5
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Data Data ialah suatu bahan mentah yang jika diolah dengan baik melalui berbagai analisis dapat melahirkan berbagai informasi, data dapat berupa angka dan dapat berupa lambang atau sifat. 1. Menurut gejala yang dihadapi, data dapat dibagi dua: a. Data Dikotomi Data dikotomi disebut dengan data deskrit, data kategorik atau data nominal. Data ini adalah data yang paling yang paling sederhana, dimana angka yang diberikan kepada objek mempunyai arti hanya sebagai label, dan tidak menunjukkan tingkatan apapun. Ciri-ciri data dikotomi adalah ekskuisif, tidak mempunyai urutan (rangking), tidak mempunyai ukuran baru, dan tidak mempunai nol mutlak (Husaini,1995). Bila objek dikelompokkan ke dalam set-set, dan kepada semua anggota set diberikan angka, set-set tersebut tidak boleh tumpang tindih dan bersisa. Misalnya tentang jenis olah raga yakni tenis, basket dan renang. Kemudian masing-masing anggota set di atas kita berikan angka, misalnya tenis (1), basket (2) dan renang (3). Jelas kelihatan bahwa angka yang diberikan tidak menunjukkan bahwa tingkat olahraga basket lebih tinggi dari tenis ataupun tingkat renang lebih tinggi dari tenis. Angka tersebut tidak memberikan arti apa-apa jika dilakukan operasi matematika. Angka yang diberikan hanya berfungsi sebagai label saja. Masingmasing kategori tidak dinyatakan lebih tinggi dari atribut (nama) yang lain. Data dikotomi (nominal) ini diperoleh dari hasil pengukuran dengan skala nominal. Menuruti Sugiono, alat analisis (uji hipotesis asosiatif) statistik nonparametrik
6 yang digunakan untuk data nominal adalah Coefisien Contingensi. Akan tetapi karena pengujian hipotesis Coefisien Contingensi memerlukan rumus Chi Square (ฯ2), perhitungannya dilakukan setelah menghitung Chi Square. Penggunaan model statistik nonparametrik selain Coefisien Contingensi tidak lazim dilakukan.
b. Data Kontinum 1) Data Ordinal Data ini, selain memiliki nama (atribut), juga memiliki peringkat atau urutan. Angka yang diberikan mengandung tingkatan yang digunakan untuk mengurutkan objek dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi atau sebaliknya. Ukuran ini tidak memberikan nilai absolut terhadap objek, tetapi hanya memberikan peringkat saja. Jika kita memiliki sebuah set objek yang dinomori, dari 1 sampai n, misalnya peringkat 1, 2, 3, 4, 5 dan seterusnya, bila dinyatakan dalam skala, maka jarak antara data yang satu dengan lainnya tidak sama. Ia akan memiliki urutan mulai dari yang paling tinggi sampai paling rendah. Atau paling baik sampai ke yang paling buruk. Misalnya dalam Skala Likert (Moh Nazir), mulai dari sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju sampai sangat tidak setuju. Dari hasil pengukuran dengan menggunakan skala ordinal ini akan diperoleh data ordinal. Alat analisis (uji hipotesis asosiatif) statistik nonparametrik yang lazim digunakan untuk data ordinal adalah Spearman Rank Correlation dan Kendall Tau.
