Bab 2 Landasan Teori
2.1
Giri dan Ninjou Dalam Budaya Masyarakat Jepang Menurut Kusunoki (1993:6) yang dituntut dari Japanologi adalah studi gejala-gejala
budaya yang begitu luas yang berhubungan dengan sejarah, kehidupan, adat, seni pemikiran, agama, atau memusatkan perhatian pada kebudayaan Jepang dalam arti luas. Dalam relevansinya dengan hal tersebut, merupakan sebuah fenomena budaya yang hidup dalam masyarakat Jepang yaitu tradisi pemberian yang muncul dalam bentuk saling tukar menukar pemberian. Kebiasaan saling tukar menukar pemberian di Jepang meliputi aturan-aturan yang rumit dan merupakan bagian dari sebuah sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Befu dalam Suyana (1996:3) banyak kesempatan dimana orang Jepang melakukan kebiasaan saling tukar menukar pemberian tersebut. Misalnya pada waktu mengunjungi seseorang, orang Jepang biasanya membawa sesuatu berupa bingkisan. Bingkisan itu akan dibalas pada kesempatan lain ketika si penerima bingkisan itu mengunjungi si pemberi bingkisan. Rata-rata keluarga Jepang mungkin memberi atau menerima bingkisan minimal satu kali dalam seminggu. Jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebiasaan inipun menempati porsi yang penting dalam anggaran keluarga. Dikutip dalam Suyana (1996:32) kebiasaan saling tukar menukar pemberian pada masyarakat Jepang tercermin dari kebiasaan budaya beri memberi yang cenderung bersifat religius dan magis. Hal itu dikarenakan bahwa kebiasaan tersebut berkaitan erat dengan ritual-ritual pemujaan supernatural. Misalnya; pada masyarakat Jepang kuno terdapat kebiasaan untuk mempersembahkan sajian berupa makanan dan sake kepada 11
para dewa dalam saat-saat tertentu. Tradisi ini dilatar belakangi oleh ajaran shinto yang merupakan kepercayaan yang banyak dianut oleh masyarakat Jepang. Persembahan itu bisa dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada dewa atas hasil panen yang mereka peroleh, rasa syukur atas perlindungan dewa atau permohonan untuk senantiasa mendapat berkah dan anugerah dari dewa. Persembahan-persembahan berupa makanan dan sake tadi, setelah selesai ritual, dimakan secara bersama-sama oleh para pengunjung yang menghadiri ritual tersebut dalam suatu acara yang disebut naorai (pesta sake yang dilakukan setelah matsuri, dimana makanan-makanan dan sake yang dipersembahkan kepada dewa dimakan bersama-sama). Makanan tadi diyakini memiliki kekuatan supernatural sebagai pemberian balasan dari dewa atas persembahan-persembahan yang mereka berikan. Dikutip menurut Lebra dalam Suyana (1996:51-54) bahwa selain berkaitan dengan hal-hal yang bersifat religius dan magis, kebiasaan saling tukar menukar pemberian ini juga berkaitan erat dengan struktur sosial tradisional yaitu giri dan ninjou. Banyak kesempatan dimana seseorang secara sosial dituntut untuk melakukan pemberian. Misalnya, pada waktu kelahiran, pernikahan, kematian. Hal ini terutama berlaku di daerah pedesaan Jepang dimana adat dan tradisi masih begitu kuat dipelihara. Di daerah pedesaan Jepang, motivasi utama yang paling penting di balik kebiasaan saling tukar menukar pemberian adalah konsep giri. Giri merupakan suatu kewajiban moral yang harus dilaksanakan seseorang dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Pemberian termasuk dalam giri, dimana seseorang diwajibkan untuk memberikan bingkisan manakala kebiasaan tersebut menuntut hal itu untuk dilakukan. Karena budaya melakukan pemberian merupakan satu tindakan giri, dan karena giri menuntut adanya
12
