BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Teori-teori Perkawinan dalam Masyarakat Jepang Sebelum Tahun 1946 Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat perkawinan yang mungkin terlihat tidak umum bagi orang-orang dari negara lain. Konsep perkawinan bagi orang Jepang berbeda dari orang Barat. Perkawinan orang Jepang pada umumnya bersifat monogami (Danandjaja, 1997:344). Nakane (1978:3) mengatakan bahwa, perkawinan merupakan rencana untuk meneruskan kelangsungan keturunan, yaitu untuk menjaga kesinambungan satu keluarga.
Dalam masyarakat Jepang perkawinan dilakukan agar ie mereka dapat bertahan. Ie adalah salah satu sistem keluarga tradisional Jepang. Kemudian Fukushima (1993:46), mengatakan bahwa : けっこん
いえ
いえ
けっこん
結婚は家と家との結婚であった。 Perkawinan adalah perkawinan antara ie dengan ie.
Untuk mengetahui sistem keluarga Jepang dalam perkawinan, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan hubungan kekerabatan yang ada pada masyarakat Jepang. Menurut Nakane (1984:259) mengatakan bahwa ie dalam pengertian yang luas adalah sistem keluarga tradisional Jepang. Sistem ie inilah yang mengatur kehidupan keluarga di Jepang. Kesinambungan ie dapat berlangsung melalui perkawinan anak laki-laki pertama (choonan) atau anak perempuan pertama (choojyo) yang bersuamikan dari ie lain, yang disebut mukoyooshi (menantu laki-laki yang diadopsi). Untuk kelangsungan
10 ie, kepala ie yang disebut kachoo, memungkinkan bagi suatu keluarga yang tidak memiliki anak sama sekali untuk mengadopsi dari keluarga lain. Oleh karena itu, seorang wanita dapat sangat diharapkan untuk dapat memberikan keturunan sehingga kelangsungan ie dapat dipertahankan. Tujuan perkawinan di sini adalah : “marriage is, above all, an instituation designed to preserve a family’s good name”. (Masatsugu 1982:107). Terjemahannya, “Perkawinan sebenarnya di atas segalanya, sebuah lembaga yang dirancang untuk meneruskan nama baik keluarga”.
Menurut Eiko Shinozuka (1995:40), mengatakan bahwa, 家族の婚姻。縁組は戸主の同意が必要になる。 Terjemahannya, Persetujuan dari kepala keluarga dalam masalah perkawinan merupakan hal penting.
Dengan konsep di atas, menunjukan bahwa dalam masalah perkawinan kepala keluarga (ie) juga ikut campur dan mempunyai kuasa untuk memilih pasangan bagi para anggota keluarganya. Jadi sistem perkawinan pada masa ini dilakukan berdasarkan perjodohan karena dari setiap anggota keluarga tidak dapat menikah berdasarkan pilihannya sendiri. Menurut Lebra (1984:77) mengatakan bahwa perkawinan merupakan kerangka struktur sosial tradisonal yang diperlukan untuk kelangsungan ie. Konsep yang dikemukakan di atas memberikan pengertian yang jelas bahwa melalui perkawinan akan mendapat keturunan yang akan menggantikan kepemimpinan ie.
11 Hiroshi (1987:322) juga mengatakan bahwa perkawinan merupakan rencana untuk meneruskan keturunan yang diberitakan pada masyarakat umum, diakui oleh masyarakat sebagai penyatuan seksual yang berdasarkan janji perkawinan, uraian tentang hak dan kewajiban pasangan dan masa depan anak. Melalui pernyataan di atas memberi pengertian yang jelas bahwa di dalam perkawinan bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan biologis tetapi juga sebagai suatu proses untuk meneruskan garis keturunan yang sangat diperlukan untuk menjaga kesinambungan satu keluarga. Dan hal itu hanya dapat dicapai melalui perkawinan. Dalam masyarakat Jepang ada dua macam cara yang bisa ditempuh dalam melaksanakan perkawinan oleh kedua pasangan yang hendak menjalin ikatan perkawinan yaitu pertama berdasarkan miai kekkon. Miai - Omiai sebagai kata yang lebih halus adalah suatu proses perjodohan berupa perkenalan dan pertemuan antara pria dan wanita yang dilakukan untuk mencari atau menentukan pasangan hidup. Tujuan omiai tersebut pada dasarnya untuk mengetahui, mendalami dan memahami sifat-sifat atau karakter serta keadaan jasmani dan rohani masing-masing pribadi untuk dijadikan bahan pertimbangan apakah perkenalan dan pertemuan tersebut akan dilanjutkan pada tahap pernikahan atau tidak. Pelaksanaan miai biasanya diatur oleh seorang perantara yang disebut nakodo. Pernikahan yang didasari dengan miai ini dalam bahasa Jepang disebut miai kekkon. Kedua, perkawinan yang berdasarkan ren’ai kekkon. Ren’rai kekkon adalah pernikahan yang didasari hubungan cinta atau kasih sayang (ren’ai) yang kuat antara dua
insan
tanpa
melalui
(Sudjianto, 2002:62-63).