2) Data Interval Pemberian angka kepada set dari objek yang mempunyai sifat-sifat ukuran ordinal dan ditambah satu sifat lain, yakni jarak yang sama pada pengukuran dinamakan data interval. Data ini memperlihatkan jarak yang sama dari ciri atau sifat objek yang diukur. Akan tetapi ukuran interval tidak memberikan jumlah absolut dari objek yang diukur. Misalnya tentang nilai ujian 6 orang mahasiswa, yakni A, B, C, D, E dan F diukur dengan ukuran interval pada skala prestasi dengan ukuran 1, 2, 3, 4, 5 dan 6, maka dapat dikatakan bahwa beda prestasi antara C dan A adalah
7 3 โ 1 = 2. Beda prestasi antara C dan F adalah 6 โ 3 = 3. Akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa prestasi E adalah 5 kali prestasi A ataupun prestasi F adalah 3 kali lebih baik dari prestasi B. Dari hasil pengukuran dengan menggunakan skala interval ini akan diperoleh data interval. 3) Data Rasio Ukuran yang meliputi semua ukuran di atas ditambah dengan satu sifat yang lain, yakni ukuran yang memberikan keterangan tentang nilai absolut dari objek yang diukur dinamakan ukuran ratio. Ukuran ratio memiliki titik nol, karenanya, interval jarak tidak dinyatakan dengan beda angka rata-rata satu kelompok dibandingkan dengan titik nol di atas. Oleh karena ada titik nol, maka ukuran rasio dapat dibuat perkalian ataupun pembagian. Angka pada skala rasio dapat menunjukkan nilai sebenarnya dari objek yang diukur. Jika ada 4 orang pengemudi, A, B, C dan D mempunyai pendapatan masing-masing perhari Rp. 10.000, Rp.30.000, Rp. 40.000 dan Rp. 50.000. bila dilihat dengan ukuran rasio maka pendapatan pengemudi C adalah 4 kali pendapatan pengemudi A. Pendapatan D adalah 5 kali pendapatan A. Pendapatan C adalah 4/3 kali pendapatan B. Dengan kata lain, rasio antara C dan A adalah 4 : 1, rasio antara D dan A adalah 5 : 1, sedangkan rasio antara C dan B adalah 4 : 3. Interval pendapatan pengemudi A dan C adalah 30.000. dan pendapatan pengemudi C adalah 4 kali pendapatan pengemudi A.
Dari hasil pengukuran dengan
menggunakan skala rasio ini akan diperoleh data rasio.
8 2.2 Metode Slovin
Dalam banyak buku yang mencantumkan rumus untuk menentukan ukuran sampel yang dibuat Slovin, khususnya dalam buku-buku metodologi penelitian, sampai saat ini penulis belum bisa memperoleh keterangan yang lengkap mengenai konsep dasar yang dipakai membangun rumus tersebut. Dengan hanya mendasarkan pada rumus (1), kalau tidak berusaha mencari keterangan lain dan mengetahui konsep dasar yang digunakan untuk membuat rumus tersebut, maka belum bisa menjawab secara tepat empat pertanyan mendasar tadi. ๐
Rumus Slovin: .
n =1+๐๐ 2
dimana: n = ukuran sampel N = ukuran populasi d = galat pendugaan
2.3 Skala Likert Skala Likert digunakan saat: a. Ingin menggambarkan secara kasar posisi individu dalam kelompoknya (posisi relatif). b. Ingin membandingkan skor subjek dengan kelompok normatifnya. c. Ingin menyusun skala pengukuran yang sederhana dan mudah dibuat. Skala likert bisa 3, 4, 5, 6, 7, skala tergantung kebutuhan. Tabel 2.1 Bentuk Skala Likert 1
2
3
Sangat Tidak
Tidak
Ragu-ragu/
Setuju
Setuju
Netral
4 Setuju
5 Sangat Setuju
9 Sangat Tidak
Tidak
Ragu-ragu/
Puas
Puas
Netral
Sangat Tidak
Kurang
Baik
Baik
Cukup
Puas
Baik
Sangat Puas Sangat Baik
Sekarang ini banyak penelitian-penelitian di bidang sosial menggunakan variabel keperilakuaan, sehingga skala likert sering digunakan dalam penelitian sosial. Skala likert yang mudah dipahami dan sederhana menjadi kelebihan tersendiri dibandingkan skala pengukuran lainnya.
2.4 Method of Successive Interval (MSI)
Method of Successive Interval adalah metode penskalaan untuk menaikkan skala pengukuran ordinal ke skala pengukuran interval. Melakukan manipulasi data dengan cara menaikkan skala dan ordinal menjadi skala interval bertujuan untuk mengubah syarat distribusi normal agar dapat dipenuhi ketika menggunakan statistika parametrik.
Method of Successive Interval dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1.
Perhatikan nilai jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuesioner.
2.
Untuk setiap pertanyaan tersebut, lakukan perhitungan banyak responden yang menjawab skor 1, 2, 3, 4, 5 = frekuensi (f).
3.
Setiap frekuensi dibagi dengan banyak n responden dan hasil adalah proporsi (p).
4.
Kemudian hitung proporsi kumulatif (pk).
