BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Citra Analog Citra analog adalah citra yang terdiri dari sinyal – sinyal frekuensi elektromagnetis yang belum dibedakan sehingga pada umumnya tidak dapat ditentukan ukurannya. Analog berhubungan dengan hal yang kontinu dalam satu dimensi, contohnya adalah bunyi diwakili dalam bentuk analog, yaitu suatu getaran gelombang udara yang kontinu dimana kekuatannya diwakili sebagai jarak gelombang. Hampir semua kejadian alam boleh diwakili sebagai perwakilan analog seperti bunyi, cahaya, air, elektrik, angin dan sebagainya (Putra, 2010).
2.2 Citra Digital Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x,y), dimana x dan y adalah koordinat spasial dan f pada titik (x,y) merupakan tingkat kecerahan (brightness) suatu citra pada suatu titik. Suatu citra diperoleh dari penangkapan kekuatan sinar yang dipantulkan oleh objek. Citra digital tersusun atas sejumlah berhingga elemen, masing-masing memiliki lokasi dan nilai atau intensitas tertentu. Elemen-elemen ini disebut elemen gambar, elemen citra, dan juga piksel yang dinyatakan dalam bilangan bulat. Tingkat ketajaman atau resolusi warna pada citra digital tergantung pada jumlah ”bit” yang digunakan oleh komputer untuk merepresentasikan setiap piksel tersebut. Tipe yang sering digunakan untuk merepresentasikan citra adalah ”8-bit citra” (256 colors (0 untuk hitam - 255 untuk putih)), tetapi dengan kemajuan teknologi perangkat keras grafik, kemampuan tampilan citra di komputer hingga32 bit (232 warna) (Sutoyo, 2009). Piksel(0,0) terletak pada sudut kiri atas pada citra, indeks x begerak ke kanan dan indeks y bergerak ke bawah. Konvensi ini dipakai merujuk pada cara penulisan larik yang digunakan dalam pemrograman komputer. Letak titik origin pada koordinat
Universitas Sumatera Utara
5
grafik citra dan koordinat pada grafik matematika terdapat perbedaan. Hal yang berlawanan untuk arah vertikal berlaku pada kenyataan dan juga pada sistem grafik dalam matematika yang sudah lebih dulu dikenal. Gambar 2.1 dan 2.2 berikut memperlihatkan perbedaan kedua sistem ini.
Titik original (0,0)
Gambar 2.1 Koordinat pada grafik matematika(Sumber: Sutoyo, 2009)
Titik original (0,0)
Gambar 2.2 Koordinat pada citra (Sumber: Sutoyo, 2009)
2.3 Format File Citra Sebuah format citra harus dapat menyatukan kualitas citra, ukuran file dan kompatibilitas dengan berbagai aplikasi. Saat ini tersedia banyak format grafik dan format baru tersebut yang sudah dikembangkan, diantaranya yang terkenal adalah BMP, JPEG, dan GIF. Setiap program pengolahan citra biasanya memiliki format citra tersendiri. Format dan metode dari suatu citra yang baik juga sangat bergantung pada jenis citranya. Setiap format file citra memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing dalam hal citra yang disimpan. Citra tertentu dapat disimpan dengan baik (dalam arti ukuran file lebih kecil dan kualitas gambar tidak berubah) pada format file citra tertentu, apabila disimpan pada format lain kadang kala dapat menyebabkan ukuran file menjadi lebih besar dari aslinya dan kualitas citra dapat menurun oleh karena itu, untuk menyimpan suatu citra harus diperhatikan citra dan format file citra apa yang sesuai. Misalnya format citra GIF sangat tidak cocok untuk citra fotografi karena biasanya citra fotografi kaya akan warna, sedangkan format GIF hanya mendukung sejumlah warna sebanyak 256 (8 bit) saja. Format JPEG
Universitas Sumatera Utara
6
merupakan pilihan yang tepat untuk citra – citra fotografi karena JPEG sangat cocok untuk citra dengan perubahan warna yang halus (Sutoyo, 2009).
2.3.1 Format Data Bitmap Pada format bitmap, citra disimpan sebagai suatu matriks di mana masing-masing elemennya digunakan untuk menyimpan informasi warna untuk setiap piksel. Jumlah warna yang dapat disimpan ditentukan dengan satuan bit-per-piksel. Semakin besar ukuran bit-per-piksel dari suatu bitmap, semakin banyak pula jumlah warna yang dapat disimpan. Format bitmap ini cocok digunakan untuk menyimpan citra digital yang memiliki banyak variasi dalam bentuknya maupun warnanya, seperti foto, lukisan, dan frame video. Format file yang menggunakan format bitmap ini antara lain adalah BMP, DIB, PCX, GIF, dan JPG. Format yang menjadi standar dalam system operasi Microsoft Windows adalah format bitmap BMP atau DIB. Karakteristik lain dari bitmap yang juga penting adalah jumlah warna yang dapat disimpan dalam bitmap tersebut. Ini ditentukan oleh banyaknya bit yang digunakan untuk menyimpan setiap titik dari bitmap yang menggunakan satuan bpp (bit per piksel). Dalam Windows dikenal bitmap dengan 1, 4, 8, 16, dan 24 bit per piksel. Jumlah warna maksimum yang dapat disimpan dalam suatu bitmap adalah n
sebanyak 2 , dimana n adalah banyaknya bit yang digunakan untuk menyimpan satu titik dari bitmap (Sutoyo et al, 2009). Berikut ini tabel yang menunjukkan hubungan antara banyaknya bit per piksel dengan jumlah warna maksimum yang dapat disimpan dalam bitmap, dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Hubungan antara bitper piksel dengan jumlah warna maksimum pada bitmap No
Jumlah bit per piksel
Jumlah warna maksimum
1
1
2
2
4
16
3
8
256
4
16
65536
5
24
16777216
Universitas Sumatera Utara
7
2.3.2
Format JPEG
JPEG adalah suatu desain untuk mengkompresi citra baik gray-level maupun citra full-color. JPEG tidak hanya menangani data dalam bentuk citra, tetapi juga dapat berhubungan dengan gambar yang disebut dengan motion picture (MPEG). JPEG merupakan singkatan dari Joint Photographic Experts Group, merupakan suatu komite yang menyusun standar citra pada akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an. Kata “Joint” pada JPEG melambangkan status data di dalam kerja sama panitia ISO dan ITU_T. Format yang dihasilkan merupakan standar ISO IS-10918. Format file ini dikembangkan oleh C-Cube Microsystems untuk memberikan sebuah metode yang efisien untuk menyimpan citra dengan jumlah warna yang sangat banyak seperti foto kamera. Perbedaan utama antara format JPEG dengan format citra yang lainnya adalah bahwa file JPEG menggunakan metode lossy untuk proses pemampatannya. Pemampatan secara lossy akan membuang sebagian data citra untuk memberikan hasil kompresi yang baik. Hasil file JPEG yang di-dekompres tidak begitu sesuai dengan citra aslinya, tetapi perbedaan ini sangat sulit dideteksi oleh mata manusia (Putra, 2010).
