Bab 2 Landasan Teori
2.1 Teori Kesusasteraan Menurut Takeo Kuwabara Sastra merupakan karya seni yang memiliki arti atau keindahan. Dalam bahasa Jepang, kesusasteraan memiliki teori yang didefinisikan seperti yang tertulis dalam kutipan berikut ini:
文学理論は、小説のストーリーだけでなく、ストーリーがどのよう に書かれているか、そしてそれが読者の印象にどう影響を与えてい るのかを問題にできます。日本文学とは、日本語で書かれた文学作 品、もくしはそれらの作品や作家を研究する学問のこと。 (Kuwabara, 1990:34) Terjemahan: Teori kesusasteraan tidak hanya mengenai sebuah cerita dalam novel saja, tetapi untuk apa cerita itu ditulis sehingga pembaca mendapatkan kesan atas pengaruh dari masalah-masalah yang terdapat dalam cerita. Kesusasteraan Jepang adalah hasil karya sastra yang dituliskan dengan menggunakan bahasa Jepang atau juga ilmu yang digunakan untuk meneliti hasil karya dan pengarang.
2.2 Teori Fiksi Menurut Nurgiyantoro Menurut Nurgiyantoro (2002:2), karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas, sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris. 7
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kentemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan (Nurgiyantoro, 2002:3).
2.2.1 Genre Fiksi Menurut Nurgiyantoro (2002:9), karya fiksi menunjuk pada: 1. Novel dan Cerita Pendek Novel dan cerpen mempunyai persamaan, keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Keduanya juga sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Namun diantara keduanya juga terdapat perbedaan. Dari segi panjang cerita, novel jauh lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan unsur permasalahan yang lebih kompleks.
8
2. Novel Serius dan Novel Populer Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Oleh karena itu, novel jenis ini pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Ia biasanya cepat dilupakan orang apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya. Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Novel ini juga mengambil realitas kehidupan sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru” lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus. Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang novel jenis ini tidak banyak. Pembaca dituntut untuk “mengoperasikan” daya intelektualnya, dan ikut merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antartokoh.
2.3 Teks Naratif Naratif mempunyai arti sebagai cerita, yang diambil dari kata narrative, sedangkan teks naratif berarti teks cerita. Karya fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Nurgiyantoro, 2002:2). Oleh karena itu dapat dikatakan teks naratif adalah sebuah teks prosa yang terdapat dalam fiksi. Unsur teks naratif dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu unsur fabel dan sujet. Fabel merupakan aspek material (dasar) cerita, keseluruhan peristiwa yang diungkapkan dalam 9
teks naratif yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sujet, yang disebut juga sebagai plot, adalah urutan peristiwa seperti terlihat dalam teks itu, yang mungkin berupa urutan kronologisnormal (urut dari awal hingga akhir, a-b-c), sorot balik atau flash back (mendahulukan peristiwa yang kemudian, c-b-a), atau bersifat in medias res (mulai dari peristiwa-konflik yang telah menegang, b-a-c) (Nurgiyantoro, 2002:27). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat melalui diagram Chatman berikut:
Aksi Peristiwa Bentuk
Kejadian
Eksistensinya
Cerita
Latar Substansi
Teks Naratif
Tokoh
Keseluruhan semesta (nyata dan imajinatif)
Bentuk Wacana
Struktur transmisi naratif (susunan, frekuensi, perspektif, dll.)
Substansi
Wujud ekspresi (verbal, sinematis, gambar, dll.)
Chatman dalam Nurgiyantoro (2002:27) membagi unsur teks naratif ke dalam unsur cerita dan wacana. Aspek cerita yang terdiri dari peristiwa (berunsur aksi dan kejadian) dan wujud keberadaan atau eksistensinya (yang berunsur karakter dan setting) seperti disebut diatas merupakan aspek bentuk isi. Di lain pihak, unsur yang merupakan substansi isi, adalah
10
keseluruhan semesta, berbagai bentuk kemungkinan objek dan peristiwa (kejadian), baik yang ada di dunia nyata maupun hanya dunia imajinatif, dapat diimitasikan ke dalam karya naratif. Aspek wacana juga terdiri dari unsur bentuk wacana dan substansi wacana. Unsur bentuk wacana berupa struktur transmisi naratif (dapat juga disebut: wacana naratif) yang terdiri dari unsur-unsur seperti urutan penceritaan atau susunan, modus, kala, frekuensi, perspektif atau sudut pandang, dan lain-lain. Unsur substansi wacana bersujud media, sarana, yang dapat dipergunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu (gagasan, cerita) yang ingin diungkapkan. Semua itu dapat berupa media verbal, seperti teks naratif atau karya fiksi, sinematis, gambar, dan lain-lain.
