Bab 2 Landasan Teori
2.1
Konsep Masyarakat Jepang dalam Kehidupan Berkelompok Pada umumnya orang sering menyebutkan bahwa orang Jepang suka bekerja keras,
suka berkelompok, dan sebagainya. Orang Jepang pada umumnya cenderung kuat rasa keterikatannya terhadap kelompok di mana dia berada, terutama perusahaan tempat kerjanya. Bilamana perusahaannya menghadapi masalah atau tugas yang mendesak dan harus segera dituntaskan, maka para karyawan merasa terpanggil untuk ikut memikul beban kerja bersama-sama, dengan mengesampingkan kepentingan dan kesenangan pribadinya. Kesetiaan kelompok tidak terbatas di perusahaan atau kantor saja. Bisa saja dalam kelompok klub olahraga, klub kesenian, kelompok ketetanggaan, kelompok kelas di sekolah, kelompok seangkatan di universitas, dan lain lain. (Davies, 2002: 13) Orang yang masuk dalam sebuah kelompok, atau memang tergabung dalam sebuah kelompok seperti kelompok ketetanggaan, merasa adalah kewajibannya untuk bertindak seirama dengan kemauan kelompok dan tidak bertindak menonjolkan diri atau lain sendiri karena hal itu akan mengundang rasa kurang senang kelompoknya. Dijelaskan oleh Enomoto dalam Madubrangti (2002: 15) yaitu: Kesadaran akan adanya struktur sosial dalam berinteraksi dengan orang lain pada waktu melakukan kegiatan dalam kegiatan berkelompok. Di dalam kegiatan berkelompok, setiap individu diberi kesempatan yang sama untuk menjadi senior atau atasan. Kesempatan ini pada akhirnya dapat membentuk jiwa kepemimpinan yang lahir dari pelatihan-pelatihan dan pendidikan dan disebut juga dengan kesadaran stratifikasi. Kesadaran stratifikasi dalam kehidupan berkelompok pada masyarakat Jepang menciptakan kerukunan bersama sebagai harmoni kelompok yang melahirkan rasa 11
saling memiliki dan rasa kebersatuan sesuai dengan status dan peran di dalam kelompok. Kesadaran stratifikasi, rasa memiliki, dan rasa kebersatuan ini menjadi nilai budaya masyarakat Jepang yang lahir dari pembinaan, pendidikan, atau pelatihan. Nilai ini ditanamkan pada anak mereka karena anak adalah generasi penerus masyarakatnya (Madubrangti, 2008: 15). Dijelaskan juga oleh Madubrangti (2008: 15) yaitu walaupun dikatakan bahwa masyarakat Jepang masa kini sudah berubah dan tidak lagi memiliki nilai budaya seperti yang dimiliki oleh orang-orang dari generasi terdahulunya, kehidupan kelompok yang didasari dengan nilai budaya tersebut masih berkembang dan tumbuh di lingkungan masyarakat Jepang hingga kini. Hal ini dapat dilihat dalam organisasi sekolah melalui kehidupan anak dalam menjalani sekolah di Jepang. Guru sekolah mengajarkan kebutuhan dan kepentingan yang sudah menjadi kebutuhan dalam masyarakatnya. Pendidikan yang diperoleh oleh orang terdahulunya diajarkan pula kepada anak-anak sebagai generasi penerusnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang Jepang untuk diteruskan kepada anak agar mereka mematuhi aturan, ini pola yang dijadikan pedoman menyeluruh bagi kehidupan masyarakat Jepang yang menjadi kebudayaannya. Prestasi seorang individu dalam kelompok bukan lagi prestasi pribadi yang bersangkutan tapi menjadi prestasi kelompoknya. Masyarakat Jepang kurang dapat menerima sifat individualisme, apalagi yang mencolok seperti dalam masyarakat Barat. Masyarakat Jepang selalu menjaga keharmonisan dengan kelompok, lingkungan, dan alam.
