BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1.
Jasa
2.1.1
Definisi Jasa Jasa merupakan pemberian kinerja atau tindakan tidak kasat mata yang
diberikan dari satu pihak ke pihak yang lainnya. Definisi jasa banyak diungkapkan oleh para ahli. Menurut Lovelock, Patterson & Walker dalam Tjiptono & Chandra (2007) jasa atau service adalah sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem, bisnis jasa terdiri dari dua komponen yakni operasi jasa (service operation) dan penyampaian jasa (service delivery). Operasi jasa adalah proses mengolah masukan (input) sehingga tercipta elemen-elemen jasa sedangkan penyampaian jasa adalah sebuah proses mengolah elemen-elemen jasa tersebut menjadi satu kesatuan dan disampaikan kepada konsumen/pelanggan. Sebagian sistem dari jasa dapat diketahui oleh para konsumen sedangkan sebagian lagi tidak. Berikut adalah gambaran jasa sebagai sebuah sistem (Tjiptono & Chandra, 2007): Gambar 2.1 Jasa sebagai Sistem Sistem Operasi Jasa
Sistem Penyampaian Jasa Fasilitas Fisik
Jasa A
Technical Core Personil Kontak
Tidak bisa dilihat pelanggan
Jasa B
Pelanggan A
Pelanggan B
Bisa dilihat pelanggan interaksi langsung interaksi sekunder
Sumber: Tjiptono & Chandra (2007)
5
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa bagian sistem yang tidak dapat dilihat oleh pelanggan atau konsumen adalah bagian teknis dari sebuah jasa (technical core) sedangkan fasilitas fisik serta kontak personil merupakan komponen sistem dari sebuah jasa yang dapat dilihat langsung oleh pelanggan. Melalui bagan ini, dapat terlihat pula bahwa interaksi yang terjadi antara penyampai jasa (perusahaan) dengan pelanggan ada dua jenis yakni interaksi langsung dan tidak langsung. Selain itu, menurut Kotler dalam Tjiptono& Chandra (2007) definisi jasa adalah setiap tindakan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud secara fisik (intangible) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Sedangkan menurut Gammenson dalam Tjiptono & Chandra (2007), jasa adalah sesuatu yang bisa dipertukarkan namun seringkali sulit dialami atau dirasakan secara fisik. Dari beragam definisi di atas, maka disimpulkan bahwa jasa adalah suatu sistem yang tidak hanya terpaku kepada penyampaian jasa dari satu pihak ke pihak lain melainkan proses dari terbentuknya jasa tersebut, yang sifatnya tidak kasat mata dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. 2.1.2. Karakteristik Jasa Jasa yang ditawarkan memiliki karakteristik tertentu. Menurut Lovelock & Gummenson dalam Tjiptono & Chandra (2007) ada empat karakteristik utama dari sebuah jasa yang dinamakan paradigma IHIP. Paradigma IHIP yaitu: a. Intangibility Jasa berbeda dengan barang. Barang bersifat nyata (tangible) sedangkan jasa bersifat tidak nyata (intangible). Jasa bersifat tidak nyata
6
artinya jasa tidak dapat dilihat, diraba, dicium, didengar. Konsep tidak nyata memiliki dua pengertian yakni sesuatu yang tidak dapat disentuh/dirasakan dan sesuatu yang tidak mudah untuk dirumuskan atau dipahami secara rohaniah. Intangibility dibedakan menjadi tiga dimensi (Laroche,Begeron & Goutaland dalam Tjiptono & Chandra ,2007), yaitu: i.
Physical Intangibility: tingkat materialitas produk atau jasa tertentu
ii.
Mental
Intangibility:
tingkat
kesulitan
dalam
mendefinisikan,
memformulasikan, atau memahami produk/jasa secara jelas dan akurat iii.