5.
Dengan menggunakan tabel normal, hitung nilai distribusi normal (Z) untuk setiap proporsi kumulatif yang diperoleh. ๐ฟ(๐) =
1 โ2๐
๐
(โ
๐2 ) 2
, โโ < ๐ < +โ
10 6.
Tentukan nilai densitas normal (fd) yang sesuai dengan nilai Z.
7.
Tentukan nilai interval (scale value) untuk setiap skor jawaban.
8.
Sesuaikan nilai skala ordinal ke interval, yaitu Skala Value (SV) yang nilainya terkecil (harga negatif yang terbesar) diubah menjadi sama dengan jawaban responden yang terkecil melalui transformasi berikut : Transformed Scale Value : SV = โ (Min data โ Min SV)
Contoh : Variabel ๐2 โฆ
No.
๐1 ๐๐ 1 โฑ โฎ 2 โฑ โฎ โฎ โฑ โฎ N โฆ โฆ โฆ โฑ Hasil perhitungan menaikkan skala dari ordinal ke interval dengan menggunakan method of successive interval (MSI) untuk pernyataan item 1 (satu) variabel X
Tabel 2.2 Proses Konversi Variabel Ordinal menjadi Variabel Interval No. Kategori Item 1 2 3 ๐๐ 4 5 Jumlah
Frekuensi 10 64 51 19 12 156
Proporsi 0,064 0,410 0,327 0,122 0,077
Proporsi Kumulatif 0,064 0,474 0,801 0,923 1,000
Z -1,521 -0,064 0,846 1,426 -
Densitas Hasil {f(z)} Penskalaan 0,125 1,000 0,398 2,292 0,279 3,321 0,144 4,062 0,000 4,833
Penjelasan : a) Pemilih jawaban atau kategori dan frekuensi dibuat dari hasil kuesioner fiktif b) Masing-masing frekuensi setiap masing-masing kategori dijumlahkan c) Menghitung proporsi untuk setiap frekuensi skor 10
P1 =
156
P2 =
156
P3 =
156
64 51
19
= 0,064
P4 =
156
= 0,410
P5 =
156
= 0,327
12
= 0,122 = 0,077
11 d) Menjumlahkan proporsi secara berurutan untuk setiap respon, sehingga diperoleh nilai proporsi kumulatif. Pk1 = 0,064 Pk2 = 0,064 + 0,410 = 0,474 Pk3 = 0,064 + 0,410 + 0,327 = 0,801 Pk4 = 0,064 + 0,410 + 0,327 + 0,122 = 0,923 Pk5 = 0,064 + 0,410 + 0,327 + 0,122 + 0,077 = 1,000
e) Menentukan nilai Z untuk setiap kategori, dengan asumsi bahwa proporsi kumulatif dianggap mengikuti normal baku. Nilai Z diperoleh dari Tabel Distribusi Normal Baku.
Proporsi Kumulatif 0,064 0,474 0,801 0,923 1,000
Z -1,521 -0,064 0,846 1,426
f) Menghitung nilai densitas dari
nilai Z yang diperoleh dengan cara
memasukkan nilai Z tersebut ke dalam fungsi densitas normal baku sebagai berikut : ๐(๐ง) =
1
1 ๐๐ฅ๐ (โ ๐ง 2 ) 2 โ2๐
Sehingga diperoleh : 1 exp (- (-1,521)2 ) = 0,125 2 โ2ฯ 1 1 f(-0,064) = exp (- (-0,064)2 ) = 0,398 2 โ2ฯ f(-1,521) =
1
1 exp (- (0,846)2 ) = 0,279 2 โ2ฯ 1 1 f(1,426) = exp (- (1,426)2 ) = 0,144 2 โ2ฯ f(0,846) =
1
12 g) Menghitung SV (Scale Value) dengan rumus : ๐๐ =
Kepadatan pada batas bawah-Kepadatan pada batas atas Daerah di bawah batas atas-Daerah di bawah batas bawah
Sehingga diperoleh : SV1 =
0,000-0,125 = -1,957 0,064-0,000
SV2 =
0,125-0,398 = -0,665 0,474-0,064
SV3 =
0,398-0,279 = 0,365 0,801-0,474
SV4 =
0,144-0,279 = 1,105 0,923-0,801
SV5 =
0,144 - 0,000 = 1,876 1,000 - 0,923
