BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Teori Omiai. Salah satu tradisi Jepang yang menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakatnya
yaitu tradisi perkawinan yang diatur (dijodohkan), yang lebih dikenal dengan sebutan Omiai Kekkon. (Kodansha Ltd, 1993). Pada umumnya, Miai memiliki dua pengertian diantaranya pengertian dalam arti luas dan dalam arti sempit. Miai dalam pengertian luas yaitu mempertemukan orang-orang yang bersangkutan untuk tujuan tertentu. Sedangkan Miai dalam pengertian sempit yaitu perkawinan yang dijodohkan atau perkawinan yang terjadi karena bantuan seorang perantara mempertemukan kedua calon pengantian Miai ( 見合い) dalam pengertian harafiah berarti "saling melihat" (Lebra, 1984 : 102). Dalam Ensiklopedia Jepang, Miai adalah suatu pertemuan resmi dimana dilakukannya perkenalan antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur oleh nakoodo (seorang perantara) dengan tujuan mencari pasangan untuk menikah atau lebih dikenal dengan perjodohan (Swann, 1983 : 115). Omiai dapat dilakukan dengan beberapa cara, bentuk Omiai antara masa sebelum Perang Dunia II dengan masa sesudah Perang Dunia II mengalami perubahan. Sebelum Perang Dunia II di Jepang, sebelum mengadakan upacara perkawinan biasanya calon pengantin pria terlebih dahulu mencari calon pasangannya secara sembunyi-sembunyi (kagemi) yang biasanya dilakukan pada saat natsu matsuri (perayaan musim panas), dimana banyak para pengunjung berdoa di kuil-kuil. Saat seperti itu merupakan saat yang baik bagi
6
calon pengantin pria bersama dengan nakoodo (perantara) memilih dan menilai para wanita yang sedang berdoa di kuil. Apabila pada tahap ini berhasil, maka nakoodo boleh meminta izin kepada pihak orang tua pria untuk meminta pihak wanita datang ke rumah pria yang diharapkan menjadi pasangan. Peranan nakoodo dan fungsi Omiai itu sendiri memiliki arti yang besar dimana dimulai dengan perkenalan antara satu sama lain sampai pada acara resepsi perkawinan. Peranan nakoodo dan fungsi Omiai memegang peranan penting.Namun, lambat laun seiring dengan berkembangnya negara Jepang pada periode Heisei telah banyak mengalami perubahan dalam kehidupan masyarakat Jepang termasuk dengan peranan nakoodo dalam perkawinan yang bersifat modern. Peranan nakoodo pada masa sebelum Perang Dunia II sebagai perantara perkawinan yang bertugas memperkenalkan seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan menjodohkan nereka. Perkenalan antara kedua orang tersebut dilakukan secara resmi yang dikenal dengan sebutan Omiai. Namun sekarang ini, peranan nakoodo dan fungsi Omiai itu sendiri dalam tata cara perkawinan Jepang sudah mengalami perubahan (Swann, 1983 : 116). Miai diadakan di sebuah restoran, bioskop atau pertunjukkan musik di teater oleh nakoodo dan orang tua kedua calon pasangan. Kedua calon pasangan itu akan melanjutkan hubungan mereka atau tidak, tergantung pada perasaan mereka masing-masing setelah pertemuan itu dimana mereka saling menilai satu sama lain (Swann, 1983 : 115-116). Miai juga dapat dilakukan di rumah calon pengantin wanita, dengan cara calon pengantin pria datang bersama nakoodo dan orang tuanya. Mereka dipertemukan di sebuah ruangan bersama para tamu lainnya. Dengan diadakannya Miai, calon pengantin pria dan orang tuanya dapat melihat bagaiman pembawaan diri dan tingkah lakunya, tidak saja hanya 7
melihat dari penampilan luar (kecantikan) saja. Dapat dilihat ketika calon pengantin wanita memiliki keterampilan dalam menyambut para tamu dan cara menyajikan makanan dan minuman (Lebra, 1984 : 103). Miai memiliki cara lain yaitu, dimana seorang nakoodo membawa seorang pria untuk melihat sekilas seorang wanita kemudian sang pria memikirkannya beberapa waktu sebelum ia memutuskan untuk melakukan pendekatan langsung kepada wanita tersebut. Tindakan seperti ini disebut kagemi (影身). Kagemi berarti "melihat secara sembunyi" karena biasanya sang pria melihar secara tersembunyi dan sang wanita tidak menyadari bahwa