Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Remaja Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian remaja yang akan dibahas di bawah ini. Menurut Herie ( 1996 : 9 ) mengatakan bahwa : Remaja adalah anak yang berumur 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Dalam dunia pendidikan berarti masa sekolah tingkat SLTP dan SLTA. Pada masa ini dikenal sebagai masa pubertas. Pengertian ini dikecualikan apabila yang bersangkutan sudah menikah. Artinya, meskipun seseorang usianya baru 16 tahun dan telah menikah, maka dia bukan lagi sebagai seorang remaja. Sedangkan masa pubertas atau masa pancaroba atau masa transisi adalah sebagai pengistilahan posisi kejiwaan remaja. Dimana pada saat itu, dia tidak lagi dikatakan sebagai anak - anak, namun juga belum mampu bertindak sebagai orang dewasa. Menurut Powell ( 1989 : 10 ) masa remaja digolongkan : “ Pre adolescence from ten to twelve years; early adolescence from thirteen to sixteen years, and late adolescence from seventeen to twenty one years ” yang artinya : “ masa sebelum remaja dari 10 sampai 12 tahun; masa awal remaja dari 13 sampai 16 tahun, dan masa remaja akhir dari 17 sampai 21 tahun “. Sedangkan menurut Luella Cole dalam Mulyono ( 1995 : 15 ) menyebutkan masa remaja dan membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu : “ early adolescence 13 to 15 years, middle adolescence 16 to 18 years, late adolescence 19 to 21 years “ yang artinya : “ masa awal remaja 13 sampai 15 tahun, masa pertengahan remaja 16 sampai 18 tahun, masa akhir remaja 19 sampai 21 tahun. “ Masa remaja juga dapat dikatakan sebagai masa peralihan dari masa kanak - kanak menuju kedewasaan. Dalam Mulyono ( 1995: 16 ) mengatakan bahwa :
9
Masa remaja merupakan masa peralihan. Masa peralihan yang dimaksudkan di sini adalah peralihan dari masa anak - anak menuju ke masa dewasa atau merupakan perpanjangan dari masa kanak - kanak sebelum mencapai masa dewasa. Jadi anak - anak pada umur ini tidak dapat dikatakan anak - anak lagi, tetapi belum dapat dikatakan golongan dewasa. Karenanya dalam masa ini seakan - akan remaja berpijak diantara dua kutub, yaitu kutub yang lama ( masa anak anak ) yang akan ditinggalkan , dan kutub yang baru, yaitu masa dewasa yang masih akan dimasuki. Selain pendapat diatas ada pula pendapat bahwa masa remaja merupakan masa krisis identitas karena terkadang seorang remaja melakukan perbuatan yang terkadang dianggap di luar batas kewajaran karena pada dasarnya perbuatan anak ( remaja ) di satu pihak berada dalam masa mencari identitas diri, sedang mengalami perkembangan atau pertumbuhan fisik dan mental yang belum stabil / matang ( Mulyono, 1995 : 10 ). Mighwar ( 2006 : 108 ) mengemukakan tentang pandangan kaum remaja terhadap tinggi rendahnya status mereka : Tinggi rendahnya status seseorang, yang menjadi ukuran prestisenya biasanya digambarkan dengan hal – hal yang bersifat simbolik dan bagi remaja, hal – hal yang bersifat simbolik itu menunjukkan status sosial ekonomi yang lebih tinggi daripada teman – teman lain dalam kelompok, dan bahwa dia bergabung dengan kelompok dan merupakan anggota yang diterima kelompok karena penampilan atau perbuatan yang sama dengan anggota kelompok lainnya. Remaja merasa dirinya harus lebih banyak menyesuaikan diri dengan norma – norma kelompok sebaya daripada norma – norma orang dewasa atau lembaga, kerena mereka ingin dianggap dewasa, bukan anak – anak lagi. Adapun menurut Wirawan dalam Jiwaningrat ( 2008 : 15 ) : Masa remaja terdiri dari 3 tahapan : 1. Masa persiapan fisik ( umur 11 – 15 tahun ) : yang mencolok adalah perubahan dari segi fisik 2. Masa persiapan diri ( 15 – 18 tahun ) : persiapan fisik sudah selesai dijalani, kedewasaan tumbuh dan kematangan sosial sudah tercapai, akan tetapi kedewasaan dan rasa tanggung jawab belum sepenuhnya diperoleh.
