Bab 2 Landasan Teori
Dalam bab ini saya akan memaparkan teori tentang konsep bedah kosmetik dan konsep kepercayaan diri pada remaja. Sebelum menjelaskan konsep-konsep tersebut, saya akan mendeskripsikan konsep kecantikan secara umum, kemudian konsep masyarakat Jepang mengenai kecantikan dan transformasinya terlebih dahulu. Dalam kasus ini menjadi cantik merupakan variabel penting bagi sebagian remaja putri Jepang dalam usaha menemukan kepercayaan diri.
2.1 Konsep Kecantikan Secara Umum Kata “Cantik” telah dibentuk oleh media di dalam benak masyarakat secara tidak sadar. Baik melalui iklan maupun setiap media yang ada. Melalui ragam media, citra perempuan ditampilkan dengan berbagai daya tarik feminitasnya dan kelembutannya. Secara umum cantik diidentikkan dengan tubuh langsing, berkulit putih, tinggi, wajah mulus tanpa noda, dan memiliki rambut panjang. Konsep kecantikan pada masa sekarang ini tentu berbeda dengan konsep kecantikan pada abad pertengahan. Saat itu wanita cantik haruslah berbadan montok, bukan langsing. Setiap negara memiliki konsep kecantikan yang berbeda. Di Amerika Serikat, wanita cantik adalah mereka yang punya penampilan alami, kulit bercahaya, bibir lembab berkilau, pipi indah dan rambut lebat dan sehat. Berbeda dengan Spanyol, cantik yaitu memiliki kulit yang kecokelatan seperti habis terjemur di sinar matahari, dan memiliki
rambut lebat berwarna gelap yang indah. Di Swedia, Perempuan tampaknya tidak begitu mempedulikan bagaimana 'cantik' itu didefinisikan. Konsep kecantikan mereka tampaknya identik dengan bugar dan sehat. Sedangkan bagi orang turki, perempuan cantik adalah yang peduli dengan penampilan. Perempuan Turki dikenal hobi manikur, waxing dan merawat rambut. Seperti perempuan Eropa, perempuan Turki juga suka gonta-ganti warna rambut terkini. (Wolf, 2004: 7). Dengan adanya konsep kecantikan yang terbentuk seperti ini, maka banyak dari para wanita yang berlomba-lomba untuk melakukan “rombak tubuh” baik dengan cara diet, olah raga ataupun dengan cara instant seperti melakukan bedah kosmetik.
2.2 Konsep Masyarakat Jepang Mengenai Kecantikan Media Barat sering melaporkan bahwa berdasarkan studi yang dilakukan oleh psikolog, beberapa konsep kecantikan seperti bentuk tubuh “jam pasir” wanita, ditanamkan secara biologis. Tetapi penelitian lintas budaya terhadap konsep kecantikan, umumnya terbatas terhadap wanita. Telah menemukan bahwa tidak ada standar universal terhadap kecantikan, selain daripada kulit yang bersih, cerah dan tanpa cacat. Bahkan dalam sebuah grup sosial, standar kecantikan bisa bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan antara dua generasi (Miller, 2006: 21). Kemudian pada masa sekarang ini, Menurut Kawazoe dan Ogawa dalam Beauty Up (2006: 21) mengemukakan bahwa: Today few of these facial attributes are promoted by the media or desired by young women. It is tempting to assume that facial features sought in contemporary Japan, such as a larger eye shape and a thinner nose bridge, stem from postwar Americanization and that one of the primary “imports” during this time was a hegemonic white American concept of beauty Terjemahan:
Sangat menarik untuk berasumsi bahwa bentuk wajah yang diinginkan pada remaja Jepang masa kini seperti mata yang besar,dan hidung mancung yang ramping berasal dari Amerikanisasi pasca perang dan yang menjadi salah satu bentuk impor utama pada masa kini adalah konsep kecantikan Amerika kulit putih. Tetapi penelitian lintas kultural terhadap konsep kecantikan, telah menemukan bahwa tidak ada standar universal terhadap kecantikan, selain daripada kulit yang bersih, cerah dan tanpa cacat. Bahkan dalam sebuah kelompok sosial, standar kecantikan bisa bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan antara dua generasi. Sedangkan Katsuya, seorang dokter yang terkenal akan studinya tentang kecantikan, berpendapat dalam sebuah buku karangan Hyde (2007) yang berjudul 日本人女性はな ぜ 美 し い の か bahwa rahasia kecantikan wanita Jepang terletak pada gaya hidup mereka. Katsuya dalam 日本人女性はなぜ美しいのか (2007) mengatakan : 成 人に達しても結婚するまで親に依存する日本人女性の生活スタイルです。 