BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Definisi Management Operation Menurut M Manullang (2004 : 5) mendefinisikan Management sebagai berikut:
“Management adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan, dan pengawasan sumber daya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.” Kemudian Jay Heizer dan Barry Render (2006 : 4) memberikan pengertian Management operasi sebagai berikut : “Manajemen operasi adalah serangkaian aktivitas yang menghasilkan nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan mengubah input menjadi output”. Lebih lanjut Manahan P. Tampubolon (2014) manajemen operasi didefinisikan sebagai manajemen proses konversi, dengan bantuan fasilitas seperti; tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen masukan (input) yang diubah menjadi keluaran yang diinginkan berupa barang atau jasa/ layanan. Adapun menurut Fogarty (1989) dalam buku Manajemen Operasi Edisi Ketiga (Eddy, Herjanto, 2008) mendefinisikan bahwa “manajemen operasi sebagai suatu proses yang secara berkesinambungan dan efektif menggunakan fungsi-fungsi manajemen untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya secara efisien dalam rangka mencapai tujuan.” Dengan demikian dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa management operasi merupakan ilmu yang mempelajari rangkaian kegiatan yang mengubah input menjadi output dengan adanya perencanaan, pengarahan dan pengawasan sumber daya agar mencapai tujuan dari organisasi.
2.2
Definisi Kualitas
Roger G. Schroeder (2007 : 137) dalam bukunya yang berjudul “Operation Management Contemporary Concept and Cases Third Edition” mendefinisikan bahwa kualitas didefinisikan disini sebagai mempertemukan atau melebihi kebutuhan pelanggan sekarang dan di masa depan. Menurut Goetsch Davis (1994) dalam Yamit (2013 : 8) menerangkan bahwa “kualitas merupakan suatu kondisi
9
10 dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”. Kemudian Joseph M. Juran dalam Yamit (2013:7) mendefinisikan “mutu sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi”. Adapun menurut American Society for Quality dalam Jay Heizer dan Barry Render (2006 : 253) mendefinisikan Kualitas adalah “keseluruhan fitur dan karakteristik produk atau jasa yang mampu memuaskan kebutuhan yang terlihat atau tersamar”. Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas merupakan suatu produk atau jasa yang memiliki spesifikasi sesuai dengan kebutuhan pelanggan atau melibihi dari harapan pelanggan.
2.2.1 Dimensi Kualitas Menurut Stevenson (2007) Kualitas dapat dilihat dari performa barang sesuai atau tidaknya dengan permintaan atau ekspektasi dari para konsumen. Ekspetasi berasal dari interest atau keinginan masing-masing karyawan itu sendiri. Misalnya, antara ekspetasi dengan performa produknya sejalan yang berarti perbedaanya 0 (nol), tapi jika perbedaanya negatif berarti belum sejajar antara performa produk dengan ekspetasi konsumen. Adapun menurut Davin Garvin dalam Stevenson (2007) kualitas produk sering kali dinilai/dilihat dari 8 (delapan) dimensi kualitas, yaitu sebagai berikut : 1. Performance Karakteristik utama dari product atau service. Examples : everything works : fit and finish, ride, handling, acceleraton 2. Aesthetics Penampilan, feel, smell, taste. Examples: desain interior & eksterior 3. Special features Karakteristik ekstra. Examples : kenyamanan (penempatan alat pengukur), high tech (GPS system), safety ( anti-skid, airbags) 4. Conformance Bagaimana sebuah produk atau jasa sesuai dengan spesifikasi desain. Examples : car matches manufacturer’s specification 5. Reliability Konsistensi kinerja. Examples : infrequent need for repair
11 6.