ia sedang diperhatikan. Bahkan pada perayaan Matsuri, banyak para pengunjung yang datang ke kuil dimana ini merupakan kesempatan yang baik untuk para pria mencari calon istri dari daerah lain. Selain itu, masih ada cara lain yaitu sang pria bersama nakoodo menunggu di sebuah jalan dimana banyak para wanita yang akan melalui jalan itu. Biasanya para wanita tidak akan dengan sengaja menolak dari pandangan pria yang sedang memperhatikannya. Apabila hal ini berhasil maka nakoodo akan meminta izin untuk memanggilnya dan bersama-sama calon pengantin pria ke rumah wanita itu, bahkan bersama orang tua dari keduanya untuk saling diperkenalkan. Suatu kewajiban bagi nakoodo sejak dilakukannya Omiai untuk memelihara hubungan antara kedua belah pihak yang bersangkutan dan membangun komunikasi yang baik diantara keduanya. Apabila berjalan dengan baik, maka tugas ini menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tetapi, jika tidak berjalan dengan baik maka dibuat perjanjian yang sah secara hukum mengenai penolakan yang diadakan guna mencegah kehilangan muka bagi pihak yang ditolak (Hendry, 1981 : 138). Keluarga dari pihak wanita dapat menolak karena
8
menganggap anaknya itu masih terlalu mud untuk menikah, belum menguasai keterampilan dalam mengurus rumah. (Hendry, 1981 : 139). Omiai Kekkon biasanya dilakukan pada saat seorang wanita telah memasuki usia yang tepat untuk menikah. Usia yang tepat untuk menikah antara 20-24 tahun. Pada saat seorang anak perempuan sudah memasuki usia tersebut, maka para orang tua akan menghubungi nakoodo (seorang perantara) untuk meminta bantuan mencari pasangan bagi anak perempuannya. Nakoodo tersebut akan mencari wali pada saat anak tersebut menikah sehingga orang yang dapat menjadi nakoodo biasanya orang yang terpandang (Saito, 1981 : 16). Keputusan perjodohan pada zaman dahulu tidak hanya berada di salah satu pihak namu semua pihak. Dalam pelaksanan Omiai sekarang ini dibantu oleh pihak yang sangat mengerti akan masalah perkawinan. Hal ini di ungkapkan dalam : 昔の見合いのように、すでに親同土や両家の間で話がほとんど決まっ ているというのではなく、相互の意志の交流を通じて永立つのですか ら。。。(Yasuko, 1997 : 11). Artinya : Perjodohan pada zaman dahulu sebagian besar tidak hanya ditentukan diantara kedua keluarga dan teman dekat tetapi semua pihak yang bersangkutan. Perjodohan sekarang ini dilakukan melalui pertukaran pemikiran kedua belah pihak dan adanya bantuan dari orang yang mempunyai banyak pengalaman hidup. Sampai sekarang ini masih ada kebiasaan-kebiasaan lama pada masyarakat Jepang yaitu penggunaan nakoodo (perantara atau mak comblang) dan diadakan Miai (suatu pertemuan menjelang perkawinan), meskipun hal tersebut sudah mengalami perubahan. Perkawinan yang terbentuk melalui pertemuan seperti ini disebut Omiai Kekkon atau perkawinan yang dijodohkan. Setelah Perang Dunia II, hubungan antara pria dan wanita
9
mulai bebas, sehingga perkawinan karena cinta atau Ren'ai Kekkon (sebuah perkawinan yang terjadi berdasarkan atas cinta) menjadi lebih populer, meskipun demikian Omiai Kekkon masih tetap ada (Swann, 1983 : 117) Sejak masa sebelum Perang Dunia II, Omiai Kekkon telah dilakukan bahkan pada zaman Edo (masa pemerintahan Tokugawa) dimana perkawinan dianggap sebagai alat politik di kalangan para samurai dan daimyo untuk memperkuat kekuasaannya (Masatsugu, 1982 : 104). Dewasa ini, perkawinan yang diatur oleh orang tua, dimana pasangan belum mengenal satu sama lain sampai pada hari perkawinannya, hal ini merupakan suatu hal yang langka dan aneh. Oleh karena itu, sekarang munculnya perkawinan yang berdasarkan atas cinta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ren'ai Kekkon dimana Ren'ai Kekkon ini menjadi populer di kalangan masyarakat sekarang ini (Swann, 1983 : 117). Tingkat masyarakat yang melakukan Ren'ai Kekkon mengalami peningkatan dibandingkan dengan Omiai Kekkon. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut di bawah ini, dimana telah terjadi perubahan tingkat jumlah bentuk perkawinan yang dilakukan masyrakat Jepang.