2.4 Pembacaan Cover Image Sebelum dilakukan penyisipan, pada cover image dilakukan pembacaan nilai piksel untuk memperoleh tiga komponen warna (RGB) yang akan disisipin oleh biner embed. Diberikan cuplikan cover image dengan nilai piksel dalam bilangan hexa seperti pada Gambar 2.3 dengan nilai pixel berada dibawah data bitmap yang terdiri dari bilangan hexadecimal (0 sampai F). Selanjutnya nilai pixel tersebut diubah ke dalam bilangan biner dengan persamaan: Nilai R = c and 255
(2.1)
Nilai G = (c and 65,280)/256
(2.2)
Nilai B = ((c and 16,711,680)/256)/256
(2.3)
Universitas Sumatera Utara
8
Header>
90B4F1 90B4F1 93B4F1 10B491 96B491 90B411 98B491 9034F1 F3B415 F4B4D1 8024F0 8946837 90B4F1 90F4C1 90B7F9 90B4F1 F3B491 9CB6C1 96B491 96A4FF 90B4F1 90B4F1 93B4F1 10B491 96B491 90B411 98B491 9034F1 F3B415 F4B4D1 8024F0 8946837 90B4F1 90F4C1 90B7F9 90B4F1 F3B491 9CB6C1 96B491 96A4FF
Gambar 2.3 ContohCover Image dengan Nilai Piksel
Sebagai contoh diambil cuplikan citra pada Gambar 2.3 yang menjadi cover image dengan nilai pixel(f) berada di bawah data bitmap: f (0,0) = 90B4F1 f (0,1) = 90B4F1 f (0,2) = 93B4F1 f (0,3) = 10B491 Dengan nilai biner pixel di atas adalah: f (0,0) = 90B4F1
= 100100001011010011110001
f (0,1) = 90B4F1
=100100001011010011110001
f (0,2) = 93B4F1
= 100100001011010011110001
f (0,3) = 10B491
= 000100001011010010010001
Dari nilai bitmap di atas dapat dihitung nilai komponen RGB citra dengan menggunakan persamaan (2.1), (2.2) dan (2.3). f (0,0): Nilai R = c and 255 = 90B4F1and 255 = 100100001011010011110001and 11111111 = 11110001 = 241 (desimal)
Nilai G = (c and 65,280)/256 = (90B4F1and 65,280)/256 = (100100001011010011110001and1111111100000000)/100000000 = 1011010000000000/100000000 = 10110100 = 180 (desimal)
Universitas Sumatera Utara
9
Nilai B = ((c and 16,711,680)/256)/256 = ((90B4F1 and 16,711,680)/256)/256 = ((100100001011010011110001and111111110000000000000000)/ 100000000)/100000000 = (100100000000000000000000/100000000)/100000000 = 1001000000000000/100000000 = 10010000 = 144 (desimal)
f (0,1): Nilai R = c and 255 = 90B4F1and 255 = 100100001011010011110001and 11111111 = 11110001 = 241 (desimal)
Nilai G = (c and 65,280)/256 = (90B4F1and 65,280)/256 = (100100001011010011110001and1111111100000000)/100000000 = 1011010000000000/100000000 = 10110100 = 180 (desimal)
Nilai B = ((c and 16,711,680)/256)/256 = ((90B4F1 and 16,711,680)/256)/256 = ((100100001011010011110001and111111110000000000000000)/ 100000000)/100000000 = (100100000000000000000000/100000000)/100000000 = 1001000000000000/100000000 = 10010000 = 144 (desimal)
Universitas Sumatera Utara
10
f (0,2): Nilai R = c and 255 = 90B4F1and 255 = 100100001011010011110001and 11111111 = 11110001=241 (desimal)
Nilai G = (c and 65,280)/256 = (90B4F1and 65,280)/256 = (100100001011010011110001and1111111100000000)/100000000 = 1011010000000000/100000000 = 10110100 = 180 (desimal)
Nilai B = ((c and 16,711,680)/256)/256 = ((90B4F1 and 16,711,680)/256)/256 = ((100100001011010011110001and111111110000000000000000)/ 100000000)/100000000 = (100100000000000000000000/100000000)/100000000 = 1001000000000000/100000000 = 10010000 = 144 (desimal)
f (0,3): Nilai R = c and 255 = 10B491and 255 = 100001011010010010001and 11111111 = 10010001 =145 (desimal)
Nilai G = (c and 65,280)/256 = (10B491and 65,280)/256 = (100001011010010010001and1111111100000000)/100000000 = 1011010000000000/100000000 = 10110100 = 180 (desimal)
Universitas Sumatera Utara
11
Nilai B = ((c and 16,711,680)/256)/256 = ((10B491 and 16,711,680)/256)/256 = ((100001011010010010001and111111110000000000000000)/ 100000000)/100000000 = (100000000000000000000/100000000)/100000000 = 1000000000000/100000000 = 10000= 16 (desimal) Langkah di atas dilakukan sampai pixel (3,3) dan nilai RBG dimasukkan ke dalam matriks RGB cover image seperti pada Tabel 2.2 berikut.
(x,y)
0
1
2
3
0
241,180,144
241,180,144
241,180,144
145, 180, 16
1
145,180,150
17,180,144
145,180,152
241,52,144
2
21,180,200
209,180,244
240,36,128
55,104,148
3
199,150,111
193,244,144
249,183,144
241,180,144
Tabel 2.2 Matriks RGB Cover Image
2.4.1
Pembacaan Embed Image
Sebelum dilakukan penyisipan, pada embed image dilakukan pembacaan nilai piksel untuk memperoleh tiga komponen warna (RGB) yang akan disisipkan ke dalam cover image. Diberikan cuplikan embed image dengan nilai piksel dalam bilangan hexa seperti pada Gambar 2.5 dengan nilai pixel berada dibawah data bitmap yang terdiri dari bilangan hexadecimal (0 sampai F). Selanjutnya nilai pixel tersebut diubah ke dalam bilangan biner dengan persamaan 2.1, 2.2 dan 2.3 yaitu: Nilai R = c and 255,Nilai G = (c and 65,280)/256 dan nilai B = ((c and 16,711,680)/256)/256.