12
2.2
Teori Shuudan Shugi Shuudan shugi merupakan paham berkelompok yang dikenal sebagai bentuk budaya
orang Jepang. Dijelaskan dalam kutipan berikut: 日本人は集団主義的である、というのが日本文化論において日本人を特 徴づける最も顕著な見方である。この見地から、日本人は自我意識に欠 ける. この集団主義の見方は、文化人類学・社会学・社会心理学を始めと して多くの分野における日本研究に現われる (Yoshino, 1992:19). Terjemahan: Orang Jepang berpaham kelompok dimana pandangan tersebut dianut oleh orang Jepang yaitu adanya pandangan mengenai ciri khas bahwa orang Jepang harus memiliki pandangan dari shuudan ishiki di dalam diri sendiri. Dan dilihat dari pandangan shuudan shugi muncul penelitian Jepang yang mencakup penelitian yang luas berawal dari ilmu psikologi masyarakat, ilmu mengenai masyarakat, dan ilmu mengenai budaya masyarakat (Yoshino, 1992:19). Shudan Shugi dibagi menjadi tiga yaitu : 1. Shudan Shikou Kehidupan masyarakat Jepang ini semakin berkembang dan berubah menjadi masyarakat industri dan kini memasuki masyarakat teknologi canggih. Perkembangan dan perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang dibangun oleh satu kesatuan konsep kerja kelompok dalam mengatur kehidupan sosialnya sebagai kerangka berpikirnya, yaitu orientasi kelompok (shuudan shikou). Seperti dijelaskan Kawamoto dalam Madubrangti (2008: 17) berikut: Orientasi kelompok adalah kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok yang didasari kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok dalam suatu kehidupan sosial masyarakat yang diikat oleh kehidupan bekerja sama di dalam satu kesatuan kehidupan kelompok atau masyarakat.
13
Orang Jepang ketika berinteraksi dengan sesamanya di dalam berbagai kegiatan kelompok menunjukkan sikap keberadaannya dalam kelompok. Mereka berusaha keras menjalankan tugas sebagai tugas dan kewajibannya yang menjadi tanggung jawabnya dalam melakukan kegiatan agar mereka memperoleh hasil yang menguntungkan bagi kelompoknya. Hamaguchi dalam Madubrangti (2008: 18) menjelaskan bahwa kegiatan tersebut dilandasi oleh orientasi kelompok yang mampu mewujudkan keseimbangan dalam mengatur kehidupan sosial masyarakatnya, karena orang Jepang dalam melakukan
kegiatan-kegiatan
kelompok
menunjukkan
sikap
konsisten
dalam
mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan kelompok atau masyarakatnya. Hal ini terlihat pada orang Jepang masa kini. 2. Shudan seikatsu Mengenai pengertian shuudan seikatsu, Kawamoto dalam Madubrangti (2008: 19) menjelaskan yaitu: Kehidupan kelompok (shuudan seikatsu) adalah kehidupan sosial yang berlangsung atas dasarnya adanya kerja sama kelompok yang didasari atas kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok yang diikat oleh aturan, sistem, pola, dan pedoman tentang kehidupan dalam bekerja sama di dalam kelompok atau masyrakatnya. Adanya kesadaran tinggi dalam menjalankan kewajibannya menimbulkan rasa tanggung jawab di setiap individu yang termasuk dalam sebuah kelompok. Seperti dijelaskan Shimahara dalam Madubrangti (2008: 19) yaitu pembagian kerja yang merata sesuai dengan tugas dan kewajibannya merupakan sistem kehidupan berkelompok dalam melakukan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk kepentingan dan kesejahteraan kelompoknya. Hal ini menimbulkan rasa tanggung jawab para anggota kelompok terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Mereka berusaha keras menjalankan tugas dan
14
kewajiban sebagai tanggung jawabnya agar kelompok memperoleh hasil yang menguntungkan bagi diri anggota kelompok dan kelompoknya.