h) Mengubah Scale Value (SV) terkecil (nilai negatif yang terbesar) menjadi sama dengan satu (1) SV terkecil = -1,957 = 1 didapat dari (-1,957 + 2,957 = 1) = ๐1 i) Mentransformasikan nilai skala dengan menggunakan rumus : ๐ = ๐๐ + |๐๐ min| Sehingga diperoleh : Y1 = 1 Y2 = (-0,665 + 2,957) = 2,292 Y3 = (0,365 + 2,957) = 3,321 Y4 = (1,105 + 2,957) = 4,062 Y5 = (1,876 + 2,957) = 4,833
2.5 Uji Validitas dan Reliabilitas 2.5.1
Uji Validitas
Validitas atau keabsahan adalah menyangkut pemahaman mengenai kesesuian antara konsep dengan kenyataan empiris. Suatu alat ukur (pengukuran) yang validitasnya atau tingkat keabsahannya tinggi secara otomatis biasanya dapat
13 diandalkan (reliable). Namun sebaliknya, suatu pengukuran yang handal belum tentu memiliki keabsahan yang tinggi. Untuk menghitung validitas alat ukur digunakan teknik korelasi Pearson Product Moment. ๐๐ฅ๐ฆ =
๐ โ ๐๐ โ (โ ๐)(โ ๐) โ[{๐ โ ๐ 2 โ (โ ๐)2 }{๐ โ ๐ 2 โ (โ ๐)2 }]
Dimana: ๐๐ฅ๐ฆ = Koefisien korelasi ๐
= Skor responden untuk tiap item
๐
= Total skor tiap responden dari seluruh item
N
= Jumlah responden
Dasar pengambilan keputusan: a. Jika rhitung > r0,05(n-2) dan positif, maka item atau variabel tersebut valid b. Jika rhitung > r0,05(n-2) dan negatif, maka item atau variabel tersebut tidak valid c. Jika rhitung < r0,05(n-2), maka item atau variabel tersebut tidak valid
2.5.2
Uji Reliabilitas
Reabilitas adalah tingkat keandalan kuesioner. Kuesioner yang reliabel adalah kuesioner yang apabila digunakan secara berulang-ulang kepada kelompok yang sama menghasilkan data yang sama. Cronbach Alpha digunakan untuk menguji reliabilitas instrumen Skala Likert atau instrumen yang item-itemnya dalam bentuk essai (Husaini, 1995). ๐ผ=( Di mana: k
โ ๐๐2 ๐ ) (1 โ 2 ) ๐โ1 ๐๐ก
= Jumlah item
โ ๐ ๐2 = Jumlah varians skor tiap-tiap item ๐๐ก2
= Varians total
14 Dalam penelitian akan dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan nilai Cronbach Alpha yaitu suatu instrumen dikatakan reliable, apabila nilai Alpha Cronbach > 0,60.
2.6 Analisis Regresi Linier Berganda
Perubahan nilai suatu variabel tidak selalu terjadi dengan sendirinya, namun perubahan nilai variabel dapat pula disebabkan oleh berubahnya variabel lain yang berhubungan dengan variabel tersebut. Untuk mengetahui pola perubahan nilai suatu variabel yang disebabkan oleh variabel lain diperlukan alat analisis yang memungkinkan kita membuat perkiraan nilai variabel tersebur pada nilai tertentu variabel yang mempengaruhinya. Analisis regresi merupakan teknik untuk membangun persamaan. Persamaan ini dapat menggambarkan hubungan antara dua atau lebih variabel dan menaksir nilai variabel dependen berdasar pada nilai tertentu variabel independennya. Hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen ini dapat dirumuskan ke dalam suatu bentuk hubungan fungsional ๐ = ๐(๐1 , ๐2 , โฆ , ๐๐ ) yang menyatakan bahwa ๐ adalah variabel dependen, ๐1 , ๐2 , โฆ , ๐๐ adalah variabel independen..
