Bab 2 Landasan Teori
2.1
Konsep Agama Menurut Masyarakat Jepang Mengenai Agama dan Tradisi di Jepang dalam Buku Panduan Jepang (1996)
disebutkan bahwa pada umumnya orang Jepang adalah penganut agama Shinto, Budha, atau agama-agama baru yang berafiliasi pada Shinto dan Budha serta sejumlah kecil penganut Kristen. Kebanyakan orang Jepang akan memberikan jawaban saya tidak beragama, agama tidak perlu bagi orang Jepang ataupun jawaban semacamnya jika mereka ditanyakan tentang agama apa yang mereka anut. Memang sulit untuk mengukur keagamaan orang Jepang. Di rumah-rumah mereka biasanya bukan saja butsudan (altar Budha) yang akan kita temukan, tapi di rumah tersebut bisa kita temukan pula kamidana (altar Shinto). Jika dilihat dari angka sensus penduduk beragama di Jepang, biasanya menunjukkan jumlah angka penduduk beragama yang mencapai satu setengah kali jumlah penduduk Jepang yang sesungguhnya. Orang Jepang tidak mempercayai suatu agama tertentu, tetapi hal itu tidak berarti orang Jepang tidak melakukan ibadah agama. Pada tahun baru, kebanyakan orang Jepang berkunjung ke kuil Budha atau kuil Shinto untuk berdoa keselamatan dan kebahagiaan selama tahun baru ini (hatsumode). Saat itu kuil-kuil terkenal sangat ramai. Selama setahun dalam beberapa kali, terutama hari peringatan meninggalnya kerabat dekat, mereka akan berziarah ke makam nenek moyang (hakamairi). Saat menikah, banyak orang Jepang yang melakukan upacara pernikahan di gereja. Tetapi pada umumnya orang Jepang tidak tahu ajaran agama dan tidak punya minat pada ajarannya. 9
Orang Jepang sendiri menganggap semua itu kebiasaan, bukan kegiatan agama (Ishizawa, 2005) Memang jika kita bertanya pada orang Jepang, apakah mereka memiliki agama. Sering dijumpai bahwa mereka agak sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Namun, jika kita perhatikan sikap dan perilaku orang Jepang dalam fenomena kehidupan sehari-hari seperti dalam upacara pemujaan leluhur atau perayaan-perayaan yang berhubungan dengan pemujaan terhadap alam dan perayaan yang bertujuan untuk memanjatkan rasa syukur, maka kita akan mendapatkan kesan bahwa orang Jepang mempercayai atau meyakini adanya sesuatu (Yudhasari, 2003: 73). Kepercayaan atau keyakinan orang Jepang tersebut diimplementasikan dalam sikap dan tingkah laku dalam suatu kegiatan yang disebut dengan matsuri (Yanagita, 1987: 42). 2.2
Konsep Shinto Pengertian Shinto dalam Shinto Online Network Association (2006) adalah istilah
umum bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang Jepang untuk memuja dewa surga dan bumi. Shinto terdiri dari dua huruf kanji yaitu shin yang artinya dewa (bisa juga dibaca kami) dan tou yang artinya jalan, jadi shinto memiliki arti jalan dewa (the way of heaven). Pengertian lainnya mengenai Shinto disebutkan pula oleh Tanaka (1990:294-295): 一般に「神道」と言った場合、日本民族などの固有の神、神霊に基づ いて発生し、展開してきた宗教の総称」であるとされているが、神や 神霊についての信念や伝統的な祭祀ばかりでなく、広く生活習俗や伝 承されている考え方などもその中に含まれる。 Umumnya, yang dimaksud dengan Shinto adalah kata yang digunakan untuk mewakili kepercayaan tradisional orang Jepang yang berlandaskan kepercayaan
10