3. Shudan ishiki Selain kehidupan berkelompok (shuudan seikatsu) terdapat juga kesadaran berkelompok orang Jepang atau disebut dengan shuudan shuki (Ikeno, 2002:195). Dalam masyarakatnya Jepang, berpedoman pada sebuah kelompok merupakan hal yang sangat penting dan memberikan prioritasnya terhadap kelompok daripada diri sendiri. Kebanyakan masyarakat Jepang menyadari bahwa kebaikan yang sangat penting itu adalah dengan menyatakan setia kepada nilai-nilai kelompok yang diikutinya. Seperti dijelaskan dalam kutipan berikut: Most Japanese society, people are primaly group oriented and give more priority to group harmony than to individuals. Most japanese consider it an important virtue to adhere to the values of the groups to which they belong to (Ikeno, 2002: 195). Terjemahan: Kebanyakan dari masyarakat Jepang, penting bagi mereka untuk berpedoman pada sebuah kelompok dan memberikan prioritasnya secara lebih kepada kelompok daripada diri sendiri. Kebanyakan dari masyarakat Jepang menyadari bahwa suatu kebaikan yang sangat penting adalah setia kepada nilai-nilai dari kelompok yang diikutinya (Ikeno, 2002:195). Berdasarkan penjelasan di atas, loyalitas kepada kelompoknya ini menciptakan sebuah perasaan solidaritas dan mengedepankan konsep dari kesadaran berkelompok pun bisa dilihat dari berbagai aspek dalam kehidupan seperti perayaan matsuri ataupun kegiatan undokai di sekolah-sekolah Jepang. Di Jepang sendiri, para anggota kelompok menciptakan kode bersikap dalam kelompok mereka sendiri, dan kesadaran
15
berkelompok telah menjadi dasar bagi masyarakat Jepang itu sendiri (Ikeno, 2002: 195). Dijelaskan oleh Takeuchi dalam Ikeno (2002: 196) yaitu: Japanese in group are usually indifferent to outsiders. However, when outsiders are invited to come with appointments, they are treated courteously as formal guests. If they should try to join one’s group without any contact, however, they would never have a warm welcome and might secretly become people who should be refused admittance and axcluded from the group. Terjemahan: Dalam sebuah kelompok orang Jepang sangat membedakan diri dengan masyarakat luar. Bagaimanapun juga, ketika orang luar diundang datang dengan menggunakan janji terlebih dahulu maka mereka akan memperlakukannya dengan ramah dan sangat formal sebagai tamu. Akan tetapi, jika orang luar mencoba untuk menjadi bagian dari kelompok tanpa adanya hubungan terlebih dahulu maka orang-orang dalam kelompok tersebut tidak akan memberikan sambutan yang hangat dan akan melakukan penolakan untuk masuk ke dalam kelompok tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas maka dalam sebuah kesadaran kelompok yang tinggi tersebut tidak sembarangan orang bisa langsung menjadi anggota kelompok tersebut tanpa adanya hubungan dengan anggota kelompok terlebih dahulu. Akan tetapi tidak semua kehidupan kelompok dalam masyarakat Jepang menghasilkan suatu yang positif. Ada juga dampak negatif yang dihasilkan oleh kehidupan berkelompok. Seperti dijelaskan oleh Ikeno (2002: 197) berikut: Such group protection also causes individuals to refrain from becoming independent , however, and there are many examples of groupism working negatively. Terjemahan: Seperti halnya perlindungan dari sebuah kelompok juga menyebabkan individuindividu menahan diri dari pemikiran yang mandiri. Bagaimanapun juga banyak sekali contoh-contoh dari kelompok yang melakukan hal-hal negatif.
