sebuah simbol dan bukanlah diri kami yang sesungguhnya. Akan tetapi dalam festival Go-Shintai sering disajikan sebagai anggapan bahwa itu adalah diri kami yang sesunguhnya. Di kuil ise terdapat sebuah kaca suci yang dianggap sebagai diri dewi Amaterasu, namun pada dasarnya kaca itu bukanlah dewi Amaterasu yang sesungguhnya (Ross, 1965:38). Penganut Shintō secara umum merupakan bagian dari upacara dan adat yang melalui kehidupan sehari-hari setiap individual. Maka bagian utama dari bentuk kepercayaan Shintō difokuskan pada doa untuk menghindari nasib buruk yang akan
23
menimpa dan jauh dari penyakit. Doa tersebut ditujukan kepada kami agar memberikan perlindungan dalam hidup dan masa depan yang penuh dengan harapan serta kesuksesan dalam hidup. Ritual dan upacara keagamaan yang diselenggarakan di kuil ditujukan untuk menghindari kemalangan dan berhubungan dengan kami dengan harapan mendapatkan jaminan kebahagiaan dan kedamaian bagi kehidupan seseorang beserta komunitasnya. Upacara keagamaan itu diselenggarakan dengan harapan bahwa pernyataan iman itu telah dibuat, memberikan barang-barang persembahaan, tubuh dan pikiran yang telah disucikan, menghilangkan kebencian serta hal-hal yang merupakan perbuatan buruk. Cara pemeluk agama Shintō mendekati kami dapat disamakan dengan cara seseorang dalam menghormati dan menjamu tamu yang sangat dihormatinya. Mereka mencintai, bersyukur dan ingin sekali menghibur dan menyenangkannya. Syarat utama dalam memuja kami tersebut adalah kesucian, dan harus bersih dari berbagai macam kekotoran seperti penyakit, luka, menstruasi, dan sebagainya. Kekotoran-kekotoran semacam itu dianggap sebagai keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya kesengsaraan dan merusak upacara-upacara keagamaan. Kekotoran dapat dihilangkan dengan cara menjauhkan diri dari keikut-sertaan dalam persoalan-persoalan agama dan dalam kehidupan sosial untuk waktu yang tertentu, dan mengerjakan upacara-upacara penyucian diri. Upacara penyucian diri dilakukan untuk menghilangkan segala macam kekotoran, kesalahan, dan kesengsaraan dengan memanjatkan doa kepada para dewa. Upacara penyucian diri merupakan cara untuk mengembalikan seseorang kepada kondisi atau keadaan agar dia dapat mendekati para dewa dengan melakukan penyucian badan atau pikiran. Upacara penyucian senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara24
upacara dalam agama Shintō, dan menjadi salah satu diantara upacara-upacara yang dianggap penting dalam agama tersebut. Alat-alat yang dipergunakan dalam ritual penyucian diri ada tiga macam, yaitu: 1.
Harai-Gushi, yakni berupa sebuah tongkat yang terbuat dari kayu yang diberi kain atau sobekan-sobekan kertas diujungnya. Dengan mengibaskan tongkat tersebut ke kiri, kanan, dan kiri, kekotoran seseorang.
2.
O-nusa yang terbuat dari sebuah ranting pohon suci atau lainnya yang diikatkan kain atau sobekan-sobekan kertas diujungnya.
3.
Ko-nusa, berupa alat yang ukurannya kecil dan dipergunakan oleh seseorang untuk mensucikan dirinya sendiri. Doa yang ditujukan kepada dewa disebut dengan Norito yang bentuk dan
bunyinya beraneka ragam. Bangsa Jepang percaya bahwa doa yang disusun dalam kalimat yang baik akan dapat mendatangkan kebaikan, dan sebaliknya jika kalimat tersebut jelek akan menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Selain ke tiga benda tersebut, masih ada benda-benda suci lainnya, seperti: mikoshi, tali, gohei (tongkat yang digantungi kertas-kertas yang dilipat dengan bentuk zig-zag di kedua sisinya yang fungsinya menandakan sebagai kehadiran kami dalam sebuah ruangan), dan lentera digunakan untuk petunjuk jalan untuk para dewa atau roh, lentera juga dipercaya sebagai tempat tinggalnya roh (Ono, 1992:52).
