BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam tahap perkembangan manusia, setiap manusia pasti mengalami masa remaja atau adolescence. Menurut WHO (2007) masa remaja terjadi pada usia antara 10 – 24 tahun, sedangkan menurut Menteri Kesehatan RI (2010) adalah 10 – 19 tahun. Masa ini merupakan masa peralihan dari masa anak – anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perkembangan secara fisik, psikologis, dan sosial ekonomi (WHO, 2007). Perkembangan fisik ditandai dengan adanya pematangan organ reproduksi. Masa remaja biasanya menunjukkan maturasi dan memasuki masa pubertas yang disertai dengan mengalami menstruasi (Potter dan Perry, 2005). Menstruasi merupakan hal fisiologis pada wanita yang terjadi dari masa menarche sampai menopause. Menstruasi atau haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Proverawati dan Misaroh, 2009). Menstruasi terjadi karena adanya pengaruh hormon reproduksi (Fitria, 2007). Usia menstruasi berbeda – beda pada setiap orang, tergantung pada berbagai faktor, tetapi biasanya dimulai antara usia 10 – 16 tahun. Pada saat menstruasi, terjadi pengeluaran darah dari vagina. Hal ini terjadi karena tidak dibuahinya sel telur, sehingga sel telur akan luruh bersama lapisan didnding rahim yang banyak terdapat pembuluh darah. Lama siklus haid berkisar 21 – 35 hari, dengan rata – rata 28 hari. Siklus menstruasi terdiri dari 2 fase, yaitu fase proliferasi dan fase luteal atau sekresi. Fase proliferasi terjadi selama 7 – 21 hari di mana terjadi pematangan folikel dalam ovarium. Sedangkan pada fase luteal atau sekresi terjadi penebalan rahim yang
kemudian apabila sel telur tidak dibuahi akan terjadi peluruhan pada hari ke – 28 (Sinsin, 2008). Hampir seluruh perempuan yang mengalami menstruasi mempunyai pengalaman nyeri haid dengan tingkatan yang berbeda. Mulai dari rasa pegal pada bagian panggul dan perut bagian bawah hingga nyeri yang luar biasa sakitnya. Dalam istilah medis rasa sakit atau nyeri dan kram saat haid disebut dengan dysmenorrhea (Sinsin, 2008). Ada dua jenis dysmenorrhea, yaitu dysmenorrhea primer dan dysmenorrhea sekunder. Apabila rasa sakit yang terjadi karena adanya peradangan panggul, struktur panggul yang tidak normal, pelekatan jaringan pada panggul, endometriosis, tumor, polip, kista ovarium dan penggunaan IUD dinamakan dysmenorrhea sekunder. Tetapi jika rasa sakit yang terjadi tidak disertai dengan adanya riwayat infeksi pada panggul atau panggul dalam keadaan normal dinamakan dysmenorrhea primer. Gejalanya ditandai dengan rasa mual, muntah, sakit kepala, nyeri punggung, dan pusing. Para ahli menduga ini terjadi karena adanya kontraksi rahim. Sebanyak 75 % kasus dysmenorrhea yang dialami perempuan adalah jenis dysmenorrhea primer (Sinsin, 2008). Data lain menyebutkan bahwa 60% perempuan usia 15-44 tahun yang mengalami menstruasi mengeluhkan adanya dysmenorrhea. Menurut Derek (2001) dan Baradero (2006), 10-25% dysmenorrhea yang dialami wanita termasuk kategori berat yang disertai mual, muntah, dan diare yang dapat membuat penderita tidak berdaya sehingga mengganggu aktivitas kerja dan aktivitas sehari-hari. Studi di Amerika Serikat didapatkan setengah dari remaja perempuan mengalami dysmenorrhea ketika menstruasi. Dari 113 remaja yang melakukan konsultasi dokter, 29–44 % dari jumlah pasien tersebut mengalami dysmenorrhea. Hal ini diperkuat dengan laporan internasional yang menyebutkan prevalensi dysmenorrhea sangat tinggi dan setidaknya 50% remaja putri mengalami sepanjang tahun reproduktif. Studi epidemiologi di Swedia juga melaporkan angka prevalensi nyeri menstruasi sebesar 80% remaja usia 19-21 tahun mengalami nyeri menstruasi, 15% membatasi aktivitas harian ketika menstruasi dan membutuhkan obat–obatan penangkal
