18
BAB 2 DATA DAN ANALISA
2.1
Data
2.1.1
Sumber Data Untuk mencapai hasil yang maksimal dari kampanye ini maka diperlukan data yang mencukupi dan akurat, maka diperoleh data-data pendukung kampanye ini dari: -
Internet
-
Buku dan Literatur
-
Polling dalam forum masyarakat Indonesia
-
Survey kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
2.1.2
Televisi Sebagai Media Komunikasi Tidak dapat dipungkiri, televisi merupakan satu-satunya media komunikasi yang paling mengalami perkembangan signifikan. Dengan kemampuan televisi yang dapat menampilkan media audio dan visual secara bersamaan, televisi mampu membuat para penontonnya untuk dapat betah duduk berjam-jam untuk menyaksikan tayangan kesayangan mereka. Mengapa? Karena kekuatan televisi dapat membuat penontonnya seolah-olah melihat langsung apa yang terjadi di tempat
tersebut.
Contohnya
adalah
ketika
pasukan
Amerika
Serikat
membombardir Irak dengan peluru kendalinya, warga dunia menjadi gempar.
19
Padahal, dibandingkan dengan Perang Dunia, serangan itu tergolong kecil sifatnya, baik skala maupun kualitasnya. Itu semua disebabkan karena pada waktu Perang Dunia belum ada media bernama televisi, sehingga pemberitaan hanya berdasarkan gambar dan tulisan yang ada di koran, ataupun hanya mendengarkan dari radio. Dengan adanya televisi sekarang ini, penyebaran media semakin berkembang, bahkan melampaui internet. Mengapa melampaui internet? Karena internet dapat bergantung dengan jaringan network lain, sedangkan sekarang ini televisi merupakan suatu “barang wajib punya” di seluruh pelosok nusantara. Sehingga tidak perlu diragukan lagi, kemampuan media televisi menghadirkan aneka program langsung ke ruang tamu keluarga atau bahkan ke kamar tidur membuat banyak penontonnya (terutama anak-anak) betah duduk berjam-jam di depan televisi untuk menyaksikan acara favorit mereka, terlepas apakah tayangan tersebut bermanfaat bagi mereka, atau sebaliknya malah menyesatkan dan merusak moral. 2.1.3
Pengaruh Televisi terhadap Kehidupan Anak Anak-anak merupakan salah satu konsumen media televisi yang populasinya besar sekali, sehingga tidak salah kalau para stasiun acara TV menempatkan mereka sebagai prioritas dalam penayangan. Apalagi ditinjau dari segi ekonomi, komunitas anak-anak tentu akan menguntungkan mereka. Pada umumnya, anak-anak menyukai film-film yang berbau action atau filmfilm yang menampilkan gerakan-gerakan cepat disertai oleh efek suara yang dashyat, sehingga semakin dashyat gerakan yang dilihat, semakin tinggi pula
20
tingkat keinginan anak untuk menontonnya. Namun hal ini dapat memicu perilaku agresif anak-anak. Perancangan program siaran untuk anak-anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat tingkat penalaran mereka yang sangat terbatas, namun memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar. Pada usia yang sangat rentan terhadap sesuatu yang baru, anak-anak mudah sekali terinfeksi berbagai isu, pengajaran, dan informasi yang menyesatkan. Oleh karena itu diperlukan sebuah pengendalian mutu siaran, agar anak-anak tidak menjadi korban sasaran program yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, televisi merupakan satu-satunya media yang telah mempengaruhi berjuta-juta anak di bawah pengaruhnya. Televisi telah menyebabkan ketergantungan sehingga kehadirannya seakan-akan sebagai sesuatu yang wajib. Dan juga, televisi mampu mengubah pola hidup, makan, belanja, tidur, bangun, beristirahat, berpikir, berperasaan, bahkan pola hiburan pengisi waktu. Sebagai contoh, banyak ditemui anak-anak yang menonton televisi saat jam makan malam atau sembari mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Atau ketika mereka bangun di pagi hari sebelum sekolah, mereka biasanya akan menyalakan televisi terlebih dahulu untuk melihat acara kartun yang ada. Media televisi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Doerken, 1983, sangat kuat mempengaruhi sikap dan perilaku anak-anak, misalnya, bagaimana cara berpakaian, berperasaan, berpikir, juga menyangkut kognisi, psikomotorik, dan bidang moral.