彼女たちは親の家に住み、食費などの生活費を支払わない。アパート生活 をしている人 には親が支援する。それが普通の日本の社会では、美しく見 せるために彼女たちは化粧品、ダイエット、ヘアスタイル、メークアップ などに、さらには衣服、靴 から装飾品、バッグにまでお金を注ぎ込むこと が可能なのです Terjemahan : Gaya hidup perempuan Jepang sangat bergantung pada orangtua mereka, bahkan sampai mereka dewasa. Hal ini berlangsung sampai mereka menikah. Mereka tinggal bersama orangtua mereka dan tidak mengeluarkan biaya untuk hidup, makan, dll. Bahkan orangtualah yang membiayai kehidupan mereka yang tinggal di apartemen. Dalam masyarakat Jepang, hal ini adalah biasa, dan hal ini membuat wanita Jepang bisa menghabiskan banyak uang untuk untuk membuat diri mereka
lebih cantik dengan kosmetik, diet, gaya rambut make up, dan barang lain dari baju dan sepatu sampai aksesoris dan tas.
2.2.1 Transformasi Kecantikan Perempuan Jepang
Pada tahun 1990-an, sebuah ideologi kecantikan baru muncul, yang menonjolkan tubuh wanita yang lebih dewasa. Banyak wanita muda yang bekerja keras menciptakan tubuh yang seksi dan fit. Bentuk tubuh baru ini merespon booming aerobic yang menurut Nomura (1990) terjadi tahun 1983. Sebelum booming aerobic, kerampingan tidak terlalu dihargai. Dan kata kata seperti pocha pocha (tembam) dan fukuyoku (montok atau gemuk) dianggap sebagai pujian. Studi Spielvogel (2003) terhadap klub aerobic Jepang memasukkan deskripsi dari instruktur aerobic yang dengan bangga memperlihatkan tubuh mereka yang ramping dan muda. Pemindahan identitas kepada penampilan tubuh dan peningkatan jumlah produk yang digunakan untuk memperoleh penampilan tersebut telah mengalahkan atribut-atribut yang sebelumnya dianggap penting untuk membangun identitas sebagai seorang wanita, terutama
status
keluarga,
kemampuan,
dan
karakteristik.Tetapi
mereka
juga
menyediakan sebuah representasi dari nilai dan makna yang bersirkulasi di dalam kultur anak muda yang diambil, diciptakan kembali dan diperkenalkan ke publik yang lebih luas oleh media. Bermula dari pola dasar dari tubuh yang ramping dengan payudara yang besar dan kulit yang mulus tidak berbulu, wanita diberikan model kecantikan tambahan yang mengurutkan berbagai macam kriteria estetika. Tipe-tipe kecantikan yang berbeda ini
merespon berbagai pasar mikro yang menawarkan berbagai servis kecantikan seperti tanning atau face bleaching, gray-streaked hair (messhu) atau nutbrown tresses (chapatsu), Saat inovasi muncul, para pengiklan dan media mengapresiasinya, mengemasnya kembali, dan menyebarkannya kembali kepada kultur yang lebih besar (Kilbourne, 1999: 59). Menurut beberapa pakar, memperlihatkan gigi bisa berarti sebagai tanda mengancam, sedangkan menutup gigi sebagai tanda tunduk. Menutup mulut pada saat tersenyum adalah sebuah etika pada zaman Edo (Casal, 1966: 120), dan seperti halnya kebiasaan menghitamkan gigi pada zaman Edo. ., Mungkin hal ini terkait dengan maksud untuk menekan potensi agresif dari wanita. Wanita Jepang lainnya yang terbuka dan berani untuk tersenyum dengan begitu telah menantang tradisi lama untuk menutup mulut seorang wanita. Fokus terbaru, yaitu pada gigi telah menciptakan industri baru dalam produk dan jasa kecantikan yang terkait dengan gigi seperti dental aesthetics (dentá esute), yang biasanya merujuk tidak lebih kepada pemutihan gigi yang glamor. Saat ini, gigi yang diinginkan bukan saja putih tetapi juga lurus dan seragam. Clamer menulis gambaran tentang wanita dalam majalah pada masa dimana trend kawai (imut) sedang booming , (Clamer, 1995: 202). Ia, mengatakan banyak wanita dengan gigi yang tidak lurus. Meskipun gigi depan yang maju dari penyanyi-penyanyi idola seperti Matsuka Seido dulu pernah dianggap manis, tapi untuk wanita muda lainnya pada masa kini, hal itu adalah sumber rasa malu. Berawal pada pertengahan 1980-an, ada pertumbuhan permintaan akan orthodontia dan servis kosmetik gigi, terutama diantara wanita muda. Setelah gigi menjadi lurus dan putih, mereka tetap menjadi subject dari perawatan kecantikan tambahan.
