1 BAB 2 LANDASAN PERANCANGAN
2.1
Sumber Data Data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari berbagai sumber, antara lain : 1.
Literatur Pencarian bahan melalui buku, artikel, dan literatur dari internet mengenai hal- hal yang berhubungan dengan tema yang diangkat.
2.
2.2
Wawancara dengan narasumber dari pihak terkait.
Tinjauan Umum 2.2.1 Tentang kebutaan Kebutaan adalah keadaan dimana organ pengelihatan mengalami gangguan sehingga mengurangi atau menghilangkan daya tangkap mata. Keadaan ini mempengaruhi orang – orang di seluruh dunia. Perkiraan global mengindikasikan bahwa kebutaan mempengaruhi 45 Juta orang diseluruh dunia, dimana 9 dari 10 penderitanya hidup di Negara berkembang. Kebutaan, dengan segala masalah sosial
dan ekonominya, menunjukkan
permasalahan kesehatan yang serius di seluruh dunia (B.Thylefors. (1999). Avoidable Blindness. Buletin of The World Helath Organization: the International Journal of Public Health 1999, 77(6): 453). Persatuan Tuna Netra Indonesia (2004) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas) (Didi Tarsidi, 2011, Definisi
Tunanetra,
tunanetra.html).
http://d-tarsidi.blogspot.com/2011/10/definisi-
2 Menurut WHO ada beberapa tingkatan gangguan pengelihatan: a. Moderate visual impairment (gangguan pengelihatan menengah) b. Severe visual impairment (gangguan pengelihatan parah) c. Blindness (kebutaan)
Tiga point di atas pada dasarnya terbagi atas dua bagian besar yaitu Low Vision dan Kebutaan. Saat ini WHO bekerjasama dengan IAPB menjalankan gerakan VISION 2020: The Right to Sight, yaitu inisiatif global untuk mencegah kebutaan dengan cara meningkatkan kualitas hidup melalui layanan kesehatan yang menyeluruh.
2.2.2
Kebutaan di Indonesia Indonesia adalah salah satu negara dengan risiko kebutaan tinggi di
dunia. Dibandingkan dengan angka kebutaan-kebutaan di negara asia tenggara lain, angka kebutaan Indonesia (1,5%) adalah yang tertinggi (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2005), Pemicu tingginya angka kebutaan di Indonesia antara lain dilatar belakangi oleh rendahnya taraf ekonomi masyarakat yang berada di daerah terpencil. Contohnya, selama krisis ekonomi dan situasi politik yang tidak stabil, terjadi kecenderungan meningkatnya jumlah ibu dan anak yang mengalami Kekurangan Vitamin A (KVA). Menurut data survey dari Hellen Keller International (HKI) tahun 1998, tercatat bahwa pada wilayah kumuh perkotaan, hampir 10 Juta balita menderita KVA Sub-klinis, dimana 60.000 diantaranya terancam buta. Menurut Survei Kesehatan Indra Pengelihatan dan Pendengaran (1993-1996), penyebab utama kebutaan da Indonesia adalah katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut (0,38%). Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibanding daerah subtropis lain, hal ini diduga berkaitan erat dengan faktor degeneratif akibat masalah gizi.
3 Keadaan sosial Tununetra di Indonesia juga tidak berbeda jauh dengan negara-negara berkembang lainnya, banyak yang kehilangan kedudukan sosialnya untuk berperan sebagai pribadi yang aktif di masyarakat yang disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasannya. Mayoritas Tunanetra di Indonesia belum bisa berbaur dengan masyarakat pada umumnya, tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan secara tidak langsung mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Menanggapi inisiatif VISION 2020 oleh WHO, Departemen Kesehatan RI melakukan gerakan Mata Sehat 2020 yang bertujuan agar setiap penduduk Indonesia memperoleh kesempatan/hak untuk melihat secara optimal pada tahun 2020.