16
Kehidupan berkelompok yang menghasilkan negatif sekarang ini banyak sekali dijumpai di Jepang terutama yang dilakukan oleh remaja Jepang itu sendiri yang dilatar belakangi oleh kenakalan remaja yang berujung pada kriminalitas.
2.3
Teori Psikologi Remaja Istilah remaja dalam bahasa Inggris di sebut dengan youth atau Seinen dalam istilah
bahasa Jepang. Menurut Sarwono (2003: 47) masa remaja adalah masa yang pasti dialami oleh setiap orang. Pada tahapan ini seorang remaja adalah orang yang sangat peka terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya secara biologis maupun dengan sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Remaja sebagaimana manusia lain adalah makhluk monodualis, yang berarti selain sebagai makhluk individu mereka juga makhluk sosial yang mau tak mau membutuhkan orang lain dan dipengaruhi oleh keadaan sosial yang ada disekelilingnya karena hal ini usia remaja sangat rentan terhadap lingkungan sosialnya. Biasanya mereka mudah sekali terbawa arus pergaulan. Terdapat kategori untuk remaja yang dibagi menjadi dua yaitu remaja awal dan remaja akhir berdasarkan usia mereka. Remaja awal yaitu remaja yang usianya mulai berkisar antara 10 sampai 14 tahun dan remaja akhir pada umur 15 hingga 24 tahun. Dijelaskan dalam Sarwono (2003: 10) sebagai berikut: batasan umur remaja menurut WHO dibagi menjadi dua bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-24 tahun. Pada usia tersebut merupakan usia belasan yang tidak menyenangkan karena pada usia ini terjadi banyak perubahan seperti pada fisik, psikis, maupun sosial. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan 17
kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Menurut Ekowarni (1993) dikatakan bahwa pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku mengganggu. Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat kepribadian yang kurang baik akan memicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku karena lingkungan, pendidikan, serta industrialisasi mempunyai keterkaitan dalam pembentukan diri dalam remaja. Dijelaskan dalam kutipan berikut: Terdapat keterkaitan yang mendalam antara faktor-faktor lingkungan seperti peranan pendidikan, kehidupan perkotaan, industrialisasi dengan pembentukan diri dalam remaja (Munesuke, 1994:539). Kesamaan dari para remaja yang memiliki sisi perilaku menyimpang adalah kebanyakan dari mereka kurang mampu berkomunikasi dengan orang lain dan cenderung menarik diri dari pergaulan ataupun dijauhi oleh teman-temannya. Selain remaja-remaja yang berasal dari keluarga miskin, tidak menutup kemungkinan jika remaja dengan perilaku menyimpang berasal dari keluarga menengah ke atas yang tidak bermasalah, unsur dasar seperti kekurangan perhatian dan kasih sayang orang tua akibat kesibukan orang tua ataupun perceraian pun tetap menjadi faktor pemicu ketidakseimbangan perkembangan mental remaja selain faktor-faktor yang dijelaskan dalam kutipan di atas. Seperti di jelaskan dalam kutipan berikut ini: More over, adolescent living in communities with a high proportion of impoverished residents, female headed households, or joblessmales reported more problem behaviours irrespective of family structure (Hoffman, 2006: 867). Terjemahan: Remaja yang tinggal dalam komunitas dengan angka kemiskinan tinggi, ibu sebagai kepala rumah tangga, atau ayah yang pengangguran dilaporkan sering mengalami penyimpangan perilaku dalam keluarga (Hoffman, 2006: 867)