Menurut Asahi Shinbun (1997) dalam Miller (2006), selama pertengahan 1900-an, bentuk dari seni tubuh seperti tattoo, mehndi (body painting tradisional dari India dan Timur Tengah), body piercing, dan nail art masuk ke dalam fashion anak muda Jepang. Popularitas dari seni tubuh itu menggambarkan sifat transnasional dari banyak style gaya anak muda. Tetapi perlu diingat bahwa trend kecantikan di Jepang bukan merupakan ‘versi gagal’ dari gaya Eropa-Amerika tetapi lebih merupakan estetika yang dikembangkan secara terpisah yang akan tetapi mengambil inspirasi dari luar Jepang. Dalam analisanya mengenai gambaran terbaru wanita dalam majalah, Ochiai (1997: 164) membuat analisa yang tajam bahwa mereka tidak berusaha menjadi wanita Barat lagi. Mereka terlihat keluar dari nasionalitas manapun. Sehubungan dengan hal itu menurut Katsuya dokter yang juga terkenal sebagai pakar kecantikan, dalam buku karya Hyde (2007) yang berjudul「日本人女性はなぜ美しい のか」 berpendapat bahwa wanita Jepang tidak peduli dengan biaya yang mereka keluarkan untuk menjadi cantik. Apapun bisa mereka dapatkan demi penampilan mereka. Katsuya (2007) mengatakan bahwa: 彼 女たちは美しくなるためには支出をいといません。彼女たちが化粧品や ブランド品を買えば買うほどそれらを売る会社は儲かります。それが、日本 経済を活気づ け、結果的に女性や親の収入に反映され、それが再び彼女た ちの美容の支払いとして使われていきます。この循環システムこそが日本人 女性を美しくしているの です Terjemahan: Untuk menjadi cantik, wanita Jepang sama sekali tidak peduli berapa biayanya. Semakin sering mereka membeli kosmetik dan merek-merek ternama, perusahaan yang menjual produk-produk tersebut akan semakin mendapatkan keuntungan. Hal ini merangsang ekonomi Jepang yang hasilnya terlihat pada pendapatan wanita
Jepang dan orangtua mereka. Dan mereka akan membelanjakan lebih banyak lagi uang untuk kecantikan mereka. Dengan system perputaran inilah yang mempercantik perempuan Jepang.
Terwujud dalam bentuk prototip-prototip baru wanita, adalah merupakan sebuah penolakan dari hal-hal yang dianggap tabu oleh kultur mengenai bagaimana cara kita mengekspresikan atau mempresentasikan diri sendiri. Bahu yang lembut dan condong dari kecantikan Taisho, telah digantikan oleh bahu dan pinggul yang mencolok. Seorang wanita bisa memilih gaya mana saja yang dia mau, make up, gaya rambut, dan teknologi kecantikan apa saja kini tersedia. Salah satu aspek dari industri kecantikan juga bisa dilihat dalam bentuk perawatan-perawatan kecantikan yang ditawarkan oleh salon-salon estetika. Salah satu fenomena yang muncul ke permukaan dalam masyarakat Jepang saat ini adalah fenomena penggunaan bedah kosmetik yang semakin meningkat terutama di kalangan perempuan. Terobsesi dengan penampilan fisik, para gadis yang menjalani bedah kosmetik tahun ini menjadi lebih muda. Ini menjadi sebuah tren yang mengganggu. Kebanyakan pasien yang muda, berusia 10 sampai 15 tahun, pergi ke klinik bedah kosmetik dengan ibu mereka. Banyak dari mereka yang membawa foto idolanya dan meminta operasi agar mirip dengan idolanya. Ibu dan anak percaya bahwa untuk memperoleh popularitas adalah dengan terlihat cantik Penggunaan jasa bedah kosmetik di kalangan kaum remaja putri di Jepang dewasa ini ini sepertinya memiliki kaitan dengan sikap konsumsi yang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta didukung dengan kekuatan ekonomi yang mereka miliki. Selain itu, pesan-pesan yang dibawa oleh media massa mengenai gaya hidup, kecantikan
dan fesyen, juga sangat berpengaruh terhadap pilihan-pilihan konsumsi yang diambil dalam kehidupan sehari-hari para wanita Jepang.