2.2.3
Tunanetra Pertuni (2004) mendefinisikan tunanetra sebagai “mereka yang tidak
memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas)“. Dari definisi diatas, maka bisa diambil bahwa secara umum ada 2 jenis kutunanetraan berdasarkan kemampuan mereka untuk melihat tulisan, yang pertama yaitu mereka yang sama sekali tidak bisa melihat tulisan sehangga harus menggunakan alat bantu berupa Braille atau alat audio, dan yang kedua adalah mereka yang masih bisa melihat namun sangat terbatas pengelihatannya (low vision). Menurut Krech, Crutchfield, & Ballachey (1982) Setiap orang mempunyai pencitraan dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor berikut: (1) Sosial, (2) Fisiologisnya, (3) Keinginan dan tujuannya, dan (4) Pengalaman masa lalunya. (Didi Tarsidi, 2011, Dampak ketunanetraan dalam pembelajaran bahasa,
http://d-
tarsidi.blogspot.com/search/label/Dampak%20Ketunanetraan).
Dari keempat faktor diatas, bisa disimpulkan bahwa individu tunanetra mengalami kelainan dalam struktur fisiologisnya, sehingga mereka
4 harus mengganti fungsi indera pengelihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya.
2.2.4
Faktor-faktor penyebab ketunanetraan Gangguan pengelihatan yang mengarah pada ketunanetraan dapat
terjadi pada siapa saja, tidak perduli latar belakang, entis, gender, bahkan umurnya. Menurut DITPLB (2006) berikut adalah faktor-faktor penyebab ketunanetraan: a. Pre-natal Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain: - Gangguan sewaktu Ibu hamil - Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan. - Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang. - Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri. - Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
b. Post-natal Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain: - Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan. - Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan. - Mengalami penyakit mata yang misalnya: Katarak, Glukoma, dll.
menyebabkan ketunanetraan,
5 - Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll. (Dianitawulan, 2013, Makalah Tunanetra, http://dianitaawulan.wordpress.com/2013/06/29/makalahtuna-netra/.)
2.2.5
Panti sosial bina netra Cahaya Bathin Panti sosial bina netra cahaya bathin adalah panti sosial untuk
penderita gangguan pengelihatan yang dibawahi oleh dinas sosial. Panti ini berada di daerah Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur. Dari hasil survey lapangan di Panti sosial bina netra Cahaya Bathin, saya mendapati bahwa penghuni panti ini berusia 14 – 40 tahun. Di panti ini para penghuni diajarkan keahlian-keahlian dasar diantaranya cara membaca dan menulis braille.
Gambar 2.1 Panti sosial bina netra Cahaya Bathin
Di panti sosial ini, ada beberapa kegiatan yang menjadi pokok kegiatan untuk penghuninya, antara lain: -
Kelas Braille
-
Kelas Braille Arab
-
Kelas Bahasa Inggris
-
Kelas Shiatsu
-
Pengembangan diri melalui vokal dan musik
6 -
Terdapat juga beberapa kegiatan lain seperti Pramuka, Radio, dll.
Sistem pengajaran braille di panti ini terbagi atas beberapa tahapan, yaitu Observasi, D1, D2, dan D3. Kelas Observasi adalah kelas pra-braille, dimana para siswa dilatih untuk meningkatkan kemampuan motorik dan sensitifitas jari mereka. Ini adalah tahapan yang paling penting dalam pembelajaran braille, dimana para siswa hanya diajarkan berinteraksi dengan tekstur dan bentuk dari aksara braille. Tahapan ini yang nantinya akan menentukan apakah mereka dapat menguasai aksara braille secara baik. Ratarata siswa membutuhkan waktu minimal 6 bulan di tahapan ini. Kelas D1 sampai D3 setara dengan kelas 1-6 Sekolah Dasar. Ketika siswa sudah menguasai baca tulis braille dengan baik, mereka akan mendapatkan pelajaran yang sama seperti kurikulum sekolah biasa. Setelah menyelesaikan tahap D3, para siswa dapat memilih untuk melanjutkan studi di SLB setara SMP yang lain atau studi inklusi (di kelas bersama dengan siswa biasa dengan bantuan pembimbing), bahkan sampai jenjang kuliah.
