7
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
No.
Nama Penulis
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
1.
Andi Mapisangka
Implementasi CSR terhadap Kesejahteraan Hidup Masyarakat. (Studi kasus: CSR PT Batamindo Cakrawala (2009)
Variabel X
Journal of Experimental Social Psychology (JESP)
Penjelasan Penelitian
Sampel penelitian yakni sebesar 222 (X1) CSR orang. Hasil penelitian Goal dalam penelitian ini, (X2) Corporate Variabel independent (X) antara lain Social Issue, Corporate Social (X3) Corporate Responsibility Goal, Relation Corporate Social Program Issue, Corporate Relation Program Variabel Y secara signifikan Kesejahteraan memiliki pengaruh positif terhadap Hidup peningkatan Masyarakat. kesejahteraan masyarakat (Y). Namun diantara variabel independent yang ada, hanya variabel Corporate Relation Program yang memiliki pengaruh terbesar terhadap peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan PT. Batamindo
8
Investment Cakrawala. 2.
Pramono Hadi
Empowerment Through Corporate Social Responsibility in Holcim (2013)
Variabel X :
International Journal of Scientific Research and Education
Variabel Y:
(http://ijsae.in)
3.
Dody Prayogo
Measuring Corporate Social Responsibility for Local Communities in Mining, Oil and Gas Industries, The Case of Indonesia
CSR Community Empowerment
Perception and Community Empowerment Participation
Variabel X : Corporate Social Responsibility Variabel Y : Local
The research was conducted in September 2011 until May 2012. Quntitative deskriptif analysis. The population of the research are 612, and the respondents of the research are 250. The result of community empowerment activities include in health, education, economy, and environment. The community perceptions and participation on empowerment bt PT. Holcim together with a high commitment is described by PT. Holcim Indonesia Tbk. Cilacap Plant. It has strengthened by the result and benefits of CSR, its support for regional development, even the benefits for the company. This study examines the method to measure CSR in two companies in Kalimantan and Sumatera. It argues that CSR requires to employ the concepts of social justice and social equality, and is
9
(2013)
Communities
undertaken by using a social contract mechanism. The operationalisation of the three concepts involves legal aspect (compliance to law), business (improvement of corporate image), welfare and capacity building (both of local communities) and social integration (between the corporation and the local communities). In measuring the achievement of CSR these three aspects are given different weightings in accordance to the significance of each. Using quantitative (survey and secondary data) and qualitative (in-depth interviewing and observation) methods. The sample numbered 150 respondents, randomly selected from the population of program beneficiaries. In-depth interviews were conducted with key informants, namely beneficiaries selected for being actively involved in the program as well as local community leaders who were aware of CSR activities in question. The result show that
10
CSR measurement method needs to consider two aspects proportionally, community and corporation. Another finding of the study confirms that CSR is not only a matter of philanthropy, but in fact is an obligation, as part of the mode of production, in order to gain social legitimacy, which apply social justice and equality in the practice of mining and oil industries in Indonesia. 4.
Partini
“CSR dan Pemberdayaan Masyarakat (Studi Implementasi CSRPTBA di Muara Enim, Sumatera Selatan). (2013)
Variabel X : Kebijakan CSR dan Pemberdayaan Masyarakat Variabel Y : Persepsi Motivasi dan Partisipasi Masyarakat
Metode penelitian dalam penilitian ini adalah kuantitaif dan kualitatif, sampel dalam penelitian kuantitatif diambil sebanyak 10% dari populasi, sehingga sampel yang terambil sejumlah 101 responden dengan teknik proporsional dan multi stage random sampling. Sampel penelitian kualitatif ditentukan kurang lebih 5-10 % dari sampel survei. Informan yang diambil adalah stakeholders, perusahaan dan masyarakat.
11
Hasil dari penelitian ini adalah CSR yang diberikan dapat memberdayakan sekaligus membangun masyarakat mandiri yang berkeadilan sosial.
5.
Dr.Dedi Mulyadi, H. Sonny Hersona GW, DRS., MM., Linda Devis May, SE
Analisis Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) pada PT Pertamina gas Area JBB Distrik Cilamaya bagi Masyarakat (2012)
Variabel X : Program CSR Variabel Y : Pesepsi Masyarakat.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Dari hasil penelitian ini dapat dijelaskan bahwa, analisis pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan menggunakan 25 butir pertanyaan dari 13 indikator terhadap variabel CSR yang berdasarkan hasil kuisioner dengan analisis deskriptif dan rentang skala diperoleh nilai skor rata-rata sebesar 540,28 artinya responden menyatakan baik/setuju terhadap pelaksanaan CSR PT Pertamina Gas Area JBB Distrik Cilamaya bagi masyarakat.
12
2.2 Integrated Marketing Communication (IMC) AAAA (American Association of Advertising Agencies) mendefinisikan IMC sebagai “a concept of marketing communication planning that recognizes the added value of a comprehensive plan that evaluates the strategic roles of a variety of communication disciplines – for example, general advertising, direct response, sales promotion, and public relations – and combines these discipline to provide clarity, consistency, and maximum communications impact” (Wenats et al. 2012) Maksud dari penjelasan diatas adalah konsep perencanaan komunikasi pemasaran yang mengakui nilai tambah rencana komprehensif yang mengevaluasi peran strategis dari berbagai disiplin ilmu komunikasi - misalnya, general advertising, direct response, sales promotion, and public relations – dan menggabungkannya untuk memberikan kejelasan, konsistensi, dan dampak komunikasi yang maksimal. Definisi lain menurut Don Schultz, Stanley Tannenbaum & Robert F Lauterborn menjelaskan definisi IMC sebagai “a new way of looking at the whole, where once we saw only at parts such as advertising, PR, Sales Promotion, Purchasing, employee communication and so forth” (Schultz et al, 1994 : 46) Maksud dari penjelasan tersebut adalah cara baru dalam memandang keseluruhan, di mana setelah kita melihat hanya pada bagian seperti iklan, PR, Sales Promotion, Pembelian, komunikasi karyawan dan sebagainya. Kotler dan Amstrong mendefinisikan IMC sebagai “the concept under which a company carefully integrates and coordinates its many communications channels to deliver a clear, consistent, and compelling message about the organization and its products.” (konsep di mana perusahaan dengan hati-hati mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai saluran komunikasi untuk menyampaikan pesan yang jelas, konsisten, dan menarik tentang organisasi dan produk-produknya). (Kotler dan Amstrong, 2004: 469) Dari ketiga penjelasan para ahli mengemukakan mengenai IMC dapat disimpulkan bahwa IMC adalah kombinasi dan terpadunya semua tools atau alatalat pemasaran yang berwujud terintegrasinya komunikasi pemasaran untuk disampaikan pada semua stakeholder atau publik dari perusahaan.