2.2 Konsep Bedah Kosmetik Bedah kosmetik, yang awalnya lebih dikenal dengan bedah plastik memiliki sejarah awal yang panjang. Menurut penelitian yang ada, sejak tahun 1000 sebelum masehi bedah plastik yang pertama tercatat di India sebagai proses penyambungan kembali hidung yang dipotong secara sengaja sebagai hukuman. Proses penyambungan ini, yang menurut catatan sejarah memiliki prosedur yang serupa dengan rhinoplasty (operasi mengubah bentuk hidung) pada masa sekarang, berkembang untuk merekonstruksi bentuk hidung orang-orang yang mendapatkan hukuman tersebut (Gabke dan Vauble, 1983: 29). Operasi plastik baru berkembang di daratan Eropa pada awal abad ke-15, yang diawali dengan operasi di bagian hidung. Hingga bentuk lain dari bedah plastik muncul pada awal abad ke-16 hingga akhirnya pada akhir abad ke-19 bedah plastik dilakukan pada orang-orang yang memiliki cacat bawaan sejak lahir atau cacat tubuh akibat terserang penyakit sipilis. Praktek operasi bibir sumbing bahkan amputasi payudara akibat tumorp un mulai dilakukan (Davis, 1996: 15). Walaupun teknik bedah untuk mengubah bentuk tubuh manusia telah ada selama berabad-abad, namun pada awalnya perkembangan di bidang ini sangatlah lambat. Hal ini dipengaruhi oleh faktor medis maupun faktor pandangan budaya terhadap mengubah bentuk tubuh. Hingga tahun 1846 saat chloroform (zat asam yang digunakan membius) ditemukan, dan pada operasi dilakukan anastesi (pembiusan). Hal ini membuat pasien maupun dokter menjadi enggan menjalani operasi. Sedangkan pandangan budaya yang
ada pada zaman itu, yang berpengaruh terhadap lambatnya perkembangan bedah plastik, adalah bahwa penyakit yang diterima manusia hingga menyebabkan kecacatan pada tubuh merupakan hukuman dari Tuhan atas perbuatan dosa. Usaha untuk memperbaiki kecacatan tubuh dianggap sebagai perbuatan yang melanggar takdir Tuhan. Maka para ahli bedah yang melakukan praktek operasi plastik pada saat itu tidak mendapatkan kedudukan yang dihormati dalam masyarakat (Davis, 1996: 15). Pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) dan Kedua (1939-1945), terdapat banyak prajurit yang mengalami kerusakan pada bagian tubuh mereka akibat pertarungan di medan perang. Para ahli bedah dikirim ke medan perang untuk memperbaiki wajahwajah yang terluka, merekonstruksi bagian tubuh yang terkoyak, dan mengobati lukaluka bakar. Sebagai akibatnya bedah rekonstruksi mendapatkan posisi yang baik di mata masyarakat sebagai bagian dari ilmu kedokteran yang dapat merekonstruksi bagian tubuh maupun luka bakar yang parah. Bedah plastik kini disejajarkan dengan para pahlawan perang yang dalam tugas patriotiknya mengalami cedera. Singkatnya, bedah plastik kemudian menjadi bidang dalam ilmu kedokteran yang dihormati (Minker dan Scholtz, 1998: 149). Pada tahun-tahun berikutnya, operasi plastik terus dipraktekkan untuk tujuan rekonstruksi tubuh akibat serangan penyakit, bawaan sejak lahir, atau kecelakaan. Prosedur bedah kosmetik dengan tujuan menambah nilai kecantikan pada tubuh yang tidak mengalami kecelakaan atau serangan penyakit muncul pada paruh akhir abad ke20. Mulai saat itu jumlah praktek bedah kosmetik bertambah secara dramatis (Minker dan Scholtz, 1998: 150). Secara istilah sebenarnya bedah plastik maupun bedah kosmetik, atau sering pula disebut sebagai bedah estetik, tidak memiliki perbedaan. Namun dalam prakteknya
