5
BAB 2 DATA DAN ANALIS A
2.1 Sumber Data 2.1.1 Literatur Buku 1. “Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740” karangan
Johannes Theodorus
Vermeulen 2. “Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina” karangan Ong Hok Ham 3. “Tionghoa Indonesia dalam Krisis” karangan Charles A. Coppel 4.
“Tionghoa dalam Pusaran Politik” karangan Benny G. Setiono
5. “Hoakiau di Indonesia” karangan Pramoedya Ananta Toer 6. "M otion Graphic Design" karangan Jon Krasner 7. "Successful Scriptwriting" karangan Jurgen Wolff dan Kerry Cox 8. "Universal Principles of Design" karangan William Lidwell, Kritina Holden, dan Jill Butler.
2.1.2 Literatur Internet 1. http://siubanci.blogspot.com/2009/02/pembantaian-1740.html 2. http://id.wikipedia.org/wiki/VOC 3. http://www.csmonitor.com/2006/0602/p01s02-ussc.html 4. FPS M agazine issue M arch 2005
6
2.2 Data Historis 2.2.1
Gambaran Kehidupan Awal Masyarakat Tionghoa di Batavia Pada masa-masa awal penjelajahan samudera dan perdagangan internasional
melalui samudera, perlu diketahui bahwa para pelaut dan saudagar bangsa Tiongkok telah memiliki hubungan dagang dengan saudagar-saudagar lain dari berbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia Belanda – Tiongkok sendiri, sudah ada populasi Tionghoa yang menetap di Banten dan menjadi makelar serta pedagang, yang memperoleh pasokan secara reguler dari kapal-kapal dagang Tiongkok. Jatuhnya dinasti M ing (1368-1644) dan berdirinya dinasti Ch’ing (1644-1911) dan dibukakannya kembali perdagangan dengan Asia Tenggara mendorong arus imigrasi ini. Di Banten sendiri, keberadaan orang-orang Tionghoa mendatangkan keuntungan bagi Sultan Banten karena pengetahuan pertanian yang dibagikan kepada penduduk setempat dan memajukan perdagangan di kesultanan. Sebelum kedatangan kaum VOC, hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan pribumi di Indonesia cukup harmonis. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila didapati populasi orang Tionghoa di pesisir Jawa yang merupakan jalur dagang yang ramai dikunjungi oleh pedagang. Sebelum kedatangan orang Belanda, orang Tionghoa di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat. M ereka hidup berdagang, bertani, dan menjadi tukang. Pada umumnya mereka tidak membawa istri, dan menikah dengan perempuan pribumi. Dari begitu lahirlah keturunan peranakan. M ereka menyukai hidup damai dan menghindari keributan.
7
Awal mula keberadaan orang-orang Tionghoa di Batavia tidak bisa lepas dari pengaruh Souw Beng Kong yang terkenal sebagai pedagang yang dihormati di Banten. Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi gubernur jenderal VOC pada tahun 1619, ia mendekati Souw Beng Kong untuk memimpin eksodus orangorang Tionghoa dari Banten Ke Batavia. Ketika terjadi pembongkaran paksa rumah-rumah Tionghoa di Banten karena mengganggu pemandangan sultan, Souw Beng Kong memimmpin eksodus banyak orang Tionghoa ke Batavia, yang secara berangsur-angsur membuat Banten menjadi ditinggalkan para pedagang mancanegara. Banyaknya jumlah orang Tionghoa secara berangsur-angsur membutuhkan kepengurusan sendiri, dan Souw Beng Kong ditunjuk sebagai kapten Tionghoa pertama pada 11 Oktober 1619. Di bawah kepemimpinannya, jumlah penduduk di Batavia meningkat pesat. Pada tahun 1622 bertambah menjadi 1000 orang, dan pada tahun 1740, populasi orang Tionghoa di Batavia telah bertumbuh mencapai tidak kurang dari 15,000 jiwa. Di Batavia, orang-orang Tionghoa mengisi pekerjaan sebagai distributor perdagangan dan makelar, juga mengisi pekerjaan-pekerjaan lainnya seperti penyuling arak, bertukang, dan lain-lain. Warga Tionghoa tidak saja memenuhi kebutuhan sehari-hari Batavia, namun juga memiliki andil dalam membangun benteng dan bangunan di kota, yang membuat keberadaan mereka krusial dalam perluasan dan pembangunan Batavia. Untuk membujuk kedatangan orang Tionghoa, tentu saja VOC memberikan iming-iming dan menciptakan iklim yang kondusif bagi mereka, bahkan menempatkan mereka sebagai masyarakat golongan kedua, dengan
8
masyarakat pribumi di golongan ketiga (akan dibahas di sub-bab berikutnya). Tindakan ini terbukti merupakan salah satu faktor yang menimbulkan kesenjangan sosial antara kaum Tionghoa dan pribumi.