13
Secara teoritis tanggung jawab sosial perusahaan adalah sebuah wadah sosial untuk mempromosikan eksistensi atau keberadaan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada stakeholdernya dapat melalui komunikasi permasaran terpadu maupun melalui peranan Public Relations sebagai salah satu tools atau alat bauran promosi itu sendiri.
2.3 Public Relations (PR) Public Relations (PR) merupakan salah satu tools atau alat dari bauran promosi. Dalam kaitan ini PR merupakan salah satu cabang ilmu yang berfungsi dan berperan mencitrapositifkan keberadaan perusahaan, sekaligus meningkatkan reputasi perusahaan. Menurut Setianti (2013), melalui program CSR dapat dibangun komunikasi yang efektif dan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat yang biasanya dilakukan oleh
Public Relations. Bila kita berbicara tentang
paradigma baru peran Public Relations akhir-akhir ini terdapat kecenderungan (trend) meningkatnya tuntutan publik atas transparansi dan akuntabilitas perusahaan sebagai wujud implementasi good corporate governance (GCG). Salah satu implementasi GCG di perusahaan adalah penerapan CSR. (Rusdianto, 2013) Semua bentuk organisasi atau institusi selalu melakukan kegiatan Public Relations. Departemen Public Relations memiliki peran sebagai pusat informasi dan komunikasi bagi perusahaan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Berdasarkan uraian tersebut, praktisi Public Relations di Indonesia sebaiknya mengaktualisasikan diri dalam memantapkan profesionalitasnya, tanpa melupakan tugas dan tanggungjawabnya. Disinilah letak relevansi dan benang merah kehadiran para Public Relation yang mampu menjawab tuntutan era globalisasi dalam persaingan super kompetensi dengan melaksanakan CSR sebagai salah satu kegiatan dari Public Relations sebuah perusahaan. Dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, sebuah perusahaan
perlu
menjalin
hubungan
baik
dengan
stakeholder.
Untuk
melaksanakan tugas tersebut, umumnya pihak yang ditunjuk perusahaan adalah Public Relations (PR). Seperti dijelaskan Rosady Ruslan (2005), bahwa Public
14
Relations merupakan fungsi manajemen yang menilai sikap publik, menidentifikasi kebijaksanaan dan tata cara seseorang atau orang demi kepentingan publik serta merencanakan dan melakukan suatu program kegiatan untuk meraih pengertian, pemahaman, dan dukungan serta penilaian yang baik dari publiknya. (Rusdianto, 2013: 87) Public Relations mempunyai peran penting baik secara internal maupun eksternal dalam aktivitas CSR. Pada dasarnya publik dari Public Relations adalah public internal dan eksternal. Publik internal meliputi manajemen perusahaan dan karyawan. Sedangkan publik eksternal, meliputi masyarakat sekitar perusahaan, pemerintah, pers, konsumen, pesaing, agen dan juga distributor. Kedua publik tersebut memberi pengaruh yang sama besar kepada masyarakat. (Rusdianto, 2013: 87) Peran Public Relations dalam aktivitas CSR akan berkembang menjadi lebih kompleks seiring dengan kemajuan dari program CSR perusahaan. Peran Public Relations dalam konteks ini masih diwarnai oleh kegiatan Public Relations melalui media relations (hubungan dengan media). Tidak dapat dipungkiri, bahwa peran media sangat vital dalam publistias dan pencitraan dimata publik. Berhasil atau tidaknya kegiatan Public Relations akan bertumpu pada bagaimana Public Relations mengkomunikasikan. Namun, komunikasi akan menjadi rantai yang hilang dalam mengkomunikasikan CSR melalui media. (Rusdianto, 2013: 88) Model komunikasi yang sesuai dengan proses komunikasi Public Relations dalam kegiatan CSR adalah model two way symmetrical yang merupakan salah satu model yang diungkapkan oleh James Grunig (1992: 285). Model two way symmetrical bertujuan untuk membangun danmenjaga reputasi dan citra perusahaan di mata publiknya. Karena itu, dalam program CSR selalu ada aspek bagaimana menyusun pesan yang ingin disampaikan kepada komunitas, serta melalui media apa dan cara bagaimana. (Rusdianto, 2013: 89) Relasi diantara praktisi Public Relations dan publiknya adalah salah satu tindakan sosial, dalam pengertian tindakan tersebut merupakan suatu relasi yang didalamnya ada kebersamaan dan keberbagian makna yang saling dipertukarkan secara intersubjektif. Tindakan sosial diantara pasangan praktisi PRdan publiknya
15
akan senantiasa berorientasi juga kepada hal-hal yang menyebabkannya melakukan sesuatu yang diperjuangkannya melalui tindakan yang dipilihnya. Berdasarkan alasan tersebut, maka akan memiliki motif yang berorientasi masa depan atau masa lampau.
