Bab 2 Landasan Teori
2.1. Teori Danwa ( 談話 ) Menurut Minami dalam Hinata ( 1990: 1 ), danwa dapat disebut juga discourse (wacana), teks atau bunshou (karangan). Danwa adalah ungkapan bahasa berupa suatu kesimpulan yang terdiri dari satu atau beberapa kalimat pada situasi yang dilihat secara lumrah, serta tidak membedakan bahasa lisan atau pun tulisan. Jadi dalam wacana tercakup situasi dan konteks dalam percakapan yang membuat percakapan menjadi wajar. Tarigan ( 1993: 27 ) mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tertinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara lisan maupun tertulis. Berdasarkan tertulis atau tidaknya, wacana dapat diklasifikasikan atas wacana tulis dan wacana lisan. a) Wacana Tulis Wacana tulis atau written discourse adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis. Penerima pesan wacana tulis adalah pembaca. Keterampilan menulis merupakan pokok penting dalam menyampaikan pesan. Untuk sampai kepada penerimaan, pemahaman, atau penikmatan pesan yang disampaikan dalam wacana tulis, maka kalimat yang digunakan harus efektif (Tarigan, 1993: 52 ). b) Wacana Lisan Penyajian wacana lisan berbeda dengan wacana secara tertulis. Wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan.
7
Untuk menerimanya, memahami, atau menikmati wacana ini maka sang penerima harus menyimak atau mendengarkannya. Keterampilan berbicara sangat berpengaruh terhadap penyampaian pesan pada wacana lisan. Pesan yang dikemas dalam rangkaian kalimat harus diungkapkan dengan intonasi, lafal, dan durasi yang tepat ( Tarigan, 1993: 55 ). Contoh bentuk wacana lisan adalah ceramah, percakapan, dan kotbah.
2.2. Teori Pragmatik Menurut Leech ( 1999: 13-15 ) pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, harus memiliki patokan yang menunjuk pada satu atau lebih aspek dari situasi pembicaraan. Aspek-aspek tersebut yaitu: 1. Penutur atau petutur 2. Konteks ujaran 3. Tujuan ujaran 4. Ujaran sebagai bentuk tindakan (tindak ujaran) 5. Ujaran sebagai hasil dari ujaran verbal. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Nurgiantoro. Percakapan yang hidup dan wajar adalah percakapan yang sesuai dengan konteks pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan situasi nyata penggunaan bahasa. Bentuk percakapan yang seperti itu bersifat pragmatik. Menurutnya pragmatik intinya adalah mengacu pada penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan. Ketepatan penggunaan bahasa secara pragmatik tidak semata-mata dilihat dari ketepatan leksikal dan sintaksis melainkan juga ketepatannya sesuai dengan konteks pembicaraan ( Nurgiyantoro, 2002: 312-313 )
8
Oleh karena itu, pragmatik mempelajari fungsi suatu tuturan. Dalam linguistik terdapat istilah yang disebut tindak ujar atau tindak tutur yang awalnya diperkenalkan oleh seorang filsuf yaitu Austin. Menurutnya, saat bertutur, orang tidak hanya bertutur namun juga melakukan suatu tindakan. Tindak tutur adalah tuturan yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturan itu ( Chaer, 2010: 27 ). Kemudian Austin membagi tindak tutur menjadi 3 jenis yaitu sebagai berikut: 1. Tindak lokusi Tindak lokusi yaitu tindak tutur penutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau disebut juga the act of saying something (tindakan untuk mengatakan sesuatu). Tindak lokusi hanya memberi makna secara harafiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya. 2. Tindak ilokusi Tindak ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ilokusi disebut juga the act of doing something (tindakan melakukan sesuatu). Jadi selain memberi informasi tentang sesuatu, tindak ilokusi juga mengandung maksud dari tuturan yang diucapkan. 3. Tindak perlokusi Tindak perlokusi yaitu tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur sehingga sering disebut sebagai the act of affecting someone (tindak yang memberi efek pada orang lain) ( Austin dalam Chaer, 2010: 26-28). Pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi karena di dalam ilokusi terdapat daya tuturan (maksud dan fungsi tuturan) dan perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya tuturan tersebut. Sementara di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi tuturan, yang ada barulah makna kata
9
atau kalimat yang diujarkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis hanya menganalisis tindak ilokusi dan tindak perlokusi dalam ujaran.