2.7 Metode Regresi Stepwise Forward Metode forward adalah langkah maju dimana memasukkan variabel bebas ๐๐ satu demi satu menurut urutan besar pengaruhnya terhadap model, dan berhenti bila semua yang memenuhi syarat telah masuk. Urutan penyisipannya ditentukan dengan menggunakan koefisien korelasi sebagai ukuran perlunya variabel bebas ๐๐ yang masih di luar persamaan untuk dimasukkan ke dalam persamaan, dan tidak dipersoalkan apakah korelasi positif atau negatif karena yang diperhatikan
15 hanyalah eratnya hubungan antara variabel bebas ๐๐ dengan ๐ sedangkan arah hubungan tidak menjadi persoalan.
2.6.1
Membentuk Matriks Koefisien Korelasi
Koefisien korelasi yang dicari adalah koefisien korelasi linier sederhana antara Y dengan Xi, dengan rumus: ๐๐ฆ๐ฅ๐ = โ๐ Dengan: ๐ฬ
= ๐ ๐ ,
โ(๐๐๐ โ ๐ฬ
๐ )(๐๐ โ ๐ฬ
) 2 2 โโ(๐๐๐ โ ๐ฬ
๐ ) โ(๐๐ โ ๐ฬ
)
j = 1, 2, 3, ..., n
โ๐ ๐ฬ
๐ = ๐ ๐๐ , i = 1, 2, 3, ..., k
๐๐ฆ๐ฅ1 ๐๐ฆ๐ฅ2 Bentuk matriks koefisien korelasi linier sederhana antara Y dan Xi: ๐ = ( โฎ ) ๐๐ฆ๐ฅ๐
2.6.2
Membentuk Regresi Pertama (Persamaan Regresi Linier)
Variabel pertama yang diregresikan adalah variabel yang mempunyai harga mutlak koefisien korelasi yang terbesar antara Y dengan Xi, misalkan Xh. Dari variabel ini dibuat persamaan regresi linier ๐ = ๐0 + ๐โ ๐โ 1 ๐โ1 1 ๐โ2 ๐=( ) โฎ โฎ 1 ๐โ๐ ๐1 ๐2 ๐=( ) โฎ ๐๐
(๐โฒ๐)โ1
๐ =( โ ๐โ
โ๐ ๐โฒ๐ = ( ) โ ๐โ ๐
โ ๐โ โ1 ) โ ๐โ2
16 ๐ ๐ฝ = (๐โฒ๐)โ1 . ๐ โฒ ๐ = ( 0 ) ๐1 Keberartian regresi diuji dengan tabel analisis variansi (Anava). Perhitungan untuk membuat anava sebagai berikut: SSR = ๐ฝ โฒ ๐ โฒ ๐ โ SST = ๐ โฒ ๐ โ
(๐ โฒ ๐ฝ๐) (โ ๐)2 = โ (๐ฝ๐ โ ๐๐ ๐) โ ๐ ๐
(๐โฒ๐ฝ๐) (โ ๐)2 = โ ๐2 โ ๐ ๐
Dimana: SSR = Sum Square Regresion (Jumlah Kuadrat Regresi) SST = Sum Square Total (Jumlah Kuadrat Total) 1 1 โฆ 1 1 1 โฆ 1 ๐ฝ= 1 1 โฆ 1 nxn โฎ โฎ โฆ โฎ [1 1 โฆ 1] J = Matriks berordo n x n dengan semua nilai adalah 1 SSE = SST โ SSR SSR
MSR = pโ1
SSE
MSE = nโp
SSE = Sum Square Error (Jumlah Kuadrat Kesalahan) MSE = Mean Square Error (Rata-Rata Kuadrat Kesalahan)
Sehingga didapat harga standart error dari b, dengan rumus ๐ 2 (๐ฝ) = ๐๐๐ธ(๐โฒ๐)โ1
๐(๐0 ) = โ๐ 2 (๐0 )
Tabel 2.3 Analisis Variansi Untuk Uji Keberartian Regresi Sumber Variansi Regresi (๐ฟ๐ ) Residu Total
df
SS
MS
Fhitung
p -1 n-p
SSR SSE SST
MSR MSE
MSR MSE