bedah rekonstruksi, adalah operasi medis yang bertujuan untuk merekonstruksi bagian tubuh yang rusak akibat kecelakaan, cacat bawaan lahir, atau serangan penyakit yang sering pula disebut sebagai bedah plastik. Namun dalam skripsi ini istilah yang akan saya gunakan adalah bedah kosmetik menurut Minker dan Scholtz (1998: 150) yang artinya lebih spesifik yakni mengacu kepada operasi bagian tubuh dengan tujuan untuk menambah nilai kecantikan pada tubuh yang tidak mengalami kerusakan akibat penyakit, kecelakaan, ataupun cacat bawaan lahir . Bedah kosmetik telah menjadi satu fenomena massa. Dewasa ini praktek bedah kosmetik di Jepang mencakup lebih dari 40 persen dari keseluruhan bedah plastik. Perempuan yang tidak puas terhadap penampilannya adalah sebagai pasien dalam jumlah yang sangat besar. Perkembangan dari bedah kosmetik juga sangat terkait dengan pasar dalam dunia kedokteran, di mana telah terjadi proses komodifikasi terhadap jasa medis, serta dukungan dari budaya konsumen itu sendiri (Davis, 1995: 17). Bedah plastik tidak dapat dilihat hanya dalam konteks medis, karena bedah plastik tidak hanya merupakan praktek medis paling tidak dalam pandangan publik. Dulunya memang hanya dipandang sebagai praktek medis namun sekarang telah sangat terkait dengan praktek budaya dalam hal preservasi diri (self-preservation) (Haiken, 1997: 18). Jadi pada dasarnya praktek bedah kosmetik dalam suatu masyarakat memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, sisi medis dan sisi nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut terhadap permasalahan tubuh dan identitas. Bedah kosmetik di Jepang dikenal dengan nama seikei shuujutsu. Prosedur bedah kosmetik yang paling popular di Jepang adalah blepharoplasty atau dikenal dengan sebutan プ チ 整 形 yang merupakan operasi kecil yakni kelopak mata ganda yang
diciptakan dengan membuat lipatan di atas mata. Selain permintaan yang banyak akan pengerjaan hidung dan perawatan anti kerut, prosedur wajah umum yang lain adalah pembentukan wajah dengan menyuntikkan botox untuk mengecilkan pipi. Baru-baru ini, pembesaran dada telah menjadi kegemaran, diantara gadis-gadis remaja. Metode umum membesarkan payudara adalah penanaman dada yang diisi oleh larutan garam atau zat kimia lainnya. Sebuah teknik yang mendapat perhatian lebih saat ini adalah mengisi dada dengan lemak yang disedot keluar dari perut, bokong, atau bagian tubuh yang lain. Biaya untuk membesarkan payudara berkisar antara ¥300,000 sampai lebih dari ¥1 juta (Uni Orb, 2005).
2.3 Konsep Kepercayaa Diri Menurut Teori Psikologi Remaja WHO menetapkan batasan usia remaja yaitu 11 sampai 24 tahun. Menurut Piaget dalam (Hurlock, 1999: 129) masa remaja adalah usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang dewasa melainkan berada dalam tingkatan yang sama. Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Pada masa ini individu menginginkan atau mendambakan sesuatu. Mereka merasa tidak dimengerti oleh orang lain. Pada rentang usia ini perubahan fisik membawa efek perubahan terhadap rasa percaya diri remaja. Selain itu sering muncul keprihatinan akan perubahan fisik oleh remaja itu sendiri. Keprihatinan ini disebabkan oleh remaja yang tidak puas akan bentuk fisiknya. Pada masa ini remaja telah memikirkan konsep diri dan konsep dirinya relatif stabil. Hal ini bersamaan dalam pembentukan harga diri dan penerimaan diri. Oleh karena itu kepercayaan diri pada remaja sangatlah penting dalam pembentukan identitas diri (Burns, 1993: 20).