terhadap dewa dan roh. Tidak hanya itu, secara luas ajaran Shinto juga menjadi pedoman bagi orang Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Di dalam Japan Guide (2007) dijelaskan bahwa Shinto tidak mempunyai pendiri ataupun alkitab. Dewa Shinto dikenal dengan sebutan kami. Kami yang disembah ada sebanyak delapan juta. Manusia akan menjadi kami setelah mereka mati dan dipuja oleh keluarga mereka sebagai keturunan kami. Dalam agama shinto tidak ada yang benar dan salah, tidak memiliki tempat yang paling suci untuk para pemuja, tidak ada orang atau dewa yang dianggap paling suci, dan bahkan tidak mempunyai ketetapan doa. Shinto adalah sekumpulan ritual dan metode yang bermaksud untuk membatasi hubungan antara manusia dan kami. Shinto adalah sebuah kepercayaan kuat bahwa manusia pada dasarnya baik, dan kejahatan dipercaya disebabkan oleh roh-roh jahat. Oleh karena itu, tujuan utama ritual-ritual dalam Shinto adalah untuk menjauhkan roh-roh jahat dengan pembersihan dan berdoa kepada kami. Kuil-kuil Shinto adalah tempat untuk pemujaan dan rumah dari kami itu sendiri. Banyak kuil yang merayakan festival (matsuri) secara teratur yang bertujuan untuk menunjukkan kami ke dunia luar. Setiap laki-laki dan perempuan dapat menjadi pendeta, dan mereka boleh menikah dan mempunyai anak. Pendeta dibantu perempuan-perempuan muda (miko) sewaktu menjalankan ritual dan kegiatan-kegiatan lain di kuil. Miko menggunakan kimono berwarna putih dan harus yang belum menikah serta biasanya anak perempuan pendeta. Kami berasal dari kata kakurimi (sosok/tokoh yang tersembunyi) dengan mengambil suku kata awal dan akhir, sehingga berbentuk menjadi kami. Kami secara umum menunjuk pada suatu hal yang misterius dan gaib yang mempunyai kekuatan yang melampaui kekuatan manusia di dunia. Kami mempunyai dua kepribadian yang 11
berlawanan yaitu pertama yang menyebabkan orang-orang merasa ketakutan, sedangkan yang lainnya menyebabkan orang merasa tak berdaya tanpa kami. Kami dipercaya ada pada beberapa hewan seperti ular, tanaman (biasanya pada pohon-pohon besar seperti pohon cedar) atau komponen alam seperti sungai, pegunungan, atau bebatuan. Walaupun kami adalah kata yang paling dikenal, jika penekanannya dirubah maka kata kami dapat disebut juga dengan tama atau mono (Ishikawa,1986:77). Menurut The Cambridge Encyclopedia of Japan (1993: 154) dalam ajaran Shinto terdapat beberapa tipe kami, yaitu 1. kami yang berada dalam objek alam seperti pohon besar, gunung, dan sebagainya. 2. Kami yang dipuja sesuai keahlian pemujanya, misalnya kami bagi para nelayan, petani, tukang kayu, dan sebagainya yang dipercayai akan memberkati dan melindungi mereka 3. Ujigami adalah kami yang melindungi suatu desa atau keluarga tertentu 4. Ikigami adalah kami yang berupa manusia yang masih hidup seperti miko atau penemu agama dalam zaman modern ini 5. Hitogami adalah manusia yang dipuja sebagai kami setelah kematiannya. Seringkali mereka meninggal dengan tidak baik atau secara tidak wajar yang lalu kemarahan roh tersebut mengakibatkan terjadi bencana maupun kekacauan. 6. kami yang berasal dari cerita dalam buku pertama Kojiki seperti Dewa Amaterasu, Izanagi dan Izanami, dan Susano O Mikoto.
