Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Budha Santina ( 2004 ) mengatakan bahwa di Barat, masyarakat umum memandang Buddhisme dengan suatu citra tertentu, sedangkan dalam komunitas Buddhis tradisional ( khususnya orang Timur ), Buddhisme memiliki citra lain yang benar-benar berbeda. Disebutkan pula, tiga poin penting dalam pembelajaran Buddhisme, yaitu : 1. Kenyataan bahwa Buddhisme tidaklah terikat budaya, bisa dikatakan tidak dibatasi pada kelompok masyarakat, ras, atau etnis tertentu. Buddhisme bergerak dengan sangat mudah dari satu konteks budaya ke konteks budaya lain, karena Buddhisme lebih menekankan pada praktik dalam diri dibandingkan bentukbentuk tindakan religius yang diperhatikan keluar. Titik berat dari Buddhisme adalah bagaimana cara setiap praktisi mengembangkan pikirannya sendiri, bukannya bagaimana dia berpakaian, apa jenis makanannya, cara menyisir rambutnya, dan sebagainya. 2. Sifat pragmatis dari Buddhisme, dengan kata lain, Buddhisme berorientasi praktis. Buddhisme langsung membahas masalah praktis. Buddhisme tidak berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan akademik dan teori-teori metafisika. Pendekatan Buddhisme adalah dengan mengidentifikasi masalah yang nyata dan mengatasinya dengan cara yang praktis. 3. Ajaran tentang pentingnya pembuktian kebenaran dengan cara mengalami sendiri secara langsung ( merealisasikan sendiri sebuah kebenaran ).
10
Donath ( 2005 : 9-12 ) menambahkan bahwa agama Budha menekankan kefanaan semua benda, khayalan, ketidakkekalan, dan sifat sejati dari keakuan ( personal ego ), serta kesamaan dan persaudaraan semua mahluk. Akan tetapi, bila seseorang mulai melaksanakannya, Jalan Budha atau Budha Dharma itu bukanlah hal yang mudah. Ia mencakup latihan dan disiplin pribadi yang keras, memperhatikan ( mindfulness ) segala sesuatu, meditasi, atau perenungan untuk menggugah intuisi, mempraktekkan belaskasih yang mendalam terhadap semua mahluk, memperlakukan semua makhluk lain sebagai sesuatu yang tak terpisah dengan diri kita. Agama Budha tidak berdasarkan keyakinan membuta terhadap apa yang tertulis dalam buku, betapapun suci nya atau terhadap apa yang dikhotbahkan oleh guru, bahkan oleh Sang Budha sendiri tetapi berdasarkan pengertian ( ruas yang pertama dari Jalan Arya Beruas Delapan ) yang dicapai oleh seseorang melalui penalaran, mempelajari ajaran dengan kesalehan yang sungguh, meditasi, dan pelaksanaan prinsip dasar etika mengenai keakuan dan kasih sayang. Seorang Buddhis tidak mengenal sumpah setia, dan tidak ditawarkan kepadanya suatu imbalan atau ancaman hukuman. Dalam agama Budha tidak ditekankan baik atau jahat, atau konsep dosa seperti yang dipahami dunia Barat tapi lebih banyak dinyatakan mengenai pengertian dan ketidaktahuan atau kebodohan, kesadaran spiritual ( kebijaksanaan ) yang mengatasi kurangnya kesadaran atau kebijaksanaan itu. Agama Budha memberi kebebasan berpikir dan toleransi yang besar, yang menakjubkan orang banyak. Ia menghormati semua agama sebagai pengejewantahan yang nyata, dari pengertian dan aspirasi spiritual tertinggi dalam bentuk, yang cocok untuk berbagai tahap dalam perjalanan evolusi yang panjang.
11
Seorang Buddhis sejati tidak pernah berkata, “Aku yang benar, engkau salah.” Ia mengerti meskipun warta surgawi itu diberikan berbeda-beda sesuai dengan panjang gelombang berbagai bangsa pada berbagai zaman. Kebenaran sejati yang ditawarkan tetap satu. Menurut Riwayat Para Budha dalam Naskah Dhamma ( 2003 ) Agama Budha mengajarkan dalam Sangkrit Udana V, XXVIII ketika sang Budha sedang mengajarkan kepada 1250 orang biksu arbat di kota Rajagaha, tepatnya di Veluvana pada saat Purnamasidi di bulan Mangha ( antara bulan Januari dan Februari ) yang isinya, “Sarvapapasya akaranam, kusalasyu pasampada, sva citta parya vardapanam, E Tad Buddhasanam.” Artinya, “Jangan berbuat jahat , perbanyaklah perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran, itu ajaran agama Budha.”