Kelenteng Tionghoa di Batavia Gambar 2.1
Sebuah toko Tionghoa di sudut kota Batavia Gambar 2.2
9
2.2.2
Sejarah Awal Kedatangan VOC Pada 23 November 1596, armada Belanda dibawah komando Cornelis de
Houtman berlabuh di pelabuhan Banten, dan merupakan tonggak sejarah munculnya orang Belanda di Nusantara. Pada tahun 1602, dibentuklah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan kongsi dagang Belanda, yang memiliki wewenang penuh untuk merekrut pasukan, mencetak mata uang sendiri, membangun artileri, mengangkat pejabat, dan membuat perjanjian serta menyatakan perang maupun gencatan senjata. Namun izin terpenting yang dimiliki VOC adalah izin memonopoli perdagangan dengan seluruh Asia. Pada tahun 1611, VOC membuat sebuah perjanjian dengan Banten untuk mendirikan sebuah kantor dagang sekaligus rumah tinggal dan gudang. Ketika Jan Pieterzoon Coen dilantik pada tahun 1618, kantor dagang yang sebelumnya berada di Banten dipindahkan ke Jayakarta dan diperkuat dengan benteng pertahanan dan meriam. Pada tahun 1619, Coen yang sangat berambisi menaklukkan Jayakarta, melancarkan serangan dan menaklukkannya pada tanggal 30 M ei. Kota yang baru didirikannya dan pada tahun 1621 dinamakan Batavia, sebagai kenangan akan suku Batavier yang merupakan nenek moyang bangsa Belanda. Sejak saat itu, Coen melancarkan pembangunan terhadap Batavia, dan kota ini dijadikan sebagai pusat militer dan administrasi yang lokasinya strategis dan mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia Timur, Timur Jauh, dan Eropa. Pentingnya peranan Batavia sebagai markas VOC di Hindia Belanda,
10
serta hubungan dagang yang menguntungkan dengan Tiongkok, menjadi alasan didatangkannya banyak orang Tionghoa ke Batavia. Dalam salah satu suratnya, Coen berkata: “Perdagangan ini harus dilanjutkan, bahkan bila diperlukan waktu sepuluh tahun atau satu abad sekalipun.” Hal ini secara otomatis menempatkan peranan orang Tionghoa menjadi besar di Batavia. Kebutuhan akan adanya hubungan perdagangan dengan Tiongkok membuat perlunya keberadaan orang Tionghoa di Batavia, yang merupakan penghubung antara kompeni dengan para pedagang dari Tiongkok. Coen memberi perintah untuk mendorong sebanyak mungkin migrasi orang Tionghoa ke Batavia, bahkan bila perlu menggunakan kapal angkut kompeni. Untuk mendorong hal itu, ia bahkan memblokir jalur perdagangan ke M alaka, M anila, M akau, dan Pescadores. Pada 9 Juli 1622, dikeluarkan perintah kepada Commandeur Cornelis Reyersz untuk pergi ke Tiongkok dan meningkatkan hubungan dagang dengan mereka, selain itu juga diperintahkan untuk menculik orang-orang Tionghoa dari kapal-kapal yang ditemui dan dibawa ke Batavia! Dengan kedatangan VOC, hubungan orang Tionghoa dengan penduduk setempat yang harmonis berangsur-angsur menjadi renggang. VOC memandang hubungan antara etnis Tionghoa dengan penduduk setempat dapat menghalangi kekuasaan mereka, sehingga dimulailah tindakan memberikan eksklusifitas terhadap orang Tionghoa. M ereka diberikan posisi yang lebih tinggi dalam strata sosial di Batavia, yaitu sebagai vreemde-oosterlingan (timur asing) dan menjadi kaum yang lebih tinggi dibanding pribumi, sementara kaum VOC dan orangorang Eropa menduduki posisi paling tinggi dalam strata sosial masyarakat.