Durability Masa manfaat produk atau jasa. Examples : useful life in miles, resistance to trust
7. Perceived quality Evaluasi secara tidak langsung dari kualitas. Examples : top-rated 8. Serviceability Penanganan keluhan atau perbaikan. Examples : mudah diperbaiki
2.2.2 Biaya Kualitas Menurut Yamit (2013:12) menjelaskan biaya kualitas merupakan biaya yang terjadi atau yang mungkin akan terjadi karena produk cacat atau kualitas yang jelek. Biaya yang terjadi atau yang mungkin akan terjadi berhubungan dengan desain, pengidentifikasian, perbaikan, dan pencegahan kerusakan. Biaya kualitas merupakan satu kesatuan dan bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan atau sesuatu yang berlawanan. Sumber biaya kualitas dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu (Yamit, 2013:14): 1. Biaya Pencegahan (Preventive Cost Category) Biaya pencegahan adalah biaya yang terjadi untuk mengidentifikasi dan menghilangkan penyebab kerusakan agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama dalam setiap produk dan jasa pelayanan. Dalam biaya pencegahan termasuk semua kegiatan baik yang berhubungan dengan spesifikasi desain, proses dan pemeliharaan sitem kualitas. Contoh dari biaya pencegahan seperti biaya perencanaan kualitas (quality planning), biaya pemasaran dan pelanggan, biaya operasi pabrik dan jasa pelayanan, biaya pengembangan desain produk dan jasa pelayanan, biaya pembelian, biaya kualitas administrasi,serta biaya program program perbaikan kualitas. 2. Biaya Inspeksi/Deteksi (Inspection/Detection Cost Category) Biaya inspeksi adalah biaya yang terjadi untuk menentukan apakah produk dan jasa pelayanan sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan. Tujuannya yaitu untuk menghindari terjadinya kerusakan pada waktu proses dan mencegah pengiriman produk yang tidak sesuai standar kepada konsumen. Contohnya: biaya pemeriksaan bahan baku yang diterima dari pemasok, biaya pemeriksaan produk dalam proses, biaya pengujian produk,
12 biaya pemeriksaan kualitas produk, kalibrasi, survey, verifikasi, biaya pemeriksaan peralatan, biaya mengevaluasi persediaan material dan barang jadi. 3. Biaya Kegagalan Internal (Internal Failure Cost Category) Biaya kegagalan internal adalah biaya yang terjadi karena ketidaksesuaian produk dan jasa yang dihasilkan dengan standar yang telah ditentukan dan terdeteksi sebeluh produk dikirim ke konsumen. Contoh biaya kegagalan internal ini seperti: biaya pengerjaan ulang (re-process, re-work), re-desain, re-inspeksi, test ulang (retest), corrective action cost, scrap dari proses produks yang tidak dapat dipakai lagi, kerusakan mesin (downtime), stok pengaman, biaya kelebihan kapasitas, biaya lembur untuk perbaikan. 4. Biaya Kegagalam Eksternal (External Failure Cost Category) Biaya kegagalan eksternal adalah biaya yang terjadi karena produk dan jasa gagal memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan diketahui setelah produk tersebut dikirimkan kepada konsumen. Hal ini dapat menurukan reputasi perusahaan di mata konsumen, kehilangan pelanggan dan menurunnya pangsa pasar (loss of market share). Contoh biaya kegagalan eksternal ini seperti: biaya penangan keluhan, biaya penarikan kembali produk di pasaran (produk recall), biaya jaminan atau pertanggung jawaban (waranty expense), biaya penalti, loss of liability cost, biaya kehilangan penjualan, dan biaya perbaikan kembali produk agar sesuai dengan standar.
2.3
Statistical Process Control (SPC) Menurut Amin Syukron dan Muhammad Ali (2004 :11) menerangkan bahwa
“Pengendalian proses statistik atau SPC adalah teknik untuk memastikan setiap proses yang digunakan agar barang dan atau jasa yang dikirimkan konsumen memenuhi standar kualitas”. Tujuan pertama dari SPC adalah untuk mendapatkan proses dalam keadaan terkontrol, yang berarti identifikasi dan eliminasi penyebab khusus variasi. Adapun tujuan pokok pengendalian kualitas statistik adalah menyelidiki dengan cepat terjadinya sebab-sebab terduga atau pergeseran proses sedemikian hingga penyelidikan terhadap proses itu dan tindakan pembetulan dapat dilakukan sebelum terlalu banyak unit yang tak sesuai diproduksi.
13 Kemudian Yamit (2013 : 202) mendefinisikan bahwa pengendalian kualitas statistik (statistical quality control) adalah alat yang sangat berguna dalam membuat produk sesuai dengan spesifikasi sejak dari awal proses hingga akhir proses. Adapun menurut Jay Heizer dan Barry Render (2006 : 286) menjelaskan bahwa “Statistical Process Control (SPC) adalah sebuah teknik statistik yang digunakan secara luas untuk memastikan bahwa proses memenuhi standar. SPC digunakan untuk mengukur kinerja sebuah proses. Sebuah proses dikatakan dalam kendali statistik bila sumber variasi berasal hanya dari sumber yang alamiah.” Menurut D. R. Prajapati dalam jurnalnya yang berjudul “Implementation of SPC Techniques in Industry: A case Study” menjelaskan bahwa Statistical process control (SPC) adalah aplikasi dari metode statistik untuk memonitor dan mengontrol dari sebuah proses untuk memastikan bahwa beroperasi pada potensi yang penuh untuk menghasilkan hasil yang sesuai. Statistical Process Control adalah pengendalian mutu proses statistik meliputi pengendalian mutu proses untuk data variabel dan data atribut, (Ariani, 2004). Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Statistical Process Control merupakan sebuah alat atau metode statistik yang bertujuan untuk mengontrol dan mengendalikan produk agar sesuai dengan spesifikasi atau standar perusahaan dari sebuah proses awal hingga barang jadi.