10
3. Masa persiapan dewasa ( 18 – 21 tahun ) : pada masa ini kebanyakan kaum muda masih belum dapat kepastian tentang masa depannya. Diharapkan sudah tercapai status kedewasaan dalam lingkungan keluarga. Sedangkan menurut Sarlito ( 2006 : 10 ), remaja adalah mereka yang berusia antara 12 – 21 tahun, di mana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak – anak lagi. Pada usia remaja menandakan keterkaitan emosional, pembelaan diri yang tinggi, bahkan fanatisme kuat terhadap teman sebayanya, remaja akan marah besar bila keluarga / orang tua memberikan penilaian negatif pada perilaku sahabat dan teman – temannya.
2.2 Konsep Remaja Jepang Para remaja sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat tidak memikirkan akibat dari perbuatan mereka. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati – hati, lebih pecaya diri, dan mampu bertanggung jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati diri positif pada remaja. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai “ seseorang yang baru “. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “ idola “ – nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Kumagai ( 1996 : 73 ) menyatakan bahwa pada umumnya generasi Jepang yang lahir sesudah tahun 1960 - an memiliki karakteristik dan tabiat yang kurang lebih mirip, karena sesudah tahun tersebut penduduk Jepang sudah tidak lagi merasakan bencana 11
kemiskinan maupun kelaparan dikarenakan perekonomiannya yang sudah jauh lebih baik, maka banyak generasi muda Jepang yang memiliki sifat emosional, banyak tingkah, dan kurang kurang menanggapi segala sesuatu secara serius serta kurang mempedulikan hal-hal yang tidak menarik atau menyenangkan bagi mereka. Kaum remaja Jepang juga merupakan kaum yang amat sangat tergantung pada kehidupan berkelompok dan sangat mudah terpengaruh oleh teman - temannya, oleh karena itu mereka seringkali terjerat oleh hal - hal yang kurang terpuji karena mereka sudah terlanjur masuk dalam kelompok yang kurang baik. Kaum remaja di Jepang juga tidak berbeda jauh dengan kaum remaja di negara lainnya dalam hal sifat kekanak kanakan, kurang berkomitmen atau termotivasi dalam melakukan hal - hal tertentu, terutama dalam hal pelajaran. Selain itu, Kumagai (1996 : 74 ) juga berpendapat bahwa : Kepribadian remaja Jepang masa kini yang ekspresif dapat dilihat dengan kegemaran mereka tampil menari - nari mengikuti lagu yang diputar di radio di depan umum, di jalan raya dan tampil sebagai band musik, terutama di daerah yang ramai oleh kaum remaja misalnya Shibuya dan Harajuku di Tokyo. Kegiatan tersebut adalah salah satu cara bagi remaja Jepang untuk mengekspresikan emosi dan kepribadian mereka masing - masing. Genereasi muda Jepang yang berbeda cukup jauh dengan generasi sebelumnya dalam segi pandangan hidup tentunya akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan sanjungan dan kesan baik dari generasi yang lebih tua, khususnya yang sangat memandang adapt istiadat asli Jepang sebagai panutan hidup. Matsumoto ( 2002 :110 ) mengatakan bahwa : Kaum remaja Jepang masa kini cenderung kurang memperhatikan tata karma dan norma moral di kalangan masyarakat. Hal tersebut terjadi seiiring dengan semakin berkembangnya gaya hidup yang sarat akan kebebasan dalam bertingkah laku sehingga membuat kaum remaja Jepang seringkali lupa akan posisi mereka sebagai orang yang belum dewasa dan harus menyadari bahwa di atas mereka ada lapisan masyarakat yang lebih senior dan harus dihormati dan disegani.