25
Gambar 2.1 Gohei
sumber:http://sakura.tsugaru.com/izumo/image/ gohei-b.jpg
Gambar 2.2 Mikoshi yang sedang Diarak
sumber:http://www.photokyoto.com/kyoto/Aoimatsuri/aoim atsuri2006/2006aoimatsuri.htm
26
Mikoshi adalah kuil kecil yang dapat diangkat dengan bergotong- royong, dalam Shintō mikoshi sering digunakan dalam acara matsuri, untuk memindahkan dewa dari jinja ke tempat istirahatan sementara. Tali dalam kepercayaan Shintō dapat digunakan untuk mengusir roh jahat, sebagaimana menurut Yamada (1995). Menurut kepercayaan Shintō, seluruh aspek kehidupan selalu berhubungan dengan dewa yang mereka anggap akan selalu memberikan perlindungan kepada manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, cara mereka dalam upaya melayani serta menghormati para dewa adalah dengan dilakukannya matsuri (Ono, 1992:50). Berikut ini adalah tata cara peribadatan dalam kepercayaan Shintō : 1. Upacara penyucian (monoimi), biasanya dilakukan di sudut atau di ujung ruangan daerah tempat suci sebelum seseorang memasuki tempat suci tersebut, tetapi bisa juga dilakukan di dalam tempat suci itu sendiri sebelum dimulainya suatu upacara. 2. Pemujaan, seluruh peserta menundukkan kepala mereka ke arah altar (tempat pemujaan). 3. Pembukaan pintu masuk, menuju ruang suci bagian dalam oleh pendeta kepala. 4. Pemberian sesaji, berupa makanan nasi, sake, kue, ikan, burung, rumput laut, sayur, garam, air, dan sebagainya, dan diharuskan makanan tersebut bukanlah makanan yang mengandung nyawa, misalnya seperti daging binatang yang disembelih. Hal ini dikarenakan bahwa binatang yang disembelih biasanya pada saat disembelih binatang tersebut mengeluarkan darah. Dan merupakan larangan utama jika mengalirkan darah di dalam daerah suci. 5. Pembacaan doa (norito), dilakukan oleh pendeta kepala. 6. Musik dan tarian suci.
27
7. Sesaji
massal,
seluruh
peserta
membuat
sesaji
secara
simbolis
dengan
mempergunakan sebuah ranting pohon suci yang masih segar yang diberi kertas putih. 8. Menyingkirkan sesaji. 9. Penutupan pintu masuk menuju ruang suci. 10. Pemujaan terakhir. 11. Perayaan keagamaan (matsuri).
2.4 Konsep Matsuri Salah satu penegasan atau praktek dari Shintō adalah matsuri. Istilah Matsuri dapat dituliskan dalam karakter kanji sebagai berikut (祀り) dan (祭り, Matsuri) yang keduanya mempunyai lafal yang sama yaitu matsuri, namun bentuk dan maknanya berbeda. Matsuri dalam karakter kanji ( 祀 り ) mempunyai arti: mengabdikan, menyimpan di kuil, menyembah dan memuja. Matsuri dalam karakter kanji (祭り, Matsuri) bisa disebut juga sebagai girei (儀礼) atau gyoji (行事) yaitu ritus atau upacara dan mempunyai arti berdoa, merayakan, mendewakan, mengabadikan, penyembahan dan pemujaan. Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil. Berdasarkan ritual Shintō, festival matsuri dikenal dengan adanya unsur perayaan, upacara dan pertunjukkan (Ellis, 2003). Banyak bentuk-bentuk hiburan yang terdapat di kuil selama matsuri berlangsung. Jadi festival mengkombinasikan acara yang suci dan tenang dan juga acara yang dapat mengubah seluruh komunitas seperti layaknya sebuah karnaval. Dalam prakteknya