11
Orang-orang Tionghoa diberi hak untuk memungut pajak, menjual candu, dan membuka rumah judi.
Peta Batavia dibawah kekuasaan J.P. Coen Gambar 2.3
Galangan kapal VOC di Batavia Gambar 2.4
12
2.2.3
Degradasi Keuangan dan Insiden Sebelum Pembantaian VOC sendiri mendapatkan sebagian besar pemasukannya dari perdagangan
di sekitar Asia, bukan dari hubungannya dengan Kerajaan Belanda sendiri. Dan sudah barang tentu kaum Tionghoa di Batavia memiliki hubungan dengan Tiongkok. Simbiosis yang mutual ini seharusnya mempererat hubungan orang Tionghoa dan VOC di Batavia, namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Kenyataan bahwa orang Tionghoa menjadi kekuatan bisnis yang besar di Batavia dan menjadi saingan dari kaum Eropa menimbulkan rasa tidak senang dari sebagian pihak dari kaum koloni. Keberadaan orang-orang Tionghoa berkemampuan ekonomi rendah yang didatangkan sebagi kuli di bidang pertanian dan perkebunan (sektor gula dikuasai oleh mayoritas penduduk Tionghoa pada masa itu, yang termasuk sektor ekonomi yang besar di Batavia) menambah beban kepadatan populasi penduduk. Kondisi perekonomian Batavia setelah 1725 cenderung memburuk. VOC mengalami kekalahan dalam mempertahankan hegemoni perdagangan Eropa di Hindia Timur dengan kongsi dagang Inggris, yaitu East India Company (EIC). Hasil pembukuan menunjukkan kerugian berturut-turut. Selama satu abad, hanya ada satu tahun keuntungan saja. Pada tahun 1720, industri gula dan pasar gula internasional mengalami guncangan parah, karena munculnya kompetitor gula Brazil yang murah. Pada tahun 1738, surat pemerintah pada dewan VOC mengeluhkan “penurunan kondisi yang sangat parah” dan angka kematian yang begitu tinggi. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya problema beruntun yang menimpa kota itu. Kegagalan panen, pembayaran kredit yang terlambat,
13
penurunan nilai properti, sontak melumpuhkan perekonomian dan membuat saudagar-saudagar merugi. Wabah penyakit, ekspor kecil dan perhitungan pasar yang keliru menambah besar kerugian Kondisi yang tidak stabil menimbulkan pemerasan dimana-mana oleh oknum pejabat yang mengejar keuntungan, sehingga banyak pedagang Tionghoa yang merugi. Pada akhirnya, banyak pedagang Tionghoa yang jatuh miskin dan kehilangan properti akibat peraturan yang semena-mena. Perlakuan baik yang mereka terima ketika mereka masih dibutuhkan tidak lagi ditemukan. Selain itu, orang-orang Tionghoa yang tinggal di luar tembok kota Batavia tidak bisa dikontrol karena berada di luar sistem institusi. M ereka tidak diatur dalam organisasi Tionghoa dan berada diluar jangkauan. Dengan begitu, tidak pernah terjadi perundingan dengan mereka karena tidak diwakili oleh organisasi yang ada. Banyak yang luntang-lantung dan menganggur. Di samping itu, adanya akumulasi dan konsentrasi etnis Tionghoa menimbulkan problem baru. Dikhawatirkan keberadaan mereka menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenangan orang Belanda di Batavia. Akhirnya diputuskan untuk membatasi kedatangan orang Tionghoa. Para penduduk Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal dipulangkan secara paksa, dan mereka yang melakukan permohonan surat izin tinggal dipersulit dan mengalami pemerasan. Atas landasan surat izin ini banyak warga Tionghoa yang ditangkap dan hanya dibebaskan setelah membayar sejumlah uang. Tujuan dari kebijakan ini adalah agar memaksa warga-warga Tionghoa yang miskin