2.1.1 Dharma Donath ( 2005 : 34-35 ) mengatakan bahwa Dharma ( tidak ada satu kata pun yang tepat sama dalam bahasa Indonesia ) memiliki banyak arti. Meskipun begitu, untuk tujuan kita sekarang Dharma berarti “Ajaran yang dibabarkan oleh sang Budha”. Jadi apabila kita membicarakan Dharma, berarti bicara mengenai ajaran Budha. Bila tanpa huruf besar, dharma, artinya adalah sesuatu, pikiran, unsur, atau konsep dalam pengertian umum. Pada dasarnya, ajaran Sang Budha menitikberatkan pada sebab dari penderitaan, dan bagaimana berpikir dan bertindak sedemikian rupa hingga dapat terbebas dari penderitaan itu. Dharma berasal dari kata dhra, yaitu sesuatu yang pantas dijadikan sandaran, sesuatu yang dapat menopang. Yang ditopangnya bukan kursi atau meja atau dunia, tetapi alam semesta, keberadaan dengan segala isinya, termasuk apa yang ada di balik keberadaan, 12
dan tidak dapat dijelaskan. Istilah yang sering digunakan, shunya ( kekosongan, kasunyatan ) pun sesungguhnya tidak menjelaskannya. Dharma sering diterjemahkan sebagai hukum. Bila kita senang dengan istilah tersebut, kita perlu menambahkan embelembel kekal, abadi, hukum alam yang kekal abadi. Sesungguhnya, kekekalan atau keabadian itulah Dharma. Yang hakiki dalam hidup kita dan dalam kehidupan, itulah Dharma ( Krishna, 2005 : 85 ).
2.1.2 Jalan Tengah Donath ( 2005 : 35-36 ) menjelaskan bahwa jalan tengah adalah suatu sikap hidup di antara dua sikap yang ekstrim, memuaskan nafsu indria, penyiksaan diri, dan juga di antara dikotomi, nyata dan tudak nyata, ada dan tiada, dan sebagainya. Mengenai jalan tengah ini, Sang Budha bersabda : “Ada dua cara hidup yang ekstrim yang harus kita hindari, yaitu pemuasan nafsu jasmani yang bertentangan dengan kehidupan spiritual, tidak bermanfaat dan sia-sia, dan sebaliknya, hidup dengan menyiksa diri, menderita tanpa manfaat dan juga siasia. Di antara kedua hal ekstrim ini, terdapat jalan tengah nan sempurna, yang memberikan kedamaian, kemajuan spiritual, dan nirvana. Inilah kebenaran sejati yang membawa kemenangan untuk mengatasi penderitaan, yaitu jalan Arya Beruas Delapan, yang menuju kepada pencapaian penerangan sempurna.”
2.1.3 Empat Kebenaran Arya Donath ( 2005 : 36-43 ) mengatakan bahwa Empat Kebenaran Arya berisi Jalan Arya Beruas Delapan yang menuju kebebasan dari penderitaan dan dua belas mata rantai atau lingkaran sebab-akibat yang berkaitan, yang lebih dikenal sebagai lingkaran tumimballahir, adalah dasar dari semua filsafat dan cara hidup Buddhis. Mengenai dukkha atau penderitaan, Sang Budha menyatakan : “Dalam kehidupan terdapat penderitaan karena kelahiran, usia, tua, sakit, dan mati, penderitaan karena tidak mendapat apa yang diinginkan, tidak dapat menghindar dari 13
yang tidak diinginkan, dan keterikatan terhadap kehidupan. Inilah kebenaran sejati mengenai penderitaan.” Penderitaan itu pun dapat dilenyapkan ( kebenaran mengenai lenyapnya penderitaan ), yaitu patahnya keterikatan melalui leburnya keinginan-keinginan. Dengan demikian, inilah Empat Kebenaran Arya itu : 1. Semua kehidupan diliputi dukkha, yaitu semua penderitaan yang meliputi sakit, cemas, frustasi, keluh-kesah, kehilangan, dan semua hal yang tidak menyenangkan yang ada dalam kehidupan. 2. Dukkha ini ada sebabnya, yaitu ketidaktahuan atau kebodohan spiritual, konsep yang salah mengenai diri, yang menyebabkan timbulnya keakuan, keinginan, dan keterikatan. 3. Dukkha dapat diakhiri atau dilenyapkan. 4. Cara untuk mengakhiri dukkha, yaitu : Jalan Arya Beruas Delapan, yang terdiri dari : 1. Langkah yang berkaitan dengan kebijaksanaan : 1. Pengertian Benar ( langkah pertama, dan dasar dari semua yang lain ). 2. Pikiran Benar 2. Langkah yang berkaitan dengan susila : 1. Ucapan Benar. 2. Perbuatan Benar. 3. Mata Pencaharian Benar. 3. Langkah yang berkaitan dengan konsentrasi : 1. Usaha Benar. 2. Perhatian Benar.