28
acara-acara yang suci dan tenang tidak hanya menghibur untuk umum tetapi juga digunakan dan dipakai untuk menyembah kami. Hal inilah yang menyebabkan acaraacara ini disebut kan-nigiwai atau hiburan suci (Ono,1992:71). Berbagai bentuk hiburan yang diadakan di dalam kuil antara lain tari-tarian suci (kagura), musik, nyanyian, tari-tarian klasik (bugaku), kontes memanah, memanah sambil berkuda (yabusame), pacuan kuda dan sumo (Ono 1992:71). Bentuk lain dari hiburan yang lebih meriah, dimana menurut aslinya juga merupakan penyembahan kepada kami adalah hiburan utama untuk para penyembah. Banyak kuil yang dicatat dengan hiburan-hiburan khusus yang menarik perhatian para pengunjung dari seluruh negeri. Lagu-lagu yang suci dimainkan dari drum, seruling dan lonceng, sehingga dapat meramaikan penonton. Waktu kagura dari desa dimainkan sebagai kagura yang sangat terkenal, mereka biasa dimainkan oleh para profesional atau penduduk lokal yang berbakat. Matsuri pada dasarnya merupakan festival dari Jepang yang berasal dari kepercayaan Shintō, yang berlangsung setiap tahun pada tanggal yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaannya matsuri berhubungan dengan unsur-unsur upacara atau perayaan suatu ritual keagamaan. Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan 29
tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arakarakan mikoshi, dashi (danjiri) dan yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai chigo (anak kecil dalam prosesi), miko (anak gadis pelaksana ritual), tekomai (laki-laki berpakaian wanita), hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar musiman beraneka macam makanan dan permainan (Ad Brain, 2002). Menurut The Kodansha Billingual of Japan (1998:527), matsuri adalah さい
きげん
いなさく
ち い き しゃかい
あんねい
かんけい
しゅうきょうてき
祭の起源は、稲作や地域社会の安寧に関係した 宗 教 的 なものであった。 かみがみ
い
ぶ
ししゃ
ちんこん
のうこう
せい
ぎしき
ほうさく き が ん
もくてき
神々 の 慰撫 や 死者 の 鎮魂 、 農耕 の 豊作 祈願 な ど を 目的 と し て と り お こ な わ れ た こ だ い しんとう
ゆらい
なか
執り行われた 古代 神道 の聖 なる儀式 に由来 する。その中 のいくつかは ぶっきょう
じゅきょう
ぎしき
ちゅうごく
つ た わ っ た さいじ
きゅうちゅう
ねんじゅう
仏 教 や 儒 教 の儀式 や 中 国 から伝わった 祭事 とともに 宮 中 の 年 中
ぎょうじ
と
り
い
れ
ら
れ
た
行事に取り入れられた。 Matsuri adalah festival suci yang berhubungan dengan penanaman padi dan kesejahteraan spiritual penduduk setempat. Festival ini diambil dari upacara Shintō kuno yang bertuhuan untuk mendamaikan hati para dewa dan roh orang mati, serta menjamin kesuburan pertanian mereka. Beberapa upacara dari Cina, seperti Buddha dan Konfusianisme sehingga menjadi festival resmi dalam kalender kerajaan yang harus dirayakan. Matsuri mencakup pesta rakyat yang dipraktekan dalam agama Shintō Rakyat dan agama Shintō yang sudah dilembagakan. Masih menurut The Kodansha Billingual of Japan (1998:529), arti matsuri adalah: さい
ことば
どちゃくしんとう
そ し き しんとう
りょうほう
おこなわれるぎしき
「祭 」という言葉は、土 着 神 道 と組織 神 道 の 両 方 で行われる儀式と さい
い み
さい
ほんらい
さんかしゃ
かみ
せっきょくてき
まじわり
はいる
祭 を意味する。祭 は本 来 、参加者が神 との 積 極 的 な交わりに入るた 30
しょうちょうてき
こうい
さんかしゃ
おぜん
さいしょく
み き
めの 象 徴 的 な行為であり、参加者は御膳( 斎 食 )あるいは神酒 や しんせん