nyeri, 8-10% tidak mengikuti atau masuk sekolah dan hampir 40% memerlukan pengobatan medis (Anurogo, 2011). Sementara di Indonesia diperkirakan angka kejadian dysmenorrhea berkisar 45-95% di kalangan wanita usia produktif (Proverawati dan Misaroh, 2009). Sumber lain menyebutkan angka kejadian dysmenorrhea di Indonesia sebesar 64,25% yang terdiri dari 54,89% dysmenorrhea primer dan 9,36% dysmenorrhea sekunder. Hendrik (2006) menunjukkan bahwa dysmenorrhea primer dialami oleh 60 - 75% perempuan muda. Dan tiga perempat jumlah tersebut mengalami dysmenorrhea dengan intensitas ringan atau sedang. Sedangkan seperempat lainnya mengalami dysmenorrhea dengan tingkat berat dan terkadang menyebabkan penderita tidak berdaya dalam menahan nyerinya tersebut (Proverawati dan Misaroh, 2009). Banyaknya gejajala yang muncul saat dysmenorrhea dapat berpengaruh pada aktivitas kerja dan aktivitas sehari – hari (Baradero, 2006). Pada remaja sendiri, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati dan Kusumawati (2011) menyebutkan bahwa dysmenorrhea mengakibatkan penurunan aktivitas seperti
tidak mengikuti pelajaran di sekolah, tidak
mengikuti kegiatan, hanya tiduran, dan sulit berjalan. Hal ini juga diutarakan oleh Saguni dkk. (2013) yang menyebutkan terganggunya proses belajar mengajar pada saat dysmenorrhea dikarenakan adanya nyeri, sehingga dapat mengganggu konsentrasi remaja putri. Rasa nyeri yang timbul pada saat haid terjadi karena adanya produksi prostaglandin yang berlebihan pada endometrial selama fase luteal. Prostaglandin berdifusi ke dalam endometrial dan menyebabkan kontraksi rahim (Corwin,2009). Penanganan dysmenorrhea primer dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non-farmakologi. Terapi farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian obat – obatan prostaglandin inhibitor dan obat-obatan analgesik. Analgesik merupakan obat – obatan yang secara umum dapat menghilangkan nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri dengan efektif, namun penggunaan analgesik akan
berdampak ketagihan dan akan memberikan efek samping berbahaya bagi pasien. Pada remaja sendiri, penanggulangan nyeri haid yang sering dilakukan adalah dengan mengkonsumsi obat – obatan anti nyeri yang dijual secara bebas tanpa adanya konsultasi dengan dokter terlebih dahulu (Rahayuningrum, 2012).Sedangkan terapi non-farmakologi antara lain dapat dilakukan dengan kompres hangat, teknik relaksasi seperti nafas dalam, yoga, pijatan atau massage (PotterdanPerry,2005). Selain itu teknik relaksasi yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri adalah terapi self tapping. Self tapping adalah tapping touch yang dilakukan diri sendiri. Tapping touch adalah sebuah teknik perawatan secara menyeluruh yang menggunakan sentuhan dan irama. Pijatan lembut membantu untuk mengurangi ketegangan dalam tubuh dan pikiran serta untuk meningkatkan suatu perasaan sejahtera dan pemikiran positif. Self tapping merupakan terapi sederhana yang mudah dilakukan oleh siapapun, dapat dilakukan sendiri dan tidak memerlukan biaya yang banyak (The Asociation of Tapping Touch, 2010). Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan pada remaja puteri di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM, angka dysmenorrhea masih cukup tinggi. Dari 188 mahasiswi, mahasiswi yang mengalami dysmenorrhea sebanyak 134 orang. Selain itu, hampir semua mahasiswi belum mengetahui mengenai terapi self tapping saat mengalami dysmenorrhea. Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM. B. Rumusan Massalah Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana pengaruh terapi self tapping terhadap level nyeri dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh terapi self tapping terhadap level nyeri dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM. 2. Tujuan Khusus a.
