BAB 2 DATA DAN ANALISA
2.1 Sumber data Data dan Informasi yang mendukung proyek tugas akhir ini diperoleh dari berbagai metode dan sumber antara lain : 1. Literatur : Data yang didapat berasal dari buku – buku yang berhubungan dengan Tangerang, Sejarah etnis Tionghoa, pecinan dan beberapa artikel dari internet 2. Kuisioner : kuisioner ini akan berguna bagi penulis untuk mengetahui pandangan umum terhadap kawasan pasar lama dan etnis tionghoa sendiri 3. Survei Lapangan : Penulis juga melakukan survey langsung ke kawasan Pasar Lama untuk lebih mengenal daerah tersebut.
2.1.1 Refrensi Buku “Sejarah Terbentuknya Kota Tangerang” Buku yang penulis dapat dari perpustakaan daerah Tangerang ini berisi tentang sejarah terbentuknya kota Tangerang, lalu cerita bagaimana Tangerang mendapat sebutan kota benteng hingga ke sistem pemerintahan di Tangerang yang berjalan hingga sekarang. Informasi dari buku ini sebenarnya tidak begitu banyak, tetapi dengan buku ini bisa mendapat gambaran awal mengenai bagaimana Kota Tangerang pada awal terbentuknya . ( Pemerintahan Kota Tangerang, 2007 )
2.1.2 Refrensi Buku “Peranakan Tionghoa di Nusantara” Buku ini membahas secara mendalam tentang peranakan tionghoa di Indonesia. Bagaimana kehidupan peranakan tionghoa di berbagai daerah di Indonesia diceritakan dengan bahasa yang ringan tetapi tetap memiliki informasi yang penting dan berguna.
Disini penulis terkhusus mengambil bagian di Bab 2 yang lebih menceritakan tentang Cina Benteng, yaitu peranakan tionghoa di Tangerang. Di Bab tersebut diceritakan lebih mendalam tentang budaya dan kehidupan orang Cina Benteng. ( Iwan Santosa. 2012 ) 2.1.3 Literatur Internet 1. http://neglasaritangerang.blogspot.com/ Di blog ini terdapat informasi mengenai profil Kota Tangerang, Sejarah Tangerang, berbagai potensi daerah dari Kota Tangerang. Yang terpenting di blog ini juga menyajikan berbagai informasi mengenai peninggalan etnis tionghoa pada masa silam yang kini dapat ditemukan di Kawasan Pasar Lama. 2. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/34159/ Di pembahasan grup ini terdapat penjelasan lebih detail mengenai beberapa peninggalan etnis tionghoa di Tangerang, yaitu di Kawasan Pasar Lama 3. http://www.milkyroot.com/2011/02/pasar-lama-tangerang.html Pada situs ini penjelasan lebih terfokus pada kedatangan etnis tionghoa ke Indonesia – Tangerang, hingga pada sejarah dari kawasan Pasar Lama dan kehidupan cina benteng, yang merupakan sebutan etnis tionghoa yang tinggal di kawasan Pasar lama 4. http://www.pecinan.net/ Pada situs ini penjelasan lebih berkisar pada tentang pengertian pecinan, perkembangan dan penyebaran pecinan di Indonesia, sayangnya di situs ini pecinan di daerah Tangerang sama sekali tidak ada informasinya.