12
Inti ajaran dalam agama Shinto adalah untuk memuja kami, yang bisa juga diterjemahkan sebagai dewa atau roh alam (Littleton, 2002). Dalam agama Shinto tidak terdapat alkitab namun mempunyai Kojiki dan Nihon shoki. Kojiki adalah catatan kuno tentang Shinto dan Nihon shoki merupakan cerita tentang sejarah Jepang. Dalam kojiki diceritakan tentang Izanagi dan Izanami yang menciptakan pulau Jepang dan para dewa Shinto. Dewa-dewa Shinto diciptakan pada saat Izanagi mensucikan dirinya di dataran Ahagi di Tachibana. Pada saat Izanagi membersihkan mata kirinya maka lahirlah dewi Amaterasu Omi Kami, pada saat membersihkan mata kanannya maka lahirlah Tsukiyomi No Mikoto dan pada saat membersihkan hidungnya maka lahirlah Susano O Mikoto (Jorgenson, 2003). Empat penegasan Shinto dalam Religious Tolerance (1995) adalah sebagai berikut : 1. Tradisi dan keluarga. Setiap keluarga selalu menjaga dan mempertahankan tradisi. Perayaan utama keluarga berkaitan dengan kelahiran dan pernikahan. 2. Kecintaan akan alam Alam itu suci, untuk berhubungan dengan alam maka harus mendekatkan diri ke dewa. Objek-objek di alam disembah sebagai roh yang suci. 3. Kebersihan fisik Setiap pengikut Shinto membasuh diri dan tangan mereka serta berkumur sesering mungkin. 4. Matsuri Penyembahan dan penghormatan kepada kami dan roh nenek moyang. 13
Ono (1992:51-57) menjelaskan bahwa terdapat empat unsur penting dalam upacara pemujaan Shinto, yaitu: 1) Penyucian atau pembersihan (harai) 2) Persembahan (shinsen) 3) Doa ritual Shinto (norito) 4) Pesta simbolik (naorai) Unsur pertama berupa penyucian (harai) adalah ritual yang bertujuan untuk membersihkan semua kotoran, kejahatan dan iblis yang dapat mengganggu kehidupan yang sesuai dengan jalan kami dan kemanjuran suatu pemujaan yang disebut dengan tsumi (polution). Penyucian ini dilakukan oleh para pendeta. Biasanya bila ritual ini dilakukan oleh pemuja, orang awam ataupun pendeta secara individu maka dilakukan secara simbolis dengan membersihkan mulut dan membasuh tangan dengan air bersih. Ini disebut dengan temizu yang secara harafiah berarti air tangan. Penyucian formal dilakukan oleh seorang pendeta yang diawali dengan pembacaan doa penyucian dan mengayunkan tongkat penyucian dengan cara yang khas didepan individu, sekelompok orang atau objek yang akan disucikan. Sebagai simbol dari penyucian adalah sebatang bambu, ranting sakaki, atau batang padi yang dilekatkan dengan kertas putih yang digantung ditempat-tempat tertentu. Menurut Picken (1994:172) terdapat tiga bentuk cara penyucian, yaitu harai, misogi dan imi. Harai adalah penyucian yang dilakukan oleh pendeta dengan menggunakan harai-gushi (semacam tongkat yang dilekati dengan kertas putih) yang diarahkan dan dikibaskan kepada tempat atau orang yang akan disucikan. Misogi adalah ritual penyucian yang sering disertai dengan penaburan garam atau air garam dan 14
penyucian yang dilakukan dengan berendam di sungai atau laut dan berdiri di air terjun. Imi adalah penyucian berupa pantangan terhadap kata-kata tertentu dan tindakan tertentu, misalnya kata kiru (potong) tidak boleh dipakai pada saat pernikahan selain itu kata deru (keluar) juga dianggap tabu. Persembahan (shinsen) sebagai unsur kedua dalam pemujaan Shinto merupakan ritual yang tidak boleh diabaikan karena hal ini dipercaya dapat membuat kami terutama nenek moyang merasa tidak senang dan ketidakberuntungan akan selalu menyertai orang yang mengabaikan kewajiban ini. Persembahan biasanya menyesuaikan dengan tradisi lama. Persembahan yang paling sederhana adalah beras, garam, air, dan ranting sakaki. Persembahan yang biasanya juga sering dijumpai adalah bunga-bunga petik. Empat jenis persembahan yang umumnya dipersembahkan adalah: 1) Uang Persembahan uang dilakukan dengan melempar koin ke dalam kotak persembahan di depan dekat altar atau dengan berdana untuk kepentingan kuil. 2) Makanan dan minuman Persembahan makanan dapat berupa makanan yang belum dimasak maupun yang telah dimasak. Adapula persembahan yang berupa makanan kesukaan dari Kami yang dihormati sebagai orang yang bersejarah. 3) Barang Berbagai macam benda yang hebat termasuk ke dalam persembahan ini, seperti kertas dari jaman dulu, kain sutra atau katun, uang, perhiasan, senjata dan bahkan alat pertanian. Di beberapa kuil terdapat pula persembahan hewan.