2.3.1 Alat-Alat Pengendali Mutu Menurut Eddy Herjato (2008:410) terdapat tujuh alat pengendali mutu (seven tools for quality control, 7T) dikenal juga dengan nama Ishikawa’s basic tools of quality karena dipopulerkan oleh Ishikawa, terdiri atas : 1) Check Sheet 2) Histogram 3) Diagram pareto 4) Diagram sebab dan akibat 5) Diagram pencar 6) Bagan aliran 7) Bagan kendali
14 2.4
Check Sheet Menurut Jay Heizer dan Barry Render (2006:263) menerangkan bahwa lembar
pengecekan (check sheet) adalah suatu formulir yang didesain untuk mencatat data. Lembar pengecekan membantu analis menentukan fakta atau pola yang mungkin dapat membantu analisis selanjutnya. Check sheet juga disebut Tally Sheet merupakan bentuk yang sederhana yang dirancang untuk memungkinkan penggunanya mencatat data khusus dan dapat diobservasi mengenai satu atau beberapa variabel. (Yamit, 2013 : 49) Tujuan utama dari check sheet (lembar pengecekan) ialah untuk menjamin bahwa data dikumpulkan secara hati-hati dan akurat oleh personel oprasi untuk mengontrol proses dan untuk mengambil keputusan. Check sheet seringkali digunakan mengetahui ketidaksesuaian, baik dari jumlah, lokasi, ataupun dari penyebabnya. Check sheet sebaiknya dapat memuat kapan pencetakan dilakukan, dimana, oleh siapa, dan terhadap produk/proses/bagian yang mana. (Eddy Herjanto, 2008: 422) Lembar periksa merupakan alat bantu untuk memudahkan proses pengumpuan data. Bentuk dan isinya disesuaikan dengan kebutuhan maupun kondisi kerja yang ada. Di dalam pengumpulan data maka data yang diambil harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan analisis dalam arti bahwa data harus (Wignjosoebroto, 2006) : 1. Jelas, tepat dan mencerminkan fakta. 2. Dikumpulkan dengan cara yang benar, hati-hati dan teliti. Untuk mempermudah proses pengumpulan data ini maka perlu dibuat lembar isian (cheek sheet) dimana perlu pula diperhatikan hal-hal seperti berikut (Wignjosoebroto, 2006): 1. Maksud pembuatan harus jelas a. Informasi apa yang ingi diketahui? b. Apakah data yang nantinya diperoleh cukup lengkap sebagai dasar untuk mengambil keputusan? 2. Statifikasi data sebaik mungkin a. Mudah dipahami dan diisi b. Memberikan data yang lengkap tentang apa yang ingin diketahui. 3. Dapat diisi dengan cepat, mudah dan secara otomatis dapat segera dianalisis. Jika perlu disini dicantumkan gambar dan produk yang akan diperiksa.
15 2.4.1 Jenis-Jenis Check Sheet Lembar isian (check sheet) diperlukan untuk melaksanakan penelitian dan pengendalian kualitas atau kuantitas barang ataupun jasa. Karena melalui data yang dikumpulkan, kita dapat mengetahui suatu gambaran, kesimpulan ataupun keputusan yang akurat. Ada beberapa jenis lembar isian yang dikenal dan umum dipergunakan
untuk
keperluan
pengumpulan
data,
yaitu
antara
lain.
(Wignjosoebroto, 2006) 1. Production Process Distribution Check Sheet Lembar isian jenis ini dipergunakan untuk mengumpulkan data yang berasal dari proses produksi atau proses kerja lainnya. Output kerja sesuai dengan klasifikasi yang telah ditetapkan untuk dimasukkan dalam lembar kerja. Data dalam hal ini biasanya dikumpulkan berdasarkan periode waktu yang sama. 2. Defective Check Sheet Mengurangi jumlah kesalahan atau cacat yang ada dalam suatu proses kerja, maka terlebih dahulu harus mengidentifikasikan macam kesalahan-kesalahan yang ada dan persentasenya. Setiap kesalahan biasanya akan diperoleh dari faktor-faktor penyebab yang berbeda sehingga tindakan korektif yang tepat harus diambil sesuai dengan macam kesalahan dan penyebabnya. 3. Defect Location Check Sheet Lembar pengecekan dimana gambar sketsa dari benda kerja akan disertakan, sehingga lokasi cacat yang terjadi bisa segera diidentifikasikan. Check sheet seperti ini akan dapat mempercepat proses analisis dan pengumpulan tindakan-tindakan korektif yang diperlukan. 4. Defective Cause Check Sheet Check sheet ini dipergunakan untuk menganalisa sebab-sebab terjadinya kesalahan dari suatu output kerja. Data yang berkaitan dengan faktor penyebab maupun faktor akibat akan diatur sedemikian rupa sehingga hubungan sebab akibat akan menjadi jelas. Dengan demikian analisa akan cepat bisa dibuat dan tindakan korektif segera bisa dilakukan. 5. Check Up Conformation Check Sheet Check sheet ini berupa suatu check list yang akan dipergunakan untuk melaksanakan semacam general check up pada akhir proses kerja yang pada intinya untuk lebih meyakinkan apakah output kerja sudah selesai dikerjakan dengan baik atau belum.
16 2.4.2 Tahapan Pembuatan Check Sheet Prosedur pembuatan check sheet yang dikemukakan oleh Togue (2005) adalah sebagai berikut : a. Menentukan kejadian atau permasalahan apa yang akan diamati, kemudian kembangkan definisi operasional. b. Menentukan kapan data akan dikumpulkan dan berapa lama. c. Merancang form isi sedemikian rupa sehingga data dapat direkam dengan hanya memberikan tanda cek (√) atau silang (X) atau simbol yang serupa sehingga data tidak perlu diperbanyak ulang untuk analisis. d. Memberikan etiket setiap daerah yang kosong pada form e. Menguji check sheet secara singkat untuk memastikan ketepatan check sheet dalam mengumpulkan data yang diinginkan, juga memastikan apakah check sheet mudah digunakan atau tidak? f. Merekam data pada check sheet setiap kali ditemukan kejadian masalah yang ditargetkan.