14
meninggalkan kota dan mempertahankan keberadaan warga kaya yang lebih mendatangkan keuntungan. Sejak akhir 1739 dan awal 1740 telah beredar keributan dan perlawanan yang dimulai dan diikuti oleh ketidakpuasam dan kecemasan di kalangan Tionghoa sekitar Batavia. Pada 25 Juli 1740 dikeluarkan resolusi yang memerintahkan bahwa semua orang Tionghoa yang mencurigakan harus ditangkap dan diperiksa tanpa kecuali. M ereka yang tidak memiliki penghasilan atau menganggur, harus dipulangkan ke Tiongkok atau dibuang ke Sri Lanka. Resolusi ini terbukti memberikan dampak buruk bagi Batavia. Selama beberapa hari berbagai jenis bahan makanan sukar didapat, kebingungan terjadi dimanamana. Yang menjadi permasalahan adalah pelaksanaan yang buruk dari resolusi itu sendiri, karena tidak ada ketentuan pasti mengenai "orang Tionghoa yang mencurigakan" sehingga banyak terjadi salah tangkap. Sejak saat itu banyak orang Tionghoa yang bersembunyi, dan perekonomian sontak terhambat. Kapalkapal tidak ada yang membawa beras. Ketegangan semakin memuncak, terutama beredar rumor bahwa orang Belanda yang mengirim orang-orang Tionghoa yang ditawan ke Sri Lanka untuk dipekerjakan, ternyata membuang orang-orang Tionghoa itu di tengah laut. Namun ketegangan dan keributan yang terjadi tidak segera ditindak oleh kaum VOC, malah mereka cenderung meremehkan ancaman yang ada. Di pihak kolonial sendiri, situasi di Heeren XVII (dewan VOC) cenderung memanas akibat perselisihan antara gubernur jenderal Adriaan Valckenier dan wakil gubernur Baron Willem von Imhoff.
15
Pada akhir September 1740, keadaan semakin gawat. Tanggal 26 September 1740, gubernur jenderal Adriaan Valckenier memanggil dewan Hindia untuk mengadakan sidang darurat. Ia memberi perintah pada anggota dewan, wakil gubernur van Imhoff dan van Aarden untuk bertindak. Pada tanggal 7 Oktober, ketika sekelompok orang Tionghoa yang terdiri dari ratusan orang melawan dan merebut posisi kompeni Belanda di M eester Cornelis dan Tanah Abang berhasil membunuh 50 serdadu kompeni, von Imhoff melakukan serangan. Jam malam diberlakukan secara ketat. Peratura mengharuskan setiap penerangan dimatikan pada malam hari, dan tidak ada yang boleh keluar rumah setelah gelap. Hal ini mengakibatkan putusnya komunikasi dan koordinasi antara orang-orang Tionghoa, sehingga mencegah penyebaran informasi.
2.2.4
Pembantaian Massal Pada tanggal 9 Oktober, terjadi kebakaran beberapa warung Tionghoa di
kompleks pemukiman Tionghoa di Kali Besar Oost. Hal ini oleh orang-orang Belanda diartikan sebagai tanda dimulainya pemberontakan orang Tionghoa. Kerusuhan pun terjadi. Dengan dibantu orang-orang Eropa lainnya serta kerumunan yang tadi, mereka menyerbu rumah-rumah orang Tionghoa serta membunuh isinya tanpa peduli laki-laki, perempuan, tua atau muda, serta menjarah segala isinya. Banjir darah terjadi dimana-mana yang kemudian menimbulkan nama-nama seperti Angke di Batavia yang berarti “kali merah” karena warna sungai itu berubah menjadi merah karena darah orang-orang Tionghoa yang terbunuh.