40F4F1 90B4B1 14C4A1 33D491 9EB491 90B41142B491 4134F1 E3BD15A4B4D1 9024F0 3246837 21C4D1 90F4C1 47B7F9 64B4F1
Gambar 2.4 Embed Image
Universitas Sumatera Utara
12
Sebagai contoh diambil cuplikan embed image pada Gambar 3.2 dengan nilai pixel: f (0,0) = FF f (0,1) = FF f (0,2) = FF f (0,3) = FF Dengan nilai biner pixel di atas adalah: f (0,0) = FF
= 111111111111111111111111
f (0,1) = FF
=111111111111111111111111
f (0,2) = FF
= 111111111111111111111111
f (0,3) = FF
= 111111111111111111111111
Dari nilai piksel di atas dapat dihitung nilai komponen RGB embed imagesama dengan cover image dan diperoleh matrik embed image seperti pada Tabel 2.3.
(x,y)
0
1
2
3
0
255,255,255 255,255,255
255,255,255
255,255,255
1
255,255,255 255,255,255
255,255,255
255,255,255
2
255,255,255 255,255,255
255,255,255
255,255,255
3
255,255,255 255,255,255
255,255,255
255,255,255
Tabel 2.3 Matriks RGB Embed Image
2.5 Watermarking Watermarking merupakan sebuah proses penambahan kode secara permanen ke dalam citra digital. Penyisipan kode ini harus memiliki ketahanan (robustness) yang cukup baik dari berbagai manipulasi, seperti pengubahan, transformasi, kompresi, maupun enkripsi. Kode yang disisipkan juga tidak merusak citra digital sehingga citra digital terlihat seperti aslinya. Watermarking dapat juga merupakan cara untuk menyisipkan watermark kedalam media yang ingin dilindungi hak ciptanya. Watermarking merupakan proses penanaman watermark. Digital Watermarking merupakan cara yang digunakan untuk menyisipkan informasi atau watermark pada suatu dokumen digital. Dari defenisi-definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa watermarking merupakan cara untuk menyisipkan watermark atau proses penambahan kode secara permanen ke dalam citra digital yang ingin dilindungi hak ciptanya dengan tidak merusak citra aslinya dan tahan terhadap serangan (Sugiono, 2008).
Universitas Sumatera Utara
13
Watermark merupakan sebuah pola atau kode atau data tertentu yang membawa informasi tertentu sesuai dengan tujuannya dan sengaja ditanamkan secara permanen kedalam data media induknya. Watermark dalam citra digital tersebut tidak dapat diketahui keberadaannya oleh pihak lain yang tidak mengetahui rahasia skema penyisipan watermark. Watermark tersebut juga tidak dapat diidentifikasi dan dihilangkan. Penggunaan watermarking sangat diperlukan untuk melindungi karya intelektual digital seperti gambar, teks, musik, video, dan termasuk perangkat lunak. Penggandaan atas produk digital yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab semakin merajalela tanpa ada ikatan hukum yang pasti sehingga merugikan pemegang hak cipta akan produk digital tersebut. Oleh karena itu, penyisipan watermark memiliki peran yang cukup signifikan untuk mencegah terjadinya penggandaan terhadap produk digital. Label watermark adalah sesuatu data atau informasi yang akan dimasukkan kedalam data digital yang ingin dilakukan proses watermarking. Ada 2 jenis label watermark yang dapat digunakan:
1. Teks biasa Label watermark dari teks biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII dari masingmasing karakter dalam teks yang kemudian dipecahkan atas bit per bit. Kelemahan dari label ini adalah kesalahan pada satu bit saja akan menghasilkan hasil yang berbeda dari teks sebenarnya. 2. Citra atau suara Berbeda dengan teks, kesalahan pada beberapa bit masih dapat memberikan persepsi yang sama dengan aslinya, baik oleh pendengaran maupun penglihatan kita. Oleh karena itu, penyisipan logo sebagai label watermark dirasakan lebih efektif dibandingkan teks, citra, ataupun suara karena selain tidak sensitif terhadap kesalahan bit, ukuran file juga tidak terlalu besar. Logo yang dipakai berupa logo biner atau hitam putih karena komputasi yang dibutuhkan tidak terlalu rumit namun tetap menjamin visualisasi yang cukup baik.
2.5.1 Digital Watermarking Teknik watermarking video digital memiliki prinsip yang sama dengan watermarking
Universitas Sumatera Utara
14
pada media lainnya. Secara umum, watermarking terdiri dari dua tahapan, yaitu penyisipan watermark dan ekstraksi/verifikasi atau pendeteksian watermark. Pengekstraksian dan pendeteksian sebuah watermark sebenarnya tergantung pada algoritma
yang
digunakan
untuk
watermarking.
Pada
beberapa
algoritma
watermarking, watermark dapat diekstraksi dalam bentuk yang eksak, sedangkan pada algoritma yang lain, hanya dapat dilakukan pendeteksian watermark pada media digitalnya (Halim, 2010). Secara umum proses watermarking pada file video ditunjukkan pada Gambar 2.5 dimana file video disisipi dengan watermark menggunakan kunci sebagai sarana kepemilikan untuk dapat membuka watermark yang disisipkan melalui encoder yang berisi algoritma penyisipan watermark kedalam video digital seperti pada Gambar 2.5.
Key K
Original Video (I)
Embedding Video (I ) ) (Ewmb
Watermarked
Watermark sequence W Gambar 2.5. Penyisipan watermark (Sugiono, 2008).
Video ber-watermark yang dihasilkan dari proses watermarking tidak berbeda jauh secara visual dengan aslinya. Hal ini disebabkan karena pengubahan dari video digital asli ke video ber-watermark hanya berpengaruh sedikit terhadap perubahan warna dan suara. Proses watermarking perlu didukung dengan proses ekstraksi watermark. Proses ekstraksi atau verifikasi ini bertujuan untuk mendapatkan kembali video digital asli dan watermark yang disisipkan dalam video digital tersebut. Umumnya proses ekstraksi atau verifikasi melibatkan proses pembandingan video asli dengan video ber-watermark untuk mendapatkan watermark yang disisipkan, seperti yang digambarkan pada Gambar 2.6.
Universitas Sumatera Utara
15
Key (K)
TestExtracted Video (II)Watermark (We)
Extraction (Dtc)
Detection
Original
Original Watermark (W)
VIDEO
Gambar 2.6. Ekstraksi Watermark (Sugiono, 2008).