2.4.3 Format Check Sheet Menurut Eddy (2008 :422) Format check sheet berbeda untuk setiap keperluan. Gambar di bawah ini menujukkan suatu check sheet untuk mengetahui ketidaksesuaian yang terjadi pada pengecatan sepeda. Dalam check sheet ini yang diutamakan ialah mengetahui jenis ketidaksesuaian dan frekuensinya.
17 Check Sheet Product
: Sepeda (S-32)
Date
: 22 April 2005
Stage
: Inspeksi akhir
Process
: Pengecatan
Total inspected : 1953
Inspector : Jane
Nonconformance type
Check
Sub-total
Blister
IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII II
42
Light spray
IIII IIII IIII IIII III
23
Drips
IIII IIII IIII
15
Over spray
IIII IIII IIII IIII I
21
Splatter
IIII II
7
Runs
IIII IIII IIII III
19
Others
IIII IIII II
12 Total 139
Gambar 2. 1 Contoh Format Checksheet
2.5
Histogram Stevenson (2007) menjelaskan histogram dapat berguna dalam mendapatkan
nilai yang didistribusi nilai yang diamati. Antara lain, orang dapat melihat apakah ada nilai yang tidak biasa. Menurut Eddy Herjanto (2008 : 423) menerangkan Histogram ialah gambaran dari grafis tentang nilai-nilai dan penyebaranya dari sekumpulan data suatu variabel. Rata-rata dari serangkaian nilai observasi tidak dapat diinterprestasikan secara terpisah dari hasil penyebaran (dispresi, pencaran) nilai-nilai tersebut sekitar rata-ratanya. Makin besar penyebaran nilai-nilai observasi makin kurang representatif rata-rata distribusinya.
2.5.1 Tahapan Pembuatan Histogram Histogram dibangun dalam beberapa tahap sebagai berikut (Eddy Herjanto, 2008:423) : a. Dari seluruh data observasi (n), tentukan rentang (range, R) antara data yaitu perbedaan antara nilai tertinggi (XL) dan nilai terendah (XS) b. Tentukan jumlah kelas atau kategori (k). Jumlah kelas dapat dihitung dengan menggunakan rumus Sturges (Dayan, 1978:75) :
18 K = 1 + 3.322 log n Rumus ini bukan merupakan keharusan dalam penentuan jumlah kelas. Apabila berdasarkan pertimbangan praktis distribusi frekuensinya dianggap kurang baik maka dapat dilakukan penyesuaian. c. Tentukan interval kelas (h), dan titik tengahnya (mid point). Interval kelas dapat dicari dengan rumus: h=
(XL – XS) k
Titik tengah merupakan rata-rata hitung dari kedua batas kelasnya. Titik tengah dianggap sebagai nilai yang representatif bagi semua nilai yang didistribusikan sepanjang interval kelas tertentu d. Letakkan setiap data observasi pada kelasnya. Setiap observasi harus berada hanya pada satu kelas. Untuk memudahkan langkah ini dapat menggunakan lembar pengecekan (Check sheet) e. Gambarkan dalam bentuk histogram
2.6
Diagram Pareto Diagram pareto pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli yaitu Alfredo
Pareto pada tahun 1848-1932. Diagram pareto ini merupakan suatu gambar yang mengurutkan klasifikasi data dari kiri ke kanan menurut urutan ranking tertinngi hingga terendah. Hal ini dapat membantu menemukan permasalahan yang paling penting untuk segera diselesaikan (rangking tertinggi) sampai dengan masalah yang tidak harus segera diselesaikan (rangking terendah). Diagram pareto juga dapat mengidentifikasi masalah yang paling penting yang mempengaruhi usaha perbaikan kualitas dan memberikan petunjuk dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk menyelesaikan masalah (Sudjana, 2005). Menurut Jay Heizer dan Barry Render (2006:266) menjelasakan bahwa Diagram pareto (pareto charts) adalah sebuah metode untuk mengelolah kesalahan, masalah, atau cacat untuk membantu memusatkan perhatian pada usaha penyelesaian masalah. Diagram ini berdasarkan pekerjaan vilfredo pareto, seorang pakar ekonomi di abad ke-19 Joseph M. Juran mempopulerkan pekerjaan pareto dengan menyatakan bahwa 80% permasalahan perusahan merupakan hasil dari penyebab yang hanya 20%.
19 Diagram pareto digunakan untuk menggambarkan tingkat kepentingan relatif antar berbagai faktor. Diagram pareto tidak hanya dipergunakan untuk peningkatan mutu, dan persediaan tetapi juga dapat dipergunakan untuk efisiensi, mengurangi biaya, dan hal-lain yang bertujuan untuk pemilihan konsentrasi masalah utama. (Eddy Herjanto, 2008:430).