14
3. Samadhi / Meditasi Benar. Dalam hal ini terdapat suatu hal khusus yang perlu dijelaskan disini, karena merupakan dasar yang paling penting dari ajaran sang Budha, yaitu Satipatthana atau pengembangan kesadaran yang ditemukan oleh sang Budha sendiri, berdasarkan pada langkah keenam dari Jalan Arya baruas Delapan, yaitu usaha benar. Satipatthana adalah satu dari dua cara meditasi Buddhis. Cara pertama adalah pengembangan ketenangan atau dalam bahasa Pali Samatha Bhavana, dan yang kedua Satipatthana, yang akan menghasilkan pandangan terang melalui latihan dan disiplin pikiran. Dalam
pengembangan
batin,
Satipatthana
sebagai
suatu
pelajaran
untuk
meningkatkan diri, memberikan rasa percaya diri, kesederhanaan dan kewajaran tingkah laku, kemampuan menyesuaikan diri, serta sikap yang penuh pertimbangan, dan menghasilkan perbaikan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, di samping menyelaraskan fungsi-fungsi mental itu sendiri. Langkah terakhir dari Jalan Arya Beruas Delapan adalah meditasi benar, yang merupakan puncak dari semua langkah sebelumnya. Di sini akan diperoleh ketenangan dan penerangan batin. Takada dalam Natalya ( 1996 ) menambahkan bahwa pada bagian enam yang pertama, adanya pemahaman bahwa “Jangan memiliki pandangan jahat”, “jangan membangkitkan pikiran ke hal yang jahat”, bisa jadi cara untuk mengurangi perbuatan-perbuatan jahat. Sedangkan perbedaan kontras pada bagian tujuh dan delapan adalah cara positif dalam mendisiplinkan pikiran. Dengan mempraktekkan setiap hari, seseorang akan mampu mengontrol nafsu dan cinta yang menyebabkan penderitaan.
15
2.1.4 Perlindungan Donath ( 2005 : 45-47 ) juga mengatakan bahwa Budha Dharma juga mengajarkan suatu kebutuhan utama bagi umat Budha yaitu Tisarana atau tiga perlindungan. Tiga perlindungan ini diucapkan sesesorang saat ia menjadi umat Budha. Tisarana ini akan terus membekas dalam batin, bahkan kendati pun ia tidak sedang memikirkannya. 1. “Aku berlindung pada Budha”, artinya adalah berlindung dan percaya dengan sepenuh hati, dengan sepenuh hati, dengan tulus dan perasaan kasih kepada Sang Budha, yang telah mencapai penerangan sempurna, manusia teragung di alam ini, yang telah menunjukkan kepada kita jalan untuk mengakhiri penderitaan. 2. “Aku berlindung pada Dharma”, artinya Dharma adalah ajaran Sang Budha, yang bila dilaksanakan akan memberikan kebahagiaan dan kebebasan serta mencapai Nirvana. 3. “Aku berlindung pada Sangha”, Sangha adalah persaudaraan suci para Arya siswa Sang Budha yang telah melaksanakan dan memelihara Dharma.