Mengetahui level nyeri dysmenorrhea primer sebelum dan sesudah dilakukan self tapping pada kelompok intervensi.
b. Mengetahui level nyeri dysmenorrhea primer sebelum dan sesudah dilakukan nafas dalam pada kelompok kontrol.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak, baik secara teoritis maupun secara praktis, diantaranya sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya mengenai pengaruh terapi self tapping terhadap level nyeri dysmenorrhea primer. b. Manfaat Praktis 1. Bagi Peneliti Memberikan pengalaman mengenai penelitian dan dapat merasakan manfaat langsung terapi self tapping sehingga dapat mengaplikasikan sendiri cara menangani dysmenorrhea dengan terapi self tapping. 2. Bagi Responden Memberikan
pengetahuan
pada
responden
mengenai
cara
penanganan
dysmenorrhea dengan terapi self tapping sehingga responden dapat melakukan penanganan serupa apabila kembali mengalami dysmenorrhea. 3. Bagi Instansi Pendidikan
Hasil penelitian ini menambah kepustakaan, yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pengaruh terapi self tapping pada level dysmenorrhea. E. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan peneliti, belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh self tapping untuk menurunkan level dysmenorrhea pada mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta, terlebih menggunakan terapi self tapping. Namun ada beberapa penelitian sejenis yang telah dilakukan dengan meneliti intervensi lain untuk mengatasi dysmenorrhea. Penelitian tersebut diantaranya yaitu: 1. Sardjono, dkk (2012) dengan penelitian yang berjudul “Perbandingan Efektifitas Antara Aromaterapi Bunga Mawar Dengan Masase Dalam Menurunkan Intensitas Nyeri Pada Dysmenorrhea Primer Dengan Perlakuan Standar Kompres Hangat”. Penelitian ini adalah penelitian Quasy Experimental - Non Randomized Control Group Pretest Posttest Design yang bertujuan untuk membandingkan efektifitas aromaterapi bunga mawar dan masase dalam menurunkan intensitas nyeri pada dysmenorrhea primer dengan perlakuan standar kompres hangat.Instrumen dalam penelitian ini adalah skala nyeri Bourbonis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aromaterapi lebih efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada dysmenorrhea primer dibandingkan dengan masase dan kompres hangat. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel terikat atau variabel dependent yaitu level nyeri dysmenorrheaprimer. Sedangkan perbedaannya adalah pada variabel bebas. Pada penelitian ini menggunakan variabel aromaterapi bunga mawar dan masase, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan variabel bebas self tapping. Selain itu, pada penelitian ini menggunakan perlakuan standar dengan kompres hangat sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan perlakuan standarnya dengan teknik relaksasi nafas dalam. Instrumen penelitian ini
menggunakan skala nyeri Bourbunis, sedangkan pada penelitian yang akan digunakan menggunakan skala nyeri Numerical Analog Scale (NRS). 2. Siahaan, dkk (2011) dengan penelitian berjudul “Penurunan Tingkat Dismenore Pada Mahasiswi Fakultas Ilmu Keperawatan Unpad Dengan Menggunakan Yoga”. Tujuan dari penelitian
adalah
mengetahui
apakah
ada
pengaruh
yoga
terhadap
tingkat
dysmenorrheapada mahasiswi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan only one grouppretest dan posttest design, menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) skala 1-10. Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh yoga terhadap dysmenorrhea. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel bebas. Pada penelitian ini menggunakan variabel yoga, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan variabel bebas self tapping. Selain itu perbedaan terletak pada desain penelitian. Pada penelitian ini desain penelitian menggunakan desain quasi eksperimen dengan only one group pretest dan posttest design di mana tidak terdapat kelompok kontrol, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan desain one group pretest and posttest design with control group dimana terdapat kelompok kontrol sebagai pembanding.Instrumen penelitian ini menggunakan Visual Analog Scale (VAS)sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan Numerical Rating Scale (NRS). Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak padavariabel dependent,yaitu nyeri dysmenorrheaprimer. 3. Ajorpaz (2010) dengan penelitian berjudul “The effects of acupressure on primary dysmenorrhea: A randomized controlled trial”. Penelitian ini merupakan penelitian quasy experimental - non randomized control group pretest posttest design. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terapi accupressure pada nyeri dysmenorrhea primer. Untuk pengkajian nyeri digunakan Visual Analog Scale (VAS).Hasil penelitian menunjukkan
bahwa SP6 acupressure
mempunyai efek yang signifikan dalam menurunkan
dysmenorrhea 1, 2 dan 3 jam setelah tindakan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah variabel dependent penelitian dan design penelitian. Adapun variabel terikat yang digunakan adalah penurunan level dysmenorrhea dan desain penelitian quasy experimental - non randomized control group pretest posttest design. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebas atau independent dan instrumen yang digunakan. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah acupressure sedangkan variabel bebas yang peneliti gunakan dalam penelitiannya yaitu self tapping. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Visual Analog Scale (VAS)sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan Numerical Rating Scale (NRS).