Uji Hipotesa: H0 : Regresi antara Y dengan Xh tidak signifikan H1 : Regresi antara Y dengan Xh signifikan
17
Keputusan: Bila Fhitung < F(p โ 1; n โ p; 0,5) maka terima H0 Bila Fhitung โฅ F(p โ 1; n โ p; 0,5) maka tolak H0
2.6.3
Seleksi Variabel Kedua Diregresikan
Cara menyeleksi variabel yang kedua diregresikan adalah memilih parsial korelasi variabel sisa yang terbesar. Untuk menghitung harga masing-masing korelasi parsial dengan rumus: ๐๐ฆ๐ฅโ โ ๐๐ฆ๐ฅ๐ ๐๐ฅโ ๐ฅ๐
๐๐ฆ๐ฅโ ๐ฅ๐ =
2 )(1 โ ๐ 2 โ(1 โ ๐๐ฆ๐ฅ ๐ฅโ ๐ฅ๐ ) ๐
Dimana: ๐๐ merupakan variabel sisa
2.6.4
Membentuk Regresi Kedua (Persamaan Regresi Linier Berganda)
Dengan memilih korelasi parsial variabel sisa terbesar untuk variabel tersebut masuk dalam regresi, persamaan regresi kedua dibuat ๐ = ๐0 + ๐โ ๐โ + ๐๐ ๐๐ dengan cara sebagai berikut: 1 ๐โ1 1 ๐โ2 ๐=( โฎ โฎ 1 ๐โ๐
๐๐1 ๐๐1 ) โฎ ๐๐๐
๐1 ๐2 ๐=( ) โฎ ๐๐ ๐ฝ=
(๐โฒ๐)โ1
(๐โฒ๐)โ1
๐ = (โ ๐โ โ ๐๐
โ๐ ๐ โฒ ๐ = (โ ๐โ ๐) โ ๐๐ ๐ ๐0 . ๐ ๐ = (๐โ ) ๐๐ โฒ
โ ๐โ โ ๐โ2 โ ๐โ ๐๐
โ ๐๐ โ1 โ ๐โ ๐๐ ) โ ๐๐2
18 Uji keberartian regresi dengan tabel anava sama dengan langkah kedua yaitu dengan menggunakan tabel 2.2. Selanjutnya diperiksa apakah koefisien regresi bk signifikan, dengan hipotesa: H0 : bk = 0 H1 : bk โ 0 ๐
Fhitung = (๐(๐๐ ))
2
๐
Keputusan: a) Bila Fhitung < F(1;
n โ p; 0,05),
terima H0 artinya bk dianggap sama dengan nol,
maka proses diberhentikan dan persamaan yang terbaik ๐ = ๐0 + ๐โ ๐โ . b) Bila Fhitung โฅ F(1; n โ p; 0,05), tolak H0 artinya bk dianggap tidak sama dengan nol, maka variabel Xk tetap di dalam penduga.
2.6.5
Seleksi Variabel Ketiga Diregresikan
Dipilih kembali harga korelasi parsial variabel sisa terbesar. Menghitung harga masing-masing parsial korelasi variabel sisa dengan rumus: ๐๐ฆ๐ฅโ ๐ฅ๐ ๐ฅ๐ =
๐๐ฆ๐ฅโ ๐ฅ๐ โ ๐๐ฆ๐ฅ๐๐ฅ๐ ๐๐ฅโ ๐ฅ๐๐ฅ๐ 2 โ(1 โ ๐๐ฆ๐ฅ )(1 โ ๐๐ฅ2โ ๐ฅ๐๐ฅ๐ ) ๐ ๐ฅ๐
Dimana: ๐๐ merupakan variabel sisa
2.6.6
Membentuk Persamaan Regresi Ketiga
Dengan memilih korelasi parsial terbesar, persamaan regresi dibuat ๐ = ๐0 + ๐โ ๐โ + ๐๐ ๐๐ + ๐๐ ๐๐ , dengan cara sebagai berikut: 1 ๐โ1 1 ๐โ2 ๐=[ โฎ โฎ 1 ๐โ๐
๐๐1 ๐๐2 โฎ ๐๐๐
๐๐1 ๐๐2 ] โฎ ๐๐๐
19
(๐โฒ๐)โ1
โ ๐โ ๐ โ ๐โ โ ๐โ2 = โ ๐๐ โ ๐โ ๐๐ [ โ ๐๐ โ ๐โ ๐๐
โ1
โ ๐๐ โ ๐๐ โ ๐โ ๐๐ โ ๐โ ๐๐ โ ๐๐2 โ ๐๐ ๐๐ โ ๐๐ ๐๐ โ ๐๐2 ]
โ๐ โ ๐โ ๐ ๐โฒ๐ = โ ๐๐ ๐ [ โ ๐๐ ๐ ]
Untuk proses selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama seperti diatas.