2.3. Teori Hinshi Hinshi atau kelas kata merupakan pembagian kata berdasarkan perbedaan fungsinya dalam menyusun kalimat. Menurut Masuoka dan Takubo ( 1993: 4 ) kelas kata dalam bahasa Jepang dibagi
ke dalam sebelas bagian, yaitu: 1. Doushi (kata kerja) 2. Keiyoushi (kata sifat) 3. Hanteishi (kopula) 4. Jodoushi (kata kerja bantu) 5. Meishi (kata benda) 6. Shijishi (kata penunjuk) 7. Fukushi (kata keterangan) 8. Joshi (kata bantu) 9. Rentaishi (prenomina) 10. Setsuzokushi (kata sambung) 11. Kandoushi (interjeksi). Berdasarkan kelas kata di atas, kata “chotto” dapat termasuk dalam 2 kelas kata, fukushi (kata keterangan) dan kandoushi (interjeksi). 2.3.1. Teori Fukushi Nagara ( 1991: 42) mengemukakan pengertian fukushi “自立語で、おもに連 用修飾をする語である。” yang artinya adalah kata yang berdiri sendiri dan pada umumnya memberi keterangan tambahan.
10
Menurut Nagara ( 1991:65 ) ciri-ciri fukushi yaitu kata ini dapat berdiri sendiri, tidak memiliki perubahan bentuk, dan jika menyertai kata bantu, kata ini tak dapat menjadi subjek. Fukushi memiliki banyak jenis, namun penulis akan menggunakan teori pembagian fukushi secara umum yaitu joutai no fukushi, teido no fukushi, dan chinjutsu no fukushi. Berikut ini akan dijelaskan mengenai ketiga fukushi tersebut. a. Joutai no fukushi (情態の副詞) Joutai no fukushi adalah fukushi yang menentukan dari segi makna kondisi gerakan dari kata kerja yang menempel. Kondisi gerakan yang ditunjukkan oleh fukushi ini dibagi ke dalam lima bagian yaitu berupa suara atau bunyi atau keadaan, kondisi yang sudah selesai atau belum selesai, ukuran, sikap, serta hubungan. Contoh: ブク ブク, まだ, すっかり, わざと, ともに. b. Teido no fukushi (程度の副詞) Jenis fukushi ini menunjukkan tingkatan atau gerakan dari yougen (kata yang dapat menjadi predikat) atau fukushi yang menempel. Contoh: かなりうるさい音. Ada juga teido fukushi yang menyambung langsung dengan kata benda, misalnya もっと 右 dan すこし北. Kata benda yang diterangkan adalah kata yang menunjukkan arah, jumlah, atau waktu. Chotto termasuk dalam jenis fukushi ini. c. Chinjutsu no fukushi (陳述の副詞) Chinjutsu no fukushi adalah jenis fukushi yang menerangkan cara menyatakan predikat. Predikat-predikat tersebut dapat menerangkan kepastian atau balasan, penyangkalan, dugaan, harapan, perbandingan, asumsi, serta keragu-raguan. Contoh: きっと, 決して, たぶん, どうか, まるで, もし, なぜ ( Nagara, 1992: 65-66 ).
11
2.3.2. Teori Kandoushi Sedangkan pengertian kandoushi adalah: 感動詞は、文の他の要と結びついて事態を表すというよりも、事態に 対する感情や相手の発言に対する受け答え等を、-語で非分析的に表 す形式である ( Masuoka dan Takubo, 1993: 60 )。 Kandoushi adalah kata yang bukan menunjukkan situasi, melainkan mengungkapkan respons terhadap situasi atau ucapan lawan, yang terkait dengan bagian penting lain kalimat. Berikut ini adalah pembagian kandoushi beserta contohnya menurut Masuoka dan Takubo ( 1993: 60-61 ): 1. Kandoushi untuk menunjukkan keterkejutan terhadap situasi di depan mata. Contoh: あ、ああ. 2 Kandoushi untuk mengungkapkan perasaan terhadap ucapan lawan atau situasi di depan mata yang di luar dugaan. Contoh: なんと、へー. 3. Kandoushi untuk menunjukkan persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap ucapan lawan bicara. Contoh: はい、ええ. 4. Kandoushi yang menunjukkan pemahaman terhadap ucapan lawan bicara. Contoh: なるほど、ふうん. 5. Kandoushi untuk digunakan saat sedang berpikir untuk mencari jawaban. Contoh: さあ、ええと. 6. Kandoushi untuk digunakan untuk memanggil atau meminta perhatian orang lain. Contoh: もしもし、ちょっと. 7. Kandoushi untuk bertanya kepada diri sendiri. Contoh: はて、はてな.
12
8. Kandoushi untuk digunakan untuk meyakinkan diri sendiri saat memulai tindakan atau perbuatan. Contoh: さてと、やれやれ. 9. Kandoushi berupa ungkapan etiket yang dipakai untuk salam. Contoh: さようなら、お早う.