Pengkategorian
watermarking
berdasarkan
proses
ekstraksi/verifikasi
watermark terbagi 2 jenis, yaitu (Munir, 2007): a.
Blind Watermarking Verifikasi watermark tanpa membutuhkan media yang asli.
b.
Non-Blind Watermarking Verifikasi watermark dengan membutuhkan media asli.
Sebuah teknik watermarking yang bagus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Fidelity Penyisipan suatu watermark pada media seharusnya tidak mempengaruhi nilai media tersebut. Watermark pada media idealnya tidak dapat dipersepsi oleh indera dan tidak dapat dibedakan dengan media yang asli. 2. Robustness Watermark dalam media digital harus memiliki ketahanan yang cukup terhadap pemrosesan digital yang umum. 3. Security Watermarking memiliki daya tahan terhadap usaha sengaja untuk memindahkan watermark dari suatu media ke media yang lain. 4. Imperceptibility Keberadaan watermark tidak dapat dipersepsi secara langsung oleh penglihatan manusia.
Universitas Sumatera Utara
16
5. Key Uniqueness Kunci yang digunakan pada proses dan penyisipan dan ekstraksi adalah sama dan tidak ada kunci lain yang bisa digunakan untuk membukanya. Perbedaan kunci seharusnya menghasilkan watermark yang berbeda pula. 6. Non-Invertibility Proses untuk mendeteksi apakah media tersebut ber-watermark atau tidak akan sangat sulit jika hanya diketahui media ber-watermark saja. 7. Image Dependency Watermark yang berada pada suatu media bergantung pada isi dari media tersebut.
2.5.2 Aplikasi Watermark Watermark telah diterapkan secara luas untuk mengatasi berbagai tindak kejahatan yang berkaitan dengan dokumen digital (Munir, 2007). Fungsi penggunaan watermark tersebut antara lain adalah sebagai: 1. Identifikasi kepemilikan Sebagai identitas dari pemilik dokumen digital, identitas ini disisipkan dalam dokumen digital dalam bentuk watermark. Biasanya identitas kepemilikan seperti ini diterapkan melalui visible watermarking. Contohnya url halaman web tempat suatu gambar di-download. 2. Bukti kepemilikan Watermark merupakan suatu bukti yang sah yang dapat dipergunakan di pengadilan. Banyak kasus pemalsuan foto yang akhirnya terungkap karena penggunaan watermark ini. 3. Memeriksa keaslian isi karya digital Watermark juga dapat digunakan sebagai teknik untuk mendeteksi keaslian dari suatu karya. Suatu image yang telah disisipi watermark dapat dideteksi perubahan yang dilakukan terhadapnya dengan memeriksa apakah watermark yang disisipkan dalam image tersebut rusak atau tidak. 4. User authentication atau fingerprinting Seperti halnya bukti kepemilikan, watermark juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan hak akses atau penanda (sidik jari) dari suatu media digital.
Universitas Sumatera Utara
17
5. Transaction tracking Fungsi transaction tracking ini dapat dilakukan pada image yang mengandung watermark. Pengimplementasiannya dilakukan dengan memberikan watermark yang berbeda pada sejumlah domain atau kelompok pengguna. Sehingga bila image tersebar diluar domain tersebut, dapat diketahui domain mana yang menyebarkannya. 6. Piracy protection/copy Untuk dapat melakukan ini, perancang watermark harus bekerjasama tidak hanya pada masalah software, tetapi juga dengan vendor yang membuat hardware. Sehingga sebelum dilakukan peng-copy-an, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan apakah image tersebut boleh di-copy atau tidak. 7. Broadcast monitoring Dalam dunia broadcasting/television news channel, watermark biasanya disisipkan sebagai logo dari perusahaan broadcasting yang bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk menandai berita yang mereka siarkan. Sehingga bila pihak lain merekam berita tersebut, maka watermark-nya akan otomatis terbawa.
2.5.3 Klasifikasi Watermarking Klasifikasi terhadap watermarkingdapat dikelompokkan dalam beberapa kategori. Kategori yang pertama berdasarkan kenampakan dari watermark. 1.
Visible Watermarking Pada visible watermarking ini, watermark yang disisipkan pada suatu media terlihat dengan jelas. Watermark
biasanya berbentuk logo atau teks baik
transparan atau tidak yang diletakkan tidak mengganggu atau menutupi media asal. Jenis watermarking ini biasanya diterapkan pada media yang memang dimaksudkan untuk disebar secara umum bersama dengan identitas pemilik asal media tersebut. 2.
Invisible Watermarking Sesuai namanya, watermark pada invisible watermarking yang disisipkan pada media tidak lagi dapat dipersepsi dengan indera. Namun, keberadaannya tetap dapat dideteksi. Penerapan teknik invisible watermarking ini lebih sulit dari pada teknik yang digunakan pada visible watermarking.
Universitas Sumatera Utara
18
Selain itu, watermark juga dikategorikan berdasarkan kekuatan watermark yang ada pada media. Berikut penjelasannya:
1.
Fragile Image Watermarking Fragile image watermarking merupakan jenis watermark yang ditujukan untuk menyisipkan label kepemilikan media digital. Pada fragile watermarking ini, watermark mudah sekali berubah atau bahkan hilang jika dilakukan perubahan terhadap media digital. Dengan begitu, media digital sudah tidak lagi memiliki watermark yang asli. Fragile image watermarking ini biasanya digunakan agar dapat diketahui apakah suatu image sudah berubah atau masih sesuai aslinya. Jenis watermark inilah yang banyak diterapkan pada suatu media digital.
2.