2.1.5 Sepuluh Paramita Krishna ( 2005 : 105-110 ) mengatakan bahwa dalam tradisi Buddhis dikenal sepuluh paramita atau kebaikan-kebaikan utama. Pertama, dana yang berarti bukan sekadar amal saleh, tetapi yang dilakukan tanpa harapan dan imbalan. Bila kita beramal saleh atau berdana punia untuk memperoleh tempat di surga sana, itu masih belum dana. Bila kita membantu seseorang dengan harapan akan imbalan, bila kita mengurusi anak-anak kita dengan harapan kelak mereka akan mengurusi kita, bila kita cinta supaya dicintai kembali, bila kita menyumbang dengan harapan sumbangan itu akan diumumkan lewat televisi atau surat kabar, bila kita memberi dengan alasan, atau karena sesuatu, itu semua 16
belum dana. Dana berarti tangan kanan memberi tanpa diketahui oleh tangan kiri. Dana berarti memberi dan melupakan. Dana juga berarti mengingat setiap kebaikan yang dilakukan oleh orang lain terhadap diri kita. Penggunaan istilah dana untuk uang dan harta mengingatkan kita supaya dana tidak hanya disimpan, ditabung, tetapi juga digunakan untuk beramal saleh tanpa mengharapkan imbalan. Kedua, shila yang berarti disiplin atau peraturan untuk melunakkan jiwa, disiplin yang kita terapkan atas kesadaran kita sendiri, bukan karena dipaksa, peraturan yang kita terima atau buat sendiri untuk mengatur diri. Ketiga, nishkama yang berarti berkarya tanpa pamrih. Terjemahan kata ini dalam bahasa Pali, yaitu nekhama kadang membingungkan, karena kemudian menjadi nikamma dalam bahasa Hindi sehari-hari, yang berarti good for nothing, pengangguran, pemalas. Nishkama juga berarti ia yang tidak terjamah oleh kama, oleh keinginan. Nishkama berarti tindakan langsung. Bila kita masih berpikir tentang tindakan kita, kita tak akan mampu bertindak tanpa keinginan, tanpa kama. Jeda untuk berpikir mengaktifkan mind sekaligus melahirkan keinginan atau kama. Kemudian, pana atau pragyaan yang berarti wisdom, kebijaksanaan, kemampuan untuk menentukan tindakan mana yang tepat dan mana yang tidak tepat. Bukan baikburuk, tetapi tepat-tidak tepat. Pembunuhan misalnya, tindakan yang tidak baik, tetapi bagi seorang prajurit di medan perang, membunuh musuh menjadi tugasnya, sehingga saat itu tindakan pembunuhan “menjadi” tepat baginya. Kelima, virya yang berarti energi, tenaga, semangat. Seorang meditator, seorang spiritualis, seorang rohaniwan memiliki tenaga yang luar biasa. Baru memikirkan satu rumah tangga saja kita sudah pusing. Mereka memikirkan rumah dunia dan tetap tenang.
17
Keenam, khanti yang berarti kemampuan untuk menahan diri, untuk bersabar. Untuk bersabar kita membutuhkan kekuatan atau energi yang luar biasa. Ketujuh, satya atau sacca yang artinya kebenaran. Mempersatukan pikiran, tindakan dan ucapan adalah adalah langkah pertama dalam kebenaran. Langkah berikutnya adalah memperluas wawasan dan melihat kebenaran dari setiap sudut pandang. Melihat kesatuan di balik perbedaan. Langkah terakhir adalah menemukan inti kebenaran atau kasunyatan. Itulah kebenaran tertinggi dan terakhir karena dari kasunyatan itu pula kemudian kebenaran mewujud kembali menjadi semesta. Kedelapan, adhittana yang berarti kebulatan tekad. Bulatkan tekad untuk tetap bertahan pada jalur kebenaran, apa pun konsekuensinya. Jangan tanggung-tanggung, jangan maju-mundur terus. Janganlah menjadi seorang kompromis. Kemudian, metta, kasih sayang, kebersamaan, persahabatan. Terakhir, upekha atau keseimbangan.
2.1.6 Hukum Karma Menurut Donath ( 2005 : 49-50 ) hukum ini secara seksama memelihara agar hasil dan manfaat yang baik akan mengikuti pikiran dan perbuatan yang baik dan sebaliknya, yang buruk akan mengikuti pikiran dan perbuatan yang buruk. Keinginan untuk hidup dengan benar harus berasal dari diri kita sendiri melalui pengertian, tujuan, dan usaha yang benar pula. Pada dasarnya Budha Dharma adalah suatu agama yang lebih berdasarkan “laksanakan sendiri.” Sang Budha dan para guru dapat menunjukkan kepada kita untuk mengatasi kebodohan atau ketidaktahuan spiritual, tetapi tidak seorang pun, bahkan Sang Budha pun, yang dapat melakukannya untuk kita. Orang lain menanggung atau menebus
18
kesalahan yang kita lakukan, tidak dikenal dalam Budha Dharma, kita sendiri yang akan menerima semua akibat dari perbuatan yang telah kita lakukan. Dengan pengertian yang sama pula, tidak ada ajaran mengenai dosa yang dihukum oleh suatu kekuasaan pengadilan di luar kita sendiri. Dalam Budha Dharma tidak dikenal dosa asal, yang ada hasil perbuatan manusia di masa lalu ( kelahiran yang lalu ) yang belum masak. Karena itu seorang umat Budha akan mengatakan,“kita tidak dihukum karena kesalahan kita tetapi oleh kesalahan itu sendiri”.