18
Banyaknya kenakalan remaja atau anak di bawah umur menimbulkan keresahan dan perdebatan dalam masyarakat. Sebagaimana di negara-negara lain yang mengalami hal yang sama dalam menghadapi kenakalan remaja, reaksi pemerintah dan media massa di Jepang adalah menganjurkan agar hukuman diperberat dan proses hukum bagi remaja juga diperketat, disamakan dengan orang dewasa. Kenakalan remaja sering kali dikaitkan dengan ketidak seimbangan mental dari remaja tersebut. Semiun (2003: 301) menjelaskan bahwa ketidak seimbangan dalam diri remaja tersebut disebabkan oleh keadaan emosi yang berubah-ubah. Hal ini menyebabkan orang sulit memahami diri remaja dan remaja pun sulit untuk memahami diri mereka sendiri. Banyaknya bermunculan kasus kejahatan di Jepang yang dilatar belakangi oleh para remajanya, menimbulkan banyak tanda tanya yang mengarah pada faktor pemicu terjadinya kasus tersebut. Yang mengejutkan masyarakat adalah para remaja pelaku terkadang termasuk dalam individu yang sensitif, pintar, dan termasuk dalam keluarga menengah biasa. Tindakan para remaja ini tidak hanya mengungkapkan permasalahan internal dalam diri mereka sendiri tetapi menunjuk pada tekanan-tekanan yang dibebankan pada para remaja ini oleh perubahan dalam masyarakat Jepang itu sendiri. Dalam pembentukan jati diri, para remaja sangat membutuhkan arahan dalam menentukan yang terbaik. Akan tetapi kurangnya komunikasi seakan membuat remaja ini bertindak sendiri dengan mencari perhatian lebih yang ternyata berlawanan dengan budaya dan masyarakatnya. Dijelaskan Erikson dalam Semiun (2003: 321) berikut: Remaja tidak dapat membiarkan dirinya untuk tidak menjadi apa-apa, ia berjuang agar dirinya diperhatikan meskipun ia berfungsi dalam cara yang berlawanan 19
dengan apa yang diterima oleh masyarakat atau kebudayaannya. Dan ini yang disebut dengan identitas negatif . Selain komunikasi, penghargaan dari pergaulan dan lingkungan sekitar terhadap remaja sangatlah penting. Baik buruknya reaksi yang diberikan terhadap remaja itu akan mempengaruhi kejiwaannya. Jika reaksi yang diterima remaja adalah sebuah reaksi buruk maka remaja akan menganggap diri mereka sebagai orang yang tidak memiliki pengaruh. Menurut Schofield dalam Semiun (2003: 321) dijelaskan: Sekurang-kurangnya sebagian dari diri seseorang yang mengalami sebagai seorang pribadi tergantung pada reaksi orang-orang lain terhadap dirinya. Kalau hubungan antar pribadi yang bermakna tidak ada, maka individu tidak dapat melihat dirinya sebagai orang yang berbeda atau orang yang memiliki pengaruh. Ini terjadi bila orang-orang memperlakukannya sebagai objek atau benda bukan manusia. Proses ini disebut depersonalisasi. Depersonalisasi telah dilihat sebagai salah satu penyebab utama penyakit mental. Dan penyakit mental ini telah banyak hinggap di kalangan remaja sehingga menyebabkan perilaku menyimpang pada remajanya. Seperti dijelaskan Glasser dalam Semiun (2003: 321) bahwa depersonalisasi adalah suatu faktor yang ikut menyebabkan kenakalan remaja. Pada hakikatnya remaja sangat membutuhkan perhatian dari keluarga juga lingkungan sekitarnya karena perhatian dari pihak orang dewasa sangat membantu remaja dalam menemukan jati diri mereka.