Generality: seberapa umum atau spesifik seorang konsumen mempersepsikan produk tertentu seperti aksesibilitas mendapatkan produk dengan non aksesibilitas dan lain-lain.
b. Heterogenity Suatu jasa bersifat heterogen atau variabel, terdapat banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis yang diberikan tergantung waktu, tempat dan orang yang membuat jasa tersebut. Konsumen mungkin akan mendapatkan pelayanan yang berbeda di satu waktu dengan di waktu yang lain. Hal ini dikarenakan unsur manusia yang terlibat dalam proses sebuah produksi jasa yang tidak bisa diprediksi dan cenderung tidak konsisten dalam berperilaku. Sehingga industri jasa yang bersifat people-based yang komponen sumber daya manusianya lebih banyak terlibat akan cenderung kurang konsisten atau terstandarisasi dibandingkan jasa yang bersifat equipment–based. (Tjiptono, 2007)
7
c. Inseparatebility Jasa berbeda dengan barang. Barang terlebih dahulu diproduksi, dijual baru kemudian dikonsumsi. Sedangkan jasa umunya dijual terlebih dahulu baru diproduksi dan dikonsumsi pada waktu bersamaan dengan waktu jasa tersebut terjual. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa dan keduanya mempengaruhi hasil dari jasa tersebut d. Perishability Jasa bersifat perishability yang artinya adalah komoditas yang tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang, dijual kembali maupun dikembalikan (Tjiptono, 2007) 2.2.
Pengertian Penumpang Individu yang menggunakan suatu jasa sering disebut dengan konsumen
maupun pelanggan. Namun dalam penelitian ini, istilah yang akan digunakan untuk merujuk kepada pengguna jasa adalah kata penumpang. Penumpang diartikan sebagai orang yang menumpang atau orang yang naik ke dalam sesuatu seperti kereta, kapal, dll (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1997). 2.3
Kualitas Pelayanan Pelayanan merupakan bagian dari sebuah jasa. Pelayanan adalah suatu
kegiatan atau proses menyampaikan jasa kepada pemakai jasa. Kualitas adalah kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, sumber daya manusia,
8
proses dan lingkungan yang memenuhi harapan (Goetsch & Davis dalam Tjiptono & Chandra ,2007). Kualitas akan terpenuhi apabila proses penyampaian jasa dari pemberi jasa kepada pengguna jasa sesuai dengan apa yang dipersepsikan oleh pengguna jasa tersebut. Selain itu, kualitas harus dimulai dari kebutuhan pengguna dan berakhir pada persepsi pengguna. Sedangkan kualitas pelayanan didefinisikan sebagai penyampaian jasa yang melebihi tingkat harapan penumpang. Namun, kualitas pelayanan bukan hanya didasarkan pada layanan yang dinikmati selama menggunakan jasa/produk melainkan saat sebelum dan sesudah pelayanan. Begitu pula dengan pelayanan transportasi kereta api (Semuel & Wijaya,2009). Selama lebih dari 20 tahun hubungan antara pelayanan dengan dan kepuasan konsumen selalu dimengerti dengan menggunakan model Diskonfirmasi Ekspektasi. Namun, saat ini model yang digunakan untuk mengukur pelayanan konsumen adalah Service Quality (SERVQUAL). Konsep ini dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml & Berry pada tahun 1985. Tokoh tersebut mengembangkan metode pengukuran tingkat harapan dan kinerja yang diterima konsumen (skor SERVQUAL = skor persepsi - skor harapan) yang dikaitkan dengan atribut atau dimensi tertentu (Oliver & Sarbo; Tse & Wilson dalam Burns, Graefe & Absher, 2003). Penelitian mengenai SERVQUAL terutama terkait dengan penelitian kepuasan penumpang kereta api sudah banyak dilakukan seperti contoh penelitian yang dilakukan oleh Semuel & Wijaya (2009) dengan judul “ Service Quality, Perceive value, Satisfaction, Trust dan Loyalty pada PT. Kereta api Indonesia
9
Menurut Penilaian Pelanggan Surabaya” diperoleh hasil bahwa adanya pengaruh langsung yang posiitif dan signifikan antara SERVQUAL terhadap kepuasan pelanggan atau penumpang. Selain itu menurut
Elmasnum (2005) dalam