15
4) Benda atau kegiatan simbolis Persembahan benda simbolis biasanya berbentuk ranting tumbuhan sakral sakaki yang dilekatkan dengan beberapa carik kertas putih yang disebut tamagushi. Berbagai macam hiburan, seperti tarian, drama, gulat, dan panahan juga dianggap sebagai persembahan kepada kami. Musik dan tarian juga bertujuan untuk memberikan hiburan kepada kami tetapi para pemuja juga dapat menikmatinya. Berbagai hiburan itu disebut juga dengan kan-nigiwai yang sering ditampilkan pula di berbagai perayaan matsuri. Unsur ketiga adalah doa (norito). Doa-doa upacara yang dibacakan atau dibawakan oleh pendeta di kuil adalah bahasa Jepang klasik. Doa upacara tersebut tidak dimengerti oleh orang Jepang sekarang kecuali bagi yang khusus belajar mengenai hal itu. Pada jaman dahulu, banyak cerita sejarah hebat dan catatan penting lainnya yang ditulis dengan indahnya dan dibuat dengan berirama syair untuk memudahkan diturunkan kepada generasi berikutnya. Sesuai aturan doa akan dibuka dengan kata-kata pujian terhadap kami, membuat beberapa surat keterangan untuk asal mula dan sejarah dimulainya suatu festival atau acara, menunjukkan rasa terimakasih, melapor dan mengajukan permohonan kepada kami, menyebutkan satu persatu persembahan yang diberikan, memberikan nama dan status pendeta, dan terakhir menambahkan kata-kata sebagai tanda hormat dan kekaguman. Unsur yang terakhir adalah pesta simbolik (naorai). Di setiap akhir upacara Shinto terdapat pesta simbolik yang disebut naorai yang memiliki arti makan bersama
16
dengan kami. Kegiatan ini diisi dengan acara minum sake dimana setiap teguk sake diminum dengan khidmat dan dilanjutkan dengan makan-makan penuh kegembiraan. Menurut Ross (1983:75) dalam ajaran Shinto terdapat benda-benda yang dianggap suci seperti pedang, kaca dan mutiara. Tiga benda ini merupakan benda yang sangat penting bagi umat Shinto. Ross menjelaskan arti dari ketiga benda itu sebagai berikut: The Mirror reflects from its bright surface every object as it really is, irrespective of goodness or badness, beauty or the reverse. This is the very nature of the Mirror, which faithfully symbolizes truthfulness, one of the cardinal virtues. The Jewel signifies soft-hearted-ness and obedience, so that it becomes a symbol of benevolence. The sword represents the virtue of strong decision, i.e. wisdom. Without the combined strength of these three fundamental virtues, peace in the realm cannot be expected. Cermin memantulkan/mencerminkan dari permukaan terangnya setiap objek seperti bentuk objek itu sendiri, tanpa tergantung kebaikan ataupun keburukan, keindahan ataupun sebaliknya. Itu merupakan sifat dasar cermin, yang dengan jujur menggambarkan keadaan yang sebenarnya, salah satu dari pokok kebaikan. Perhiasan mengartikan/menandakan kelembutan hati dan ketaatan/kepatuhan, jadi perhiasan menjadi sebuah simbol/lambang perbuatan baik/kebajikan. Pedang menggambarkan kebaikan/sifat baik keputusan yang kuat, yaitu kebijaksanaan. Tanpa gabungan/kombinasi kekuatan tiga kebaikan/kebajikan dasar tersebut, kedamaian tidak akan terwujud. 2.3