しょうちょうてき
こうい
さんかしゃ
お ぜ ん さいしょく
み き
神 饌 の 象 徴 的 な行為であり、参加者は御膳( 斎 食 )あるいは神酒や しんせん
ちょくかい
おこなう
ひろい い み
神 饌 のおさがりをちょうだいする 直 会 を 行 う 。しかし広い意味では、 ほんらい もくてき
しんせい
い み あ い
お こ な わ れ る さい い が い
本 来 目 的 と さ れ て き た 神 聖 な 意味合い で 行われる 祭 以外 に も 、 ごらくてき
ようそ
ふくむ
しょうばいはんじょう
いのる
娯楽的な要素を含むものや 商 売 繁 盛 を祈るものもある。 Matsuri adalah suatu perbuatan simbolik untuk penganutnya memasuki komunikasi aktif dengan para dewa (kami) dan juga komunikasi diantara penganutnya sendiri dalam bentuk pesta (feast) dan pesta rakyat (festival). Matsuri dalam arti yang lebih luas dapat juga diartikan sebagai pesta rakyat, dimana sisi hura-hura dan kepentingan komersial lebih ditonjolkan daripada sisi keagamaannya. Matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai kepercayaan bangsa karena pada umumnya orang Jepang melakukan matsuri dimana matsuri merupakan jalan dewa. Tanpa matsuri tidak ada jalan lain menuju dewa. Mengenai hal ini Yanagita mengatakan: まつり
こくみん しんこう
あ る い て い
く
ひとすじ
とびいし
すじ
祭り はこ国民 信仰 の、いうわばただ一筋 の飛石 であった。この筋 を ほか
これかみ え み ち
か み な が ら
みち
歩いて行くより他には惟神え道、すなわち神ながらの道というものを、 き わ め る
究めることはできなかったわけである (Yanagita, 1980:32). Matsuri merupakan suatu batu loncatan atau jalan menuju kepercayaan bangsa. Tidak ada jalan lain menuju jalan dewa kecuali menempuh satu-satunya jalan ini . Ada beberapa tipe matsuri di Jepang, yaitu matsuri untuk memohon kepada dewa, misalnya untuk keberhasilan panen. Tipe kedua adalah matsuri untuk mengucapkan terimakasih kepada para dewa. Tipe ketiga adalah untuk mengusir penyakit dan bencana alam (Danandjaja, 1997:301). Beberapa matsuri dirayakan secara tradisional dan meriah disertai dengan pertunjukan-pertunjukan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
31
Matsuri mempunyai dua aspek besar. Aspek pertama yaitu komunikasi diantara para dewa dengan manusia, sedangkan aspek yang kedua yaitu komunikasi di antara para
peserta
sendiri.
Aspek
pertama
mencakup
ritus
penyucian
diri
(purifycatoryrites/monoimi), persembahan sesajian (shinzen), doa (norita), dan peserta makan di antara para dewa dan manusia (naorai). Persembahan sesajian merupakan unsur yang sangat penting sejak zaman purbakala. Aspek kedua berupa komunikasi dengan para handai taulan dalam menikmati hiburan dan keramaian yang diadakan selama berlangsungnya matsuri. Hare dan ke merupakan konsep dua dimensi kehidupan yang dimiliki oleh orang Jepang. Hare diungkapkan sebagai ”yang tidak biasa”, yang artinya merupakan kehidupan para dewa, sedangkan ke dengan yang ”rutin”, yang artinya merupakan kehidupan sehari-hari yang dijalanani manusia (kehidupan duniawi). Mereka akan meninggalkan rutinitas mereka untuk memasuki dunia yang tidak biasa (matsuri). Kuilkuil Shintō memiliki hari-hari tertentu untuk mengadakan matsuri. Selain itu ada pula hari tahun baru, festival bon, kelahiran, hari-hari ulang tahun, dan perkawinan, yang digolongkan ke dalam dimensi kehidupan hare. Jadi hare dan ke dapat disamakan dengan ”yang khusus” dan ”yang sehari-hari”. Adapun empat unsur penting dari matsuri adalah: 1.