2.6.7
Pembentukan Persamaan Penduga
Persamaan penduga ๐ฬ = ๐0 + ๐๐ ๐๐ dimana Xi adalah semua variabel X yang masuk kedalam penduga (faktor penduga) dan bi adalah koefisien regresi untuk Xi.
2.6.8
Pertimbangan Terhadap Penduga
Sebagai pembahasan suatu penduga, untuk menanggapi kecocokan penduga yang diperoleh ada dua hal yang dipertimbangkan yakni: a. Pertimbangan berdasarkan R2 Suatu penduga sangat baik digunakan apabila persentase variabel yang dijelaskan sangat besar atau bila R2 โ 1
b. Analisa residu Suatu regresi adalah berarti dan model regresinya cocok (sesuai berdasarkan nilai observasi) apabila asumsi dibawah ini dipenuhi: ๐๐ โ N(0, ๐ 2 ) berarti residu (ej) mengikuti distribusi normal dengan mean (e) =
0 dan varian (ฯ2) = konstanta
Asumsi ini dibuktikan dengan analisis residu. Untuk langkah ini pertama dihitung residu (sisa) dari penduga, yaitu selisih dari respon observasi terhadap hasil keluaran oleh penduga berdasarkan prediktor observasi. Dengan rumus: ๐๐ = ๐๐ โ ๐ฬ๐ dimana tabelnya seperti dibawah ini:
20 Tabel 2.4 Analisa Residu No. Observasi 1 2 3 โฎ N
Respon
Penduga
Residu
๐1 ๐2 ๐3 โฎ ๐๐
๐ฬ1 ๐ฬ2 ๐ฬ3 โฎ ๐ฬ๐
๐1 โ ๐ฬ1 ๐2 โ ๐ฬ2 ๐3 โ ๐ฬ3 โฎ ๐๐ โ ๐ฬ๐
Jumlah
-
-
โ ๐๐
Rata-rata
-
-
โ ๐๐ ๐
Asumsi ฬ
= 0) a. Rata-rata residu sama dengan nol (๐ b. Varian (ej) = Varian (ek) = ๐2
Keadaan ini dibuktikan dengan uji statistika dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman (Spearmanโs Rank Correlation Test), ditunjukkan dengan tabel berikut:
Tabel 2.5 Rank Spearman No. Observasi
Penduga Residu Rank Rank ๐(๐๐ โ ๐๐ ) (๐๐ ) (Yj) (Y) (e)
๐๐
1 2 3 โฎ n
๐1 ๐2 ๐3 โฎ ๐๐
๐1 ๐2 ๐3 โฎ ๐๐
๐๐ฆ1 ๐๐ฆ2 ๐๐ฆ3 โฎ ๐๐ฆ๐
๐๐1 ๐๐2 ๐๐3 โฎ ๐๐๐
d1 d2 d3 โฎ d๐
d12 d22 d23 โฎ d2๐
Jumlah
-
-
-
-
-
โ d๐2
Koefisien korelasi Rank Spearman (rs): ๐๐ = 1 โ 6 (
โ d๐2
) n(n2 โ 1)
21 Dimana: ๐๐ n
= Perbedaan rank yang diberikan oleh dua karakter yang berbeda = Jumlah responden
Kemudian diuji dengan menggunakan Uji t dengan rumus: t hitung =
๐๐ โn โ 2 โ1 โ ๐๐ 2
Dimana: ttabel = t(nโ2, 1โฮฑ) n โ 2 = Derajat kebebasan ฮฑ
= Taraf signifikan hipotesa.
Dengan membandingkan tes terhadap tabel, bila thitung < ttabel maka, varian (ej) = varian (ek) dengan kata lain bila thitung < ttabel, maka varian seluruh residu adalah sama. Bila terbukti varian (ej) = varian (ek) maka model yang digunakan yakni model linier adalah cocok.