12
Menurut Tamotsu ( 1996 : 10 ) : 若者文化とは、それまで世間に広く認知されてき『既存の』文化からは異 端と見なされるような『新しい』価値観を 13 歳から 25 歳程度の青年支持 することによって成立する文化。 Terjemahan : Budaya kaum muda Jepang adalah kebudayaan yang dilatar belakangi, yang diakui oleh masyarakat luas yang merupakan hasil perwujudan dari budaya baru yang didukung oleh kaum muda yang berusia kira – kira 13 sampai 25 tahun yang membentuk nilai budaya baru. Pada usia tersebut merupakan usia belasan yang tidak menyenangkan karena pada usia ini terjadi banyak perubahan seperti pada fisik, psikis, maupun sosial. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Banyak kenakalan remaja atau anak di bawah umur menimbulkan keresahan dan perdebatan dalam masyarakat. Sebagian di negara – negara lain yang mengalami hal yang sama dalam mengahadapi kenakalan remaja, reaksi pemerintah dan media massa di Jepang menganjurkan agar hukuman diperberat dan proses hukum bagi remaja juga diperketat, disamakan dengan orang dewasa. Semiun ( 2003 : 301 ) menjelaskan bahwa ketidakseimbangan dalam diri remaja tersebut disebabkan oleh keadaan emosi yang berubah – ubah. Hal ini menyebabkan orang sulit memahami diri remaja dan remajapun sulit untuk memahami diri mereka sendiri. Banyaknya kemunculan kasus aborsi di Jepang dilatar belakangi oleh para remaja, menimbulkan banyak tanda tanya yang mengarah pada faktor pemicu terjadinya kasus tersebut. Yang mengejutkan masyarakat adalah para remaja pelaku terkadang termasuk dalam individu yang sensitive, pintar, dan termasuk dalam keluarga menengah biasa. Tindakan para remaja ini tidak hanya mengungkapkan permasalahan internal
13
dalam diri mereka sendiri tetapi menunjuk pada tekanan – tekanan yang dibebankan pada para remaja ini oleh perubahan dalam masyarakat jepang itu sendiri. Tamotsu ( 1996 : 13 – 14 ) : 文化変動の歴史は、多くの場合、若者の反抗から生まれている。若者が大 人達と違った文化を持って、常に新しい社会をきずり上げていく。こうし て、大人文化に対する若者文化、青春文化、下位文化と呼ばれるものが、 何時の時代、どこの社会にも存在した。その中でも特に社会の変化を生み 出す文化は、 counter culture ( 反抗文化 ) であろう。かつての大学紛争は、 その典型的な一つで、大人文化が持っていた多くのよたてや問題がはやし く摘発され、そこから新しい文化が築かれていく。体制側と真正面から戦 いを挑む反抗ではなくとも、ネクタイや髪型といったソフトな風俗の移ろ いも、また、例外なしに若者の中から生まれてきた。 Terjemahan : Perubahan kebudayaan banyak lahir dari perlawanan para remaja. Para remaja memiliki kebudayaan yang berbeda dengan orang dewasa. Hal ini membuat lahirnya masyarakat baru. Kebudayaan remaja yang sangat bertolak belakang dengan kebudayaan orang dewasa ini disebut sebagai kebudayaan masa muda / kebudayaan standar bawah. Kebudayaan ini selalu ada dalam setiap jaman dan masyarakat. Diantaranya yang paling membawa perubahan dalam masyarakat disebut dengan counter culture ( 反抗文化 ). Perselisihan yang terjadi selama ini merupakan bagian dari counter culture. Kebudayaan baru lahir dari terbukanya banyak masalah dari kebudayaan orang dewasa. Perlawanan anak muda merupakan keberanian untuk berhadapan langsung dengan sistem yang sudah ada. Dari kebudayaan anak muda itulah lahir pergerakan adat istiadat yang lembut ( soft ), seperti model rambut atau bentuk dasi.