2.3.1 Definisi Public Relations The British Institute of Public Relation mendefinisikan Public Relations sebagai: “an effort to establish and maintain mutual understanding between organization and its public” (suatu upaya untuk membangun dan mempertahankan saling pengertian antara organisasi dan publiknya). (Morissan, 2008: 7) Cutlip-Center-Broom mendefinisikan Public Relations sebagai “the planned effort to influence opinion through good character and responsible performance, based on mutually satisfactory two-way communications” (usaha terencana untuk mempengaruhi pandangan melalui karakter yang baik serta tindakan yang bertanggung jawab, didasarkan atas komunikasi dua arah yang saling memuaskan. (Morissan, 2008: 7) World Assembly of Public Relations mendefinikan Public Relations yaitu “Public Relations is the art and social science of analyzing tends, predicting their consequence, counseling organization leaders and implementing planned programs of action which serve both the organization’s and the public interest. (Public Relations adalah seni dan ilmu sosial dalam menganalisis kecenderungan, memperkirakan akibat-akibat, memberikan saran kepada pimpinan perusahaan serta melaksanakan program tindakan terencana yang melayani baik kepentingan organisasi dan khalayaknya). (Morissan, 2008: 8) Peneliti menyimpulkan dari sekian banyak definisi yang telah dijelaskan diatas, yang mewakili penjelasan mengenai definisi Public Relations adalah definisi yang diungkapkan oleh Frank Jefkins, yaitu “sesuatu yang merangkum keseluruhan komunikasi terencana, baik ke dalam maupun ke luar antara suatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pengertian.” Menurutnya, humas pada intinya senantiasa berkenaan dengan kegiatan penciptaan pemahaman melalui pengetahuan
16
dan melalui kegiatan-kegiatan tersebut akan muncul suatu dampak yakni perubahan yang positif. (Morissan, 2008: 8) 2.3.2
Praktisi Public Relations Menurut Dominick, Public Relations mencakup hal-hal sebagai berikut :
(Morissan, 2008: 8-9) a. Public Relations memiliki kaitan erat dengan opini publik Di satu sisi, praktisi Public Relations berupaya untuk mempengaruhi publik/khalayak agar memberikan opini positif bagi perusahaan, namun di sisi lain Public Relations harus berupaya mengumpulkan informasi dari khalayak, mengintepretasikan informasi itu dan melaporkan kepada manajemen jika informasi tersebut memiliki pengaruh terhadap keputusan manajemen. b. Public Relations memiliki kaitan erat dengan komunikasi Praktisi Public Relations bertanggung jawa menjelaskan tindakan perusahaan kepada publik yang berkepentingan dengan perusahaan. Secara umum khalayak Public Relations terbagi atas khalayak internal seperti: karyawan, organisasi buruh serta pemegang saham yang namanya tercatat pada perusahaan dan khalayak eksternal seperti: badan atau instansi pemerintahan, dealer, pemasok, masyarakat sekitar, media massa dan pemegang saham yang tidak tercatat pada daftar pemegang saham. c. Public Relations merupakan fungsi manajemen Public Relations berfungsi membantu manajemen dalam menetpkan tujuan yang hendak dicapai serta menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah. Public Relations harus secara rutin memberikan saran kepada manajemen.
2.4 Corporate Social Responsibility Ide mengenai CSR sebagai sebuah tanggung jawab sosial perusahaan kini semakin diterima secara luas, termasuk Indonesia. Perkembangan CSR di Indonesia dimulai dari sejarah perkembangan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Pembinaan usaha kecil oleh BUMN telah dilaksanakan sejak
17
terbitnya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada saat itu, biaya pembinaan usaha kecil dibebankan sebagai biaya perusahaan. (Rusdianto, 2013: 4) Menurut Suharto (2008b). Perusahaan di Indoensia pada dekade 1990-an, juga telah mengenal CSA (Corporate Social Activity), meski tidak menamakan CSR, secara faktual aksinya mendekati CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. (Rusdianto, 2013: 4) Selanjutnya, eksistensi CSR di Indonesia berlaku untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didasarkan pada Keputusan Menteri BUMN No. 236/MBU/2003. Keputusan ini mengharuskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan sebagian laba untuk pemberdayaan masyarakat lewat Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL). Keputusan ini ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaan melalui surat edaran Menteri BUMN, SR No. 433/MBU/2003. (Rusdianto, 2013: 4) Bagi perusahaan BUMN, PKBL merupakan sebuah bentuk implementasi kegiatan Corporate Social Resposibility (CSR). Hal ini sebagai bukti bahwa CSR tidak hanya menjadi isu perusahaan swasta tetapi juga menjadi bagian dari komitmen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sejalan dengan Good Corporate Governance sebagai aplikasi dari Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009, dan UU BUMN No. 19 Tahun 2003. Pendanaan PKBL berasal dari penyisihan bagian laba BUMN yang digunakan untuk pembinaan usaha kecil dan mikro serta untuk pemberdayaan masyarakat, utamanya seputar daerah BUMN beroperasi. Jangkauan PKBL mencakup seluruh wilayah Indonesia. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan PKBL, sebagaimana diamanatkan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan kewajiban pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai amanat UU No. 40 Tahun 2007 dapat dijabarkan sebagai berikut : Pelaksanaan PKBL di BUMN diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 88
18
UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 2 ayat (1) huruf e menyebutkan: “salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat”. Sedangkan Pasal 88 ayat (1) menyebutkan, “BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/ koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.” Dan Pasal 88 ayat (2) menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.” Dalam butir 5 Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2003 dinyatakan : “Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian, pelaksaan PKBL yang diatur oleh Menteri Negara BUMN dalam Peraturan No.: Per05/mbu/2007 tentang PKBL, adalah dalam kedudukan Menteri Negara BUMN selaku pemegang saham di BUMN. Peraturan tentang PKBL tersebut mengatur mulai dari besaran dana hingga tata cara pelaksanaan CSR. Seperti diketahui, CSR milik BUMN pada dasarnya adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi, dan masyarakat. Selanjutnya Permeneg BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar maksimal 2 persen yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan ataupun Program Bina Lingkungan yang tertera dalam Per No: per-05/mbu/2007. Kemudian pada September 2013 telah direvisi oleh Kementerian BUMN dalam Peraturan No: Per-08/mbu/2013 mengenai Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang dananya tidak lagi berasal dari pembagian laba, melainkan dari anggaran perusahaan yang diperhitungkan sebagai biaya. Bagi perusahaan BUMN, program PKBL tidak jauh berbeda dengan praktik CSR yang dilakukan perusahaan swasta. Dengan program CSR BUMN ini
19
diharapkan
terjadi