10
Perubahan Bentuk Perkawinan
Tahun
Bentuk
Perkawinan
Miai Kekkon
Ren'ai Kekkon
1940
86,7%
13,3%
1945
84,5%
15,5%
1950
71,8%
28,2%
1955
65,5%
34,5%
1960
62,1%
37,9%
1965
54,1%
45,9%
1970
43,6%
56,4%
1975
34,9%
65,1%
Sumber Data : dalam buku berjudul Nihonjin no Isshoo, Tikoyo : Nihonggo Kyooiku Gakkai, 1982 yang dikutip oleh Saitoo. Sekarang ini masih ada orang-orang Jepang yang masih melakukan Omiai dalam kehidupannya namun tidak sebanyak dahulu sebelum Perang Dunia II. Masyarakat Jepang sekarang ini telah mengalami perubahan pandangan terhadap perkawinan, hal ini diungkapkan oleh Yasuko (1997). Yasuko melihat adanya perubahan pandangan di kalangan anak muda Jepang seperti yang tampak dalam kutipan berikut : 今の若い人たちの結婚は大きく変わってきています。(Yasuko, 1997 : 2). Artinya : Pandangan anak muda Jepang sekarang ini mengenai perkawinan telah mengalami perubahan besar.
11
Selain itu, Yasuko (1997) juga menemukan bahwa sekarang ini anak muda Jepang melihat kelebihan-kelebihan dari Omiai. Akan tetapi, miai yang sekarang telah mengalami perubahan, seperti dalam kutipan dibawah ini. 若い人たちは、見合いの良さもよく知っています。恋愛とは別だと。 しかし、その形はひと昔まえとはすっかりわっていました。気楽な友 達の紹介による見合いとか、お見合い紹介エペント(ホテル主催の出 会いパティなど)、それにお見合い紹介業(コンピューターによる相 性探)によるものなどが、その代表的なものでしょう。 (Yasuko, 1997 : 2). Artinya : Anak muda Jepang telah mengetahui dengan jelas sisi positif dari dilakukannya Omiai, berbeda dengan Ren'ai. Bentuk perkawinan sekarang ini telah berbeda sekali dengan yang dahulu. Omiai sekarang tergantung dari perkenalan yang cocok dan event (perayaan) perkenalan perjodohan seperti pesta-pesta yang diselenggarakan di hotel, adanya biro jodoh yang mencari pasangan melelui komputer. Itu semua termasuk salah satu contoh dari suatu perjodohan. Hal ini berbeda dengan Omiai pada masa sebelum periode Showa sekitar tahun 1926, Omiai dilakukan demi kepentingan Ie, atas dasar kebutuhan keluarga dan keputusan Omiai berada di tangan orang tua. Selain itu, pihak yang dijodohkan tidak boleh menolak dilakukannya Omiai. Pemikiran masyarakat mengenai suatu perjodohan dinyatakan dalam : なぜ見合いがあって、結納があって、仲人がいるのだろう、どうして 結婚に至るまでこんなに面倒なことをするのだろう、と思う現代人は 多いはずです。でも、それ位しておいても、後になって考えれば,当 然のことだったということがわかってきます。古今東西の知恵なので す。 (Yasuko, 1997 : 3). Artinya : Karena banyaknya orang zaman sekarang yang berpikiran mengapa adanya perjodohan, pemberian mahar (pemberian kepada pasangan), serta adanya seorang perantara (atau yang lebih dikenal dengan mak comblang). Mengapa terdapat kesulitan seperti hal tersebut untuk sampai pada jenjang menjelang perkawinan. Meskipun demikian, apabila dipikirkan kemudian akan mengerti bahwa itu adalah hal yang sudah seharusnya Omiai adalah pengetahuan yang ada sejak dahulu hingga sekarang.