16
M ereka yang berusaha kabur melalui jalan belakang dihadang dengan serangan senapan dan meriam yang ditempatkan di tepi kanal. Tembakan yang bertubi-tubi menyebabkan terbakarnya perumahan Tionghoa. Seperti telah diantisipasi sebelumnya, beberapa orang Tionghoa yang terjebak mencoba melarikan diri namun disambut tembakan. M ereka yang putus asa, memilih gantung diri ataupun melompat ke dalam kobaran api. Lainnya dibunuh saat berusaha berenang menyeberangi kanal kota sebelah timur. Hari berikutnya, pembantaian ini tidak mereda. Setelah dikeluarkan keputusan untuk memindahkan para tahanan Tionghoa dan orang-orang yang perlu perawatan dari penjara VOC ke rumah sakit Tionghoa. Saksi mata menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa di rumah sakit diseret keluar dan dibunuh, banyak yang digantung di alun-alun stadhuis
yang kini menjadi
M useum Fatahillah. Pembantaian ini berlanjut terus, bahkan mereka yang berhasil lolos terus diburu. M ereka yang ditemukan sedang bersembunyi, dibunuh dengan kejam. Pembantian tidak dihentikan sampai tanggal 22 Oktober 1740, dua minggu setelah pembantaian dimulai. Selanjutnya di dalam laporan utusan VOC yang dikirim ke Tiongkok, dinyatakan bahwa setelah kejadian itu, seluruh orang Tionghoa yang tinggal di dalam tembok kota telah disapu bersih. M enurut laporan, jumlah yang meninggal dunia mencapai 10,000 orang, termasuk 500 tahanan dan pasien. Sebanyak 500 orang mengalami luka parah, dan 700 rumah dirusak dan dijarah. Laporan tersebut menyatakan bahwa orangorang Belanda maupun Eropa lainnya baik militer maupun sipil, bersama-sama dengan pasukan-pasukan pribumi, melakukan pembantaian dengan kejam.
17
M eskipun didesas-desuskan bahwa orang-orang Tionghoa telah menimbun senjata dan mesiu di pinggiran kota dan menggalang persatuan dengan kaum pemberontak, tetapi kenyataannya mereka sama sekali tidak bisa menghadapi pasukan Belanda.
Suasana pembantaian Tionghoa di Batavia Gambar 2.5
2.2.5
Aftermath Setelah pembantaian tersebut, terjadi kegemparan di kalangan orang
Belanda, terutama dewan Hindia. Gubernur Adriaan Valckenier dituduh sebagai pihak yang bertanggung jawab. Tuduh menuduh menjadi membingungkan dan banyak dokumen yang menyangkut peristiwa ini yang sengaja dimusnahkan dan sebagian hilang di laut.
18
Peristiwa ini menimbulkan kerugian besar bukan hanya bagi orang-orang Tionghoa yang menjadi korban, namun juga menghancurkan perekonomian Batavia. Sebuah kondisi yang mutual yang telah susah payah dibangun oleh J.P. Coen hilang begitu saja. Setelah kejadian itu, mereka yang selamat berdiam di rumah dan tidak mau melakukan apa-apa, dan dengan sendirinya membuat perekonomian merosot. Pada tanggal 16 Desember 1740, sidang mengajukan mosi tidak percaya kepada Adrian Valckenier dan ia mengajukan pengunduran diri. Pada 1744, Valckenier berangkat kembali ke Belanda namun ia sakit sehingga diturunkan di Capetown. Kasusnya sendiri ditangguhkan karena proses yang berbelit-belit, dan ia meninggal tahun 1751 sebelum sempat ada yang mempelajari pembelaannya. Sekalipun orang-orang Belanda memiliki politik pecah belah dan manipulasi yang licin, anjuran untuk membasmi sebuah kelompok etnis tetaplah merupakan perbuatan biadab. Tuduhan ini adalah tuduhan pokok yang ditujukan pada Valckenier. Setelah Valckenier dipanggil pulang tahun 1741, jabatan Gubernur Jendral untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens, sebelum diganti oleh Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743 – 1750), yang adalah orang Jerman. M asalah pembantaian etnis Tionghoa yang sangat mencoreng wajah Belanda, berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang begitu saja. Setelah kejadian tersebut terjadi kegemparan di kalangan orang-orang Belanda terutama para anggota Dewan Hindia yang sangat terkejut dengan apa yang terjadi. M ereka juga merasa kuatir akan pembalasan yang datang bukan saja dari etnis Tionghoa yang ada di Batavia, tetapi juga dari pemerintah