peningkatan
partisipasi
perusahaan
pemerintah
untuk
memberdayakan potensi dan kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat yang berfokus pada pengembangan ekonomi kerakyatan guna menciptakan pemerataan pembangunan. PKBL memiliki peran yang cukup luas dibanding CSR, karena diharapkan mampu mewujudkan tiga pilar utama pembangunan masyarakat. Ketiga pilar tersebut adalah PKBL harus mampu mengurangi jumlah pengangguran (pro job) dan penduduk miskin (pro poor), serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro growth). Program ini dilakukan untuk memberikan bimbingan dan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan, sehingga BUMN tidak terkesan hanya mengejar keuntungan belaka. (Suherman, 2012: 28) 2.4.1 Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) Konsep dari CSR dimaknai sebagai komitmen perusahaan atau organisasi untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas. Definisi dari Corporate Social Responsibility (CSR) telah dikemukakan oleh banyak pakar. (Rusdianto, 2013: 7) Menurut Suhandari M. Putri, Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. (Untung, 2008: 1) Definisi tersebut di dukung oleh teori AB Susanto mengenai CSR yaitu, CSR sebagai tanggung jawab perusahaan baik ke dalam maupun ke luar perusahaan. Ke dalam diarahkan kepada pemegang saham dan karyawan dalam wujud profitabilitas dan pertumbuhan perusahaan. Ke luar, tanggung jawab ini dikaitkan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak, penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi generasi mendatang. (Susanto, 2009: 12)
20
Sementara Magnan & Ferrel mendefinisikan CSR sebagai: “a business acts in a socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse stakeholder interest”. Penekanan definisi ini memberikan perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai stakeholders yang beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh para pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab. (Susanto, 2007: 21) ISO 26000 mendefinisikan CSR sebagai: “Tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang: konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; memperhatikan kepentingan dari para stakeholder; sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional; terintegrasi di seluruh organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.” Dari pengertian tersebut, ISO 26000 menganggap CSR tidak hanya berkaitan dengan perusahaan saja, namun setiap organisasi yang memliki dampak atas kebijakan-kebijakannya terutama terhadap lingkungan dan masyarakat, direkomendasikan untuk menjalankan CSR. (Rusdianto, 2013: 7) Definisi lain dari Corporate Social Responsibility (CSR) menurut World Business Council on Sustainable Development (2000), CSR sebagai : “Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to behave ethical and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of local community and society at large” yang artinya adalah CSR merupakan kelanjutan dari bisnis untuk bersikap etika dan berkontribusi pada pembangunan ekonomoi bersamaan dengan meningkatkan kualitas hidup dari para karyawan dan keluarga mereka baik komunitas lokal dan masyarakat keseluruhan. (Rusdianto: 2013, 7) Sementara Carroll (1979) berpendapat, agar definisi tanggung jawab sosial sepenuhnya menggambarkan jangkauan kewajiban bisnis terhadap masyarakat, definisi tersebut harus mengandung kategori kinerja ekonomi, hukum, etika, dan diskresioner. Tanggung jawab ekonomi menempati urutan teratas karena pada dasarnya bisnis memiliki kewajiban untuk menjadi produktif dan menghasilkan
21
profit serta dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Namun tanggung jawab ekonomi harus dilakukan dalam batasan hukum tertulis. Tanggung jawab etika berjalan sesuai norma dan nilai yang ada dalam masyarakat, berada diluar batasbatas hukum. Sementara tanggung jawab diskresioner bersifat filantropi, dilakukan dengan sukarela. (Rusdianto, 2013: 8) Menurut definisi yang diungkapkan oleh THE JAKARTA CONSULTING GROUP, tanggung jawab sosial ini diharapkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam, tanggung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Sementara ke luar, tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. (Susanto, 2009: 11-12) Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa ada berbagai macam fokus dari suatu program CSR, seperti misalnya kemiskinan, pelestarian lingkungan, dan pembangunan ekonomi berkelanjutan.
2.4.2 Hubungan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan Persepsi Kesejahteraan masyarakat Definisi pengembangan masyarakat dalam perkembangan pemerintah kolonial Inggris pada 1948 yaitu : “Community development is a movement designed to promote better living for the whole community with the active participation and on the initiative of community.” (Brokensha dan Hodge, 1969: 35) Maksud dari penjelasan tersebut yaitu Pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat. (Adi, 2013: 192) Dengan definisi tersebut peneliti memprediksi terdapat hubungan antara CSR melelui Pengembangan Masyarakat (Community Development) dengan Persepsi Kesejahteraan Masyarakat sebagai objek dalam penelitian ini.
22
Kemudian dilihat dari penelitian sebelumnya karya Andi Mapisangka (2009) dalam jurnal yang berjudul “Implementasi CSR terhadap Kesejahteraan Masyarakat” bahwa, dalam lingkungan bisnis perusahaan, masayarakat pada dasarnya merupakan pihak yang perlu mendapat apresiasi. Apresiasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk peingkatan kesejahteraan hidup mereka melalui kegiatan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh kegiatan CSR perusahaan. Maka, dalam penjelasan tersebut dapat dikatakan terdapat hubungan antara program CSR dengan Persepsi kesejahteraan masyarakat.
2.4.3 Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap Persepsi Kesejahteraan masyarakat Corporate Forum for Community Development (CFCD) merumuskan CSR sebagai komitmen dan upaya perusahaan yang beroperasi secara legal dan etis, untuk meminimalkan risiko kehadiran perusahaan, berkontribusi terhadap Pembangunan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, serta pembangunan berkelanjutan guna meningkatkan kualitas hidup. (Yasin et al, 2013: 6-7) Kualitas hidup adalah kondisi atau tingkat pemenuhan kebutuhan dasar manusia atau masyarakat untuk hidup layak atau lebih dari layak. Maka, dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa CSR berpengaruh terhadap persepsi kesejahteraan masyarakat. Menurut hasil penelitian Andi Mapisangka (2009) bahwa, CSR dalam Corporate Relations Program PT BIC dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan karena strategi implementasi CSR perusahaan merupakan respon atas kebutuhan riil masyarakat atas pemenuhan kebutuhan hidupnya. Penjelasan tersebut didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Hendrik Budi Untung (2008: 35) dalam jurnal Andi Mapisangka : Dalam hal ini menurut Untung (2008: 35) kontribusi CSR dalam pembangunan ekonomi masyarakat adalah dengan melibatkan seluruh komponen
23