penelitiannya “Analisis Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Para Pengguna Jasa Kereta Api pada PT. Kereta Api (Persero) Medan” mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi yakni bukti fisik, daya tanggap, jaminan, kehandalan dan empati yang secara serentak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan penumpang kereta api di Medan. Dan faktor empati yang dominan mempengaruhi kepuasan dari penumpang. Berdasarkan penelitian-pemelitian di atas diungkapkan bahwa ada lima atribut atau dimensi karakteristik dari SERVQUAL yang digunakan oleh para penumpang
untuk
melakukan
evaluasi
terhadap
kualitas
jasa
(Zeithaml,
Parasuraman & Berry,1990). Lima dimensi tersebut adalah: •
Reliabilitas (reliability): kemampuan perusahaan untuk memberikan jasa layanan
yang
akurat
tanpa
membuat
kesalahan
apapun
dan
menyampaikan layanan tersebut sesuai dengan yang dijanjikan •
Daya
Tanggap
karyawannya
(responsiveness):
bersedia
membantu,
kemampuan merespon
perusahan
serta
permintaan
dari
penumpang dan menginformasikan kapan jasa akan diberikan •
Jaminan (assurance): kemampuan perusahan untuk memberikan jaminan berupa rasa aman kepada penumpang. Selain itu, ada jaminan berupa kesopanan,
perilaku
dan
keterampilan
karyawan
menguasai
pengetahuan dan yang berhubungan dengan jasa yang ditawarkan
10
sehingga mampu mengatasi setiap masalah yang dihadapi oleh penumpang dan akhirnya tumbuh rasa percaya di benak penumpang •
Empati (empathy): kemampuan perusahan untuk memahami masalah yang dialami oleh penumpang dan melakukan upaya untuk membanttu penumpang
menyelesaikan
masalah
serta
pihak
perusahaan
memberikan perhatian secara personal kepada penumpang. •
Bukti Fisik (tangibles): kualitas jasa diukur dari daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan dan material yang digunakan serta penampilan dari perusahaan pemberi jasa.
Selain dimensi di atas, untuk penelitian ini terdapat tiga dimensi tambahan yang digunakan untuk melakukan pengukuran kepuasan penumpang kereta api. Dimensi tersebut didasarkan pada penelitian mengenai kualitas pelayanan kereta api di Wellington, New Zealand oleh Cavana & Cobet (2007) dalam Jurnal Development Zones of Tolerance for Managing Passanger Rail Service Quality. Tiga dimensi tambahan tersebut yaitu: •
Kenyamanan (Comfort): kemampuan perusahaan menyediakan fasilitas penunjang kereta api yang nyaman bagi penumpang
•
Koneksi (Connection) : kemampuan perusahan menyediakan lapangan parkir, kemudahan akses ke stasiun kereta api, frekuensi kereta api
•
Kemudahan (Convenience): kemampuan perusahaan dalam memberikan kemudahan kepada penumpang untuk mengakses informasi perjalanan serta kemampuan perusahaan dalam pelayanan tiket
11
2.4.
Kepuasan
2.4.1. Definisi Kepuasan Kepuasaan adalah perasaan senang maupun kecewa seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara prestasi atau produk yang dirasakan dengan yang diharapkan (Kotler dalam Rangkuti, 2002). Sedangkan menurut Schiffman & Kanuk (2007),
kepuasan konsumen (penumpang) adalah persepsi individu terhadap
kinerja dari sebuah produk atau jasa layanan yang berkorelasi dengan harapan. Berikut ini adalah gambar mengenai konsep kepuasan dari pelanggan atau penumpang: Gambar 2.2. Diagram Konsep Kepuasan Pelanggan
Tujuan Perusahaan
Kebutuhan dan Keinginan
Produk
Harapan terhadap Produk
Nilai Produk Tingkat Kepuasan
Sumber: Rangkuti (2002)
2.4.2. Harapan Harapan atau ekpektasi adalah keyakinan seseorang sebelum membeli suatu produk tertentu yang mana harapan dijadikan sebuah standar atau acuan dalam menilai kinerja dari produk tersebut (Olson& Dover dalam Zeithaml dalam Tjiptono & Chandra, 2007). Harapan seseorang muncul dikarenakan adanya
12
kebutuhan yang ingin dipenuhi, akibat pengalaman di masa lalu, pernyataan yang disampaikan oleh seseorang terkait dengan jasa yang ditawarkan (word of mouth) dan komunikasi pihak penyedia jasa (Zeithaml, Parasuraman & Berry,1990). Dalam penelitian ini, penumpang memiliki harapan tersendiri mengenai pelayanan yang seharusnya didapatkan saat mereka menggunakan jasa kereta api.