2.3.1 Unsur Intrinsik Pada Novel Secara garis besar pembagian unsur dalam novel dibedakan menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik berhubungan erat dengan bahasa sebagai sistem, sedangkan unsur ekstrinsik berkaitan dengan aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek-aspek tersebut meliputi aliran, unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama, psikologi, dan sebagainya (Fananie, 2000:17-18). Menurut Nurgiyantoro (2002:24), unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra tersebut. Contohnya adalah psikologi pengarang maupun pembacadan keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain yang juga akan berpengaruh terhadap karya sastra. Tetapi dalam skripsi ini, unsur yang berpengaruh untuk menganalisis adalah unsur intrinsiknya. Karena itu yang akan dibahas lebih jauh adalah unsur intrinsik.
11
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud. Unsur-unsur yang dimaksud adalah plot (urutan kejadian), penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2002:23).
2.3.1.2 Plot Stanton dalam Nurgiyantoro (2002: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Cerita-cerita tersebut mempunyai hubungan kausalitas. Untuk dapat disebut sebagai sebuah plot, hubungan antarperistiwa itu harus memiliki sebab-akibat, tidak hanya sekedar beruntun saja. Plot sebuah karya fiksi, menurut Forster (Nurgiyantoro, 2002:114), memiliki sifat misterius dan intelektual. Plot menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik atau mencekam pembaca. Sifat misterius plot inilah yang mendorong rasa keingintahuan pembaca, sehingga unsur ini merupakan suatu hal yang amat penting dalam plot sebuah karya naratif, dan menjadi pendorong pembaca untuk menyelesaikan novel yang dibacanya. Oleh karena plot bersifat misterius, untuk memahaminya diperlukan kemampuan intelektual. Tanpa disertai adanya daya intelektual, tak mungkin orang dapat memahami plot cerita dengan baik. Abrams dalam Nurgiyantoro (2002:142) mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end). Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
12
a. Tahap Awal Tahap ini biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya berupa penunjukkan dan pengenalan latar, dan untuk pengenalan tokoh-tokoh cerita. b. Tahap Tengah Tahap ini dapat juga disebut tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. c. Tahap Akhir Tahap ini dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai klimaks. Bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita.
2.4 Teori Aktan dan Fungsinya Menurut Greimas Untuk analisis tentang aktan dan fungsinya di dalam cerita, akan digunakan model aktan yang dikemukakan oleh Greimas sebagaimana yang dikemukakan oleh Fossion didalam bukunya Lectures Nouvelles (Zaimar, 1992:4). Pakar teori sastra ini mengemukakan bahwa semua cerita, walaupun dalam bentuk yang berbeda-beda, menunjukkan adanya suatu konfigurasi yang sama pada tipe-tipe aktan, yang didefinisikan menurut hubungan dan fungsi yang diperankan didalam cerita. Aktan menunjukkan peran yang berbeda-beda ditinjau dari segi tata cerita. Analisis aktan dan fungsi merupakan analisis alur cerita yang didasari hubungan antar aktan. Menurut Greimas, aktan (actant) adalah seseorang atau sesuatu yang menyempurnakan atau yang menjalani perbuatan. Aktan dapat berupa orang, antropomorfis (pelaku yang 13
dipersonifikasi), zoomorfis (mengacu pada segala sesuatu yang mengacu pada binatang, atau sesuatu yang lain, khususnya dewa, yang keberadaannya melebihi manusia) atau berupa sesuatu yang abstrak. Satu aktan dapat mengambil beberapa peran. Aktan tidak sama dengan aktor atau tokoh (Martin, 2000:18,142). Sementara itu aktor menurut Greimas, adalah apa saja yang dapat berupa individu, antropomorfis atau zoomorfis, maupun kelompok pada level diskursif dalam cerita. Sementara itu istilah aktan lebih bersifat abstrak dan berhubungan dengan fungsinya (Martin, 2000:20).