masyarakat dalam kegiatan CSR perusahaan. Kemiskinan sudah menjadi musuh bersama yang harus ditanggulangi oleh semua pihak. Untuk melaksanakan hal tersebut terdapat tiga pilar utama yang harus diperhatikan yaitu : pertama, format CSR yang sesuai dengan nilai lokal masyarakat; kedua, kemampuan diri perusahaan terkait dengan kapasitas SDM dan institusi, dan ketiga adalah peraturan dank kode etik dalam dunia usaha. Berdasarkan pada integrasi ketiga pilar tersebut, masyarakat akan dapat dibangun kemampuan dan kekuatannya dalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi dalam pencapaian kesejahteraan hidup yang lebih baik. 2.4.4 Prinsip Corporate Social Responsibility (CSR) Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) sangat terkait dengan konsep etika bisnis (business ethics) yang didalamnya memberikan justifikasi sebagai bentuk komitmen dari entitas bisnis terhadap masyarakat. Dalam buku Howard R. Bowen (1953) “Social Responsibilities of the Businessman” (Rusdianto, 2013). Konsep CSR mulai diperkenalkan dalam dunia bisnis. Sampai saat ini terdapat banyak definisi CSR karena tidak adanya kesepakatan definisi CSR. Akan tetapi dapat disimpulkan bahwa definisi CSR yang berkembang saat ini mengarah pada kesamaan konsep yaitu pada konsep Triple Bottom Line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Seperti yang dikemas oleh John Elkington dalam bukunya yang berjudul Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), Menurutnya, perusahaan yang baik dan tumbuh berkembang secara berkelanjutan (sustainable development) tidak hanya memburu keuntungan (profit), melainkan memiliki pula kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). (Rusdianto, 2013: 7)
24
Sosial (people)
Lingkungan (planet)
Ekonomi (profit)
Sumber : Wibisono (2007, 32) Gambar 2.1 Triple Bottom Line
Menurut Wibisono (2007) aspek-aspek yang terdapat dalam Triple Bottom Line, diantaranya : 1. Profit. Keuntungan (profit) merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Tak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham setinggitingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh
untuk
mendongkrak
profit
antara
lain
dengan
meningkatkan
produktivitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin. 2. People. Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan, maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesarbesarnya kepada masyarakat. Selain itu juga perlu disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar. Karenanya pula perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh
25
kebutuhan masyarakat. Intinya, jika ingin eksis dan akseptabel perusahaan harus menyertakan pula tanggung jawab yang bersifat sosial. 3. Planet. Jika perusahaan ingin tetap eksis maka harus disertakan pula tanggung jawab kepada lingkungan. Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan kita. Namun sayangnya, sebagian besar dari kita masih kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang wajar. Maka, kita melihat banyak pelaku industri yang hanya mementingkan bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya untuk melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, mereka justru akan memperoleh keuntungan yang lebih,terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, disamping ketersediaan sumberdaya yang lebih terjamin kelangsungannya. Perusahaan harus dapat memadukan antara keuntungan ekonomis dengan keuntungan sosial dalam praktek bisnisnya. Secara ekonomis perusahaan berusaha meraih keuntungan sebagai bagian dari motivasi alamiahnya (bisnis). Sementara itu secara sosial, perusahaan juga harus memberikan dampak yang menguntungkan kepada masyarakat sehingga keberadaannya mendapat legitimasi secara sosial. (Rusdianto, 2013: 8) Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi diharapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi finansial-nya saja, tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom line, yaitu
berupa finansial, sosial dan
lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin niai perusahaan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (sustainable development). Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan juga turut memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan. Ada dua penjelasan yang merasionalkan mengapa perusahaan mempunyai insentif melaksanakan CSR. Pertama adalah yang diajukan oleh teori Stakeholders. Teori ini berpandangan bahwa keberadaan perusahaan tidak hanya untuk memaksimumkan kekayaan pemilik perusahaan/pemegang saham, namun juga
26
untuk melayani kepentingan stakeholders perusahaan tersebut, seperti para karyawan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat. Implikasi dari teori Stakeholders adalah bahwa perusahaan secara sukarela akan melaksanakan CSR, karena pelaksanaan CSR adalah merupakan bagian dari peran perusahaan ke stakeholders. Kemudian pandangan kedua didasarkan pada teori ekonomi. Literatur di bidang ekonomi pada umumnya mendiskusikan CSR dengan mengkaitkan perusahaan juga sebagai penghasil barang/jasa publik (Public goods/services). Pada awalnya, sebagian liteatur (misalnya Friedman, 1970; Baumol, 1991) berpendapat bahwa perusahaan harus tetap fokus menghasilkan laba sedangkan pemerintah yang bertanggungjawab
menghasilkan
barang
publik
dan
mengatasi
masalah
eksternalitas. Namun, Tsukomoto (2007) menjelaskan, seiring dengan semakin banyaknya praktek CSR yang dilaksanakan berbagai perusahaan, berbagai studi ekonomi menunjukkan bahwa tindakan perusahaan menghasilkan laba dan pada saat yang sama melaksanakan CSR bukanlah tindakan yang bertentangan. (Rusdianto, 2013: 8-9) Implementasi program CSR merupakan realisasi dan aktualisasi dari upaya perusahaan untuk terus dekat dengan masyarakat. Menurut Budimanta et al. (2008 : 24) dalam Mapisangka (2009), CSR pada dasarnya merupakan suatu elemen yang penting dalam kerangka sustainability yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial budaya yang merupakan proses penting dalam pengelolaan biaya dan keuntungan kegiatan bisnis dengan stakeholders baik secara internal (pekerja, shareholders dan penanam modal), maupun eksternal (kelembagaan, pengaturan umum, anggota-anggota masyarakat, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan lain).
2.4.5 Community Development (Pengembangan Masyarakat) CSR sebagai sebuah program komunitas, CSR diasumsikan mampu meningkatkan citra yang berpengaruh pada loyalitas pelanggan serta sebagai salah satu unsur yang mampu melindungi perusahaan ketika krisis menerpa. Bahkan, CSR melalui implementasi program Community Development (CD) dapat menjadi instrument preventif atas terjadinya krisis. Meski demikian, praktik kegiatan CSR
27
juga harus dikritisi untuk mengawal bahwa program CSR tersebut diselenggarakan benar-benar untuk memecahkan program sosial yang ada dalam lingkungan perusahaan, bukan sekedar instrument untuk mencari simpati khalayak. (Rusdianto, 2013) Kotler (2005) mengemukakan Community Development sebagai Socially Responsible Business Practise yaitu praktik bisnis di mana perusahaan melakukan investasi yang mendukung pemecahan suatu masalah sosial untuk meningkatkan kesejahteraan
komunitas
dan
melindungi
lingkungan.