12
Menurut Yasuko (1997), adanya kecenderungan anak muda sekarang lebih mudah mendapatkan pasangan bermain dibandingkan dengan mencari pasangan hidup. Hal ini dinyatakan dalam : 今の若い人たちは遊び相手はいくらでも見つけられるけれども、結婚 相手を見つけられるをメを持っていないからこそ、こういう傾向が出 てきているのであって、これこそが問題なのです。本人また、それを 一番よくしっているはずです。 (Yasuko, 1997 : 10). Artinya : Terdapat kecenderungan bahwa orang muda Jepang sekarang ini bisa menemukan beberapa pasangan bermain tetapi tidak menemukan pasangan hidupnmya yang tepat. Hal tersebut merupakan suatu masalah. Dengan adanya perubahan pandangan anak muda Jepang dewasa ini terhadap perkawinan yang menganggap bahwa perkawinan bukanlah satu-satunya tujuan utama dal kehidupan mereka, kesulitan mencari jodoh (pasangan hidup), Yasuko (1997) menawarkan suatu cara untuk menemukan pasangan hidup yaitu, dengan cara Omiai. Bentuk Omiai sekarang mengalami beberapa perubahan. Sebelum zaman Showa (sebelum tahun 1926), Omiai diputuskan oleh keluarga demi kepentingan Ie, pihak yang dijodohkan tidak dapat menolak Omiai, adanya kecenderungan paksaan orang tua kepada anak. Akan tetapi, Yasuko (1997) melihat Omiai itu sebagai bentuk perjodohan, dimana keputusan Omiai berada di tangan pihak yang dijodohkan yang boleh terjadi penolakan apabila salah satu pihak merasa tidak cocok. Sekarang ini, pada periode Heisei (1989-sekarang), tidak banyak wanita dipaksa untuk menikah apabila hal tersebut berlawanan dengan keinginannya. Mereka juga diberikan hak untuk memilih pasangan hidup mereka sendiri tanpa campur tangan orang tua, dengan
13
kata lain orang tua tidak berhak menentukan dan memutuskan pasangan hidup untuk anaknya (Reischauer, 1987 : 295). Tujuan akhir dari dilakukannya Omiai adalah suatu perkawinan, dimana Omiai Kekkon dilakukan atas dasar kesadaran kedua belah pihak tanpa adanya paksaan dan keputusan akhir Omiai berada pada pihak yang melakukan perjodohan tersebut.
2.2
Teori Perkawinan. Perkawinan dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah kekkon (結婚) atau kon'in
( 婚姻) . Istilah kekkon terdiri dari dua karakter Kanji yaitu ketsu (結 yang berarti ikatan) dan kon ( 婚
yang berarti perkawinan). Sedangkan kon'in terdiri dari kon (婚
yang berarti
perkawinan) dan in ( 姻 yang juga berarti perkawinan (Nelson, 1994 : 304-305). Perkawinan merupakan rencana untuk meneruskan keturunan, yaitu untuk menjaga kesinambungan suatu keluarga. (Stephen, 1987 : 322-323). Sebuah perkawinan bagi masyarakat Jepang dianggap sebagai salah satu cara untuk menempati posisi tertentu dalam keluarga. Misalnya, pengantin wanita akan menempati posisi sebagai shufu (主婦: nyonya rumah), sementara suaminya sebagai shujin (主人: kepala keluarga). Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat perkawinan yang mungkin terlihat tidak umum bagi orang-orang negara lain. Konsep perkawinan bagi masyarakat Jepang berbeda dengan masyarakat Barat. Hal ini dikarenakan kehidupan masyarakat Jepang sebelum tahun 1946 terbentuk berdasarkan sistem Ie (sistem kekerabatan pada masyarakat Jepang), demikian pula halnya dengan perkawinan.
14
Menurut Masatsugu (1982), tujuan dari adanya perkawinan
adalah perkawinan
merupakan sesuatu hal yang letaknya diatas segala-galanya, sebuah lembaga yang dibentuk untuk meneruskan nama baik keluarga (Masatsugu, 1982 : 107). Dengan adanya perkawinan, maka akan terjadi sebuah ikatan diantara dua keluarga. Oleh karena itu, seorang anak perempuan akan dijaga dengan sangat hati-hati oleh orang tuanya. Bagi orang tua, anak perempuan dianggap memiliki nilai lebih sehingga dapat digunakan untuk kepentingan keluarga. Menurut Mitsuyuki Masatsugu, perkawinan adalah : A marriage was arranged to suite the family's needs. Since the marriage was not result of attraction between the young couple, conjugal love was secondary development, to be achieve letter by the pair. In this system, the sexual fidelity of the couple was considered most important, as it played role in keeping the family together. (Masatsugu, 1982 : 104). Artinya : Sebuah perkawinan telah dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, karena perkawinan bukanlah disebabkan oleh rasa tertarik diantara pasangan muda, cinta merupakan pengembangan kedua berikutnya), yang akan dapat dicapai kemudian oleh pasangan tersebut. Dalam sistem ini, kesetiaan dari pasangan dianggap sebagai hal yang sangat penting, karena berperan dalam menjaga keutuhan dari sebuah keluarga. Dalam kehidupan masyarakat Jepang, juga dikenal dengan adanya suatu kegiatan yang termasuk dalam kategori hare dan ke. Hare dapat berupa kegiatan yang dilakukan setiap tahun yang bersifat ritual (nenchugyoji) dan upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia (tsukagirei). Sedangakn ke, merupakan kegiatan yang dilakukan masyarakat Jepang secara rutin setiap tahun dimana berkaitan dengan kegiatan sosial dalam kehidupan sehari-harinya.