2.4.1 Skema Aktan Greimas Greimas dalam Zaimar (1992:4), mengajukan sebuah model dengan enam aktan:
Skema Aktan: Pengirim
Subjek
Penerima
Penolong
Objek
Penentang
Keterangan: 1. Pengirim adalah seseorang atau sesuatu yang menggerakkan cerita, dan menimbulkan karsa pada subjek untuk mencapai objek yang diingini. 2. Objek adalah seseorang atau sesuatu yang diingini dan dicari oleh subjek. 3. Subjek adalah seseorang yang mendapat tugas untuk menemukan dan mengambil objek tersebut. 14
4. Penentang adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha subjek untuk mendapat objek yang dicarinya. 5. Penolong adalah seseorang atau sesuatu yang akan mempermudah usaha subjek untuk mendapatkan objek. 6. Penerima adalah seseorang atau sesuatu yang menerima objek hasil pencarian subjek.
Perlu dikemukakan bahwa satu aktan dapat menempati beberapa fungsi.
2.4.2 Model Fungsional Greimas Greimas bukan hanya mengemukakan bagian aktan, ia juga menunjukkan adanya suatu model cerita sebagai jalan cerita (alur) yang terdiri dari tindakan-tindakan yang tercakup dalam apa yang disebut fungsi. Fungsi-fungsi ini dinyatakan dengan kata benda, seperti misalnya, keberangkatan, kedatangan, kedatangan inkognito, hukuman, dan seterusnya (Zaimar, 1992:5). Operasi transformasinya terbagi dalam tiga tahapan: 1. Tahap uji kecakapan 2. Cobaan utama 3. Cobaan untuk mencapai kegemilangan Model fungsional tersebut adalah:
Transformasi Situasi awal
Tahap uji kecakapan
Cobaan utama
Cobaan untuk
Situasi akhir
mencapai kegemilangan 15
Keterangan: 1. Situasi awal Cerita dimulai dengan pernyataan adanya sesuatu yang diingini atau diperlukan. Itulah
yang
disebut
karsa.
Pengirim
memberi
tugas
kepada
subjek
untuk
mendapatkannya. 2. Transformasi: a. Tahap uji kecakapan Subjek berangkat dan menghadapi tantangan. Mereka yang tak mampu mengatasi tantangan pada tahap ini, akan didiskualifikasi sebagai subjek. Pada tahap ini, subjek memperoleh kecakapan yang diperlukan untuk melakukan perbuatan atau misi yang direncanakan. Subjek harus mempunyai kemampuan untuk berbuat dan atau pengetahuan atau keterampilan untuk berbuat. b. Cobaan utama Tahap ini mengacu kepada peristiwa atau perbuatan utama. Subjek sudah dipersiapkan dan objek penyelidikan dipertaruhkan. Dalam cerita petualangan, cobaan penentuan sering memakai bentuk konfrontasi atau konflik di antara subjek dan antisubjek. c. Cobaan untuk mencapai kegemilangan Setelah cobaan utama dapat dilalui, subjek masih harus menyerahkan objek pencarian kepada penerima. Pada tahap ini, hasil peristiwa sudah tampak, cobaan utama sebelumnya berhasil atau gagal, subjek disambut gembira atau dihukum. Semuanya menunjukkan hasil perbuatan subjek yang diinterpretasi dan dievaluasi oleh pengirim. (Martin, 2000:18-142) 16
3. Situasi akhir Objek telah didapat, keseimbangan telah tercapai kembali, cerita pun berakhir. (Zaimar, 1992:6).
Model aktan dan model fungsional mempunyai hubungan timbal balik, karena sebenarnya hubungan para aktan ditentukan oleh fungsinya (Zaimar, 1992:6).
17