2.2.6
Braille Mengutip dari Wikipedia, Huruf Braille adalah sejenis sistem tulisan
sentuh yang digunakan oleh orang buta. Braille
diciptakan
oleh
Louis
Braille
pada
tahun
1824,
mengembangkan sebuah sistem tulisan untuk orang yang mengalami kebutaan dan gangguan pengelihatan (Louis Braille sendiri mengalami kebutaan sejak kecil), sistem tersebut kini dikenal dengan aksara Braille. Braille - seperti halnya juga seluruh aksara yang lain – merupakan aksara yang tersistem dan digunakan diseluruh dunia. Perjuangan untuk menjadikan Braille sebagai aksara universal tidaklah mudah, bahkan pada tahun 1834, penggunaan aksara braille dilarang oleh pihak sekolah di tempat Louis Braille mengajar. Pihak sekolah merasa bahwa mengajarkan bentuk tulisan dan aksara yang berdeda dengan aksara umum itu tidak masuk akal, sehingga aksara Braille harus diajarkan secara diam-diam, sampai akhirnya salah seorang guru, Dr. Gaudet membujuk pihak sekolah untuk menggunakan aksara Braille. Louis meninggal pada tahun
7 1852, beberapa bulan setelah itu aksara Braille akhirnya bisa diterima dan digunakan di sekolah-sekolah lain. Baru pada akhir abad ke-19 aksara Braille diterima secara universal dan digunakan di seluruh dunia.
Gambar 2.2 Struktur dasar Braille
Gambar 2.3 Aksara Braille Sumber: www.wikipedia.org
8 2.2.7
Alat produksi Braille
a. Riglet Riglet adalah alat untuk menuliskan Braille secara manual. Riglet adalah alat yang paling umum digunakan, karena ukurannya yang kecil. Riglet digunakan selayaknya penggunaan pensil dan kertas oleh orang biasa. Agar dapat dibaca secara normal (kiri ke kanan), penulisan menggunakan reglet ini harus dilakukan secara terbalik.
Gambar 2.4 Berbagai macam riglet Sumber: www.wikipedia.org
b. Braillewriter Braillewriter adalah salah satu alat tulis yang paling sering digunakan untuk produksi materi braille secara massa sebelum adanya printer braille. Benda ini bentuk dan fungsinya seperti mesin ketik, menggunakan 6 tombol dimana setiap tombol mewakili satu titik braille.
9
Gambar 2.5 Braillewriter Sumber: www.abc.org
c. Printer Braille Printer Braille adalah alat untuk mencetak aksara braille. Pengguanaannya harus melibatkan komputer, dan software khusus yang menterjemahkan aksara biasa sebagai braille menggunakan piranti lunak khusus. Saat ini di Indonesia, Mitranetra sudah mengeluarkan piranti lunak “Mitranetra Braille Converter”.
Gambar 2.6 Berbagai jenis Printer Braille Sumber: www.livingmadeeasy.org.uk 2.2.8
Gambar Taktil Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Taktil berarti
sesuatu yang berkaitan dengan sentuhan atau rabaan.
10 Gambar taktil adalah gambar atau grafis yang dikomunikasikan melalui sentuhan (TPB. (2007). What is tactile picture book?. Tactile picture book in sweeden, halaman.1). Gambar taktil memang diperuntukkan agar diproses melalui sentuhan, sehingga dapat dipahami oleh penderita gangguan pengelihatan. Pada dasarnya, taktil bisa berfungsi untuk bermacam hal, dari penunjuk arah, peta, penanda jalan (ini yang paling sering digunakan), dll.