15
Dalam masyarakat Jepang, upacara perkawinannya termasuk dalam hare, yaitu tsukagirei karena upacara perkawinannya berkaitan dengan keagamaan dalam lingkaran kehidupan manusia. Pada umumnya semua masyarakat diseluruh dunia melakukan upacara perkawinan dimana hal itu merupakan proses peralihan pada tingkatan kehidupan manusia yang bersifat universal, karena pada suatu upacara perkawinan terdapat suatu sistem suku bangsa yang berbeda-beda dimana sangat dipengaruhi oleh adat dan tradisi masyarakat yang masih berlaku secara turun temurun dari nenek moyang. Penyelenggaraan upacara perkawinan diatur oleh etika dan tata cara upacara yang berlaku supaya perkawinan tersebut terlaksana dengan lancar dan baik, karena perkawinan masih dianggap sebagai suatu hal yang sakral dan suci dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat Jepang. Pandangan masyarakat Jepang mengenai sebuah perkawinan bukan hanya sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan Ie, (Ie adalah suatu sistem keluarga atau kekerabatan tradisional masyarakat Jepang) tetapi juga mengungkapkan eksistensi manusia secara alami, hal ini dibebankan kepada kaum wanita terutama para wanita yang lahir pada tahun 1935, yang dibesarkan oleh nilai-nilai sebelum perang yang disebut dengan Ie. (Iwao, 1935). Perkawinan masyarakat Jepang berhubungan erat dengan sistem kekerabatan tradisional, karena suatu perkawinan bukan hanya antara individu saja melainkan keluarga. Perkawinan merupakan suatu sistem kekerabatan tradisional atau Ie, yang juga berkaitan dengan keturunan dalam menjaga kesinambungan Ie. Negara Jepang dalam kehidupan masyarakatnya mengalami perubahan yang sangat besar dan cepat sesudah Perang Dunia II. Masa sesudah Perang Dunia II, sistem Ie pada 16
kehidupan masyarakat Jepang mulai kehilangan fungsinya yang saat ini dianggap sebagai sisa peninggalan feodal pramodern (Hendry, 1981 : 14). Semenjak itu, Ren'ai Kekkon yang didahului dengan proses pacaran semakin banyak. Masalah yang sering muncul di kalangan wanita muda mengenai pilihannya akan jenis perkawinan. 見合い結婚か恋愛結婚かーという問いは、しばしば女性雑誌でも取り 上げられるように、若い女性にとっては氷遠のテーマであると言って もよいでしょう。 (Yasuko, 1997 : 10). Artinya : ...boleh dikatakan dalam tema yang selalu muncul bagi kaum wanita muda yang sering sekali diterbitkan di majalh wanita, seperti apakah ingin menikah secara Omiai (perjodohan) atau Ren'ai (cinta). Pada masyarakat Jepang yang telah modern ini, perkawinan dilakukan atas dasar keinginan kedua calon pengantin tersebut karena sebelumnya pasangan tersebut telah saling mengenal satu sama lain dan telah mengalami proses pacaran sehingga peranan nakoodo hanya dijadikan sebagai pendamping kedua mempelai calon pengantin pada saat belangsungnya resepsi perkawinan serta mengatur tata cara perkawinan. Sekarang ini perkawinan di Jepang dipengaruhi oleh tingkat kehidupan masyarakat Jepang modern, dimana masyarakat modern Jepang sekarang ini tergolong dalam masyarakat yang bersifat konsumerisme yaitu kecenderungan masyarakat dimana memiliki dorongan yang kuat untuk membeli suatu barang yang bukan merupakan kebutuhan primer demi mempertahankan prestise atau sekedar mengikuti trend mode yang terjadi sekarang ini.