2.4.3. Persepsi Persepsi merupakan aspek mendasar dalam kehidupan manusia. Persepsi adalah
suatu
sensasi
atau
stimulus
yang
diterima
oleh
otak
kemudian
diorganisasikan dan diinterpretasi (Lahey, 2007). Persepsi juga diartikan sebagai suatu pengalaman fisiologis seseorang terhadap sebuah objek, yakni cara pandang terhadap objek atau situasi. Melalui pengalaman tersebut dapat dilihat pengetahuan dan pemahaman individu terhadap suatu objek (Abubakar,2009). Sedangkan menurut Neal, Quester & Hawkins (2004), persepsi adalah suatu aktivitas kritis yang menghubungkan individu sebagai seorang konsumen dengan kelompok, situasi dan pengaruh pemasaran atau market. Proses terjadinya persepsi meliputi tahapan sebagai berikut (Neal, Quester & Hawkins, 2004): •
Exposure
:proses
awal
terjadi
ketika
stimulus
datang
dalam
jangkauan saraf-saraf reseptor •
Attention
: proses ketika stimulus mengaktifkan satu atau lebih saraf reseptor sensorik sehingga menghasilkan sensasi tertentu. Sensasi yang dihasilkan tersebut kemudian diolah di otak
13
•
Interpretation
:hasil dari pengelolaan sensasi di otak yang dapat digunakan individu dalam melakukan tugas-tugas.
•
Memory
:akumulasi dari pengalaman berlajar. Memory terdiri dari dua komponen yakni long term memory dan short term memory
2.4.4. Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Kepuasan Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terciptanya kepuasan bagi pelanggan/penumpang yaitu (Rangkuti, 2002): a. Nilai Nilai adalah pengkajian secara menyeluruh manfaat dari suatu produk yang didasarkan pada persepsi pelanggan atas apa yang sudah diterima oleh pelanggan dengan yang telah diberikan produk tersebut. Gambar 2.3.Nilai bagi Pelanggan
Nilai bagi pelanggan =
Kualitas ---------Biaya
Layanan ----------Waktu
Sumber: Rangkuti (2002)
Suatu jasa yang berkualitas dan memuaskan bagi pelanggan belum tentu jasa tersebut memiliki nilai bagi pelanggan. Semakin tinggi nilai suatu produk semakin bertambah kebutuhan pelanggan yang terpenuhi dari produk tersebut. Seth Newman Gross dalam Rangkuti (2002) mengembangkan sebuah model yang dapat menunjukkan bahwa konsumen memilih suatu produk berdasarkan lima kriteria nilai, yaitu:
14
1. Nilai fungsi: manfaat suatu produk terkait kemampuan produk tersebut untuk memenuhi fungsinya dari sudut pandang ekonomi 2. Nilai
sosial:
manfaat
produk
ditinjau
dari
kemampuan
produk
mengidentifikasikan penggunanya dengan satu kelompok sosial tertentu 3. Nilai emosi: manfaat produk yang dikaitkan dengan kemampuannya untuk membangkitkan perasaan atau emosi pengguna 4. Nilai epistem: manfaat sebuah produk dengan mempertimbangkan kemampuan produk tersebut memenuhi keingintahuan pemakainya 5. Nilai kondisi: manfaat produk terkait dengan kemampuan produk dalam memenuhi kebutuhan pengguna saat waktu tertentu
b. Daya Saing Produk maupun jasa harus memiliki daya saing. Daya saing terlihat dari keunggulan dari produk yang dibutuhkan oleh pelanggan. Yang dimaksud keunggulan adalah keunikan dan kualitas jasa yang diberikan kepada pelanggan. Sehingga suatu produk atau jasa dikatakan memiliki daya saing apabila keunikan serta kualitas pelayanan diberikan sesuai dengan kebutuhan dari pelanggan. c. Harga Harga merupakan salah satu komponen yang bisa membuat pelanggan dapat merasa puasa dengan jasa atau produk yang digunakan untuk mendapatkan kepuasan pelanggan secara maksimal, pihak penyedia jasa/produk hendaknya tidak menetapkan harga yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Harga yang terlalu tinggi menimbulkan persepsi di pelanggan bahwa produk atau jasa yang ditawarkan
15