Dengan
demikian,
perusahaan telah melakukan praktik bisnis melampaui standar etika yang telah ditetapkan berdasarkan regulasi.(Yasin et al. (2013 : 22) Keberadaan perusahaan tidak bisa lepas dari publik yang ada di lingkungannya. Pihak manajemen harus manyadari bahwa mereka tidak bisa hanya mengejar keuntungan semata, tetapi juga aktivitas yang dijalankan perusahaan sedikit banyak akan membawa konsekuensi sosial bagi publik. Oleh karena itu ada tuntutan moral bagi pihak manajemen untuk memperhatikan kepentingan publik. Disinilah pentingya manajemen melakukan CSR. Konsep dasar community development adalah kesadaran bahwa terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara perusahaan dengan komunitas yang berada dalam lingkungan. Komunitas mengharapkan perusahaan bersedia membantu mereka dalam menghadapi masalah-masalah mereka. Sebaliknya, pihak perusahaan mengharapkan mereka diperlakukan secara adil dan cara pandang yang suportif. (Susanto, 2009: 40) Berdasarkan pandangan ini, pihak perusahaan harus mengeksplorasi hubungan mereka dengan komunitasnya. Kemudian mengidentifikasi titik-titik yang dianggap kritis dalam menjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan. Dari sini dirumuskan bagaimana perusahaan merespons kebutuhan serta masalahmasalah yang mereka hadapi. Langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan adalah melakukan analisis kebutuhan komunitas (community needs analysis). Dalam melakukan analisis kebutuhan (needs), dan bukan sekedar keinginan (wants) yang dapat bersifat superfisial demi pemenuhan sesaat saja. Analisis harus dilakukan secara mendalam
28
agar dapat menggali kebutuhan yang sesungguhnya, bukan berlandaskan keinginan perusahaan atau keinginan tokoh-tokoh masyarakat saja. (Susanto, 2009: 40-41) Musyawarah adalah sebuah pendekatan kultural khas Indonesia yang dapat dimasukkan ke dalam proses eksplorasi kebutuhan dan identifikasi masalah. Musyawarah dilakukan dengan melibatkan pihak perusahaan, Pemda, dan masyarakat. Musyawarah merupakan sarana untuk meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki dalam program community development yang dijalankan, sebagai bagian dari transfer ownership program. Pada intinya community development harus mengandung unsur pemberdayaan dan tidak mendidik mereka sebagai ‘pengemis’ atau ‘pemalak’. (Susanto, 2009: 41) Program Community Development harus didasarkan atas koordinasi dan kesepakatan antara perusahaan sebagai penyandang dana bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan pemerintah sebagai rregulator. (Susanto, 2009: 45) Kerangka selanjutnya ditunjukkan dalam JCG Community Development Cycle, yang mengawali pelaksanaan program dengan Community Needs Analysis, kemudian pengembangan konsep yang melibatkan komunitas sasaran untuk menumbuhkan rasa memiliki, proses sosialisasi, penyajian sesuai dengan kebutuhan, pemanfaatan tenaga setempat, kepekaan dalam pelaksanaan program, sosialisasi kepada pihak eksternal dan terakhir dilakukan audit untuk memantau keseluruhan program. (Susanto, 2009: 41) Untuk mempermudah, seluruh rangkaian pelaksanaan aktivitas program community development dapat dituangkan secara sistematis dalam akronim DISCUSS, dari kata Development, Involve, Socialize, Cater, Utilize, Sensitive dan Socialize.
D I S C U S S
evelopment nvolve ocialize ater tilize ensitive ocialize
Gambar 2.2 Siklus Pengembangan Komunitas Sumber : Harian Kompas, 22 Mei 2001 Paradigma Baru “Community Development” oleh A. B. Susanto (Susanto, 2009: 42)
29
Kegiatan pelaksanaan community development dimulai dengan development, yaitu pengembangan konsep sesuai dengan tujuan dan sasaran program berdasarkan hasil community needs analysis. Dalam tahap ini juga harus disertakan komunitas yang menjadi sasarn pengembangan (involve). Tahap selanjutnya adalah mensosialisasikan (socialize) program ini kepada seluruh komunitas, sehingga mereka merasa memiliki program ini dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan dan keberhasilannya. Dalam tahap-tahap ini, musyawarah memegang peranan yang sangat penting sebagai sarana komunikasi. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan program, yaitu cater, yang berarti program-program yang disajikan harus bena-benar sesuai dengan kebutuhan mereka, dan jangan bersikap ‘sok tahu’. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah utilize, yang berarti sedapat mungkin melibatkan tenaga kerja setempat untuk melaksanakan proyek. Misalnya, dalam pembangunan gedung sekolah, sedapat mungkin menyerap tenaga kerja setempat. Berikutnya harus ada kepekaan (sencitivity) dalam memahami situasi psikologis, sosial dan budaya yang tengah berkembang dalam komunitas. Dan yang terakhir adalah socialize, yang berarti sosialisasi program community development kepada pihak luar melalui aktivitas PR. (Susanto, 2009: 43)
2.4.6 Standarisasi CSR Konsep CSR pada aplikasinya telah didasarkan pada prinsip-prinsip yang telah distandarisasikan oleh perkembangan dunia usaha dan pemerhati lingkungan hidup, bahkan sampai organisasi dunia. Sejak tahun 1995, sejumlah standar dan code of conduct dengan maksud untuk memberikan panduan bagi praktek CSR perusahaan salah satunya adalah Good Corporate Governance (GCG) . Dalam buku Ujang Rusdianto (2013, 10-11), GCG memiliki kaitan yang erat dengan CSR. GCG menekankan pada tindakan perusahaan bertanggung jawab terhadap dampak eksternal pada akhirnya mengarahkan kepada pertanggungjawaban sosial. GCG ini terdiri dari lima prinsip yaitu : 1. Keterbukaan Informasi (Transparancy) 2. Akuntabilitas (Accountability)
30
3. Pertanggungjawaban (Responsibility) 4. Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness) 5. Kemandirian (Independency) Selain GCG sebagai panduan melaksanakan CSR, International Standards Organisations (ISO) telah meluncurkan standar pertama di dunia di bidang tanggung jawab sosial pada awal November 2010 yaitu Standar ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility. Hal ini tetntu saja memberikan pembatasan terhadap prinsip yang melatarbelakangi lahirnya CSR, dan prinsip dalam penerapan CSR itu sendiri. Menurut Rusdianto (2013: 11) dalam ISO 26000, konsep CSR menjadi kompleks karena mencakup tujuh prinsip CSR yang menjadi komponen utama, yaitu : 1. Lingkungan 2. Pelibatan dan Pengembangan Masyarakat 3. Hak Asasi Manusia 4. Konsumen 5. Praktik Operasi yang Adil 6. Praktik Ketenagakerjaan 7. Tata Kelola Organisasi
2.4.7 Manfaat Pelaksanaan CSR Aktivitas CSR memiliki fungus strategis bagi perusahaan. Dengan menjalanan CSR, perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek, namun juga turut berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan jangka panjang. Adapun manfaat CSR bagi perusahaan yang menerapkannya, yaitu : •Membangun dan menjaga reputasi perusahaan •Meningkatkan citra perusahaan •Mengurangi risiko bisnis perusahaan •Melebarkan cakupan bisnis perusahaan •Mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas
31
•Kemudahan memperoleh akses terhadap modal (capital) •Meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis •Mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management) Keputusan perusahaan untuk melaksanakan CSR secara berkelanjutan, merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi program CSR akan menimbulkan efek lingkaran emas yang tidak hanya bermanfaat bagi perusahaan, melainkan juga bermanfaat bagi stakeholder. Bila CSR mampu dijalankan secara efektif maka dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi perusahaan, melainkan juga bagi masyarakat, pemerintah dan lingkungan. (Rusdianto, 2013: 13).