pertukaran suatu pemberian yang pada hakekatnya menuntut pembayaran itu untuk dibalas. Menurut Lebra dalam Suyana (1996:55-56) giri dapat berlaku di antara dua orang yang sederajat seperti teman, relasi, dan tetangga. Pada masyarakat Jepang, karakter sosial seseorang sering dinilai berdasarkan sebagaimana ia memperhatikan aturan dan etiket pada saat melakukan budaya pemberian. Hal ini menyangkut apa, siapa, bagaimana, dan kapan suatu bingkisan itu diberikan. Giri-gatai adalah sebutan bagi orang yang memperhatikan hal-hal tersebut secara detail dan dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Ketika seseorang melakukan budaya pemberian yang tidak sesuai menurut ukuran giri, atau dianggap lebih murah dari segi sosial, maka masyarakat tidak hanya akan membicarakan mengenai jenis pemberiannya saja, tetapi juga mengenai karakter seseorang tersebut. Masyarakat Jepang dewasa ini mungkin sudah tidak begitu peduli dengan latar belakang serta asal-usul dari kebiasaan saling tukar menukar pemberian yang hidup dalam masyarakat mereka. Namun demikian, mereka menerima warisan kebiasaan tersebut dari leluhur-leluhur mereka dan menganggap bahwa kebiasaan tersebut memang sudah semestinya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan kata lain, secara umum mereka memahami dan menyetujui etiket tradisi pemberian ini. Namun mereka menganggap praktek saling tukar menukar pemberian yang dilandasi oleh giri ini hanya sebagai sebuah formalitas kosong belaka atau dilakukan hanya sekedar kewajiban moral yang terpenuhi tanpa memperhitungkan apakah pemberian tersebut bermanfaat atau tidak. Karena mengabaikan giri merupakan sebuah pelanggaran dan bisa mengakibatkan sangsi sosial yang cukup berat. Karakter sosial seseorang seringkali dilihat dari sejauh mana dia memperhatikan hal-hal yang 13
berhubungan dengan etika giri. Satu hal yang membuat praktek saling tukar menukar pemberian yang dilandasi oleh giri tetap dilakukan oleh masyarakat kota walaupun ada yang memandangnya negatif, adalah karena hal tersebut merupakan asuransi sosial. Misalnya; pada saat-saat darurat, seseorang mau tidak mau akan bergantung kepada tetangga-tetangga atau kawan-kawannya. Jika selama ini dia tidak memperhatikan dan tidak peduli terhadap etiket yang berdasarkan giri, dia mungkin tidak dapat mengharapkan terlalu banyak pertolongan pada saat-saat yang kritis tersebut. Dikutip menurut Lebra dalam Suyana (1996:57) bahwa salah satu dampak modernisasi yang umum di masyarakat perkotaan adalah, berkurangnya rasa solidaritas terhadap lingkungan dan menguatnya sifat individual. Kehidupan di kota yang tidak lagi bergantung kepada solidaritas seperti yang dipelihara dengan kuat di daerah pedesaan ini, membuat tekanan tradisi yang sangat ketat bagi mereka terasa sangat terbebani. Befu dalam Salecha (2004:24-25) dikutip bahwa masyarakat Jepang modern, khususnya di daerah perkotaan, tidak lantas begitu saja menghilangkan kebiasaan ini. Adanya kecenderungan perubahan-perubahan baru dalam budaya pemberian ini. Perubahan baru ini menjadikan hubungan antar personal sebagai landasan dari budaya pemberian, dibandingkan dengan tradisional budaya pemberian dimana giri atau kewajiban sosial menjadi penggerak utamanya. Motivasi pemberian ini cenderung dilakukan karena ungkapan perasaan seseorang terhadap yang lainnya. Dengan demikian lebih merupakan ninjou sebagai basisnya daripada giri. Berbeda dengan giri yang merupakan kewajiban moral untuk melakukan tindakan saling berbalasan, ninjou adalah kecenderungan perasaan dan keinginan alamiah manusia yang tidak terikat dengan norma-norma seperti halnya giri. Apabila giri merupakan sesuatu yang bersifat moral dan sosial, maka ninjou bersifat psikologis dan 14
personal. Ninjou ini secara umum dimiliki oleh semua manusia tidak hanya orang Jepang saja, tetapi seluruh manusia di dunia.