Gambar 2.7 Taktil sebagai penanda jalan Sumber: Guidebook for the Proper Installation of Tactile Ground Surface Indicators 2.2.9
Kriteria penggunaan gambar taktil Penggunaan gambar taktil memang dapat membantu membuka dunia
baru dalam persepsi penderita gangguan pengelihatan. Hal ini sudah banyak dilakukan di negara-negara maju, dan diperkenalkan kepada penderita ganguan pengelihatan sejak dini, tetapi harus dipahami gambar taktil bukan gambar biasa, penrapannya hanya dapat membantu apabila mengacu pada kriteria yang tepat. Menurut Guidelines and Standards for Tactile Graphic (BANA, Braille Authority of North America, 2010), berikut adalah beberapa kriteria penggunaan tactile graphic: a. Penggunaan gambar taktil dengan disertai oleh model 3D, harus diperkenalkan sejak awal masa pembelajaran braille.
11 b. Gambar taktil digunakan apabila penjelasan teks dianggap tidak mencukupi. c. Gambar taktil digunakan apabila telah dilakukan proses pertimbangan mengenai kecukupan penggunaan teks. d. Gambar taktil digunakan apabila penjelasan tidak mencukupi. e. Penyajian grafik lebih baik menggunakan taktil dibandingkan menyajikan data dalam bentuk daftar kata-kata.
Selain kriteria-kriteria diatas, prinsip atau penerapan desain untuk gambar taktil juga berbeda dari gambar biasa. Hal ini perlu dipahami karena gambar taktil harus dicerna menggunakan persepsi sentuhan, bukan persepsi menggunakan mata. Menurut The Good Tactile Graphic (APB, American Printing house for the Blind, 1999), berikut adalah panduan desain untuk tactile graphic: a. Hindari detail yang ramai dan kacau, sederhanakan. b. Pisahkan grafik yang rumit dalam bentuk layer atau gambar tampilan detail. c. Gunakan tekstur hanya untuk menambahkan informasi. d. Untuk mencegah kebingungan atau memberikan informasi yang penting, gunakan tekstur atau simbol untuk area yang berbeda.
2.2.10 Perlunya penciptaan buku panduan Braille dan Taktil Braille dan taktil merupakan hal yang masih sangat asing di Indonesia, bahkan banyak orang yang tidak tahu dan tidak mau tahu tentang keadaan Tunanetra di Indonesia saat ini. Padahal ada banyak sekali jumlah penderita gangguan pengelihatan di negara ini. Di Indonesia kita terlalu terbiasa memberi bantuan dalam bentuk uang dan langsung menutup mata tentang isu yang sebenarnya. Dari hasil survey di Panti sosial bina netra cahaya bathin, saya mendapati bahwa Tunanetra tidak butuh belas kasihan dari orang lain, disinilah letak ironi dari pemikiran masyarakat Indonesia saat ini, dimana simpati tidak diikuti dengan empati. Simpati memang awal yang baik, tetapi jika kita tidak memposisikan diri kita pada posisi orang lain, maka simpati cuma belas kasihan saja.
12 Perlu disadari bahwa prilaku ini bisa terjadi karena sangat kurangnya sumber-sumber informasi tentang Tunanetra, bahkan di toko buku pun pembahasan tentang permasalahan ini sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Buku apapun dalam format Braille hanya bisa didapat dari segelintir orang atau organisasi Tunanetra tertentu, yang mempunyai keterbatasan sangat besar dalam masalah biaya produksi. Sekarang ini Tuna netra hanya bisa mendapat pengajaran jika dia berada di SLB atau panti sosial tertentu di bawah bimbingan guru yang mempunyai latar belakang pendidikan khusus. Bagaimana dengan Tunanetra yang tidak berada di SLB atau panti sosial?, mereka tidak bisa mendapatkan bantuan ini dari siapapun di luar komunitas Tunanetra yang ada di Indonesia. Kalaupun ada orang di luar komunitas Tunanetra yang ingin membantu, orang-orang ini terhalang oleh kemampuan mereka. Contoh kasus, ada seorang pemuda yang ingin membantu agar Tunanetra di Indonesia dapat terbebas dari buta huruf, tapi bagaimana caranya?, sedangkan dia sendiri tidak mengerti apa-apa tentang kebutaan, apalagi tentang aksara Braille. Untuk menjalani pendidikan khusus di Universitas akan memakan waktu yang lama. Apa yang harus dilakukan?. Materi-materi tentang kebutaan dan Braille harus lebih di tampilkan ke masyarakat secara langsung. Informasiinformasi harus lebih mudah di akses. Materi-materi pengembangan diri untuk Tunanetra harus tersedia di toko buku atau perpustakaan, dengan cara ini bahkan orang-orang biasa tanpa latar belakan pendidikan khusus dapat berperan aktif untuk membantu Tunanetra untuk mencapai potensi mereka. Untuk itulah awalnya dibutuhkan buku pengenalan Braille dan taktil yang diharapkan dapat membuka pintu untuk hal-hal besar yang lain.