2.3 Teori Aborsi Aborsi menurut dr. Agus Abadi dari UPF, Lab Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Dr. Soetomo, FK Unair, “ Abortus ( definisi yang lama ) - adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan pada usia kehamilan sebelum 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.” WHO memperbaharui definisi Aborsi yakni Aborsi adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan di bawah 28 minggu atau berat janin kurang dari 1000 gram. Aborsi juga diartikan mengeluarkaan atau membuang baik
14
embrio atau fetus secara prematur ( sebelum waktunya ). Istilah Aborsi disebut juga Abortus Provokatus ( Inilah yang belakangaan ini menjadi ramai dibicarakan ). Abortus yang dilakukan secara sengaja. Jadi Aborsi adalah tindakan pengguguran hasil konsepsi secara sengaja. Menurut Prof. dr. H. Dadang Hawari, Psi dalam bukunya yang berjudul Aborsi Dimensi Psikoreligi ( 2006 : 62 ) mengatakan bahwa : Aborsi ( pengguguran ) berbeda dengan keguguran. Aborsi atau pengguguran kandungan adalah terminasi ( penghentian ) kehamilan yang disengaja ( abortus provocatus ). Yakni kehamilan yang di provokasi dengan berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah kehamilan yang berhenti karena faktor-faktor alamiah ( abortus spontaneous ). Adapun pengertian aborsi menurut Made Heny Urmila Dewi ( 1997 : 11 ) : Secara umum dikatakan bahwa pengguguran kandungan ( abortus ) adalah pengakhiran kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya, yang pada umumnya disepakati terjadi pada usia 28 minggu. Setelah lewat batas 28 minggu, pengakhiran kehamilan tidak lagi dinamai abortus, tetapi pembunuhan janin infanticide. Kapan pengakhiran kehamilan itu dianggap sebagai pengguguran masih menjadi perdebatan. International Medical Advisory Panel ( IMAP ) dan International Planned Parenthood Federation ( IPPF ) beranggapan bahwa pengakhiran kehamilan sejak saat awal gestasi ( sejak sel telur yang sudah dibuahi terimplatasikan di dinding rahim ) sebagai pengguguran kandungan induced abortion. Adapun menurut Prof. Dadang Hawari ( 2006 : 66 ) : Abortus Provocatus Criminalis adalah pengguguran kandungan karena indikasi non medik dan tergolong tindak criminal. Penguguran janin dengan tidak pandang umur, apakah janin itu belum berusia tiga bulan atau sudah berusia di atas tiga bulan. LaFleur ( 1992 : 195 ) mengatakan bahwa dalam masyarakat Jepang modern, aborsi adalah suatu rasa sakit dan penderitaan, yang melibatkan janin dan ibu yang
15
mengandungnya. Aborsi menurut anggapan Budhisme bukanlah perbuatan dosa tetapi sebagai kebodohan alami manusia ( gu ), manusia seringkali salah dalam mengungkapkan rasa syukur serta rasa bersalah yang berlebihan sehingga menimbulkan hubungan perasaan yang kurang enak. Oleh sebab itu sangatlah perlu untuk membuat suatu sikap yang dapat membuat perasaan menjadi positif kembali. Walaupun pendangan Budhisme masih mengalami kesulitan dalam menerjemahkan pengertian liberalisme dan dalam menyampaikan gaya bertingkah laku seksual yang sesuai bagi orang – orang yang masih lajang ( shinguru ), ajaran Budha ini tidak melarang tindakan aborsi. Mereka dapat mengembangkan toleransi moral dan menunjukkan simpati pada wanita dalam mengatasi kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut.