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Rasa percaya diri merupakan sikap mental optimisme dari kesanggupan seseorang terhadap kemampuan diri untuk menyelesaikan segala sesuatu dan kemampuan diri untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian diri pada situasi yang dihadapi. Terbentuknya kemampuan memiliki rasa percaya diri adalah suatu proses belajar bagaimana merespon berbagai rangsangan dari luar dirinya melalui interaksi dengan lingkungannya (Surya, 2007: 38). Di dalam kepribadian, terdapat dua aspek kepribadian yang sangat penting dalam perkembangan seorang manusia. Pertama adalah self esteem. Self esteem adalah konsep individu tentang dirinya sendiri yang meliputi bagaimana perasaannya tentang diri dan tubuhnya, serta seberapa jauh kepuasan yang didapatkannya dari tubuh tersebut. Self esteem akan berpengaruh besar terhadap apapun yang dilakukan oleh individu. Contoh penilaian negatif yang dilakukan oleh diri sendiri adalah merasa dirinya bertubuh pendek dan merasa tidak mungkin menarik dengan tubuh sependek itu. Sedangkan contoh penilaian positif adalah walaupun banyak kekurangannya tetapi tetap merasa optimis dapat memperbaiki kekurangan itu satu per satu, dan untuk kekurangan yang tidak dapat diperbaiki. Aspek yang kedua adalah self confidence atau lebih dikenal dengan percaya diri yaitu sejauh mana individu punya keyakinan terhadap penilaian diri atas kemampuannya dan sejauh mana individu tersebut bisa merasakan adanya “kepantasan” untuk berhasil. Self confidence timbul dari adanya self esteem yang tinggi sehingga individu merasa dirinya mampu dan pantas untuk berhasil.
Menurut teori Masters (1999) pada masa pubertas, biasanya banyak remaja yang mengalami penurunan self esteem. Penurunan ini disebabkan karena perubahan fisik yang begitu cepat dan tidak beraturan pada diri kanak-kanak yang beranjak remaja, sementara itu remaja belum memiliki identitas diri yang jelas. Sehingga “bagaimana penampilan saya, bagaimana orang lain melihat saya”, seringkali disepadankan dengan “siapa saya”. Hal ini juga masih ditambah lagi dengan hubungan yang erat antara kemenarikan dari segi fisik dengan penerimaan sosial, yang semakin membuat banyak remaja merasa tidak percaya diri. Ukuran cantik menjadi salah kaprah yaitu tinggi, langsing dan putih. Mereka yang mempunyai tiga kelebihan itu dianggap beruntung dan rasa percaya diri meningkat. Sementara mereka yang berkulit hitam, gemuk dan pendek merasa tidak menarik sehingga penghargaan terhadap dirinya rendah. Seseorang akan memiliki self confidence atau rasa percaya diri apabila memiliki self esteem yang tinggi. Self esteem yang rendah akan memperlemah hubungan yang dibina dengan orang lain, sedangkan self esteem yang tinggi akan mendukung remaja untuk mengembangkan hubungan mereka dengan orang lain. Selain itu, Masters dan Johnson (1999) juga mengatakan bahwa self esteem ini juga berpengaruh terhadap sikap seseorang terhadap statusnya sebagai remaja. Seseorang remaja yang memiliki self esteem yang positif maka ia tidak akan gampang terbawa godaan yang banyak ditawarkan oleh lingkungan (Masters, 1999: 189). Menurut Surya (2007) Beberapa karakteristik individu yang kurang mempunyai rasa percaya diri diantaranya adalah : 1. Berusaha menunjukan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok.
2. Menyimpan rasa takut atau kekhawatiran terhadap penolakan. 3. Sulit menerima realita diri ( terlebih menerima kekurangan diri) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri. 4. Pesimis dan mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif. 5. Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil. 6. Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue sendiri). 7. Selalu menempatkan atau memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu. 8. Memiliki external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan atau penerimaan serta bantuan orang lain).