19
Tiongkok. Untuk mengantisipasinya mereka menulis surat kepada Kaisar Tiongkok, meminta pengertiannya atas tindakan mereka terhadap “banditbandit” Tionghoa yang telah mengganggu ketentraman penduduk Batavia, walaupun diakuinya bahwa banyak orang Tionghoa yang tidak bersalah telah menjadi korban. Jika ada titik terang yang bisa dilihat dari peristiwa memilukan ini, itu adalah persatuan para korban pembantaian dengan penduduk Nusantara untuk bahu membahu melawan penjajahan. Banyak korban selamat yang berhasil melarikan diri bergabung dengan kaum perlawanan di daerah lain. Tercatat orang-orang Tionghoa dan pribumi Jawa menyatukan kekuatan untuk menghadapi VOC di berbagai daerah di Jawa. M engenai korban pembantaian sendiri, di pihak VOC mulai memberlakukan pengawasan dan tekanan terhadap orang-orang Tionghoa. Setelah pambantian tahun 1740, para warga Tionghoa dikumpulkan dan ditempatkan di luar tembok kota, yang sekarang bernama Glodok, agar pemerintah dapat mengawasi mereka. Setelah pengampunan umum itu masih tersisa 3,431 orang Tionghoa di Batavia, termasuk 1,442 pedagang, 935 tukang kebun dan pengolah tanah, 728 pekerja di perkebunan tebu dan perkayuan, serta 236 orang tukang kayu dan batu. Yang
patut
diperhatikan
adalah
pemberlakuan
passenstelsel
dan
wijnkelstelsel yang sangat mengekang gerak-gerik warga Tionghoa, dan mengkotakkan penduduk Tionghoa. Sistem ini merupakan sistem pengawasan gerak-gerik anak negeri dan bangsa-bangsa asing Timur yang dipersamakan
20
dengan anak negeri, adalah sistem yang sangat rasis dan sama seperti yang diberlakukan di Afrika Selatan, yakni apartheid, mengingat Afrika Selatan juga sempat merupakan koloni Belanda. Inilah yang menjadi cikal bakal diskriminasi ras antara Tionghoa dan pribumi yang berlangsung hingga kini, seperti yang akan dijelaskan di sub-bab berikut.
2.2.6
Politik Kolonial Belanda: Devide et Impera, Wijkenstelsel, Passenstelsel Kedudukan VOC sebagai kantor dagang Belanda yang memonopoli
perdagangan di wilayah Asia memiliki tanggung jawab dan ancaman besar. Supremasi diatas setiap koloni dan wilayah kekuasaannya harus ditegakkan. Visi dan misi dari VOC sebagai pemilik hak dagang dan monopoli tunggal di daerah Hindia Belanda harus memiliki sebuah taktik yang ampuh untuk menjaga kekuasaan mereka. Sekalipun VOC adalah sebuah kongsi dagang, mereka diberi hak penuh oleh pemerintah kerajaan Belanda untuk memiliki armada sendiri dan menyatakan
perang.
Sulitnya
hubungan
komunikasi
pada
jaman
itu
memungkinkan pemberian hak demikian. Untuk itu, VOC melakukan metode adu domba yang licik untuk memecah belah persatuan di wilayah koloninya dan mempermudah manipulasi politik di daerah itu. Untuk menghadapi ancaman pemberontakan yang potensial, maupun menghambat perlawanan dari rakyat setempat, VOC memiliki taktik ampuh. Devide et Impera. Pecah belah dan taklukkan. Untuk menghadapi koloni yang terdiri dari masyarakat dari berbagai latar belakang, diciptakanlah sistem masyarakat rasial dan pembagian kasta menurut ras. Ini adalah tipikal
21