2.1.4 Metode Kuisioner Kuisioner ini berguna untuk mendapatkan data dari masyarakat umum sehingga penulis mengetahui pandangan umum terhadap publikasi dari kawasan Pasar Lama ini. Penulis membagikan kuisioner langsung di kawasan Pasar Lama sekaligus melakukan survey lapangan, dan penulis berhasil mendapatkan 100 responden dari pengunjung pasar tradisional di Pasar Lama dengan kisaran umur , 19 – 26 tahun dan 60 % yang menjadi responden adalah laki – laki. Nantinya hasil responden ini akan dijadikan sebagai data untuk membatu penilitian dari penulis. Pertanyaan yang diajukan di kuisioner tersebut mengacu pada sebagaimana kenalnya pengunjung pasar terhadap kawasan Pasar Lama, apakah mereka mengenal tempat – tempat bersejarah , atau tempat – tempat yang wajib dikunjungi jika pergi ke Pasar Lama. Hasilnya ternyata sebanyak 40 orang hanya mengetahui pasar tersebut dan Keleteng Boen Tek Bio yang memang sudah sangat terkenal di Pasar tersebut. Lalu dengan hasil responden sisanya, mereka berhasil memberikan informasi baru mengenai beberapa tempat yang bisa dikunjungi bila ke Pasar Lama. Lalu penulis juga memasukkan pertanyaan perihal ketertarikan orang terhadap buku publikasi yang akan penulis buat. Hasilnya adalah 52 orang tidak tertarik dengan buku publikasi ini. Walapun untuk data ini hasilnya agak mengecewakan tapi ini membuat penulis mendapat sebuah tujuan tambahan dalam membuat buku publikasi ini, yaitu agar dengan buku banyak tempat menarik di Pasar Lama yang dapat diberitahu ke masyarakat luas, dan mengubah pandangan terhadap orang – orang yang kurang tertarik terhadap buku ini.
2.1.5 Survei Lapangan Penulis merasakan bahwa penting bagi penulis untuk merasakan langsung suasana di Kawasan Pasar Lama. Maka dari itu penulis juga melakukan sebuah survei lapangan. Penulis mengunjungi berbagai tempat di Kawasan Pasar Lama , seperti Klenteng tertua yaitu Boen Tek Bio,
Museum Benteng Heritage, dan merasakan berbagai kuliner di Pasar Lama. Penulis juga berjalan – jalan di sekitar rumah penduduk yang berhubungan langsung dengan pasar tradisional. Bagaimana rumah – rumah penduduk tersebut masih memiliki arsitektur tionghoa pada zaman dulu dan sangat menarik untuk dipelajari.
2.2 Sekilas Tentang Pasar Lama Pasar Lama merupakan sebuah kawasan pecinan yang terletak di Kota Tangerang, Letaknya tepat bersebelahan dengan sungai Cisadane dan jalan yang identik dengan Pasar Lama adalah Jalan Kisamaun. Jalan ini adalah pintu masuk jika ingin mulai menjelajah Pasar Lama itu sendiri.
Gambar 2.2.1 Menuju Jalan Kisamaun
Dari Jalan Kisamaun aka ada jalan langsung masuk menuju Pasar Tradisional yang membuat kawasan ini memiliki nama Pasar Lama. Di Pasar ini dapat ditemukan banyak hal. Tidak hanya kebutuhan pokok dan berbagai makanan saja yang dapat dilihat tapi ada juga Kelenteng tertua dan banyak rumah penduduk yang berhubungan langsung dengan pasar dan memiliki arsitektur cina pada zaman dahulu.
Gambar 2.2.2 Pasar Tradisional
2.3 Sejarah Masuknya Etnis Tionghoa ke Tangerang Dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul "Tina Layang Parahyang" (Catatan dari Parahyangan) disebut tentang kedatangan orang Tionghoa ke daerah Tangerang. Kitab tersebut menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga pada tahun 1407. Pada waktu itu pusat pemerintahan ada di sekitar pusat kota sekarang, yang diperintah oleh Sanghyang Anggalarang selaku wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan Parahyangan. Perahu rombongan Halung terdampar dan mengalami kerusakan juga kehabisan perbekalan.Padahal daerah tujuan yang semula ingin dikunjungi adalah Jayakarta. Rombongan Halung ini membawa tujuh kepala keluarga dan di antaranya terdapat sembilan orang gadis dan anak-anak kecil. Mereka kemudian menghadap Sanghyang Anggalarang untuk minta pertolongan. karena gadisgadis yang ikut dalam rombongan itu cantik-cantik, para pegawai Anggalarang jatuh cinta dan akhirnya kesembilan gadis itu dipersuntingnya. Sebagai kompensasinya, rombongan Halung diberi sebidang tanah pantai utara Jawa di sebelah timur sungai Cisadane, yang sekarang disebut Kampung Teluk Naga.
Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. VOC yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-
orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir) Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur sungai Cisadane
2.4 Asal Muasal Masyarakat Tangerang Jika dilihat dari hasil sensus penduduk tahun 1905 dan 1930 terlihat bahwa penduduk Tangerang pada waktu itu sudah terdiri dari berbagai etnik. Namun demikian golongan etnik mana yang menjajakkan kaki terlebih dahulu di bumi Tangerang belum diketahui. Secara garis besar hanya dapat digambarkan komposisi penduduk di Tangerang pada awalnya, yaitu terdiri atas etnik Sunda, Jawa, Betawi, Cina, Arab dan Eropa. Pada masa itu kelompok etnik Sunda sebagian besar menempati daerah Tangerang Selatan dan Tangerang Tengah yang meliputi wilayah kecamatan Tangerang, Cikupa, Serpong, Curug, Tigaraksa dan Legok. Menurut kronik sejarah Banten, kedatangan orang Sunda di Tangerang berawal dari keikut sertaan orang-orang Priangan menyerbu Batavia bersama pasukan Mataram, namun setelah usai perang mereka tidak kembali kedaerahnya melainkan minta izin tetap tinggal di Tangerang. Sampai sekarang mereka dapat diidentifikasikan sebagai orang Sunda, selain mereka tetap menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Mereka menyebut kampung dimana mereka tinggal dengan nama Sunda seperti Kampung Priangan (sekarang Priang), Lengkong Sumedang dan lain-lainnya. Kelompok Etnik Cina diperkirakan datang ke Tangerang, bersamaan dengan Belanda yang menduduki dan membangun Batavia. Pembangunan Kota Batavia pada waktu itu membutuhkan sejumlah tenaga tukang sehingga perlu didatangkan imigran-imigran Cina ke Batavia. Selain itu ada pula orang-orang Cina yang telah tinggal di sini sebelum Belanda datang. Mereka hidup sebagai
tukang pembuat arak. Arak buatan orang Cina ini sangat disukai awak kapal Belanda. Di sisi lain Kelompok Etnik Cina bukan hanya memberi sokongan tenaga kerja tetapi mereka juga membantu dalam keuangan pajak. Gelombang besar kedatangan kelompok ini terjadi pada pertengahan abad 18 sehingga berakibat banyak pengangguran dan terjadi gangguan keamanan. Pada tahun 1740 timbul pemberontakan Cina di Batavia. Setelah kejadian itu, kelompok etnik ini dilarang tinggal di kota, Dan Etnik Cina terpaksa harus tinggal dalam suatu perkampungan agar mudah diawasi dan dikontrol.
2.5 Asal – usul Tangerang disebut Kota “Benteng” Pada awalnya ialah dimulai pada tanggal 1 Juni 1660 sesuai dengan arsip VOC oleh F. de Haan, bahwa Sultan Banten telah membangun kerajaan besar di sebelah Barat sungai Untung Jawa. Untuk mengisi wilayah itu Sultan Banten mindahkan enam ribu penduduk dan mengangkat Radin Sena Patij dan Kyai Demang sebgai penguasa di daerah itu yang tertulis pada Dag Register tertanggal 20 Desember 1668. Lalu karena dicurigai akan merebut kekuasaan maka mereka dipecat dan digantikan, karena rasa sakit hatinya Kyai Demang mencoba mengadu domba Banten dengan VOC. Namun usahanya gagal dan ia terbunuh di Kademangan. Dalam Dag Register tanggal 4 Maret 1680 dijelaskan bahwa penguasa Tangerang pada masa itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya meminta perlindungan Kompeni dan ia beserta 143 tentaranya diberikan tempat di perbatasan pagar kompeni. Pada pertempuran melawan Banten ia berhasil memukul mundur pasukan Banten, dam atas jasanya itu ia di beri gelar kehormatan lalu semenjak itu pula Tangerang menjadi kekuasaan Kompeni sesuai dengan perjanjian yang ditanda tangani pada tanggal 17 April 1684. Banten kehilangan hak dalam wilayah Tangerang dan wilayah Untung Jawa atau Tangerang menjadi milik Kompeni. Lalu Kompeni mendirikan tembok dan juga pos-pos keamanan guna mencegah perlawanan dari Banten, tembok ini terbuat dari batu bata yang didapat dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I. Ketebalan dinding ini adalah 20 kaki atau lebih. Setelah selesai
dibangun pos dan tembok itu di isi 60 orang eropa bserta 30 orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu Kompeni. Orang-orang pribumi menyebut bangunan itu dengan sebutan “benteng”, sejak saat itu benteng tersebut