Robust Image Watermarking Robust image watermarking adalah teknik penggunaan watermark yang ditujukan untuk menjaga integritas atau orisinalitas media digital. Watermark yang disisipkan pada media akan sangat sulit sekali dihapuskan atau dibuang. Dengan Robust Image, proses penggandaan media digital yang tidak memiliki izin dapat dihalangi. Kebanyakan aplikasi dari robust watermarking ini bukan pada sebuah media digital, melainkan pada sistem proteksi CD atau DVD (Aliwa, et al. 2009)
2.6 Algoritma Watermarking DCT Algoritma yang digunakan pada digital watermarking beragam tetapi secara umum teknik ini menggunakan redundant bits sebagai tempat menyembunyikan pesan pada saat dilakukan kompresi data, dan kemudian menggunakan kelemahan indera manusia yang tidak sensitive sehingga pesan tersebut tidak ada perbedaan yang terlihat atau yang terdengar. Algoritma DCT merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam watermark citra dengan menggunakan cara dengan menyisipkan data pada frekuensi rendah dari piksel cover image. Teknik ini dapat digunakan untuk menyisipkan data yang ukurannya sesuai dengan kebutuhan. Ukuran file yang telah disisipkan data sama dengan ukuran file sebelum disisipkan data ditambah denganukuran data yang disisipkan ke dalam file tersebut. Dalam teknik ini, data disisipkan pada akhir file
Universitas Sumatera Utara
19
dengan diberi tanda khusus sebagai pengenal start dari data tersebut dan pengenal akhir dari data tersebut (Krisnawati, 2008). Watermark pada citra dengan DCT dilakukan dengan cara terlebih dahulu melakukan transformasi terhadap citra yang akan disisipi watermark. Setelah dilakukan transformasi, kemudian dilakukan modifikasi terhadap koefisien-koefisien DCT sesuai dengan bit watermark yang akan disisipkan. Setelah dilakukan modifikasi, dilakukan inverse DCT untuk mengembalikan data citra ke domain spasial agar dapat direpresentasikan (Winarso, 2007). Misalkan data media cover seperti pada Tabel 2.4.
196
10
97
182
101
40
67
200
100
50
90
50
25
150
45
200
75
28
176
56
77
100
25
200
101
34
250
40
100
60
44
66
99
125
190
200
Tabel 2.4. Data Media Cover (Sukrisno, 2007)
2.6.1
Menghitung Koefisien DCT Citra
Koefisien DCT citra dihitung dengan menggunakan DCT satu dimensi didefenisikan pada persamaan berikut: ( )
( )∑
( )
[
(
)
]
(2.4)
untuk 0 C(u) menyatakan koefisien ke-u dari himpunan hasil transformasi DCT. ( ) menyatakan anggota ke-
dari himpunan asal.
menyatakan banyaknya suku
himpunan asal dan himpunan hasil transformasi.
( ) dinyatakan oleh persamaan
berikut: Untuk ( )
√
(2.5)
Universitas Sumatera Utara
20
( )
√
(2.6)
a. Menghitung Matriks Transform ( )
( )∑ ( )
dimana
(u) =
[
√
(
)
]
(u=0)
(u) = √ (
)
Karena u=0 maka digunakan rumus (u) =
√
b. Menghitung Matriks Transpose A’ (matrikstranspose) yaitu perubahan kolom menjadi baris dari matriks hasil transform.
2.6.2
Discrete Cosine Transform(DCT)
DCT adalah sebuah teknik untuk mengubah sebuah sinyal kedalam komponen frekuensi dasar. Sifat dari DCT adalah mengubah informasi citra yang signifikan dikonsentrasikan hanya pada beberapa koefisien DCT dimana blok-blok citra di transformasikan dari domain spasial ke domain frekuensi spasial yang disebut dengan koefisien DCT. Frekuensi koefisien DCT yang lebih rendah muncul pada kiri atas dari sebuah matriks DCT dan frekuensi koefisien DCT yang lebih tinggi berada pada kanan bawah dari matriks DCT. DCT bekerja dengan memisahkan gambar ke bagian frekuensi yang berbeda. Proses penyisipan dilakukan pada bagian frekuensi yang tinggi karena penglihatan manusia tidak begitu sensitive dengan error-error yang ada pada frekuensi tinggi dibanding dengan yang ada pada frekuensi rendah (Jiansheng, et al. 2009).
Langkah-langkah penyisipan DCT 1. Perhitungan Matriks Transform 2. Perhitungan Matriks Transpose 3. Perhitungan Nilai Koefisien DCT
Universitas Sumatera Utara
21
Proses perhitungan koefisien DCT yaitu: 1. Buat matriks transform yaitu matriks A. 2. Buat matriks citra original yaitu matriks X. 3. Perkalian matriks A dengan X Yaitu matriks A baris ke-nol kolom ke-nol di kalikan dengan matriks X kekolom ke-nol pada matriks X. 4. Lakukan penjumlahan antara A (matriks transform) terhadap matriks X (matriks citra original) dari matriks kolom ke-nol dan pada baris ke-nol, sampai A baris ke N-1 dan X kolom ke N-1, di mana N adalah banyaknya pixel citra. Sehingga perkalian matriks A (matriks transform) terhadap X (matriks citra original) di hasilkan nilai Y’ dari baris ke N-1 sampai M-1. Untuk lebih jelasnya langkah-langkah penyisipan citra dengan algoritma DCT dapat dilihat seperti pada Gambar 2.7.
Start
Matriks A,X,A’
DCT=A * X * A’
Koefisien DCT
End
Gambar 2.7. Flow Chart DCT Keterangan: Matriks A
= Matriks transform
Matriks X
= Matriks citra asli
Matriks A’
= Matriks transpose
Universitas Sumatera Utara
22
Pada pembentukan matriks transform dapat dilihat seperti pada Gambar 2.8.
Start
Input Matriks Citra
i=0
T = Sqrt (2/N)
T = Sqrt (1/N)
A = t cos
( 𝑗
)𝑖𝜋 𝑁
Martiks Transform
End
Gambar 2.8. Flow Chart Matriks Transform
Keterangan: Pada Gambar 2.8 dihasilkan matriks transform yang akan diubah menjadi matriks transpose dengan merubah posisi baris menjadi kolom seperti pada Gambar 2.9.
Universitas Sumatera Utara
23
Start
Matriks Transform (A)
Baris A Colum A’
Matriks Transpose (A’)
End
Gambar 2.9. Flow Chart Matriks Transpose
Setelah pembentukan matriks transpose, maka dilakukan perkalian antara matriks transform dengan matriks citra asli seperti pada Gambar 2.10.