proses
perjodohan
yang
dilakukan
oleh
nakodo
12
2.2 Teori Transformasi
Mengenai transformasi, Leo Sutrisno mengungkapkan bahwa,
Transformatif adalah suatu kata sifat yang terkait dengan kata “transformasi.” Menurut asal katanya (bahasa latin : trans dan formatio), transformasi dapat diartikan sebagai suatu perubahan bentuk yang selalu terjadi dalam suatu proses. Dalam pengertian ini, tersirat dua aspek yang terkandung di dalam kata 'tranformasi yaitu; suatu perubahan bentuk dan suatu proses. (http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=19920)
Setelah Perang Dunia II, Jepang banyak melakukan perbaikan dalam undangundang negaranya terutama dalam mengenai sistem perkawinan dan sistem pendidikan. Dan sejak adanya perbaikan-perbaikan tersebut, masyarakat Jepang mengalami suatu transformasi khususnya dalam cara pandangnya terhadap perkawinan saat ini. Kini masyarakat Jepang memandang perkawinan bukan lagi sebagai urusan keluarga tetapi perkawinan sudah menjadi urusan individu. Perkawinan dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan bukan lagi berdasarkan persetujuan kepala keluarga. Selain itu, kapan dan dengan siapa mereka akan menikah, mereka sendirilah yang menentukannya.
13 2.3 Konsep-konsep Perkawinan dalam Masyarakat Jepang Setelah Tahun 1946 Sampai Sekarang Pada akhir tahun 1920-an, beberapa pemuda Jepang yang sudah terpengaruh oleh tradisi barat, mulai memilih pasangan hidup tanpa campur tangan keluarga, berdasarkan pada penilaian mereka dan daya tarik cinta. Perkawinan seperti ini disebut jiyu kekkon atau “perkawinan bebas”, yang kemudian berkembang menjadi ren’ai kekkon atau “perkawinan karena cinta” (Tanaka, 1995:12). Setelah Perang Dunia II, ren,ai kekkon menjadi populer. Selain itu, mengenai sistem perkawinan di Jepang setelah tahun 1946、Fukuchi (1972:269)、mengatakan bahwa, 家に関する事柄については、法律は個人の尊厳と、両性の本質的な平等 に立って決定しなければならなくなった。これによって、これまでの家 族制度は、根本的な変更をしなければならくなった。 Terjemahannya, Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Ie, hukum harus menetapkan berdiri pada persamaan (kedudukan) yang mendasar bagi pria dan wanita dan menghormati individu. Dengan adanya pernyataan di atas, menunjukkan bahwa adanya perubahan terhadap sistem keluarga Jepang. Sistem ie berubah menjadi sistem keluarga yang demokrasi. Kemudian pada tahun 1947 (setelah Perang Dunia II), Undang-undang Dasar dan Hukum Sipil Jepang ditetapkan prinsip kehidupan keluarga didasarkan pada saling menghargai martabat dan kesamaan antara pria dan wanita. Dalam sebuah artikel pasal 24 UUD 1947 yang berbunyi sebagai berikut, Marriage shall be based only on the mutual consent of both sexes and it shall be maintained through mutual cooperation with the equal rights of husband and wife
14 as a basis. With regard to choise of spouse, property rights, inheritance, choice of domicile, divorce and other matters pertaining to marriage and the family, laws shall be enacted from the standpoint of individual dignity and the essential equality of the sexes.