Monoimi (penyucian) Artinya adalah pembersihan atau penyucian diri. Secara simbolik monoimi merupakan pintu gerbang yang dilalui ketika pesertanya meninggalkan dunia sehari-hari (ke) untuk memasuki dunia khusus (hare). Ono menyatakan pendapatnya mengenai monoimi yaitu:
32
Monoimi/penyucian dilakukan dengan tujuan untuk memindahkan semua hal kotor/polusi, ketidakbenaran, dan roh jahat yang mungkin dapat menghalangi jalan hidup seseorang sesuai dengan jalan dewa dan menghalangi kemanjuran penyembahan yang dinaikkan pada dewa. Penyucian ini dapat dilakukan oleh setiap orang yang ingin memberi persembahan/penyembah atau oleh pendeta Shintō. (Ono, 1992:51-52). Pada matsuri, anggota masyarakat diharuskan untuk istirahat dari pekerjaan seharihari untuk beberapa waktu dan ikut berpartisipasi dalam ritual suci. Bagi para peserta matsuri juga dianjurkan untuk membersihkan diri sesering mungkin, dengan cara mandi, keramas dan lain sebagainya. Bahkan ada juga yang membangun pondok-pondok untuk dihuni selama beberapa waktu dengan tujuan menyucikan diri. Masyarakat Jepang mempercayai konsep tercemar yang dipilih dalam tiga batasan, yaitu makhluk yang telah disucikan dan upacara penyucian, manusia biasa serta ketidaksucian wanita. Bagi masyarakat Jepang, jiwa orang yang baru meninggal dan wanita yang baru melahirkan dianggap dalam keadaan tercemar. Mereka mengganggap kematian dan kelahiran berpotensi besar sebagai sumber pencemaran. Akibatnya kaum wanita dapat tercemar berat melalui menstruasi dan melahirkan anak. Berdasarkan alasan ini maka kaum wanita yang sedang mengalami menstruasi dan wanita yang baru melahirkan tidak diperbolehkan untuk memimpin pelaksanaan upacara-upacara keagamaan, bahkan dilarang untuk memasuki kuil. Mereka juga percaya bahwa keadaan tidak suci dari kaum wanita tidak dapat dilenyapkan, walaupun telah melalui upacara penyucian apapun (Japanese “Way of The gods”). 2.
Shinzen Shinzen adalah persembahan sesajian kepada para dewa merupakan unsur kedua yang penting dalam suatu matsuri. Sesajian yang paling umum adalah mochi dan
33
sake, sayur-sayuran dan buah-buahan. Di Jepang tidak ada sesajian yang berupa makhluk hidup. 3.
Norita (doa) Norita adalah doa-doa yang dibacakan oleh seorang Kannushi (pendeta Shintō) dengan menggunakan gaya bahasa Jepang kuno untuk menjelaskan kepada dewa yang dipuja pada suatu matsuri tentang arti dan alasan dalam mengadakan matsuri.
4.
Naoarai Naoarai adalah acara makan bersama diantara para pesertanya. Yang disantap adalah sesajian yang telah disediakan bagi para dewa.
2.5 Konsep Aoi Matsuri Mei di Kyoto, selain bulan dimana daun-daun musim semi mulai tumbuh, bulan ini juga bulan diselenggarakannya Aoi matsuri, salah satu festival terbesar dan terlama (kuno) di Jepang. Acara utama festival ini jatuh pada tanggal 15 Mei, dimana 600 orang berpakaian seperti kerajaan zaman Heian (794-1185). Aoi matsuri merupakan festival paling tua di dunia, berawal dari abad ke-6 dimasa pemerintahan Kinmei (540-571) terjadi kegagalan panen yang diakibatkan oleh cuaca buruk yang berkepanjangan. Pada saat itu rakyat dilanda wabah penyakit dan kelaparan. Ada orang suci yang mengatakan bahwa dewa-dewa kuil Kamigamo dan Shimogamo marah karena tidak dihormati penduduk. Untuk menenangkan para dewa, kaisar Kinmei (540-571) mengadakan upacara suci di kedua kuil tersebut, dua kuil tertua di Kyoto. Secara tiba-tiba, badai tersebut langsung berhenti. Sejak saat itu, petinggipetinggi istana jadi rutin mengunjungi kedua kuil tersebut. Nama dari festival ini diambil dari daun semak-semak Aoi (hollyhock) yang berwarna gelap dan berduri. Daun ini 34