2.3
Teori Konsumerisme.
17
Masyarakat Jepang sekarang ini lebih modern, hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Sekarang ini, masyarakat Jepang modern cenderung untuk hidup konsumtif, dimana mereka banyak menghabiskan uang mereka untuk membeli barang atau jasa yang bukan kebutuhan primer mereka. Pengertian konsumerisme menurut Wikipedia Free Encyclopedia (2005) adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh menyamakan kebahagiaan pribadi dengan membeli barang umtuk dimiliki. Marx (2004) berpendapat bahwa ekonomi kapitalis memimpin masyarakat ke arah pemujaan terhadap barang-barang dan jasa, dan kenaikan dari kualitas barang dan jasa difokuskan pada harga barang dan jasa itu di pasar. di banyak konteks yang kritis istilah ini digunakan untuk menjelaskan kecenderungan dari orang-orang untuk mengidentifikasikan produk atau jasa yang mereka konsumsi, terutama yang memiliki merek dagang terkenal dan perbandingan nilai tambah yang jelas, contohnyamobil yang mahal, permata yang mahal. Ini merupakan istilah merendahkan yang banyak disangkal oleh orang, yang memiliki sedikit banyak rasionalisasi atau alasan yang spesifik untuk konsumsi di luar daripada gagasan yang mereka sebut sebagai "konsumsi" (John Storey, 2003). Menurut Steven Miles dalam Wikipedia Free Encyclopedia (2005) suatu kultur yang mengandung tingkat konsumerisme yang tinggi disebut sebagai budaya konsumtif, yaitu dorongan yang kuat untuk membeli suatu barang yang bukan merupakan kebutuhan primer demi mempertahankan prestise atau sekedar mengikuti trend mode. Istilah dan konsep dari "konsumsi berlebihan" muncul pada abad 20 melalui tulisan seorang ahli ekonomi Thorstein Veblen. Istilah ini menjelaskan tentang pernyataan yang tidak logis dan kondisi yang kacau dari prilaku ekonomi.
18
Konsumerisasi merupakan wujud ekonomi yang terus menerus pada pembelian barang dan jasa, dengan perhatian kecil terhadap kebutuhan yang sesungguhnya, kualitas, produk asli atau konsekuensi lingkungan terhadap perbuatan dan penjualan. materialisme adalah salah satu hasil dari konsumerisasi. Robert Graves (2004)mengatakan bahwa konsumerisme berhubungan dengan cara berpikir masyarakat yang wajar itu keinginan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, komunitas, keluarga, dan hubungan sehat dengan permintaan yang tidak pernah puas dan bersifat sementara terhadap barang dan uang yang digunakan untuk membeli barang-barang tersebut akhirnya menimbulkan sedikit penyesalan apa yang telah dibeli tidak sesuai dengan kegunaan sebenarnya. Dengan adanya kehidupan masyarakat Jepang modern sekarang ini yang konsumtif mengakibatkan tingkat kehidupan mereka pun meningkat dari segi kebutuhan mereka maupun dari segi mereka mencari pasangan hidup, dimana mereka menjadi memiliki kriteria khusus untuk pasangan mereka. Konsumerisme menyebabkan setiap orang itu melawan dirinya sendiri terhadap permintaan yang tidak pernah berakhir untuk mencapai barang-barang material atau dunia khayalan yang muncul dan membuat dunia khayalan yang muncul itu menjadi nyata dengan membeli barang-barang tersebut, seperti : tranning berat badan, diet center bedah plastik, make-up, fashionable, dan sebagainya merupakan suatu contoh di mana orang-orang mengubah diri merka menjadi alat konsumsi manusia. Featferstone (1991), mengatakan bahwa penciptaan gaya hidup terpusat pada konsumsi tanda estatis yang diasosiasikan dengan pergeseran relative signifikasi dari produksi ke konsumsi.
19
Dalam kaitannya dengan perilaku simbolik, Nur (2003 : 20) menyatakan konsumsi dilakukan karena barang tersebut mempunyai makna bagi konsumennya, jadi barang-barang konsumsi merupakan suatu simbol, karena mempunyai nilai atau makna yang diberikan oleh orang-orang yang mengkonsumsinya dengan baik sebagai pemenuhan kebutuhan maupun kesan prestise jika mengkonsumsinya.
BAB 3 ANALISIS DATA
20