2.6.1 Langkah-langkah Diagram Pareto Menurut Eddy Herjanto (2008:428) proses pembuatan diagram pareto dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pilih beberapa faktor penyebab dari suatu masalah (bisa diketahui dari hasil analisis sebab dan akibat) b. Kumpulkan data dari masing-masing faktor dan hitung presentase kontribusi dari masing-masing faktor c. Susun faktor-faktor dalam urutan baru dimulai dari yang memiliki presentasi kontribusi terbesar dan hitung nilai akumulasinya d. Bentuk kerangka diagram dengan aksis vertikal sebelah kiri menunjukan frekuensi, sedangkan aksis vertikal sebelah kanan dalam bentuk kumulatif. Tinggi aksis sebelah kiri dan kanan sama. e. Berpedoman pada aksis vertikal sebelah kiri, buat kolom secara berurutan pada aksis horisontal yang menggambarkan kontribusi masing-masing faktor. f. Berpedoman pada aksis vertikal sebelah kanan, buat garis yang menggambarkan persen kumulatif, dimulai dari 0% pada ujung bawah aksis sebelah kiri sampai 100% di ujung atas aksis sebelah kanan.
2.6.2 Manfaat Diagram Pareto Menggunakan diagram pareto juga memiliki beberapa manfaat atau keuntungan. Keuntungan yang didapatkan dalam penggunaan diagram pareto dapat dijelaskan sebagai berikut (Wignjosoebroto, 2006): 1. Diagram pareto kita mampu mengetahui urutan prioritas. 2. Diagram pareto kita bisa membandingkan nilai masing-masing terhadap keseluruhan. 3. Diagram pareto menunjukkan tingkat perbaikan setelah ada perbaikan atau tindakan.
20 4. Diagram pareto kita dapat menunjukkan perbandingan masing-masing sebelum dan sesudah perbaikan.
2.7
Diagram Sebab dan Akibat Diagram sebab-akibat (fishbone) dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa pada
tahun 1943, sehingga sering disebut dengan diagram ishikawa. Diagram sebab akibat menggambarkan garis dan simbol-simbol yang menunjukkan hubungan antara akibat dan penyebab suatu masalah. Berdasarkan akibat tersebut kemudian dicari beberapa kemungkinan penyebabnya. Penyebab masalah ini pun dapat berasal dari berbagai sumber utama, misalnya metode kerja, bahan, pengukuran, karyawan, lingkungan dan seterusnya (Ariani, 2004). Menurut Eddy Herjanto (2008:425) menerangkan bahwa “Masalah mutu dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Untuk mempermudah menganalisis penyebab dari suatu permasalahan mutu, Kaoru Ishikawa telah mengembangkan suatu alat pengendali mutu yang disebut sebagai diagram sebab dan akibat. Diagram ini merupakan suatu grafik yang menggambarkan hubungan antara suatu efek (masalah) dengan penyebab potensialnya”. Diagram sebab dan akibat dikenal juga dengan berbagai nama, misalnya CE diagram (cause and effect diagram), diagram tulang ikan (fishbone diagram) karena bentuknya mempunyai tulang ikan, dan diagram ishikawa untuk menghormati penemuanya. (Eddy Herjanto, 2008 : 426) Menurut Jay Heizer dan Barry Render (2006 : 265) menerangkan bahwa Manajer Operasi memulai dengan empat kategori: material, mesin/peralatan, manusia, dan metode. Inilah yang disebut sebagai “4M” yang merupakan “penyebab”. Mereka menyediakan sebuah daftar pengecekan yang bagus untuk analisis awal. Penyebab masing-masing dikaitkan dalam setiap kategori yang diikat dalam tulang yang terpisah sepanjang cabang tersebut, sering melalui proses brainstorming. Zulian Yamit (2013 :48) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Kualitas produk dan jasa menerangkan bahwa Macam-macam diagram Fishbone : 1. Standar Fishbone: menidentifikasikan penyebab-penyebab yang mungkin dari suatu masalah yang tidak diinginkan dan bersifat spesifik 2. Diagram fishbone terbalik: mengidentifikasikan tindakan yang harus dilakukan untuk menghasilkan efek atau hasil yang diinginkan.
21 2.7.1
Langkah-Langkah Penyusunan Diagram Sebab dan Akibat Proses dalam membangun diagram sebab akibat ini membantu menstimulasi
pemikiran mengenai suatu isu, membantu berpikir secara rasional, dan mengundang diskusi. Proses tersebut memerlukan brainstorming (pengungkapan pendapat) dari para karyawan terkait untuk memperoleh dan menggali penyebab potensial sebanyak mungkin. Diagram sebab akibat membuat analisis terhadap mutu dapat dilakukan secara teliti untuk semua kemungkinan penyebab, dan memberikan suatu proses untuk diikuti. Berikut ini tahapan yang dilakukan dalam menyusun diagram sebab dan akibat (Eddy Herjanto, 2008:426) : 1. Tentukan masalah/akibat yang akan dicari penyebabnya. Tuliskan dalam kotak yang menggambarkan kepala ikan yaitu yang berada diujung tulang utama (garis horisontal). 2. Tentukan grup/kelompok faktor-faktor penyebab utama yang mungkin menjadi penyebab masalah itu dan tuliskan masing-masing pada kotak yang berada pada cabang. Pada umumnya, pengelompokkan didasarkan atas unsur material, peralatan (mesin), metode kerja (manusia), dan pengukuran (inspeksi). Namun, pengelompokkan dapat juga dilakuakn atas dasar analisis proses. 3. Pada setiap cabang, tulis faktor-faktor penyebab yang lebih rinci yang dapat menjadi faktor penyebab masalah yang dianalisis. Faktor-faktor penyebab ini berupa ranting, yang bila diperlukan bisa dijabarkan lebih lanjut ke dalam anak ranting. 4. Lakukan analisis dengan membandingkan data/keadaan dengan persyaratan untuk setiap faktor dalam hubungannya dengan akibat, sehingga dapat diketahui penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya masalah mutu yang diamati.