2.4 Konsep Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Aborsi Masyarakat Jepang menganggap aborsi merupakan hal yang wajar karena mereka sudah mengenal aborsi sejak pada masa Meiji ( dimulainya restorasi Meiji 1868 ), untuk memenuhi tenaga kerja, pemerintah mengeluarkan undang-undang anti aborsi dan menyatakan praktek aborsi sebagai tindak pidana terkecuali jika sang ibu memang diharuskan untuk melakukan aborsi. Jika mempunyai alasan yang kuat, aborsi merupakan hak individu yang akan melakukan aborsi itu sendiri ( Muramatsu, 1996 : 30 ). Sumiko dalam Gelb dan Palley ( 1994 : 78 ) mengatakan bahwa : Hal menarik lainnya menyangkut masalah aborsi dalam kehidupan nyata masyarakat Jepang adalah besarnya angka aborsi yang dilakukan oleh para remaja. Menurut data statistik yang dihimpun, di Jepang telah terjadi 1,2 juta kasus aborsi di Jepang atau 50,2 kasus / 1000 wanita dalam usia produktif ( 15 – 49 tahun ) pada tahun 1995. 30 % kasus aborsi dilakukan oleh para wanita untuk menghindari kehamilan yang tidak dikehendaki. Sebagian besar dari mereka sebelumnya telah melakukan aborsi satu kali, dan beberapa lagi menyatakan telah melakukannya lebih dari satu kali. 16
Pernyataan Prof. Sumiko Iwao di atas, mendukung survey Yasuda yang dilakukan sebelumnya ( 1965 ). Dengan menghimpun data dari 1.500 responden wanita berusia 12 – 24 tahun diketahui bahwa 49,6 % dari seluruh responden tersebut telah melakukan minimal 1 kali aborsi. presentase yang lebih besar berhasil dihimpun oleh survey yang dilakukan oleh Kyodo News Service ( Layanan Berita Kyodo ) tahun 1982, bahwa 58,2 % hingga 64,1 % responden mengaku telah melakukan tindakan aborsi. Sawanobori ( 1989 : 244 ) mengatakan bahwa : Dengan adanya undang – undang yang melegalkan aborsi menimbulkan pernyataan bahwa Jepang merupakan surga untuk aborsi ( abortion’s heaven ) dan berpengalaman sebagai penyebab terjadinya ledakan pengguguran kandungan ( mizuko boom ). Dengan predikat baru ini, pada tahun 1980 muncullah sejumlah argumen yang menginginkan peninjauan kembali tentang legalisasi aborsi di Jepang sebagai suatu rasa keprihatinan. Dari pihak pemerintah mengusulkam amandemen untuk menghapuskan alasan ekonomi sebagai alasan aborsi ( Sawanobori, 1989 : 246 ). LaFleur ( 1992 : 136 – 138 ) mengungkapkan bahwa meningkatnya aborsi dinyatakan dengan pula dengan 2 alasan sebagai berikut : Alasan pertama, berkembangnya anggapan bahwa pelaksanaan aborsi bukanlah suatu tindak kriminal mendorong banyk pihak menerima praktek aborsi sebagai hal yang biasa dan para wanita dapat dengan mudah melakukannya. Rasa bersalah yang ditimbulkan oleh aborsi dapat dihilangkan dengan mengikuti ucapara pemujaan kepada Dewa Budha, Dewa Jizo ( dewa yang dipercaya sebagai penjaga anak – anak ), dalam upacara pemujaan Mizuko Jizo ( upacara ritual untuk mendoakan arwah janin kepada pelindung anak – anak ). Para pelaku aborsi dapat melakukan aturan – aturan pemujaan Mizuko Jizo tanpa sembunyi – sembunyi.
17
Alasan kedua, adanya upacara mizuko kuyo ( upacara ritual untuk mendoakan janin – janin yang digugurkan ). Selain adanya upacara mizuko jizo, upacara mizuko kuyo ini merupakan bentuk dukungan agama Budha di Jepang terhadap pelaku aborsi dengan menyediakan pelayanan upacara pemakaman untuk arwah janin – janin yang digugurkan. Dewasa ini, upacara mizuko kuyo dapat dilaksanakan dengam berbagai cara dan menonjolkan formalitas, baik dari segi ukuran, jenis, maupun biaya yang dikeluarkan. Istilah mizuko kuyo telah dikenal luas oleh mereka yang melakukan pengguguran janin dan dilakukan dengan cara yang eksklusif dan terbuka.
18