Start
Matriks A, matriks X
Matriks A *MatriksX
Matriks Y’
A
Gambar 2.10. Flow Chart Pembentukan matriks DCT
Universitas Sumatera Utara
24
A
MatriksY’*MatriksA’
Matriks DCT (Y)
End
Gambar 2.10 Flow Chart Pembentukan matriks DCT (Lanjutan)
2.6.3 Perhitungan Matriks Transform Untuk sebuah matriks citra n x m, 2-D DCT dapat dihitung dengan cara 1-D DCT diterapkan pada setiap baris dari colomdan kemudian hasilnya dihitung DCT untuk setiap kolomnya. (
( ) ()
√
()
√
(
)
√
(
)
(
)
(
)
)
(2.7)
A(0,0) = 0.5 (
)
√
A(0,1) = 0.5 (
)
√
A(0,2) = 0.5
Universitas Sumatera Utara
25
(
)
√
(
)
(
)
(
)
A(0,3) = 0.5 (
)
√
A(1,0) = 0.653 (
)
√
A(1,1) = 0.271 (
)
√
(
)
A(1,2) = -0.271 (
)
√
(
)
(
)
A(1,3) = -0.653 (
)
√
A(2,0) = 0.5 (
)
√
(
)
A(2,1) = -0.5 (
)
√
(
)
(
)
(
)
A(2,2) = -0.5 (
)
√
A(2,3 = 0.5 (
)
√
A(3,0) = 0.271
Universitas Sumatera Utara
26
(
)
√
(
)
(
)
(
)
A(3,1) = -0.653 (
)
√
A(3,2) = -0.653 (
)
√
A(3,3) = -0.271
Nilai koefisien DCT dari hasil perhitungan di atas dimasukkan ke dalam matriks transform seperti pada Gambar 2.12.
0.5
0.5
0.5
0.5
0.653
0.271
0.5
-0.5
-0.5
0.5
0.271
-0.653
0.653
-0.271
-0.271 -0.653
Gambar 2.12. Matriks Transform 2.6.3.1 Perhitungan Matriks Transpose (A’) Matriks transpose yaitu perubahan kolom menjadi baris dan baris menjadi kolom dari matriks transform (A) seperti pada Gambar 2.13.
0.5
0.653
0.5
0.271
0.5
0.271
-0.5
-0.653
0.5
-0.271
-0.5
0.653
0.5
-0.653
0.5
-0.271
Gambar 2.13 Matriks Transpose
2.6.3.2 Perkalian Matriks Citra dengan Matriks Transform
Universitas Sumatera Utara
27
Untuk memperoleh koefisien DCT citra, maka dilakukan perkalian matriks Transform dengan matriks cover image (Y’=A*X) seperti pada Gambar 2.14.
0.5
0.5
0.5
0.5
10
10
10
30
0.653
0.271
-0.271
-0.653
30
40
200
200
0.5
-0.5
-0.5
0.5
40
40
10
30
0.271
-0.653
0.653
-0.271
10
200
30
10
X
Gambar 2.14 Perkalian Matriks Transform dengan matriks cover image Y’(0,0) = (0.5*10) + (0.5*30) + (0.5*40) + (0.5*10) Y’(0,0) = 45 Y’(0,1) = (0.5*10) + (0.5*40) + (0.5*40) + (0.5*200) Y’(0,1) = 145 Y’(0,2) = (0.5*10) + (0.5*200) + (0.5*10) + (0.5*30) Y’(0,2) = 125 Y’(0,3) = (0.5*30) + (0.5*200) + (0.5*30) + (0.5*10) Y’(0,3) = 135 Y’(1,0) = (0.653*10) + (0.271*30) + ((-0.271)*40) + ((-0.653)*10) Y’(1,0) = -2.71 Y’(1,1) = (0.653*10) + (0.271*40) + (-0.271*40) + (-0.653*200) Y’(1,1) = -124.07 Y’(1,2) = (0.653*10) + (0.271*200) + (-0.271*10) + (-0.653*30) Y’(1,2) = 38.43 Y’(1,3) = (0.653*30) + (0.271*200) + (-0.271*30) + (-0.653*10) Y’(1,3) = 59.13 Y’(2,0) = (0.5*10) + (0.5*30) + (0.5*40) + (0.5*10) Y’(2,0) = 45 Y’(2,1) = (-0.5*10) + (-0.5*40) + (-0.5*40) + (-0.5*200) Y’(2,1) = -145 Y’(2,2) = (-0.5*10) + (-0.5*200) + (-0.5*10) + (-0.5*30) Y’(2,2) = -125 Y’(2,3) = (0.5*30) + (0.5*200) + (0.5*30) + (0.5*10)
Universitas Sumatera Utara
28
Y’(2,3) = 135 Y’(3,0) = (0.271*10) + (-0.653*30) + (0.653*40) + (-0.271*10) Y’(3,0) = 6.53 Y’(3,1) = (0.271*10) + (-0.653*40) + (0.653*40) + (-0.271*200) Y’(3,1) = -51.49 Y’(3,2) = (0.271*10) + (-0.653*200) + (0.653*10) + (-0.271*30) Y’(3,2) = -129.49 Y’(3,3) = (0.271*30) + (-0.653*200) + (0.653*30) + (-0.271*10) Y’(3,3) = -105.59 Hasil perhitungan di atas dimasukkan pada Matriks Y’ seperti pada Gambar 2.15. 45
145
125
135
-2.71
-124.07
38.43
59.13
45
-145
-125
135
6.53
-51.49
-129.49
-105.59
Gambar 2.15 Matriks Y’ Selanjutnya hitung matriks Y dengan cara perkalian matriks Y’ dengan matriks Transpose (Y=Y’*A’) seperti pada Gambar 2.16. 45
145
125
135
0.5
0.653
0.5
0.271
-2.71
-124.07
38.43
59.13
0.5
0.271
-0.5
-0.653
45
-145
-125
135
0.5
-0.271
-0.5
0.653
6.53
-51.49
-129.49
-105.59
0.5
-0.653
0.5
-0.271
X
Gambar 2.16 Perkalian Matriks Y dengan Transpose
Y(0,0) = (45*0.5) + (145*0.5) + (125*0.5) + (135*0.5) Y(0,0) = 225 Y(0,1) = (45*0.653) + (145*0.271) + (125*(-0.271)) + (135*(-0.653)) Y(0,1) = -53.35 Y(0,2) = (45*0.5) + (145*(-0.5)) + (125*(-0.5)) + (135*0.5) Y(0,2) = -45 Y(0,3) = (45*0.271) + (145*(-0.653)) + (125*0.653) + (135*(-0.271)) Y(0,3) = -37.45
Universitas Sumatera Utara
29
Y(1,0) = (-2.71*0.5) + (-124.07*0.5) + (38.43*0.5) + (59.13*0.5) Y(1,0) = -14.61 Y(1,1) = (-2.71*0.653) + (-124.07*0.271) + (38.43*(-0.271)) + (59.13*(-0.653)) Y(1,1) = -84.41 Y(1,2) = (-2.71*0.5) + (-124.07*(-0.5)) + (38.43*(-0.5)) + (59.13*0.5) Y(1,2) = 71.03 Y(1,3) = (2.71*0.271) + (-124.07*(-0.653)) + (38.43*0.653) + (59.13*(-0.271)) Y(1,3) = 90.82 Y(2,0) = (45*0.5) + (-145*0.5) + (-125*0.5) + (135*0.5) Y(2,0) = -45 Y(2,1) = (45*0.653) + (-145*0.271) + (-125*(-0.271)) + (135*(-0.653)) Y(2,1) = -64.19 Y(2,2) = (45*0.5) + (-145*(-0.5)) + (-125*(-0.5)) + (135*0.5) Y(2,2) = 225 Y(2,3) = (45*0.271) + (-145*(-0.653)) + (-125*0.653) + (135*(-0.271)) Y(2,3) = -11.33 Y(3,0) = (6.53*0.5) + (-51.49*0.5) + (-129.49*0.5) + (-105.59*0.5) Y(3,0) = -140.02 Y(3,1) = (6.53*0.653) + (-51.49*0.271) + (-129.49*(-0.271)) + (-105.59*(-0.653)) Y(3,1) = 94.35 Y(3,2) = (6.53*0.5) + (-51.49*(-0.5)) + (-129.49*(-0.5)) + (-105.59*0.5) Y(3,2) = 40.96 Y(3,3) = (6.53*0.271) + (-51.49*(-0.653)) + (-129.49*0.653) + (-105.59*(-0.271)) Y(3,3) = -20.54
Hasil perhitungan di atas dimasukkan pada Matriks Y seperti pada Gambar 2.17.