2.4. Fungsi Chotto Sering kali kata keterangan “chotto” diterjemahkan sebagai “sedikit”, akan tetapi sebenarnya ada banyak fungsi chotto dalam bahasa Jepang. Menurut Sakamoto, et.al ( 1991: 98-101 ) penggunaan fukushi “chotto” dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Menyatakan kuantitas, waktu, atau kondisi yang sedikit. Contoh: -
砂糖を ちょっと 入れてください。
Terjemahan: Tolong masukkan sedikit gula. (kuantitas) -
おなかが
ちょっと 痛い。
Terjemahan: Perut saya agak sakit. (kondisi) Chotto tidak selalu berarti sedikit, tetapi dapat juga berarti cukup atau lumayan dalam beberapa situasi. Petutur tidak selalu tahu arti yang mana yang dimaksud oleh penutur. Contoh: - 彼のお母さんの具合が ちょっと 悪いらしい。 Terjemahan: Ibunya terlihat agak / lumayan sakit. - この仕事は私には ちょっと 荷が重い。 Terjemahan: Pekerjaan ini sedikit/ cukup menjadi beban bagi saya. 2. Menunjukkan perasaan ragu pembicara. Kata “chotto” di sini memiliki arti “maaf karena sudah mengambil sedikit waktu Anda.” 13
Contoh: - ちょっと お金を貸してください。 Terjemahan: Maaf, bolehkah saya meminjam uang? - ちょっと すみませんが、駅に行く道を教えてください。 Terjemahan: Maaf mengganggu, tolong jelaskan jalan menuju stasiun. 3. Menghaluskan penolakan pembicara dalam suatu situasi di mana dia tak ingin mengungkapkan alasan penolakannya secara terbuka. Dalam situasi ini pembicara akan menggunakan kata “chotto” tanpa melengkapi perkataannya. Contoh: Tanya: 一緒に帰りませんか? Jawab: 実は、ちょっと、… Terjemahan: T: Maukah kamu pulang bersama? J: Maaf, sebenarnya… Hanya dengan menjawab menggunakan “chotto” penanya akan langsung mengerti bahwa penutur ingin menolak meskipun dia tidak secara langsung mengatakan “tidak”. Okamoto dan Saito ( 2004: 70 ) membagi fungsi “chotto” menjadi 6 kategori yang menggunakan landasan dari makna chotto yang berarti sedikit dan berfungsi untuk menjadi ungkapan penghalus atau peringan isi kalimat dan sebagainya. Keenam fungsi tersebut adalah sebagai berikut: 1. 依頼や、希求、指示行為の負担やわらげる Menghaluskan permintaan, keinginan atau instruksi. Dengan menggunakan kata “chotto” pada bentuk untuk menanyakan maksud seperti ~てください, ~てくれ, ~てほしい, ~てもらえないか maka akan meringankan permintaan kepada lawan bicara sehingga lawan bicara akan bertoleransi dalam mendengarnya. 14
2. 否定的内容の前置き Sebagai pendahuluan untuk pernyataan yang mengandung makna negatif . Kata “chotto” dalam fungsi ini menjadi kata halus yang mengecilkan derajat kenegatifan suatu pernyataan. Pada saat kemungkinan terjadinya kepentingan yang tidak beres, tidak menguntungkan, atau ungkapan yang memiliki pandangan negatif, kemunculan kata “chotto” akan memberi petunjuk bahwa sesudahnya ada pernyataan yang bersifat negatif dan memberikan persiapan hati pada lawan bicara untuk menerima isi negatif itu serta melemahkan beban psikologis pembicara. 3. 断りを受けやすくする Menghaluskan penolakan pada lawan bicara. Fungsi ini mengandung makna bahwa pembicara meminta maaf karena tak dapat memenuhi harapan lawan bicaranya. Fungsi ini ditunjukkan dengan berhenti di tengah perkataan setelah kata “chotto” dan mengelipsis predikat pentingnya. 4. 呼びかけ Memanggil. Pada fungsi untuk memanggil, kata “chotto” mengindikasikan pengelipsisan kata “sumimasen” atau ”matte kudasai” di belakangnya. Kata “chotto” ini berfungsi sebagai kata seru untuk menggugah perhatian. Fungsi memanggil ini berbeda dengan memanggil untuk tujuan memprotes suatu kejadian yang akan termasuk dalam fungsi nomor 5. 5. とがめ Menyatakan ketidakterimaan. Ketika pembicara merasa kepentingannya dirugikan oleh lawan bicara, kata “chotto” dapat dipakai sebagai penekanan untuk menguatkan ketidakpuasan, kemarahan, serta rasa intimidasi, desakan, atau protes. 15
6. 間つなぎ Penyambung jeda. Kata-kata seperti あの, そのう, ちょっと, こう, なんていったらいいのか berfungsi sebagai interjeksi untuk mengisi kesendatan dan menghindari keheningan saat berbicara. Pada fungsi ini, “chotto” sendiri tidak memiliki arti.
2.5. Teori Montase Istilah montase berasal dari perfilman yang berarti memilah-milah, memotongmotong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan ( Minderop, 2005: 105 ). Menurut Humphrey dalam Minderop ( 205 105 ), metode paling mendasar dalam sinema adalah teknik montase. Teknik montase di dalam bidang perfilman mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang mendadak atau imaji yang tumpang tindih satu dan lainnya.
16