berkualitas namun bagi penyedia jasa atau produk memiliki persepsi yang rendah terhadap daya beli pelanggan. Sedangkan bila harga dari jasa atau barang yang ditawarkan terlalu rendah akan menimbulkan persepsi di pelanggan bahwa barang yang ditawarkan tidak memiliki kualitas yang bagus. d. Citra Citra adalah gambaran dari dari sebuah produk maupun jasa. Citra yang buruk akan menimbulkan persepsi bagi pelanggan bahwa produk atau jasa tersebut tidak berkualitas sehingga apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh penyedia jasa maka pelanggan tidak akan memaafkan. Namun bila citranya baik, maka pelanggan terus menggunakan jasa maupun produk tersebut. 2.4.5. Model Kesenjangan Kepuasan Kepuasan yang dirasakan penumpang terhadap jasa yang diberikan ditentukan oleh harapan atau ekspektasi sebelum mengggunakan jasa dibandingkan dengan hasil persepsi penumpang terhadap jasa setelah penumpang merasakan jasa yang diberikan. Namun, untuk membuat kepuasan penumpang tidaklah mudah. Apabila ada ketidaksesuaian antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima atau dipersepsikan maka akan menimbulkan kesenjangan atau gap antara pihak pengelola jasa dengan penumpang. Model kesenjangan kepuasan penumpang dapat terlihat pada bagan berikut (Parasunaman, Zeithaml & Berry,1990):
16
Gambar 2.4. Gap Model Service Quality
Costumer
Personal Needs
Word of Mouth Communication
Past Experience
Expected Service
GAP 5 Perceived Service
Provider GAP 1 GAP 3
Service Delivery
GAP 4
External Communications to Customer
Service Quality Spesification
GAP 2
Management Perceptions of Customer Expectatios
Sumber: Parasunaman, Zeithaml & Berry (1990)
Dalam mencapai kepuasan, ada dua pihak yang berkepentingan yakni penumpang atau costumer dan pengelola kereta api atau provider (Gambar 2.4. Gap Model Service Quality). Sebelum menggunakan sebuah produk atau jasa (dalam penelitian ini adalah jasa kereta api), seorang penumpang memiliki harapan tertentu terhadap pelayanan yang diberikan dari jasa tersebut yang disebut dengan expected service. Harapan tersebut terbentuk dari beberapa hal (pada gambar 2.4 diberi tanda berupa garis lurus): 1. Komunikasi atau pembicaraan dari mulut ke mulut dengan orang lain mengenai jasa yang dipakai (word of mouth communication)
17
2. Kebutuhan-kebutuhan pribadi (personal needs) 3. Pengalaman di masa lalu ( past experience) 4. Komunikasi yang dilakukan pihak provider kepada costumer (external communications to customer) Sedangkan pada saat penumpang menggunakan/menerima jasa layanan disebut perceived service. Perceived Service terbentuk dari komunikasi pihak provider dengan konsumen atau penumpang (external communications to customer) yang merupakan cara pengelola kereta api dalam memberikan layanan atau jasa. Layanan atau jasa yang diberikan kepada penumpang tergantung dari cara pengelola kereta api membuiat spesifikasi tentang kualitas layanan yang baik (service quality specification). Sedangkan spesifikasi layanan yang baik ditetapkan berdasarkan bagaimana pengelola kereta api/provider mempersepsikan harapan penumpang/costumer terhadap jasa yang akan mereka terima. Apabila semua faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya harapan dan pelayanan yang diterima penumpang sesuai maka akan muncul kepuasan penumpang.
Namun
sebaliknya,
penumpang
tidak
merasa
puas
dalam
menggunakan jasa kereta api apabila ada ketidaksesuaian atau kesenjangan (gap) yang terjadi. Kesenjangan (gap) tersebut ditandai dengan garis putus-putus. Berikut ini ada lima kesenjangan (gap) yang mempengaruhi ketidakpuasan penumpang, yaitu: •
GAP 1 : Kesenjangan terjadi karena adanya perbedaan persepsi mengenai harapan
penumpang
dari
penyedia
jasa
dengan
harapan
yang
sesunggahnya dimiliki oleh penumpang.
18
•
GAP 2 : Kesenjangan ini diakibatkan adanya perbedaan antar persepsi pihak manjemen perusahaan pengelolaan jasa dengan spesifikasi dari kualitas pelayanan
•
GAP 3 : Kesenjangan terjadi karena ketidaksesuaian kinerja pelayanan karena karyawan dari pengelola jasa tidak mampu menyampaikan jasa menurut tingkat pelayanan yang diinginkan oleh penumpang
•
GAP 4 : Kesenjangan yang disebabkan ketidaksesuaian antara pelayanan yang dijanjikan dengan pelayanan yang disampaikan
•
GAP 5: Terjadi kesenjangan antara layanan yang diharapkan dengan yang diberikan menurut sudut pandang penumpang.
19