merupakan
tempat
pertahanan
Kompeni
dalam
menghadapi
pemberontakan.Sejak saat itu pula Pusat Kota Tangerang terkenal dengan sebutan “Benteng”. 2.6 Sejarah Cina Benteng Cina Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotype orang Tionghoa berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya paspasan atau malah miskin. Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin meski sudah jarang yang jago bela diri. Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang, sebagian besar Cina Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan, bahkan ada juga pengayuh becak. Sejarah Tionghoa Tangerang sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Tionghoa di sana. Struktur tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang. Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pecinan. Mengenai asal-usul kata Cina Benteng, tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang. Pada saat itu banyak orang Tionghoa Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makasar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah “Cina Benteng”. Kehidupan masyarakat Cina Benteng memang keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan. Yang unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah
tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa Indonesia meskipun hidup kesehariannya juga banyak yang petani miskin. Logat Cina Benteng memang khas tidak selayaknya orang Cina lainnya. Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu. Meski demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Ini terlihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah satunya tampak pada keberadaan “Meja Abu” di setiap rumah orang Tionghoa Tangerang. Tidak usah dipertentangkan. Realitasnya, masyarakat Cina Benteng memang sudah berakulturasi dengan lingkungan lokal, tapi mereka juga masih memegang adat istiadat kepercayaan nenek moyang dan leluhur mereka. Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan), dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan). Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga Cina Benteng pada saat bertemu dengan orang lain. Yang khas dari masyarakat Cina Benteng adalah pakaian pengantin yang merupakan campuran budaya Cina dan Betawi. Pakaian pengantin laki-laki merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Cina-Betawi yang tampak pada kembang goyang. Secara ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup paspasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil. Fenomena Cina Benteng merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina Benteng seakan
menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi. Fenomena Cina Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuktikan persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politik. Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng.
2.7 Target Sasaran Geografi Daerah Domisili : Jabodetabek, khususnya Kota Tangerang.
Demografi Ukura Keluarga : Keluarga atau Individu Usia
: 20 – 35 Tahun
Gender
: Lakir – laki dan Perempuan
Pendapatan
: Kelas Sosial B,C
Pendidikan
: SMP – Sarjana
Kewarganegaraan
: Warga Negara Indonesia
Psikografi Kelas Sosial
: Kelas sosial menengah hingga kelas sosial atas
Gaya Hidup
: -Menyukai Kegiatan Wisata -Tertarik dengan hal – hal yang berbau sejarah dan budaya - Memiliki Rasa ingin tahu yang tinggi - Tertarik dengan fotografi - Suka menjelajah tempat baru
2.8 Analisis S.W.O.T Strength ( kekuatan ) : - Belum ada Buku yang membahas Kawasan Pasar Lama secara mendetail - Buku ini dilengkapi dengan fotografi yang mendukung - Buku ini dapat dijadikan promosi wisata di Daerah Pasar lama Weakness ( kelemahan ): - Kawasan Pasar Lama agak sulit untuk di akses - Tempatnya terkesan kotor karena memang digunakan untuk pasar saat pagi hari.
Oppurtunities ( kesempatan): - Belum ada kompetitor buku lokal yang mengangkat tentang Kawasan Pasar Lama
Threatness (ancaman) : - Terdapat buku lain yang menyajikan lebih banyak tempat menarik untuk dikunjungi - Kurangnya perhatian umum terhadap Kawasan Pasar Lama yang merupakan saksi sejarah dari terbentuknya Kota Tangerang