Frekuensi rendah
225
-53.35
-45
-37.45
-14.61
-84.41
71.03
90.82
-45
-64.19
225
-11.33
-140.02
94.35
40.96
-20.54
Frekuensi menengah
Frekuensi tinggi
Gambar 2.17 Matriks Y
Universitas Sumatera Utara
30
Sekarang matriks DCT cover image berisi koefisien-koefisien, dan untuk melakukan penyisipan pada piksel pada daerah frekuensi tinggi, juga jika hendak melakukan ekstraksi dengan membaca piksel-piksel pada frekuensi tersebut seperti berikut.
1. Koefisien 94.35 dengan nilai piksel xx sebagai piksel embed 1 2. Koefisien 225 dengan nilai piksel xx sebagai piksel embed 2 3. Koefisien 90.82 dengan nilai piksel xx sebagai piksel embed 3 4. Koefisien 40.96 dengan nilai piksel xx sebagai piksel embed 4 5. Koefisien -11.33 dengan nilai piksel xx sebagai piksel embed 5 6. Koefisien -20.54 dengan nilai piksel xx sebagai piksel embed 6
2.6.3.3 Invers DCT (IDCT) Invers DCT adalah proses mengembalikan cover image dari domain frekuensi menjadi domain spasialnya agar dapat direpresentasikan secara visual. Perhitungan IDCT dilakukan dengan cara mengalikan matriks transpose (A’) dengan matriks DCT (Y). X’=A’*Y seperti pada Gambar 2.18. 0.5
0.653
0.5
0.271
225
-53.35
-45
-37.45
0.5
0.271
-0.5
-0.653
-14.61
-84.41
71.03
40.82
0.5
-0.271
-0.5
0.653
-45
-64.19
175
-61.33
0.5
-0.653
0.5
-0.271
-140.02
44.35
-9.04
-70.54
X
Gambar 2.18. Perkalian Matriks Transpose (A’) dengan Matriks DCT Q50 (Y’) X’(0,0) = 0.5*225 + 0.653*(-14.61) + 0.5*(-45) + 0.271*(-140.02) X’(0,0) = 42.51 X’(0,1) = 0.5*(-53.35) + 0.653*(-84.41) + 0.5*(-64.19) + 0.271*44.35 X’(0,1) = -101.87 X’(0,2) = 0.5*(-45) + 0.653*71.03 + 0.5*175 + 0.271*(-9.04) X’(0,2) = 108.93 X’(0,3) = 0.5*(-37.45) + 0.653*40.82 + 0.5*38.67 + 0.271*(-29.46) X’(0,3) = 19.28
Universitas Sumatera Utara
31
X’(1,0) = 0.5*225 + 0.271*(-14.61) + (-0.5)*(-45) + (-0.653)*(-140.02) X’(1,0) = 222.47 X’(1,1) = (0.5*(-53.35)) + (0.271*(-84.41)) + ((-0.5)*(-64.19)) + ((-0.653)*44.35) X’(1,1) = -46.41 X’(1,2) = (0.5*(-45)) + (-0.271)*71.03 + ((-0.5)*175) + ((-0.653)*(-9.04)) X’(1,2) = -123.34 X’(1,3) = (0.5*(-35.45)) + (0.271*40.82) + ((-0.5)*38.67) + ((-0.653)*(-29.46)) X’(1,3) = -6.76 X’(2,0) = (0.5*(225) + ((-0.271)*(-14.61)) + ((-0.5)*(-45)) + (0.653*(-140.02)) X’(2,0) = 222.47 X’(2,1) = (0.5*(-53.35)) + ((-0.271)*(-84.41)) + ((-0.5)*(-64.19)) + (0.653*44.35) X’(2,1) = 57.25 X’(2,2) = (0.5*(-45)) + ((-0.271)*71.03) + ((-0.5)*175) + (0.653*(-29.35))= -148.41 X’(2,3) = (0.5*(-35.45)) + ((-0.271)*40.82)+((-0.5)*38.67)+(0.653*(-29.46))= -67.35 X’(3,0) = (0.5*(225) + ((-0.653)*(-14.61)) + (0.5*(-45)) + ((-0.271)*(-140.02)) X’(3,0) = 137.48 X’(3,1) = (0.5*(-53.35)) + ((-0.653)*(-84.41)) + (0.5*(-64.19)) + ((-0.271)*44.35) X’(3,1) = -15.66 X’(3,2) = (0.5*(-45)) + ((-0.653)*71.03) + (0.5*175) + ((-0.271)*(-29.35)) X’(3,2) = 26.57 X’(3,3) = (0.5*(-35.45)) + ((-0.653)*40.82) + (0.5*38.67) + ((-0.271)*(-29.46)) X’(3,3) = -17.06 Hasil perhitungan di atas dimasukkan pada matriks X’ seperti pada Gambar 2.19. 42.51
-101.87
103.42
20.28
222.47
-46.41
-71.58
-6.76
222.47
57.25
-148.41
-67.35
137.48
-15.66
26.57
-17.06
Gambar 2.19 Matriks X’
Universitas Sumatera Utara
32
Selanjutnya matriks X’ dikalikan dengan matriks A (transform) X=X’*A seperti pada Gambar 2.20
42.51
-101.87
103.42
20.28
0.5
0.5
0.5
0.5
222.47
-46.41
-71.58
-6.76
0.653
0.271
-0.271
-0.653
222.47
57.25
-148.41
-67.35
0.5
-0.5
-0.5
0.5
137.48
-15.66
26.57
-17.06
0.271
-0.653
0.653
-0.271
X