digunakan untuk menghias kostum. Pada saat itu, daun ini diyakini mempunyai kekuatan untuk melindungi dari petir, gempa bumi dan proses melahirkan yang sulit. Mengikuti pendirian Kyoto tahun 794, kaisar pertama Kyoto, Kanmu, secara pribadi mengunjungi kedua kuil ini dan menyatakan bahwa dewa-dewa dari kedua kuil ini sebagai pelindung Kyoto. Tahun 807 ia secara resmi memulai festival aoi matsuri sebagai acara rutin tahunan dari kerajaan. Acara ini cepat dikenal luas dan lamakelamaan hingga disebut sebagai festival. Acara ini semakin terkenal di pertengahan zaman Heian, zaman yang dikenal sebagai masa keemasan Jepang. Acara ini sempat dihentikan perang Onin (perang saudara Jepang) di akhir abad ke-15. pada akhir abad ke-17 festival ini dilanjutkan kembali dan diteruskan sebagai festival terbesar dan paling penting di Jepang. Prosesi festival terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, datangnya pembawa pesan dari kerajaan dan Saiō-dai, seorang wanita muda di masa periode Heian yang merupakan putri istana dan menjadi kepala kedua kuil tersebut. Sistem tersebut hanya ada di tahun 810-1200. Saat ini seorang wanita muda dari Kyoto dipilih untuk berperan sebagai Saiō selama festival berlangsung. Ia adalah pusat perhatian parade ini. Mengendari sebuah kereta kuda, berpakaian jubah zaman Heian (12 lapis) dan memancarkan keagungan istana. Parade ini merupakan barisan penduduk yang berpakaian istana, kurang lebih 600 orang. Semuanya merupakan bagian umum dari prosesi. Ada juga prosesi yang hanya dilakukan di tiap-tiap kuil, hanya orang-orang yang diundang yang datang. Ritual ini merupakan presentasi petisi resmi dari kaisar dan proses pemberian hadiah yang panjang, dimana selalu ada kuda yang baik. Meskipun kuda tersebut diberikan secara pribadi, namun kuda ini kemudian dibawa untuk melakukan putaran yang sudah disediakan khusus di luar kuil. 35
Acara utama dari Aoi matsuri ini adalah prosesi yang diselenggarakan pada 15 Mei. Rangakaian prosesi sudah dimulai sejak 3 Mei, yang saat itu diadakan pertunjukkan memanah dari kuda di kompleks kuil Shimogamo. Bukan hanya mempertunjukkan keahlian, tetapi juga sebagai proses penyucian diri untuk proses berikutnya. Juga pada 3 Mei, Saiō disucikan di kuil Kamigamo. Pada 5 Mei ada lomba memacu kuda antara dua kelompok yang berpakaian seperti zaman Heian. Pada 12 Mei, Mikage matsuri diselenggarakan pada pukul 9.30 sampai pukul 16.00. Berangkat di pagi hari, sekitar pukul 9.30 dari kuil Shimogamo, pendeta resmi festival menuju ke kuil Ikage, mereka membawa mikoshi yang dipercayai bahwa di dalam mikoshi tersebut terdapat dewa, dimana dewa tersebut dibawa oleh mereka ke kuil Shimogamo. Waktu perjalanan kembali ke Shimogamo, di pertunjukkan tarian tradisional dan penampilan musik. Akhirnya pada 15 Mei, prosesi utama bergerak dari istana kerajaan, menuju kuil Kamigamo. Prosesi meninggalkan istana pada pukul 10.30 dan bergerak perlahan sekali sampai di Kamigamo pukul 15.30. Aoi matsuri dilangsungkan dari awal Mei hingga puncak upacara berupa prosesi 15 Mei. Awal upacara Aoi matsuri terdiri dari beberapa rangkaian upacara penyucian, seperti: 1. Yabusame Shinji, yakni upacara di kuil Shimogamo untuk mendoakan keselamatan selama perayaan berlangsung. Penunggang kuda dengan kostum prajurit pada zaman Heian mempertontonkan keterampilan memanah dari atas punggung kuda yang sedang berlari. Acara tersebut dimulai pada 3 Mei, dan acaranya dimulai dari pukul 13.00 dan berakhir pada pukul 15.30.