Konsep Matsuri Matsuri adalah bagian dari budaya spiritual orang Jepang dan banyak mengambil
bentuk dari upacara yang berkenaan dengan kepercayaan yang diyakini. Matsuri disebut juga girei atau gyoji yang mengandung arti ritual atau upacara. Matsuri itu sendiri mengandung dua makna. Makna pertama yaitu untuk mendoakan arwah para leluhur yang telah meninggal dunia dengan melakukan berbagai persembahan atau upacara, dan makna kedua mengacu pada suatu perayaan oleh kelompok masyarakat yang bertujuan 17
untuk memperingati atau merayakan rasa syukur pada dewa atas dilimpahkannya kemakmuran dan keselamatan. Matsuri juga merupakan upacara untuk memohon pada dewa agar dilimpahkan keselamatan bagi penduduk setempat (Yanagita, 1987: 42). Matsuri di Jepang awalnya dipusatkan pada ritual agraris seperti berdoa pada musim semi untuk hasil panen yang berlimpah dan pada musim gugur merayakan hasil panen, lalu setelah itu perayaan musim panas di kota menjadi bertambah untuk mengusir roh jahat dan penyakit. Semua perayaan ini diperuntukan untuk mententramkan dewa dan menjamin masyarakat untuk melanjutkan solidaritas dan kemakmuran, dan ini tidak sampai pada jaman Edo perayaan ini mulai menjadi populer semacam hiburan seharihari dalam hidup (Tanaka, 1990:104). Matsuri menurut The Kodansha Billingual Encyclopedia of Japan (1998) merupakan festival yang berasal dari bentuk perwujudan terhadap kepercayaan Shinto yang telah dilakukan sejak lama dan dilaksanakan setiap tahunnya pada tanggal yang telah ditentukan. Matsuri juga berasal dari ritual lama Shinto yang memiliki tujuan untuk menenangkan roh orang yang telah meninggal dan para kami, sebagai doa memohon panen yang melimpah dan sebagainya. Ada pula beberapa matsuri yang didalamnya memiliki percampuran dengan agama Budha, konfusianisme,dan negeri Cina. Matsuri merupakan tindakan secara simbolis agar manusia dapat berhubungan dengan kami. Tata cara pelaksanaan matsuri sudah ada sejak zaman kuno di Jepang. Pelaksanaannya dahulu dilakukan secara sederhana dalam lingkup keluarga atau desa. Matsuri yang dilakukan di dalam lingkup keluarga dipimpin oleh seorang kepala keluarga. Matsuri ini biasanya dilakukan untuk menghormati para leluhur dan memohon 18
keselamatan pada dewa yang mereka yakini, sedangkan matsuri dalam kelompok desa dipimpin oleh seorang pemimpin kuil (toya) yang dihormati di desa itu dengan tujuan untuk memohon keselamatan pada kami yang diyakini. Matsuri ini dapat pula berupa upacara memanjatkan rasa syukur atas berhasilnya panen pada tahun itu (Yudhasari, 2003: 72). Penyelenggaraan upacara matsuri pada mulanya tidak dilakukan di jinja atau kuil Shinto melainkan dilakukan di tempat yang diyakini sebagai tempat turunnya para dewa. Tempat-tempat itu biasanya berupa pohon-pohon yang tinggi, batu