Gambar 2.20 Perkalian Matriks X’ dengan Matriks Transform X’(0,0) = 42.51*0.5 + (-101.87)*0.653 + 103.42*0.5 + 20.28*0.271 X’(0,0) = 11.93 X’(0,1) = 42.51*0.5 + (-101.87)*0.271 + 103.42*(-0.5) + 20.28*(-0.653) X’(0,1) = -71.30 X’(0,2) = 42.51*0.5 + (-101.87)*(-0.271) + 103.42*(-0.5) + 20.28*0.653 X’(0,2) = 10.39 X’(0,3) = 42.51*0.5 + (-101.87)*(-0.653) + 103.42*0.5 + 20.28*(-0.271) X’(0,3) = 133.99 X’(1,0) = 222.47*0.5 + (-46.41)*0.653 + (-71.58)*0.5 + (-6.76)*0.271 X’(1,0) = 43.30 X’(1,1) = 222.47*0.5 + (-46.41)*0.271 + (-71.58)*(-0.5) + (-6.76)*(-0.653) X’(1,1) = 138.86 X’(1,2) = 222.47*0.5 + (-46.41)*(-0.271) + (-71.58)*(-0.5) + (-6.76)*0.653 X’(1,2) = 155.18 X’(1,3) = 222.47*0.5 + (-46.41)*(-0.653) + (-71.58)*0.5 + (-6.76)*(-0.271) X’(1,3) = 107.58 X’(2,0) = 222.47*0.5 + 57.25*0.653 + (-148.41)*0.5 + (-67.35)*0.271 X’(2,0) = 56.16 X’(2,1) = 222.47*0.5 + 57.25*0.271 + (-148.41)*(-0.5) + (-67.35)*(-0.653) X’(2,1) = 244.93 X’(2,2) = 222.47*0.5 + 57.25*(-0.271) + (-148.41)*(-0.5) + (-67.35)*0.653 X’(2,2) = 125.94 X’(2,3) = 222.47*0.5 + 57.25*(-0.653) + (-148.41)*0.5 + (-67.35)*(-0.271) X’(2,3) = 17.89
Universitas Sumatera Utara
33
X’(3,0) = 137.48*0.5 + (-15.66)*0.653 + 26.57*0.5 + (-17.06)*0.271 X’(3,0) = 67.17 X’(3,1) = 137.48*0.5 + (-15.66)*0.271 + 26.57*(-0.5) + (-17.06)*0.653 X’(3,1) = 40.07 X’(3,2) = 137.48*0.5 + (-15.66)*(-0.271) + 26.57*(-0.5) + (-17.06)*(-0.653) = 70.83 X’(3,3) = 137.48*0.5 + (-15.66)*(-0.653) + 26.57*0.5 + (-17.06)*(-0.271) = 96.87 Hasil perhitungan di atas dimasukkan pada matriks X sebagai citra hasil penyisipan seperti pada Gambar 2.21. 11.93
-71.30
10.39
133.99
43.30
138.86
155.18
107.58
56.16
244.93
125.94
17.89
67.17
40.07
70.83
96.87
Gambar 2.21 Matriks X
2.7 Pengukuran Fidelity Pengukuran fidelity steganografi dapat dihitung dengan menghitung nilai MSE (Mean Squared Error) dan PSNR (Peak Signal to Noise Ratio). PSNR adalah perbandingan antara nilai maksimum dari sinyal yang diukur dengan besarnya derau yang berpengaruh pada sinyal tersebut(Megalingam, 2010). PSNR biasanya diukur dalam satuan desibel. PSNR digunakan untuk mengetahui kualitas (validasi) citra hasil kompresi. Untuk menentukan PSNR, terlebih dahulu harus ditentukan nilai rata-rata kuadratdari error (MSE - Mean Square Error) (Munir, 2004).
MSE dan PSNR dapat dihitung dengan persamaan (1) dan (2). Pada persamaan (1), I(x,y) adalah nilai grey-level citra asli di posisi (x,y), I’ adalah nilai derajat keabuan citra yang telah diberi watermark atau penyisip diposisi (x,y), X dan Y adalah ukuran panjang dan lebar. Pada persamaan (2), m adalah nilai maksimum yang mungkin dimiliki oleh sebuah pixel. Sebagai contoh, untuk data citra 8 bit, nilai maksimumnya adalah 255(Munir, 2004). MSE =
∑ ∑ [ (
PSNR = 10 log
)
(
)]
(1) (2)
Universitas Sumatera Utara
34
2.8 Penelitian Terdahulu No. 1.
Judul Metode
Tahun Least 2008
Significant Bit (LSB) Dan End Of File (EOF)
Untuk
Menyisipkan
Teks
Ke
Citra
Dalam
Grayscale 2.
Implementasi
Dengan
Gabungan
Enkripsi
Rijndael,
2012
Steganografi
Cipher Dan Fungsi Hash MD5
3.
Implementasi Steganografi Dengan
LSB Enkripsi
Vigenere Cipher JPEG
EOF Jumlah karakter pesan yang disisipkan terbatas, Dengan sehingga besarnya citra harus menyesuaikan Gabungan besarnya pesan yang Enkripsi dikirim. Metode EOF akan Rijndael, Shift meletakkan pesan di akhir citra sehingga ukuran file Cipher Dan akan bertambah besar, oleh Fungsi Hash karena itu pesan teks yang disisipkan tidak terbatas MD5 jumlahnya. Teknik
Shift
LSB dengan enkripsi Vigenere
pada
citra
Keterangan
Least Significant Gangguan : Jika file data yang digunakan bukan jenis Bit (LSB) Dan file teks, maka ketika file End Of File data tersebut di-load ke text area, akan muncul karakter(EOF) karakter tak terbaca yang merupakan karakterkarakter kontrol dari file data yang disertakan oleh aplikasi yang membuat file data tersebut
2007
Steganografi Teknik EOF
Metode
Cipher
Semakin banyak karakter yang disisipkan maka semakin berkurang kualitas citra yang dihasilkan. Hal ini
ditandai
dengan
berkurangnya nilai PSNR yang
dihasilkan
masing-masing
file
oleh citra
uji.
Universitas Sumatera Utara