36
2. Saiō-dai Misogi Shinji, yakni wanita yang berperan sebagai Saiō-dai (bintang utama dalam prosesi) dan pengikutnya disucikan dalam upacara yang dilakukan secara bergantian setiap tahunnya di kuil Kamigamo dan kuil Shimogamo. 3. Busha Shinji, yakni upacara melepaskan anak panah untuk menghalau arwah jahat yang dilangsungkan di kuil Shimogamo pada pukul 11.00. 4. Kamo Kurabe Uma, yakni upacara memacu kuda sekencang-kencangnya di dalam lingkungan kuil Kamigamo untuk memeriksa kondisi dan kesehatan kuda. Acara tersebut diadakan pada 5 Mei dimulai pada pukul 14.00. Dimulai dari periode Heian (794-1185). Acara ini adalah cikal bakal pacuan kuda di Jepang. Tata cara pacuan kuda tidak berubah dari pertama kali acara ini dimulai. Dan peraturan itu masih dijalankan sampai sekarang. Tidak seperti pacuan kuda saat ini dibalapan pacuan kuda ini hanya ada dua kuda yng berkompetisi. Satu kuda start terlebih dahulu, kemudian pemenang ditentukan dari selisih jarak finish antar kedua tersebut (apakah selisihnya semakin menipis atau semakin mendekat). Kurang lebih 5 balapan pacuan kuda ini diadakan. Dan di dalam balapan pacuan kuda ini, judi tidak diperbolehkan. 5. Mikage Matsuri, yakni upacara penyambutan kedatangan arwah suci di kuil Shimogamo dari kuil Mikage di Gunung Hiei.
Tari dan musik tradisional
dipersembahkan di hutan bernama Tadasu no Mori, kuil Shimogamo. 6. Miare Shinji, yakni upacara tertutup yang dilangsungkan malam hari di kuil Kamigamo. Tidak terbuka untuk umum. 7. Diadakannya kembali upacara menunggang kuda yang disebut dengan Kake-Uma Shinji. Ini adalah acara yang sangat menarik yang menunjukkan kepiawaan berkuda berdasarkan periode Muromachi (abad 14) ketika para samurai menjaga 37
istana kerajaan dan juga hal tersebut diyakini oleh mereka sebagai pemujaan terhadap dewa. Para samurai biasanya mengendarai kuda dengan kecepatan sangat tinggi para pengendara bisa berdiri di atas punggung kudanya sambil menulis kaligrafi. Puncak upacara Aoi matsuri pada 15 Mei terdiri dari: 1. Prosesi Rotō no Gi, yakni prosesi dimulai dari istana Kyoto (Kyoto Gosho) menuju kuil Kamigamo dengan melewati kuil Shimogamo. Puncak prosesi adalah barisan wanita pengiring bintang prosesi yang disebut Saiō-dai. Pada prosesi Rotō no Gi dalam Aoi matsuri selalu dapat ditemui prosesi arakarakan atau iring-iringan, yang objeknya berupa anak kecil, anak gadis, laki-laki berpakaian wanita, dan lain-lain. Yang menjadi objek utama pada prosesi Rotō no Gi dalam Aoi matsuri adalah seorang wanita yang berperan sebagai Saiō (Saiō-dai).
Gambar 2.3 Prosesi Arak-Arakan Menuju Kuil Kamigamo
sumber:http://www.photokyoto.com/kyoto/Aoimatsuri/aoimatsuri 2005/2005aoimatsuri00440.htm
38
2. Shatō no Gi, yakni upacara pembacaan pesan dan penyerahan persembahan di kuil Shimogamo dan kuil Kamigamo. Pada zaman Heian, bintang utama dalam prosesi adalah seorang wanita yang disebut Saiō (斎王). Peran Saiō dipercayakan kepada salah seorang putri kaisar Saga yang diutus sebagai miko di kuil Kamo. Di zaman sekarang, wanita yang memerankan Saiō disebut Saiō-dai (斎王代 wakil Saiō) karena dipilih dari rakyat biasa. Wanita yang dipilih sebagai Saiō-dai harus belum menikah dan berasal dari kota Kyoto. Saiō-dai memakai rias wajah tebal dan gigi yang dihitamkan (ohaguro). Jenis kimono yang dikenakan Saiō disebut jūnihitoe (Karaginu Moshōzoku). Barisan wanita yang mengelilingi Saiō-dai selama iring-iringan terdiri dari anak perempuan yang disebut menowarawa, dan wanita yang berperan sebagai penunggang kuda, pelayan wanita yakni uneme, dan pegawai istana. Festival Aoi matsuri jatuh pada 15 Mei, yang nama dari festival ini diambil dari para peserta prosesi dan kerbau yang digunakan untuk menarik keretanya yang di hiasi dengan daun aoi. Prosesi berjalan dari istana kerajaan sekitar pukul 10.30 dan berjalan mengelilingi kuil Shimogamo dan Kamigamo (Ad Brain, 2002).
39