22 Berikut ini merupakan format diagram sebab akibat (stevenson, 2007:440) : cause
Methods
Material
Effect
cause
People
Equipment
Gambar 2. 2 Format Diagram Sebab dan Akibat
2.7.2 Manfaat Diagram Sebab dan Akibat Penggunaan diagram sebab akibat memiliki empat manfaat, berikut adalah empat manfaat dalam penggunaan diagram sebab akibat antara lain sebagai berikut (Ariani, 2004): 1.
Dapat menggunakan kondisi yang sesungguhnya untuk tujuan perbaikan kualitas produk atau jasa, lebih efisien dalam penggunaan sumber daya dan dapat mengurangi biaya.
2.
Dapat
mengurangi
dan
menghilangkan
kondisi
yang
menyebabkan
ketidaksesuaian produk atau jasa dan keluhan pelanggan. 3.
Dapat membuat suatu standarisasi operasi yang ada maupun yang direncanakan.
4.
Dapat memberikan pendidikan dan pelatihan bagi karyawan dalam kegiatan pembuatan keputusan dan melakukan tindakan perbaikan.
23 2.8
Diagram Pencar Diagram pencar (Scatter) diagram yang dipakai untuk melihat korelasi
(hubungan) dari suatu faktor penyebab yang berkesinambungan terhadap faktor lain (Wignjosoebroto, 2006). Lebih lanjut Jay Heizar dan Barry Render (2006 : 263) “Diagram sebar
(scatter diagram) menunjukkan hubungan antar-dua
perhitungan”. Diagram skater merupakan alat yang bermanfaat untuk menjelaskan apakah terdapat hubungan antara dua variabel tersebut, dan apakah hubungannya positif atau negatif. Diagram skater bertindak sebagai dasar untuk analisis statistik yang disebut analisis regresi, yang menguji hubungan antara dua variabel atau lebih dalam bentuk persamaan matematis. Diagram skater juga menjadi dasar pembuatan chart yang sering digunakan dalam peramalan (Zulian Yamit, 2013:60).
2.8.1 Langkah-Langkah Pembuatan Scatter Diagram Pembuatan diagram pencar (scatter diagram) harus melalui beberapa langkah. Berikut merupakan langkah-langkah dalam pembuatan suatu diagram pencar (scatter diagram) (Wignjosoebroto, 2006). 1.
Kumpulkan 20 sampai 100 pasang sampel data yang hubungannya akan
diteliti. 2.
Gambarkan dua buah sumbu secara vertikal (sumbu y) dan horizontal (sumbu x), sebaiknya sama panjangnya agar diagram mudah dibaca. Apabila hubungan antara dua macam data merupakan hubungan sebab–akibat, maka sumbu vertikal biasanya akan menunjukkan nilai kuantitatif dari akibat, sedangkan sumbu horizontal akan menunjukkan nilai kuantitatif dari sebab.
3.
Plot data yang ada dalam grafik dan titik-titik data diperoleh dengan memotongkan nilai kuantitatif yang ada dari kedua sumbu vertikal dan horizontal.
2.8.2 Model Scatter Diagram Pada umumnya penyebaran data akan cenderung mengikuti lima model scatter diagram berikut ini (Wignjosoebroto, 2006):
24 1.
Korelasi Positif Harga Y akan naik apabila X naik pula, apabila X dikendalikan maka Y juga akan terkendali.
Gambar 2. 3 Scatter Diagram Korelasi Positif 2.
Ada Gejala Korelasi Positif Bila X naik maka Y cenderung naik, tetapi dapat pula disebabkan oleh faktor selain X.
Gambar 2. 4 Scatter Diagram Ada Gejala Korelasi Positif 3.
Tidak Terlihat Adanya Korelasi
Gambar 2. 5 Scatter Diagram Tidak Ada Korelasi
25 4.
Ada Gejala Korelasi Negatif Naiknya X akan menyebabkan kecenderungan menurunnya Y.
Gambar 2. 6 Scatter Diagram Ada Gejala Korelasi Negatif 5.
Korelasi Negatif Naiknya X akan menyebabkan menurunnya Y, sehingga kalau X bisa dikontrol maka Y juga akan terkontrol.