2.2
Konsep Giri dan Ninjou Giri menurut Befu dalam Suyana (1996:24-25) adalah kata giri (義理) terdiri dari
dua karakter kanji yaitu gi(儀)yang memiliki arti keadilan; kebenaran; kewajiban;
moralitas; kemanusiaan; kesetiaan; perasaan hormat, dan ri(理)yang memiliki arti alasan; logika; prinsip. Dalam penggunaannya, giri merujuk kepada suatu tanggung jawab; kehormatan; keadilan; berhutang budi; kewajiban sosial. Secara harafiah giri merupakan sebuah kewajiban sosial yang bersifat etis dan moral, yang mengharuskan bangsa Jepang untuk bersikap seperti yang diharapkan oleh masyarakat dalam bersosialisasi dengan individu-individu lain. Giri mengacu pada suatu hubungan sosial yang terdiri atas satu set norma-norma sosial yang menugaskan setiap pemilik status untuk melakukan suatu peran tertentu. Lebih khususnya, giri merupakan suatu cara dalam menjalin hubungan individu tertentu. Konsep ini mengandung kekuatan yang memaksa anggota masyarakat untuk terikat dalam aktifitas-aktifitas yang saling berbalasan. Menjalankan giri dengan baik berarti seseorang itu memiliki nilai moral yang tinggi, dan menolak kewajiban timbal balik berarti meniadakan kepercayaan dari mereka yang mengharapkan timbal balik, yang pada akhirnya akan menghilangkan bantuan dari mereka atau melalaikan hubungan giri tersebut.
15
Menurut Minamoto dalam Salecha (2004:23) giri merupakan kewajiban sosial yang memiliki beragam makna, tergantung pada situasi dan kondisinya. Giri adalah sikap membalas kebaikan yang diterima dari orang lain, diluar orang-orang yang berhubungan secara kekerabatan seperti hubungan orang tua dan anak, suami dan istri. Menurut Benedict (2000:141) giri adalah suatu kewajiban untuk mengembalikan atau membalas semua pemberian yang telah diterima dengan nilai yang sama harganya dari apa yang telah diterima sebelumnya. Hubungan antara kedua belah pihak tersebut pun tidak hanya berlaku di antara mereka yang memiliki hubungan khusus, tetapi juga antara teman ataupun kolega dan relasi. Pendapat giri menurut Honmiyou dalam Rahayu (2006:17) adalah: 義理は社会関係において相互扶助の原を強調する日本的倫理と深くかか わっています。この観念ゆえに、日本人は日本人としての責務をはたすの です。 Terjemahan: Suatu konsep yang sangat berhubungan dengan etika-etika Jepang yang menekankan pada hubungan manusia yang saling menguntungkan di dalam masyarakat. Karena adanya konsep inilah, orang Jepang mengemban kewajiban atau tanggung jawab sebagai orang Jepang.
Menurut Lebra dalam Rahayu (2006:12-13) adanya pernyataan yang cenderung memaksa bahwa si penerima bantuan merasa terbelenggu oleh pemberi bantuan, membuat si penerima bantuan berusaha untuk membayar kembali segala bantuan yang pernah dia terima. Karena itu, giri dirasakan sebagai sebuah beban yang berat bagi orang Jepang. Ada sebuah tindakan yang terpaksa harus dilakukan karena seseorang telah menerima bantuan dari orang lain. Bentuk timbal balik bisa juga dilakukan dengan
16
wujud pemberian hadiah pada waktu-waktu tertentu, seperti perayaan, pernyataan duka cita atau ungkapan terima kasih pada saat ritual keagamaan. Hubungan timbal balik antar manusia seperti itu sering kali dapat mengganggu individu manusia itu sendiri, yang pada dasarnya menginginkan kebebasan daripada keterikatan. Konsekuensi pengaruh perbuatan giri tersebut adalah membebani si penerima bantuan, yaitu; jika seseorang sudah mulai terlibat dalam hubungan giri, maka ia tidak bisa berpikir secara rasional lagi. Semua tindakan yang akan dilakukan harus dipertimbangkan terlebih dahulu, misalnya apakah tindakan yang ia lakukan tidak akan merusak nama baiknya di dalam lingkungan, karena ia telah lalai melaksanakan giri. Dikutip menurut Befu dalam Suyana (1996:27) bahwa dalam pelaksanaan giri umumnya seseorang mengalami dilema. Dilema ini muncul karena kewajiban sosial yang harus dilakukannya ini, bertentangan dengan keinginan pribadi atau perasaan manusiawi yang disebut dengan ninjou. Konflik antara giri dan ninjou seringkali dijadikan tema dalam karya-karya sastra baik klasik maupun modern. Oleh karena itu merupakan suatu hal yang alamiah bahwa giri dan ninjou akan menjadi konflik sepanjang waktu. Menurut Befu dalam Suyana (1996:26-27) ninjou(人情)terdiri dari dua karakter