masyarakat kolonial Barat, dalam hal ini Hindia Belanda. Sistem ini membagi masyarakat menjadi tiga golongan: Eropa (kulit putih) sebagai elit politik, sosial dan ekonomi dalam masyarakat kolonial. Sementara itu golongan kedua berada di tangan orang-orang Timur Asing (Tionghoa, Arab, India, dan sebagainya) sebagai golongan menengah. Terakhir adalah golongan bawah sebagai produsen hasil bumi atau elit tradisional (feodal). Pembagian masyarakat sedemikian rupa, tidak hanya melalui segi peran sosial budaya dan ras, namun juga melalui pertimbangan sisi agama. Privilege diberikan kepada kaum tertentu, yang tentu saja pada jangka panjang menimbulkan kecemburuan sosial. Tindakan seperti ini bukannya tanpa sebab. Pembagian masyarakat dan sistem pengkotakan ini akan mempermudah dalam meniupkan perpecahan dan menghindarkan persatuan dalam tubuh setiap golongan yang ada. Dengan demikian, akan lebih mudah dalam memanipulasi dan menekan perlawanan yang ada. Hal ini harus dilakukan untuk menjamin tetap berkuasanya pihak kolonial di daerah koloninya, sebuah taktik ampuh yang berlangsung berabad-abad. Kebijakan-kebijakan yang muncul pun memiliki sifat pragmatis yang kejam. Sejak peristiwa pembantaian itu, Belanda melakukan dua macam tekanan pada golongan Tionghoa di Indonesia dan golongan pribumi. Pramoedya Ananta Toer (1998) menulis: “Dan bagaimana tekanan pemerintah Hindia Belanda ini atas Hoakiau dapat diterakan dalam beberapa peristiwa penting:
22
1. Pembunuhan besar-besaran Hoakiau di Batavia tahun 1740 di bawah gubernur Valckenier, dimana hampir seluruh Hoakiau di Batavia sebanyak 10,000 ditumpas. 2. Penunjukan sebuah tempat tinggal tetap di seberang barat kali Citarum oleh pemerintah Hindia Belanda setelah pembunuhan Hoakiau tahun 1740 itu, atas dasar kenyataan bahwa tempat tersebut berada onder het berijk van ons geschut atau “berada dalam jarak tembak meriam kita”. 3. Pada tahun 1764 di bawah gubernur van der Parra, Hoakiau dilarang tinggal dan berusaha di Priangan 4. Setelah jatuhnya VOC pada 31 Desember 1779, banyak diantara hak milik dan perdagangan Hoakiau disita oleh Bataafsche Republik. Mereka yang menderita aniaya ini ialah yang dianggap memperlihatkan sikap politik yang tidak disetujui VOC. Dan apakah sikap itu riil atau tidak, sebenarnya hanya terletak pada tafsiran para penguasa belaka. 5. Khusus di lapangan perdagangan, pada tahun 1804 dikeluarkan larangan bagi Hoakiau-Hoakiau dan orang-orang non Kristen membeli langsung barang-barang yang didatangkan ke Batavia dari Eropa, Amerika, atau Afrika. 6. Dikeluarkannya passenstelsel yang mewajibkan setiap orang yang bepergian mempunyai pas (passenstelsel ini ditimbulkan lagi di masa
kemerdekaan
sejak
tahun
1958),
sungguh-sungguh
23
menyulitkan usaha perdagangan dan lebih menyulitkan lagi bagi Hoakiau daripada penduduk pribumi Indonesia, karena bukan saja passenstelsel
itu
melumpuhkan
perdagangan
disebabkan
mengurangi mobilita, tetapi dalam praktek ternyata stelsel ini memang ditujukan pada Hoakiau untuk dapat memeras duit dari kantongnya, baik oleh para penguasa setempat maupun oleh para pejabat. 7. Pada tahun 1835 Hindia Belanda menjalankan wijkenstelsel dimana orang-orang Hoakiau dipusatkan dan dikumpulkan di satu tempat, menurut model ghetto di Eropa Barat. Benar sekali pada tahun 1866 wijkenstelsel ini diperlemah, yaitu bahwa Hoakiau boleh tinggal di tempat-tempat yang dikehendakinya dimana tidak ada ghetto yang disediakan, tetapi mereka tidak boleh berdagang! Dan dengan demikian kedudukan sosial mereka sebagai golongan menengah menjadi pasti setelah pada tahun 1879 Hindia Belanda dalam UU Agraria yang menentukan bahwa Hoakiau tidak diperkenankan menjadi petani."