2.4.8 Evaluasi Program CSR Menurut Wibisono (2007: 149), Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kekurangan pada penyelenggaraan kegiatan dan apa masalah yang muncul serta apa solusi yang akan diambil. Evaluasi dilakukan dengan tujuan : 1. Memberi masukan pada perencana program atau kegiatan 2. Sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan. Apakah program akan dilanjutkan atau dihentikan 3. Memberi masukan untuk memodifikasi program atau kegiatan 4. Mendapatkan informasi tentang pendukung dan penghambat program 5. Sebagai upaya untuk melakukan tindakan perbaikan Aspek-aspek yang perlu dinilai antara lain : 1. Persiapan program 2. Kemungkinan tindak lanjut, perluasan, atau penghentian program 3. Kemungkinan melakukan modifikasi program 4. Temuan tentang dukungan masyarakat terhadap program 5. Temuan tentang hambatan program yang berasal dari masyarakat 6. Hasil (outcome) program
32
2.5 Persepsi Persepsi menurut Brian Fellows didefinisikan sebagai proses
yang
memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi. Sedangkan menurut Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken, persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita. Definisi tersebut mendukung definisi yang diungkapkan oleh Joseph A. Devito, mendefinisikan persepsi sebagai proses yang menjadikan kita sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. (Mulyana, 2008: 180) Menurut Soemadi (1986) mendefinisikan persepsi dalam (Hadi, 2013: 35) sebagai “a psychological function through sensory tools that enable somebody to receive the data, information both physical stimulus and social stimulus from the environment and process data or information and then provide interpretation, and finally changes.” (Maksud dari penjelasan tersebut, Persepsi adalah fungsi psikologis melalui alat indera yang memungkinkan seseorang untuk menerima data, informasi baik stimulus fisik dan stimulus sosial dari lingkungan dan proses data atau informasi dan kemudian memberikan interpretasi, dan akhirnya berubah). Kemudian Asngari (1984) menyatakan tentang persepsi sebagai “it is as the individual interpretation of the meaning of something for individuals in relation to "the world"” (Maksud dari penjelasan tersebut, bahwa persepsi sebagai interpretasi individu makna sesuatu bagi individu dalam kaitannya dengan "dunia"). Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat persamaan persepsi antarindividu, semakin tinggi derajat persepsi antarindividu, semakin mudah dan semakin sering berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas. (Mulyana, 2008: 180)
33
2.6 Kesejahteraan Sosial James Midgley mendefinisikan Kesejahteraan Sosial sebagai suatu kondisi dalam suatu masyarakat. Midgley (1997:5) dalam Adi (2013: 23) melihat Kesejahteraan Sosial sebagai “ “a state or condition of human well-being that exists when social problems are managed, when human needs are met, and when social opportunities are maximized.” (suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan).
Sedangkan di Indonesia, pengertian Kesejahteraan Sosial tidak dapat dilepaskan dari apa yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 ayat 1: “Kesejahteraan Sosial ialah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.”
Berdasarkan definisi diatas, Kesejahteraan Sosial adalah suatu tatanan (tata kehidupan) yang meliputi kehidupan material maupun spiritual, dengan tidak menempatkan satu aspek lebih penting dari yang lainnya, tetapi lebih mencoba melihat pada upaya mendapatkan titik keseimbangan. Titik keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara aspek sosial, material, dan spiritual. (Adi, 2013: 23)
2.6.1 Pembangunan Sosial (Adi, 2013: 25-26) Pembangunan Sosial merupakan pendekatan alternatif yang dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Midgley (1995:16-23) melihat ada tiga pendekatan untuk mempromosikan kesejahteraan sosial, yaitu :
34
1. Pendekatan Filantropi Sosial (Social Philanthropy) yang mengandalkan donatur, upaya-upaya sukarela, dan lembaga swadaya masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan maupun memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, serta menciptakan kesempatan setiap warga masyarakat agar dapat lebih mengembangkan diri mereka. 2. Pendekatan Pekerjaan Sosial (Social Work) yang mangandalkan pada tenaga profesional untuk mencapai tujuan kesejahteraan sosial dengan melakukan intervensi pada individu, kelompok maupun komunitas. 3. Pendekatan
Administrasi
Sosial
(Social
Administration)
yang
mengandalkan pada intervensi pemerintah melalui berbagai macam usaha kesejahteraan sosial yang menjadi kewajiban pemerintah (statutory social services). Pendekatan ini juga dikenal dengan nama Pendekatan Kebijakan Sosial ataupun Pelayanan Sosial (Social Srevice or Social Policy Approach).
Kebijakan Kesejahteran Sosial (Social Welfare Policy) menurut DiNitto (1995: 2) dalam Adi (2013: 28) adalah : “anything a government chooses to do, or not to do, that affects the quality of life of its people…. Social Welfare Policy includes nearly everything government does-from taxation, national defense, energy conservation, to health care, housing and public assistance.” (segala sesuatu yang dipilih pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan,
yang
mempengaruhi
kualitas
hidup
masyarakat….