kanji, yaitu nin(人)yang memiliki arti orang atau manusia, dan jou(情)yang memiliki arti emosi; perasaan hati; cinta kasih; simpati; ketulusan. Dalam penggunaannya kata ninjou merujuk kepada kecenderungan perasaan peri kemanusiaan; kebaikan hati; dan keinginan-keinginan yang bersifat alamiah. Berbeda dengan giri yang merupakan kewajiban moral untuk melakukan tindakan saling berbalasan, ninjou adalah kecenderungan perasaan dan keinginan alamiah manusia yang tidak terikat dengan 17
norma-norma seperti halnya giri. Apabila giri merupakan sesuatu yang bersifat moral dan sosial, maka ninjou bersifat psikologis dan personal atau pribadi. Dikutip menurut Keene dalam Salecha (2004:26) bahwa giri dan ninjou dialihbahasakan sebagai kewajiban dan perasaan manusiawi. Ada pula yang mengartikannya sebagai akal dan hasrat. Secara sederhana, akal adalah apa yang ditetapkan masyarakat sebagai perilaku yang benar, dan yang membuat orang beradab berbeda dengan binatang atau orang yang tidak beradab. Di lain pihak, hasrat adalah insting alami, termasuk cinta. Pertentangan antara giri dan ninjou digambarkan melalui seseorang manusia yang tersiksa antara keinginan pribadinya dan keinginan sosialnya. Menurut Befu dalam Suyana (1996:7) perbedaan antara giri dan ninjou terdapat pada penekanannya. Giri merupakan suatu tindakan di mana kita berkewajiban moral untuk melakukan tindakan saling bertimbal balik kepada seseorang yang telah membantu kita, sedangkan ninjou lebih menekankan pada perasaan yang berasal dari hati kecil seseorang atau personal untuk membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Ninjou ini secara umum dimiliki oleh semua manusia, tidak hanya orang Jepang. Seseorang yang telah menerima ninjou dari orang lain tidak akan bisa melupakannya. Kebaikan yang diterimanya akan tertanam di dalam hati dan suatu saat ia harus dapat membalas kebaikan itu. Maka sejak saat itu, akan timbul jalinan hubungan manusia di antara kedua belah pihak. Ninjou merupakan rasa kemanusiaan dan perasaan kasih sayang kepada sesama. Perasaan ini murni timbul dari lubuk hati yang terdalam yang dimiliki oleh setiap individu di dunia. Perasaan yang timbul jika seseorang melihat orang lain mengalami kesulitan atau kesusahan dan membutuhkan pertolongan. Meskipun giri dan ninjou
18
memiliki arti yang kuno pada jaman modern Jepang, tetapi konsep ini sangat penting sebagai pemandu dalam melakukan hubungan dengan individu lainnya. Dikutip menurut Benedict (2000:104) bahwa orang Jepang beranggapan orang yang berbudi luhur tidak mengatakan bahwa mereka tidak berhutang apa-apa kepada siapapun. Mereka selalu merasa memiliki hutang, dan hutang-hutang tersebut adalah suatu kewajiban moral yang harus dibayar kembali.
2.3
Pengertian Mukashi Banashi Mayer (1989) menjelaskan bahwa mukashi banashi biasanya merupakan kisah yang
ditulis secara indah berdasarkan karakter dan kejadian fiktif. Cerita-cerita bersejarah, umumnya dipercaya sebagai kisah nyata, atau dikenal juga dengan sebutan densetsu atau legenda. Baik mukashi banashi dan densetsu adalah bagian dari tradisi bercerita yang diwariskan secara turun-temurun. Dongeng rakyat yang bermula dari pemikiran rakyat biasa, mencakup banyak ekspresi nilai hidup, kebajikan dan keindahan budaya asalnya. Dongeng ini tergolong sangat sederhana di antara bentuk narasi cerita rakyat lainnya dan hanya diturunkan dari generasi ke generasi. Dongeng ini seringkali menyertakan elemen-elemen dan tema tertentu seperti binatang nakal, kejadian-kejadian janggal, lakilaki tua baik hati dan yang jahat, berbaliknya peruntungan secara tiba-tiba, dan lainnya. Walaupun cara hidup dan dongeng rakyat didasari logika yang jauh berbeda dari pemikiran orang barat, keduanya mengandung arti yang dalam dan mampu mencerminkan budaya suatu komunitas. Belum lagi nilai artistik yang relatif tinggi, tidak hanya menceritakan sebuah legenda atau budaya, tapi juga menceritakan lagu, peribahasa, resep masakan, kerajinan tangan, cara bercocok tanam, pengetahuan alam dan cara pandang sebuah budaya. 19