Akibat buruk dari wijkenstelsel itu sendiri sangat fatal, karena memisahkan orang-orang Tionghoa dari orang-orang Indonesia, menghalangi adanya persatuan dan asimilasi serta integrasi dengan rakyat Indonesia, membatalkan mereka yang telah menjadi rakyat Indonesia. Jelaslah bahwa kebijakan itu dibuat untuk memecah belah dan membedakan, karena waktu itu belum mengenal
24
nasionalisme. Rencana jangka panjang untuk menciptakan kontradiksikontradiksi sosial di kemudian hari, yang menjaga agar kekuatan-kekuatan dalam masyarakat dapat pukul memukul satu dengan yang lain. Wijkenstelsel memudahkan pengawasan dan opresi secara langsung maupun secara provokasi. Hal ini bisa dibenarkan dengan perkembangan sikap anti Tionghoa yang tanpa sadar disuburkan secara berencana, dan menjadi akut pada tahun-tahun berikutnya hingga kini. Akibat yang ditimbulkan terhadap warga Tionghoa adalah perasaan terkungkung dan waswas terhadap dunia luar dan masyarakat di luar stelsel itu, yang menjadi pemicu sikap berkelompok dan hidup dalam seklusi sosial, dan pada akhirnya sampai pada hari ini masih menciptakan mentalitas dan kepribadian menutup diri. M ereka yang telah membaur akhirnya kehilangan faktor asimilasi itu dan akhirnya menjadi Di sisi lain, sikap ini juga menimbulkan gap, jarak, dan perpecahan dengan elemen masyarakat Indonesia lainnya yang menilai sifat warga Tionghoa ini sebagai eksklusifitas belaka. Bisa dilihat bahwa kebijakan pragmatis Belanda yang diterapkan pada jaman kolonial memiliki hasil yang terlalu efektif.
2.3 Hasil Angket Penulis melakukan sejumlah angket terhadap 100 responden dengan ragam usia 1730 tahun untuk mengetahui pengetahuan masyarakat terhadap diskriminasi rasial dan peristiwa pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740. Hasilnya adalah: 1. 54 orang (54%) berusia sekitar 21-25 tahun, sebanyak 41 orang (41%) berusia sekitar 17-20 tahun, dan sisanya berusia 25-30 tahun.
25
2. Dari 100 responden, sebanyak 94 orang (94%) sadar akan adanya diskriminasi rasial di Indonesia sedangkan 3 orang (3%) tidak menyadarinya. 3. Dari 100 responden, hanya 5 orang saja (5%) yang mengetahui mengenai peristiwa pembantaian di Batavia tahun 1740. 4. Dari 100 responden, sebanyak 94 orang (94%) tidak menyetujui diskriminasi rasial di Indonesia. 5. Dari 100 responden, sebanyak 88 orang (88%) menyukai tontonan animasi, dengan genre yang sering ditonton berupa komedi (80%), adventure (72%), drama (49%), dan dokumenter (20%)
2.4 Target Audiens 2.4.1 Target Primer Berusia sekitar 17-30 tahun, unisex, tinggal di Jakarta dan sekitarnya, dan memiliki pengetahuan dan pendidikan minimal perguruan tinggi, serta memiliki mata pencaharian di dunia desain, seni, budaya, dan film. Tingkat kemampuan ekonomi B hingga A. 2.4.2 Target S ekunder Berusia sekitar 17-30 tahun, unisex,
bermata pencaharian seputar dunia
pendidikan, sejarah, budaya, atau jurnalistik. Warga negara Indonesia atau asing yang bertempat tinggal di Indonesia dan memiliki keterkaitan dengan dunia pendidikan, kebudayaan atau pun jurnalistik di Indonesia. Tingkat kemampuan ekonomi B hingga A.
26
2.5 Faktor Pendukung dan Penghambat 2.5.1
Faktor Pendukung 1. Isu ras dan sosial memiliki kekuatan kontroversi yang menggelitik, dan sangat menimbulkan ketertarikan bagi hampir semua kalangan 2. Sampai saat tulisan ini dibuat, film animasi dokumenter sendiri masih belum ada - atau jumlahnya sangat terbatas - di Indonesia. 3. Animasi dokumenter memiliki kelebihan dalam kreativitas penyampaian informasi dibandingkan dengan dokumenter konvensional 4. Perkembangan teknologi internet memungkinkan penyebaran informasi dan promosi yang luas untuk media audio visual
2.5.2
Faktor Penghambat 1. Tema yang sangat sensitif bisa memicu kontroversi yang lebih besar dan berujung pada pelarangan 2. Dari sisi komersil, film dokumenter tidak memiliki nilai jual setinggi genre lainnya 3. Banyak alternatif tontonan dan hiburan lain yang lebih dikenal dapat merebut perhatian target market 4. Adanya stereotype yang telah melekat di masyarakat bahwa karya animasi dalam negeri memiliki kualitas yang buruk dapat mengurangi minat terhadap film dokumenter animasi ini