2.3
Tinjauan Khusus 2.3.1. Komunikasi Komunikasi dapat diartikan sebagai proses penyampaian pesan, informasi, ide, atau gagasan dari satu orang kepada orang lain menggunakan media atau sarana guna mempengaruhi dan mengubah perilaku penerima pesan.
13 Komunikasi
adalah
suatu
proses
melalui
mana
seseorang
(komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak)(Hovland, Janis & Kelley:1953). Komunikasi tidak bisa dilepaskan dari tulisan. Penyampaian komunikasi melalui kata tertulis adalah cara yang paling efektif dalam menyampaikan sebuah pesan, karena tulisan sifatnya netral dan universal, semua itonasi jelas terlihat, tanpa logat dan dialek dalam penyampaian komunikasi suatu permasalahan melalui kata-kata. Sebuah karya Desain Komunikasi Visual memiliki tujuan untuk menyampaikan komunikasi melalui pendekatan visual, oleh karena itu sebuah desain harus memenuhi kriteria komunikasi agar dinilai berhasil dan berfungsi dengan baik. Visual yang indah memang harus dicapai tapi harus mengacu pada komunikasi yang efektif.
2.3.2. Tipografi Tipografi atau tatahuruf merupakan suatu ilmu dalam memilih dan menata huruf dengan pengaturan penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia, untuk menciptakan kesan tertentu, sehingga dapat menolong pembaca untuk mendapatkan kenyamanan membaca semaksimal mungkin. Tipografi adalah penyampaian pesan atau bahasa secara visual (Robert Binghurst. 1992,1994,2004. The Element of Typoraphy Style) Tipografi merupakan alat yang penting untuk dimiliki dalam lingkup Desain Komunikasi Visual, karena komunikasi melalui tulisan adalah bentuk komunikasi manusia yang paling efektif. Ketika sebuah buku menggunakan susunan tipografi yang baik, maka hal ini akan membuat komunikasi buku tersebut akan tersampaikan secara mudah kepada pembaca. Menurut buku Typographic Design: Form and Communication oleh Rob Carter, Phillip B. Meggs dan Ben Day, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam tipografi adalah: -
Legibility: mudah dibaca.
14 -
Readibility: dapat dibaca, berkaitan dengan pemilihan huruf yang tepat sesuai dengan karakter yang mau dibangun.
-
Visibility: berkaitan dengan apakah huruf dapat terlihat atau tidak.
-
Clarity: kejelasan huruf.
Dikenal pula seni tipografi, yaitu karya atau desain yang menggunakan pengaturan huruf sebagai elemen utama. Dalam seni tipografi, pengertian huruf sebagai lambang bunyi bisa diabaikan.
2.3.3. Teori Gestalt Teori gestalt sangat berguna dalam penataan visual agar pesan dapat ditangkap dengan baik. Teori Gestalt yang dipakai dalam kaitannya dengan tugas akhir ini adalah: a. Similarity Similarity adalah ketika objek mempunyai kemiripan, sehingga di golongkan sebagai bagian sebuah kelompok. Prinsip ini akan digunakan untuk menyatukan 4 buku sebagai satu kesatuan.
b. Continuation Continuation adalah keadaan dimana mata terdorong untuk bergerak mengikuti visual yang disampaikan. Prinsip ini akan membantu pembaca untuk mengikuti informasi pada tiap halaman.
c. Proximity Proximity adalah objek-objek yang diletakkan berdekatan dianggap sebagai sebuah kelompok. Prinsip ini akan digunakan untuk menyatukan banyak halaman dalam satu buku.
d. Figure and Ground Figure and Ground adalah keadaan dimana ketika dua objek yang kontras dianggap memiliki kedalaman. Salah satunya dianggap Figure (objek di
15 depan atau utama) dan yang lainnya sebagai Ground (background). Prinsip ini akan diterapkan dalam pengaplikasian gambar pada buku.