Perkawinan hanya dilakukan berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (pria dan wanita) dan dipelihara melalui saling kerjasama dengan dasar persamaan hak di antara suami isteri. Hukum mengenai pilihan pasangan, hak harta kekayaan, warisan, pilihan tempat tinggal, perceraian dan semua hal yang menyangkut perkawinan dan keluarga, dibuat berdasarkan martabat individu dan kepentingan persamaan antara pria dan wanita (EHS Law Buletin Series Japan).
Kemudian hal ini diperkuat dengan adanya Sidang Umum PBB tahun 1979, yang menetapkan sebuah perjanjian mengenai penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Dan pada tahun 1980 Jepang juga ikut menanda tangani perjanjian tersebut (Fukushima, 1993:69). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tujuan perkawinan telah mengalami perubahan, kini tujuan perkawinan adalah untuk kestabilan ekonomi, agar dihargai masyarakat, untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak, serta tempat tinggal bersama
dengan
orang
yang
dicintai
(http://www5.cao.go.jp/e-e/doc/life95so-e-
e.html#04). Menurut Yoshizumi (1995:196) mengatakan bahwa perkawinan dalam masyarakat modern Jepang tidak lagi merupakan sebuah hubungan antara satu keluarga dengan yang lain. Namun, secara teori, merupakan hubungan yang bebas dan sama di antara individu. Sejak adanya perubahan Undang- undang dasar Jepang dalam sistem perkawinan dan keluarga, kini masalah perkawinan menjadi urusan individu. Shigetaka Fukuchi (1972:269)、mengatakan bahwa,
15 けっこん
いえ
そんぞく
あ と つ ぎ え
る
また、結婚 は「家 の存続 」や「跡継ぎ 得る 」ためにするものでなく、 せいしんてきあんてい
ば
きたい
お お き く
「精神的安定の場」としての期待が大きくなっている。 Terjemahannya、 Selanjutnya mengenai masalah perkawinan, dilaksanakan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (mempelai) dan suami isteri ditetapkan memiliki hak yang sama. Dengan adanya pernyataan di atas, kini sistem perkawinan di Jepang dilaksanakan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang akan menikah bukan lagi berdasarkan atas persetujuan keluarga. Selain itu, mereka juga diberi kebebasan dalam hal memilih pasangan, warisan, perceraian dan hal lain yang berhubungan dengan perkawinan dan keluarga. Menurut Tanaka (1995:13-14), mengatakan bahwa ketika pertunangan kaisar Heisei (putra mahkota Akihito) dengan Shoda Michiko yang di umumkan pada tahun 1958, masyarakat Jepang melihat bahwa pertunangan tersebut adalah karena cinta bukan melalui cara tradisional miai. Hal baru dalam keluarga kerajaan ini, menunjukan kejelasan di kalangan masyarakat Jepang bahwa era baru sudah tiba, dan sistem keluarga tradisional perlahan-lahan mulai tersisihkan. Menurut Hendry (1981:29), cinta merupakan sesuatu yang ideal dalam perkawinan, namun dalam prakteknya kesempatan itu sangat kurang dan persetujuan dari orangtua masih diharapkan. Dewasa ini orangtua lebih banyak menjadi penasehat, jarang turut campur dalam soal perkawinan tidak seperti dimasa lampau (Yuzawa, 1973:60). Edwards (1993:65), mengatakan bahwa ketika muda, banyak orang memulai suatu hubungan dengan mudah dan berharap akan menikah melalui ren’ai. Sebaliknya jika tidak, mereka akan mulai memilih perkenalan secara formal melalui miai, untuk
16 memastikan mereka menemukan pasangan sebelum usia bertambah dan menjadi semakin sulit menikah. Pilihan menikah melalui miai dianggap lebih praktis, karena cara ini dapat dilakukan dengan berbagai bentuk disesuaikan dengan masa modern yang dilengkapi dengan teknologi komputer. Berdasarkan pernyataan di atas, meskipun ren’ai kekkon lebih populer dan disukai oleh kalangan kaum muda Jepang, dan miai kekkon sudah bergeser dari bentuk tradisionalnya, sampai sekarang.
perkawinan berdasarkan perjodohan (miai) tetap bertahan dan ada