2.1.7 Dasa Kusala Karma Dasa kusala karma adalah sepuluh perbuatan baik yaitu, tidak membunuh, mencuri, berzinah sama dengan tiga karma dari tubuh, tidak berbohong, berkata buruk, berkata kasar dan memfitnah sama dengan empat karma dari mulut, tidak serakah/ lobha, benci/ dosa, bodoh/ moha sama dengan tiga karma dari pikiran, dan pancasila yang merupakan lima sila pokok yaitu, dilarang membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, dan kehilangan kesadaran diri/ bermabuk-mabukan. Apabila mematuhi dasa kusala karma tersebut, maka manusia akan mendapatkan karma baik, namun sebaliknya apabila melanggar akan mendapatkan karma buruk. Selain Pancasila yang merupakan panduan dasar untuk berperilaku bajik yang membentuk landasan dari laku vinaya, kita dapat memperluas dan memperdalam praktik kita dengan mengkombinasikan sepuluh perbuatan baik ( Dasa kusala karma ), yakni untuk Tidak terlibat dalam pembunuhan, mengambil yang bukan haknya, berbuat asusila, berbohong, kata-kata yang menyebabkan perpecahan, kata-kata kasar, bergossip, mendambakan milik orang lain, benci, serta pandangan-pandangan salah. Sepuluh
19
perbuatan baik ini pada dasarnya terdiri dari tiga kelompok praktik untuk memurnikan tiga kebocoran karma, yaitu, tubuh, ucapan, dan pikiran. Apa yang kita lakukan lewat praktik ini sebenarnya adalah secara bertahap mengikis tiga racun utama yakni, ketamakan, kebencian, kebodohan akar dari segala kekesalan dan gangguan emosional. Untuk menjalankannya tidaklah mudah, akan tetapi dengan keyakinan pada Tiga Mestika, serta praktik Pancasila yang dikombinasikan dengan sepuluh perbuatan baik maka kita pasti dapat mensucikan batin secara progresif suatu proses yang di dalam dan pada dirinya sendirinya pun sudah sangat luar biasa bermanfaat bagi semua makhluk ( Sheng-yen, 1999 ).
2.1.8 Takdir Konsep takdir atau nasib, yang dipahami menurut agama Budha, sangat berbeda dengan konsep yang secara umum diterima yaitu bahwa takdir adalah suatu kekuatan di luar kontrol manusia. Dalam agama Budha, takdir diciptakan sendiri dalam bentuk karma. Diajarkan bahwa nasib seseorang adalah hasil atau akibat dari apa yang telah dilakukan atau dipikirkannya di masa lalu ( baik dalam kehidupan ini atau pun pada kehidupan yang lampau ), dan bahwa nasibnya kelak akan merupakan hasil, dan punya hasil, dari apa yang ia pikirkan dan ia lakukan sekarang. Maka, kita adalah pencipta nasib kita sendiri, untuk kebaikan atau kejahatan, untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk ( Donath, 2005 : 93-94 ). Ini tertulis dalam Dhammapada : “Apa yang terjadi pada diri kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan, dibangun oleh pikiran kita dan dibentuk oleh pikiran kita. Jika seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya seperti roda 20
mengikuti jejak sapi yang menarik kereta. Jika seseorang berbicara atau atau berbuat dengan pikiran baik, kebahagiaan akan mengikutinya seperti bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkannya.”
2.2 Akulturasi Akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu itu sendiri. Perhatian terhadap saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima, akan memberikan suatu gambaran yang konkret tentang jalannya suatu proses akulturasi ( Koentjaraningrat, 1990 : 253-254 ).
2.3 Asimilasi Menurut Koentjaraningrat ( 1990 : 255 ), asimilasi atau assimilation adalah proses yang timbul apabila ada : 1. Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbedabeda. 2. Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga, 3. Kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifat khasnya dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal itu golongan-golongan 21
minoritas itulah dengan mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya dari golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.
22