Kebijakan Kesejahteraan Sosial meliputi hamper berbagai macam hal yang dilakukan pemerintah mulai dari perpajakan, pertahanan nasional, konservasi energi, hingga pelayanan kesehatan, dan bantuan sosial)
2.6.2 Indikator Kesejahteraan Sosial Terkait dengan indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan sosial, Spicker (1995: 3) menggambarkan usaha kesejahteraan sosial,
35
dalam kaitan dengan kebijakan sosial mencakup lima bidang utama yang disebut dengan “big five”, (Adi, 2013: 270) yaitu: 1. Bidang Kesehatan 2. Bidang Pendidikan 3. Bidang Perumahan 4. Bidang Jaminan Sosial 5. Bidang Pekerjaan Sosial Kelima bidang diataslah yang sering dijadikan standar minimum untuk mengukur kesejahteraan masyarakat. Dalam pengertian yang lebih luas, dan melihat konteks kesejahteraan sosial yang terkait dengan kondisi Indonesia akan tetapi tetap bersifat umum, maka beberapa parameter yang perlu dipertimbangkan dalam melihat kesejahteraan suatu masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Jaminan Sosial 2. Kesehatan 3. Pendidikan 4. Perumahan 5. Pekerjaan Sosial 6. Ketenagakerjaan 7. Ekonomi Masyarakat 8. Rekreasional 9. Spiritualitas 10. Lingkungan Hidup Lingkup Program CSR beberapa perusahaan terkemuka untuk mencapai tujuan CSR yang dapat menjadi tolak ukur terhadap kesejahteraan masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Bidang Sosial yaitu : Pendidikan / pelatihan, Kesehatan, Kesejahteraan sosial, Kepemudaan/kewanitaan, Keagamaan, Kebudayaan, Penguatan kelembagaan, dan lain-lain.
36
2. Bidang Ekonomi yaitu : Kewirausahaan, Pembinaan UKM, Agribisnis, Pembukaan lapangan kerja, Sarana dan prasarana ekonomi, Usaha produktif lainnya. 3. Bidang Lingkungan yaitu : Penggunaan energy secara efisien, Proses produksi yang ramah lingkungan, Pengendalian polusi, Penghijauan, Pengelolaan air, Pelestarian
alam,
Pengembangan
ekowisata,
Penyehatan
lingkungan,
Perumahan dan pemukiman. Ketiga hal tersebut adalah program-program CSR untuk mencapai well implemented dari CSR (Wibisono, 2007: 139) Menurut Wibisono (2007: 149) Untuk melihat sejauh mana efektifitas atau keberhasilan
program
CSR,
diperlukan
parameter
atau
indikator
untuk
mengukurnya. 1. Indikator ekonomi a. Tingkat pertambahan kualitas sarana dan prasarana umum b. Tingkat peningkatan kemandirian masyarakat secara ekonomis c. Tingkat peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat secara berkelanjutan 2. Indikator Sosial a. Frekuensi terjadinya gejolak/konflik sosial b. Tingkat kualitas hubungan sosial antara perusahaan dengan masyarakat c. Tingkat kepuasan masyarakat
2.7 Kerangka Pemikiran Secara teoritis tanggung jawab sosial perusahaan adalah sebuah wadah sosial untuk mempromosikan eksistensi atau keberadaan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada stakeholder-nya dapat melalui Komunikasi Pemasaran Terpadu maupun melalui peranan Public Relations sebagai salah satu tools atau alat dari bauran promosi itu sendiri. Dalam kaitan ini PR merupakan salah satu cabang ilmu yang berfungsi dan berperan mencitra positifkan keberadaan perusahaan, meningkatkan reputasi perusahaan dilihat dari tujuan CSR yaitu untuk kesejahteraan masyarakat.
37
Variabel X CSR Community Development 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Variabel Y Persepsi Kesejahteraan Masyarakat
Development Involve Socialize Cater Utilize Sensitive Socialize
1. Ekonomi 2. Sosial 3. Lingkungan (Yusuf Wibisono, 2007)
(A.B. Susanto, 2009)
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Indikator variabel Corporate Social Responsbility dalam Program Community Development yaitu (DISCUSS) Development, Involve, Socialize, Cater, Utilize, Sensitive dan Socialize. Peneliti mengambil konsep tersebut dari buku karya A.B. Susanto yang berjudul “Reputation-Driven Corporate Social Responsibility” untuk menjadi indikator dalam penelitian ini karena dapat menjadi tolak ukur untuk mengevaluasi
program
CSR
yang
diimplementasikan.
Peneliti
memiliki
Community Development sebagai program CSR yang diteliti dalam penelitian ini didapatkan
dari
pengadaptasian
penelitian
sebelumnya
yaitu
penelitian
karya Pramono Hadi dengan judul “Community Empowerment Through Corporate Social Responsibility in Holcim”. Di dalam penelitian tersebut, teori Community Development adalah teori fundamental yang menjadi teori dasar dalam penelitian mengenai Corporate Social Responsibility (CSR). Ketiga indikator dari variabel Persepsi Kesejahteraan Masyarakat, yaitu Sosial, Ekonomi, Lingkungan didapatkan dari teori yang dikemukakan oleh Yusuf Wibisono dalam bukunya yang berjudul “Membedah Konsep dan Aplikasi CSR” yang mana teori tersebut dapat dipakai untuk menganalisis penelitian ini dalam implementasi Program CSR terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Peneliti memilih Persepsi Kesejahteraan Masyarakat sebagai objek penelitian didapatkan dari
38
variabel penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Andi Mapisangka yang berjudul “Implementasi CSR terhadap Kesejahteraan Hidup Masyarakat” pada tahun 2009 yang dipakai untuk mengukur Kesejahteraan Masyarakat dalam implementasi program CSR pada PT. Batamindo Investement Cakrawala (PT. BIC). Kemudian untuk penilaiannya disesuaikan dengan jurnal sebelumnya karya Pramono Hadi yang berjudul “Community Empowerment Through Corporate Social Responsibility in Holcim” pada tahun 2013, yang mana dalam penelitian tersebut yang dilihat dan dihitung salah satu indikatornya adalah persepsi.
2.8 Hipotesis 1. Ho
: Tidak terdapat hubungan antara Program CSR Bank Mandiri dengan
Persepsi Kesejahteraan Masyarakat. Ha
: Terdapat hubungan antara Program CSR Bank Mandiri dengan Persepsi
Kesejahteraan Masyarakat. 2. Ho
: Tidak terdapat pengaruh antara Program CSR Bank Mandiri terhadap
Persepsi Kesejahteraan Masyarakat. Ha
: Terdapat pengaruh antara Program CSR Bank Mandiri terhadap
Persepsi Kesejahteraan Masyarakat. 3. Ho
: Tidak terdapat proses hubungan dan pengaruh antara Program CSR
Bank Mandiri terhadap Persepsi Kesejahteraan Masyarakat. Ha
: Terdapat proses hubungan dan pengaruh antara Program CSR bank
Mandiri terhadap Persepsi Kesejahteraan Masyarakat.