2.4
Teori Kriminalitas Pada Remaja
Kenakalan remaja dalam istilah asing disebut juga dengan juvenile delinquency yaitu perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda. Dijelaskan dalam kutipan berikut ini:
20
Juvenile delinquency ialah kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial ( Kartono, 2008: 7). Salah satu upaya untuk mendefinisikan penyimpangan perilaku remaja dalam arti kenakalan anak (juvenile delinquency) dilakukan oleh Jensen dalam Sarwono (2003: 205) yaitu sebagai berikut: Kenakalan anak adalah tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman. Secara keseluruhan, semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat ( norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga, dan lain lain) dapat disebut perilaku menyimpang. Akan tetapi, jika penyimpangan itu terjadi terhadap norma-norma hukum pidana barulah disebut kenakalan. Dengan demikian, kenakalan remaja akan dibatasi pengertiannya pada tingkah laku yang jika dilakukan oleh orang dewasa disebut sebagai kejahatan. Di luar itu, penyimpangan-penyimpangan lainnya hanya disebut perilaku menyimpang saja (Sarwono, 2003: 206). Wujud perilaku kenakalan remaja (delikuen) itu bermacam-macam salah satunya adalah kriminalitas remaja antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, maling, menyerang, mencopet, melakukan pembunuhan dengan cara menyembelih korban, mencekik, meracun, dan tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya (Kartono, 2008: 22). Kenakalan (delikuen) sendiri menurut Kartono (2008: 37) dibedakan menjadi dua yaitu delikuensi situasional dan delikuensi sistematik. Delikuensi situasional ini dilakukan oleh anak yang normal namun mereka banyak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan situasional dan tekanan lingkungan yang semuanya memberikan pengaruh “menekan-memaksa” pada pembentukan perilaku buruk. Sebagai produknya anak-anak 21
tadi suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Sedangkan Delikuensi sistematik yaitu kenakalan remaja yang dilakukan dan disistematisir dalam bentuk bergerombol atau satu organisasi yaitu gang. Kumpulan tingkah laku yang disistematisir itu disertai pengaturan, peranan tertentu, rasa kebanggaan, dan moral-moral delikuen yang berbeda dengan yang umum. Semua kejahatan remaja ini kemudian dibenarkan sendiri oleh segenap anggota kelompok sehingga kejahatannya menjadi terorganisir sifatnya (Kartono, 2008: 41-42). Di Jepang sendiri adanya bentuk pengabaian sosial seperti merenggangnya hubungan antar anggota keluarga, pihak orang dewasa yang acuh tak acuh, juga masalah-masalah ijime di sekolah menyebabkan berkembangnya perilaku-perilaku menyimpang pada remajanya. Munculnya bentuk kekhawatiran masyarakat mengenai kenakalan remaja sendiri sudah terjadi dimana-dimana dan mereka yang nantinya bergantung kepada remaja-remaja ini sangat khawatir mengenai tanggung jawab yang akan mereka jalani. Seperti dijelaskan dalam kutipan berikut ini: Anxieties about young people are commonplace everywhere. After all, youth represent the legacy of the begetting generation and the future of society. Those who will depend on today’s youth down the road have a natural tendency to worry about how the rapscallions will handle their future responsibilities (Kingston, 2006:60). Terjemahan: Kekhawatiran perihal remaja sedang terjadi dimana-mana. Mereka yang nantinya akan bergantung kepada remaja ini memiliki kecenderungan untuk khawatir akan bagaimana para remaja ini akan menangani tanggung jawab mereka nantinya (Kingston, 2006: 60). Dalam Kartono (2008: 25) dijelaskan bahwa terdapat teori mengenai terjadinya juvenile delinquency yaitu teori sosiogenis yaitu teori yang disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, juga faktor kultur dan 22
sosial, dan teori subkultur yaitu sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh para remaja delikuen. Selain karena faktor-faktor dalam teori tersebut, menurut Kartono (2008: 30) dijelaskan bahwa karena pesatnya pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk daerah- daerah perkotaan menjadi cepat pula berubah. Sebagian besar daerahnya dipakai untuk mendirikan bangunan-bangunan, industri, perumahan penduduk, kantor pemerintah dan militer. Semua upaya pembangunan itu mempunyai dampak samping berupa disrupsi sosial (kekacauan sosial). Disrupsi ini dicerminkan oleh semakin meningkatnya keluarga yang pecah berantakan, kasus bunuh diri, alkoholisme, korupsi, kriminalitas, pelacuran, delikuensi.
23