karang, dan tempat yang tinggi seperti gunung. Untuk menandai tempat-tempat itu, biasanya ditandai dengan tali jerami yang dilingkarkan pada pohon atau batu yang digantungi kertas-kertas suci (shimenawa). Shimenawa diyakini memiliki kekuatan untuk mengusir segala pengaruh jahat. Oleh penduduk setempat, di tempat-tempat seperti itu diberikan sesaji. Lama kelamaan tempat itu menjadi tempat yang sering didatangi oleh masyarakat. Akhirnya, di tempat itulah didirikan jinja atau kuil Shinto (Yudhasari, 2003: 75). Ono (1992:68-69) menjelaskan bahwa di dalam matsuri biasanya terdapat upacara pemindahan kami dari kuil ke dalam sebuah mikoshi yang merupakan jinja kecil untuk kami. Sebagai simbol kami, di dalam mikoshi ditempatkan selembar kertas yang bertuliskan nama kami tersebut. Kemudian mikoshi ini akan dibawa ke sebuah tempat yang akan menjadi tempat peristirahatan sementara untuk kami (otabisho) sebelum dikembalikan ke kuil. Mulanya matsuri terdiri dari dua bagian dasar: pemberian persembahan, puji-pujian, tarian dan naorai. Kemudian bagian ketiga ditambahkan, yaitu parade tandu kuil kecil (mikoshi) atau kendaraan hias (dashi) ataupun keduanya. Parade itu kemudian menjadi terkenal. Jika tidak terdapat parade-parade itu dalam 19
sebuah matsuri maka tampak bukan seperti matsuri yang sesungguhnya. Di masa sekarang parade mikoshi dan dashi adalah bagian terbesar dan indah dalam suatu matsuri. Dalam kegiatan matsuri, laki-laki muda secara kasar menggoncang-goncangkan sebuah mikoshi yang suci pada pundak mereka dan bersorak selagi maju ke jalan. Tujuannya adalah untuk membawa dewa yang telah turun ke kuil agar masuk ke dalam mikoshi tersebut dan diharapkan roh-roh baik dapat masuk dan roh-roh jahat dapat keluar. Alasan lain digoncangkannya mikoshi tersebut adalah karena orang-orang Jepang dahulunya percaya bahwa kekuatan dewa ditingkatkan dengan menggoncanggoncangkannya. Pada beberapa matsuri lokal, para pembawa mikoshi menabrakannabrakan mikoshi. Mereka percaya bahwa semakin kuat tabrakan yang dihasilkan maka semakin besar kegembiraan dewa. Dashi juga muncul di berbagai matsuri. Dashi seperti juga mikoshi, merupakan kendaraan yang sakral. (Ishikawa 1986:99) Ritual terakhir matsuri dalam Shinto adalah kami okuri yang merupakan pengiriman kembali dewa ke tempat di mana dewa-dewa berasal. Tempat ini tidak harus selalu jinja, bisa dimana saja antara lain, gunung, batu atau laut. Tempat-tempat tersebut jauh dari komunitas manusia (Herbert, 42:1982). Pada akhir zaman Meiji, fungsi matsuri yang tadinya hanya terbatas pada pemujaan leluhur di lingkup keluarga, bergeser menjadi suatu kegiatan kelompok masyarakat desa yang berfungsi sebagai wadah tempat berkumpul untuk merayakan, memperingati, atau mengucapkan rasa syukur. Hal ini merupakan salah satu bentuk implikasi dari kegiatan matsuri yang berfungsi mengikat rasa solidaritas sosial di antara kelompok masyarakat setempat (Yanagita, 1987 : 44).