Gambar 2. 7 Scatter Diagram Korelasi Negatif
2.9
Bagan Aliran Menurut Stevenson (2007) mendefinisikan flow chart adalah gambaran visual
dari proses sebagai alat pemecah masalah, flow chart dapat membantu pengindikator dalam mengidentifikasi point yang penting dalam proses dimana masalah tersebut terjadi. Adapun menurut Yamit (2013 : 45) mendefinisikan bahwa “flow chart merupakan sebuah gambar sederhana dari sebuah proses. Bukti dari keefektifan flow chart adalah begitu mudahnya memahami sebuah proses melalui flow chart.”
26 2.9.1 Simbol-Simbol Flow Chart Terdapat banyak cara dan metode untuk menggambarkan sebuah flow chart. Beberapa paket software komputer didesain untuk menggambar flow chart. Simbolsimbol yang digunakan dalam flow chart dapat dilihat dalam tabel dibawah ini (Yamit, 20013 : 46) : Simbol
Tabel 2. 1 Simbol-simbol Flowchart Deskripsi Simbol Terminal (Terminator): Mengidentifikasikan awal atau akhir dari sebuah proses Simbol Aktifitas (Process) : Mengidentifikasikan aktifitas sebuah proses Simbol Decision point: Biasanya keputusan ya atau tidak Simbol Dokumen : Informasi tertulis berkenaan dengan proses Simbol flow line (arrow): Anak panah mengidentifikasian arah aliran Simbol penyimpan data (magnetic disk) : Mengidentifikasikan sebuah data base elektronik Simbol penghubung (connector) : Mengidentifikasikan dimana aliran proses berlanjut dari satu lini ke lini yang lain.
2.9.2 Tahapan Penyusunan Flow Chart Menurut Yamit (2013:47) menerangkan bahwa untuk dapat menerapkan flow chart dengan baik dapat dilakukan tahapan sebagai berikut. a. Bentuk sebuah tim yang terdiri dari 3 – 8 orang yang mempunyai pengetahuan mendetail mengenai proses yang akan digambarkan. Kegagalan dalam mengikutkan orang-orang yang berpengetahuan dalam tim dapat menyebabkan pengembangan tidak akurat.
27 b. Buat judul flow chart dan diskusikan hasil yang diinginkan. c. Tentukan point awal dan akhir dari proses sehingga membentuk batasbatas proses. d. Mengidentifikasikan semua aktifitas yang berhubungan dengan proses. Seperti telah diketahui bahwa brainstorming merupakan sebuah instrumen untuk mengidentifikasikan aktifitas. e. Susun aktifitas berdasarkan urutan yang terjadi dalam proses. f. Mengerjakan seluruh proses dengan menggunakan seperangkat simbol seperti dideskripsikan diatas hingga semua aktifitas dipetakan. g. Memperoleh
konsensus
kelompok
mengenai
ketepatan
dan
kelengkapan flow chart.
2.10
Bagan Kendali Bagan kendali (control chart) adalah gambaran grafis data sejalan dengan
waktu yang menunjukkan batas atas dan bawah proses yang ingin kita kendalikan. Bagan kendali dibangun dengan sedemikian rupa sehingga data baru dapat dibandingkan dengan data masa lalu secara cepat. Sampel output proses diambil dan rata-rata sampel ini dipetakan pada sebuah diagram yang memiliki batas. Batas atas dan bawah dalam sebuah diagram kendali bisa dalam satuan temperature, tekanan, berat, panjang, dan sebagainya (Jay Heizer dan Barry Render, 2006:268). Adapun menurut Eddy Herjanto (2008:430) menjelaskan bahwa bagan/peta kendali mutu atau disebut dengan bagan kendali saja (control chart) ialah grafik yang dipergunakan untuk membedakan/memisahkan hasil dari suatu proses yang berada dalam kendali dan yang tidak. Tujuan bagan kendali ialah untuk memantau suatu proses dalam rangka mengekspose kehadiran penyebab khusus yang mempengaruhi proses operasi.
2.10.1 Macam-macam Control Chart 1. Bagan Kendali untuk Variabel Menurut Jay Heizer dan Barry Render (2006:288) menjelaskan bahwa “Variabel adalah karakteristik yang memiliki dimensi yang berkelanjutan. Mereka memiliki sejumlah kemungkinan yang tak terbatas. Contohnya adalah berat, kecepatan, panjang, atau kekuatan. Bagan kendali untuk rata-
28 rata, x atau x-bar, dan rentanagan, R, digunakan untuk mengawasi proses yang memiliki dimensi berkelanjutan tadi. Bagan –x (x-chart) menunjukan apakah perubahan terjadi dalam kecenderungan terpusat sebuah proses (dalam hal ini rata-rata). Perubahan ini mungkin terjadi karena beberapa faktor seperti pemakaian peralatan, temperatur yang meningkat secara bertahap, metode berbeda yang digunanakan pada shift kedua, atau bahan baru yang lebih kuat. Nilai baganR (R–chart) mengindikasikan terjadinya kelebihan atau kekurangan penyebaran. Perubahan mungkin disebabkan oleh komponen yang sudah usang, peralatan yang longgar, aliran pelumas ke mesin yang tidak teratur, atau kecerobohan operator mesin. Dua tipe bagan ini saling membantu di saat operator memonitor variabel karena mereka mengukur dua parimeter penting, yaitu kecenderungan terpusat dan penyebaran.” 2. Bagan Kendali untuk Atribut Menurut Yamit (2013 : 215) menjelaskan bahwa “Banyak karakteristik kualitas yang tidak dapat dinyatakan dengan angka numerik, pengendalian kualitas untuk item yang karakteristik kualitasnya tidak dapat dinyatakan dengan
angka
tersebut
dinamakan
‘atribut’
atau
‘sifat’.