2.3.4. Semiotika Semiotika adalah teori yang awalnya diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure, yang meliputi adanya arti yang berasal dari hubungan antara form dan idea. Semiotik, menggunakan sign dan symbol sebagai komunikasi, contoh yang paling sering dilihat adalah lampu lalu lintas. Semiotika berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sign (symbol, tanda) (Eco 1976). Ferdinand de Saussure membagi semiotika atas 2 bagian yaitu signified (form) dan signifier (idea). Secara umum, semiotika dibagi lagi menjadi 3 hal menurut Morris (1938): a. Semantik Hubungan antara sign dan apa yang dilambangkan b. Sintaktik (syntax) Hubungan Struktural antar sign c. Pragmatik Hubungan antara sign dan penyimak.
Penggunaan prinsip-prinsip semiotika akan sangat berguna pada simbol-simbol dan elemen yang digunakan, terutama ketika digunakan untuk penyederhanaan bentuk gambar agar mudah dicerna oleh tuna netra ketika dibuat dalam format taktil.
2.3.5. Teori Warna Oleh karena target utama publikasi ini adalah orang yang tidak buta, maka prinsip teori warna masih dapat diterapkan. Ada tiga kategori dasar dari teori warna yang logis dan berguna, seperti : color wheel, color harmony, dan konteks terhadap pemakaian warna. a. Color Wheel Lingkaran warna yang terdiri dari merah, biru, dan kuning yang merupakan warna dasar pembentuk warna-warna lain.
16
b. Color Harmony Dalam pengalaman secara visual, harmony ialah sesuatu yang memberi rasa nyaman pada mata. Melibatkan penonton dan kedalaman indera, sebuah keseimbangan dalam pengalaman visual. Sesuatu yang tidak harmonis akan menimbulkan kebosanan dan kekacauan. Otak manusia akan secara otomatis menolak sesuatu yang tidak terorganisir, yang tidak dapat dipahami. Tugas sebuah komunikasi visual mengharuskan kita untuk mempersembahkan sesuatu yang terstruktur. Color Harmony menciptakan ketertarikan terhadap visual dan kedalaman indera.
c. Color Context Bagaimana warna bereaksi terhadap hubungannya dengan warna lain dan bentuk yang rumit dalam teori warna. Penggunaan teori-teori warna di atas akan sangat membantu pembaca agar tetap betah membaca halaman demi halaman buku, dan berujung pada mudahnya penyerapan materi-materi pada buku seri mengenal Braille. Harus diakui bahwa buku dengan materi yang bersifat instruksi atau pelajaran cenderung membosankan, teori warna didukung dengan teori-teori desain lain akan sangat berperan untuk membuat pembaca merasa betah membaca buku tersebut.
2.4
Analisa SWOT Seri mengenal Braille a. Strength
-
Media publikasi ini dibuat dalam ukuran yang mudah dipegang, sehingga mudah dibawa dan dibaca dimana saja.
-
Konten yang lengkap
-
Memudahkan individu non-pengajar belajar tentang Braille, membantu pembelajaran, meningkatkan interaksi.
b. Weakness -
Biaya produksi lebih mahal.
17
c. Opportunity -
Dapat memangkas waktu yang umumnya dibutuhkan oleh pengajar Braille.
-
Dapat menjadi acuan untuk buku-buku berikutnya
d. Threat -
Kurangnya orang yang mau meluangkan diri untuk bermain dengan penderita gangguan pengelihatan.
Konten media publikasi ini cenderung asing bagi orang biasa, sehingga membutuhkan usaha lebih untuk dipelajari