20
2.4
Konsep Tenjin Matsuri Dalam Osaka-Info (2006) dijelaskan bahwa Tenjin Matsuri yang diadakan setiap
tahun pada tanggal 24 dan 25 Juli, termasuk salah satu dari tiga festival terbesar di Jepang. Tenjin Matsuri telah diadakan oleh kuil Osaka Temmangu selama 1000 tahun dan telah banyak mempengaruhi sejarah dan budaya tradisional Osaka. Temma adalah area yang berlokasi tidak jauh dari stasiun Osaka. Temma termasuk kota yang ramai di Osaka, dengan tempat-tempat perbelanjaan, kantor-kantor kecil, ruko-ruko, apartemen, dan rumah-rumah tua. Kuil Osaka Temmangu berada di di daerah ini dan orang-orang menyebutnya dengan nama Temma no Tenjin-san (kuil Tenjin di Temma). Festival Tenjin Matsuri di Osaka dirayakan untuk mengusir roh iblis pada musim panas dan sebagai upacara doa bagi arwah Sugawara Michizane (845-903 AD). Tenjin Matsuri dimulai tanggal 1 Juni tahun 951. Tenjin pada dasarnya memiliki arti Dewa surgawi (heavenly god) tetapi kemudian kata ini secara khusus mengarah pada roh seorang sarjana hebat yang bernama Sugawara Michizane. Dulunya berbentuk sebuah upacara yang diadakan di akhir musim panas (pada tanggal 30 Juni sesuai dengan kalender lunar) yang disebut dengan nagoshi no harai. Sebuah hoko (halberd) dialirkan di sungai Okawa yang berada di depan kuil Temmangu dan dimana hoko itu berhenti, di situlah dijadikannya tempat sebuah otabisho, sebuah lokasi yang dipakai untuk tempat munculnya Dewa Tenjin dan tempat orang menunjukkan tanda syukurnya atas hidup damai dan bahagia yang diberikan. Tahun 949, kaisar Murakami memerintahkan untuk mengabadikan Sugawara Michizane (845-903) di kuil Temmangu. Orang-orang biasa mengenal Michizane sebagai Tenjin-san. Selama bertugas di istana, Sugawara Michizane menunjukkan 21
kemampuan yang hebat dalam literatur. Tapi sayangnya dia terlibat dalam perebutan kekuasaan dalam istana dan menjadi korban tipu daya politik yang kemudian diasingkan ke Dazaifu (Kyushu), lalu setelah dua tahun ia wafat di sana. Tepat setelah kematiannya, banyak terjadi bencana di Kyoto. Badai-badai hebat, penyakit menular, salah satu bagian dalam istana kekaisaran disambar oleh halilintar dan juga orang-orang yang menfitnahnya mati satu per satu. Masyarakat dikejutkan dengan bencana ini dan diyakini bahwa semua ini disebabkan oleh tindakan Michizane yang marah dan mati dalam keputus-asaan. Walaupun orang-orang takut kepadanya, beberapa orang berpikir bahwa jika mereka memujanya, maka dia akan melindungi mereka. Saat kaisar Murakami mendengar kabar itu, dia memerintahkan untuk mendirikan Temmangu dan begitulah ceritanya bagaimana Dewa Tenjin diabadikan. Holtom (1991:179) mengatakan bahwa Dewa Tenjin menjadi salah satu kami dalam Shinto yang dikenal sebagai dewa pendidikan dan kaligrafi. Sepanjang sejarah, festival ini diadakan pada tanggal-tanggal yang berbeda, tetapi sekarang yoimiya (pembukaan festival) dirayakan pada tanggal 24 Juli dan honmiya (puncak festival) dirayakan pada tanggal 25 Juli yang merupakan hari ulang tahun Sugawara Michizane. Moyo-oshidaiko dan danjiri-bayashi memulai perayaan pada pukul 4 pagi di tanggal 24 Juli. Lalu diikuti dengan yoimiyasai (upacara pembukaan) dan pada tanggal 25 juli diisi oleh prosesi darat (riku-togyo) dan prosesi perahu (funa-togyo). Semua itu dirayakan selama lebih dari 1000 tahun.
22
Berikut rincian lebih jelasnya mengenai urutan kegiatan ataupun ritual yang terdapat dalam festival Tenjin Matsuri di Osaka. 1. Yoimiya (pembukaan festival) yang terbagi dalam yoimiyasai dan hokonagashishinji. 2. honmiya (puncak festival) yang terbagi pula ke dalam natsu taisai, riku-togyo, funa-togyo, dan kangyo-sai.
23