Untuk
mengklasifikasikan kualitas produk pada umumnya digunakan istilah ‘sesuai spesifikasi’ dan ‘tidak sesuai spesifikasi’ atau sering pula digunakan istilah ‘cacat’ dan ‘tidak cacat’. Pada saat ini istilah yang sering digunakan yaitu ‘sesuai; dan ‘tidak sesuai’. Grafik pengendalian yang banyak digunakan adalah p-chart dan c-chart. P-chart digunakan untuk bagian produk yang tidak sesuai yang diproduksi oleh suatu proses produksi. Sedangkan c-chart digunakan untuk ketidaksesuaian atau cacat dari produk yang diamati. Jika pengendalian kualitas dilakukan untuk ketidaksesuaian per unit dinamakan u-chart.”
2.10.2
Tahapan Control Chart Menurut Eddy Herjanto (2008 : 432) menjelaskan tahapan dalam pembuatan
bagan x dan R dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kumpulkan data. Jumlah sampel (m) yang diperlukan biasanya di atas 20, diambil dari data terbaru dari proses yang sejenis. Data diambil berdasarkan subgrup, dengan ukuran subgrup (n) sekurang-kurangnya dua unit.
29 2. Hitunglah rata-rata (x̅ , dibaca eks garis) setiap sampel (subgrup) dan rentang (R) antara nilai tertinggi dan terkecil 3. Hitunglah nilai rata-rata dari rata-rata (x̿ , dibaca x garis ganda) dan rata-rata rentang (R). 4. Tentukan garis tengah (central line, CL) batas kendali atas (upper control limit, UCL) dan batas kendali bawah (lower control limit, LCL) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Bagan x : CL
=x
UCL = x + A2R LCL
= x – A2 R
Jika rata-rata proses (m) dan deviasi standar proses (s) diketahui, UCL dan LCL dapat juga diperoleh dari rumus berikut: UCL = µ + z (σ/√n) LCL
= µ – z (σ/√n)
Bagan R : CL
=R
UCL = D4R LCL
= D3 R
Catatan : a. Koefisien untuk menghitung garis kendali, yaitu A2, D4, dan D3 dapat diperoleh dari Bagan x b. z ialah deviasi standar normal atau rentang batas kendali dari garis tengah. Dalam praktek, biasanya digunakan z = 3, atau 3-sigma limits, yaitu pada interval keyakinan 99,7% c. jika dalam perhitungan diperoleh LCL < 0 , artinya tidak terdapat batas bawah, maka LCL diset sama dengan nol. 5. Buat bagan kendali dan plot nilai x dan R setiap sampel pada bagan kendali yang sesuai. Hubungkan nilai setiap sampel sehinga membentuk kurva. 6. Pelajari kinerja hasil proses produksi. Identifikasi titik di luar batas kontrol dan tentukan penyebab terjadinya serta cara mengeliminasi penyebab khusus dan mengurangi variasi normal. Menurut Eddy Herjanto (2008:435) prosedur umum dalam menyusun bagan kendali ketidaksesuaian, sebagai berikut:
30 1. Memilih karakteristik mutu. Jika dikehendaki pengukuran dalam proporsi ketidaksesuaian, gunakan bagan p, namun jika dikehendaki pengukuran dala
bentuk
jumlah
ketidaksesuaian,
gunakan
bagan
np.
Jika
menggunakan bagan p, ukuran subgrup dapat konstan atau bervariasi, namun jika menggunakan bagan np, ukuran subgrup harus sama/konstan. 2. Kumpulkan data. Sampel berdasarkan subgrup, dengan ukuran subgrup (n) sebaiknya lebih dari 50. 3. Hitung persen ketidaksesuaian dari setiap subgrup (pi) dan masukkan ke dalam lembar data. Pi
= Jumlah ketidaksesuaian (npi) x 100% Jumlah unit dalam subgrup (ni)
4. Tentukan garis tengah (central line, CL), batas kendali atas (upper control limit, UCL) dan batas kendali bawah (lower control limit, LCL) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Bagan p: CL
= P = Pi
= np
m
mn
UCL = p + 3
LCL
=p−
Dimana : P = Rata-rata persen ketidaksesuaian dalam sampel m = jumlah sampel (subgrup) n = ukuran subgrup 5. Buat bagan p dengan memasukkan data observasi kedalamnya. Pada bagan p (jika bervariasi), UCL dan LCL tidak berbentuk garis lurus.
31 2.11 Kerangka Pemikiran
Sumber : penelitian, 2014
Gambar 2. 8 Kerangka Pemikiran
32
32