21
Sayangnya, media televisi juga mempunyai sisi negatif, yaitu lemahnya pengawasan dan sensor terhadap program dan film-film yang layak ditonton. Acara televisi sekarang ini, sudah tidak mengenal sistem pembagian segmen penonton. Sehingga sebuah film yang segmennya untuk dewasa, dapat dikonsumsi oleh anak-anak. Dapat dikatakan semua acara yang ditampilkan saat ini di televisi adalah “film keluarga.” Film-film yang bertemakan kekerasan, hidup bebas, menebarkan ketakutan atau fantasi (unrealistic programs) tentu sangat berpotensi merusak karakter anak-anak. Oleh karena itu, anak-anak perlu dilindungi dari serbuan berbagai tayangan media televisi karena tidak semua programnya layak mereka saksikan. Tayangan yang berbau brutalisme, sadisme, kekerasan, dan emosi berlebihan dapat memberikan pengaruh yang tidak baik kepada anak-anak. 2.1.4
Proses Adegan Kekerasan Tayangan Televisi Mempengaruhi Pemikiran Anak Dibawah ini adalah proses bagaimana sebuah adegan kekerasan dalam tayangan televisi mempengaruhi pemikiran anak: 1. Proses perhatian (Attention) Pada tahapan ini seorang anak mengamati peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Meskipun ada ratusan peristiwa yang dialami setiap hari, namun hanya beberapa saja yang menarik perhatian mereka. Peristiwa yang menarik perhatian mereka adalah kejadian yang mudah diingat, sederhana, menonjol, menarik, dan terjadi berulang-ulang. Tidak mengherankan
22
tayangan kekerasan atau sejenisnya yang menonjolkan agresivitas sangat menarik perhatian mereka, karena mudah diingat, apalagi jika disiarkan berulang-ulang. 2. Proses mengingat (Retention) Dari tahapan perhatian terhadap peristiwa, seorang anak akan menyimpan peristiwanya ke dalam memorinya dalam bentuk imajinasi atau lambang secara verbal sehingga menjadi ingatan (memory) yang sewaktu-waktu dapat dipanggil kembali. Dengan kata lain, gambaran membanting atau memukul disimpan dalam visual imajinari, bahasa, dan suatu saat dapat dipanggil kembali. 3. Proses Reproduksi Motoris (Motoris Reproduction) Pada tahapan ini, anak menyatakan kembali pengalaman-pengalaman yang sebelumnya perseptual. Hasil ingatan tadi akan meningkat menjadi bentuk perilaku. Dengan kata lain, tayangan kekerasan yang tersimpan dalam imajinasi dinyatakan kembali sehingga menghasilkan perilaku agresif. 4. Proses Motivasional (Motivational) Suatu motivasi sangat tergantung kepada peneguhan (reinforcement) yang mendorong perilaku seorang anak ke arah pemenuhan tujuan tertentu. Perilaku akan terwujud apabila ada nilai peneguhan, misalnya, self reinforcement adalah rasa puas diri.
23
2.1.5
Akibat yang Ditimbulkan dari Tayangan Televisi yang Merusak Beberapa akibat yang ditimbulkan dari tayangan televisi yang merusak adalah: 1. Kita diajarkan untuk berpikir non logis dan irrasional. 2. Perubahan sikap akibat dari gangguan mental dan emosi tersebut. Anak akan berperilaku lebih agresif daripada biasanya, karena televisi mengajarkan itu hal yang biasa bagi dia. 3. Orang akan mendapatkan edukasi mengenai nilai moral yang salah, seperti untuk
mendapatkan
kemenangan
atau
menghasilkan
uang
harus
menghalalkan segala cara. 4. Norma-norma kehidupan mulai luntur, seperti anak yang mulai kurang ajar kepada orang yang lebih tua, karena si anak melihat hal yang sama dalam tayangan televisi. 5. Dengan norma-norma yang luntur tersebut serta salah pendidikan, maka anak berpotensi menjadi public enemy. 2.1.6
Pencegahan Tayangan Televisi yang Merusak Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh orang tua dan masyarakat agar dapat mencegah tayangan televisi merusak moral anak mereka: 1. Orang tua dapat memantau tayangan yang ditonton oleh anak-anaknya. Jika anak-anak menonton tayangan kekerasan di televisi, segera diskusikan dengan mereka dampak tayangan tersebut terhadap perkembangan mental
24
dan spiritual mereka. Penting diingat bahwa merusak mental anak-anak jauh lebih mudah ketimbang memperbaikinya. Oleh karena itu kewaspadaan sangat penting bagi para orang tua, karena orang tua adalah sosok penting dalam perkembangan anak. 2. Masyarakat harus menumbuhkan sikap kritis terhadap tayangan televisi. Artinya, berani menyatakan sikap tidak setuju dengan mematikan televisi untuk program yang tidak mendidik tanpa harus berkonfrontasi secara langsung dengan penyelenggara siaran televisi. Sebaliknya, masyarakat perlu mendukung tayangan-tayangan yang mendidik, memberikan pencerahan, memperluas wawasan, menambah pengetahuan, atau menyampaikan informasi penting. 3. Masyarakat harus tegas dalam menyatakan keberatannya terhadap tayangantayangan yang berpotensi mengacaukan sistem penalaran anak-anak dan mengganggu perkembangan emosional mereka. 4. Pemerintah dapat membatasi dan mengalihkan jam siaran untuk acara-acara yang berpotensi menimbulkan gangguan emosional anak-anak. 5. Stasiun televisi harus sadar bahwa tayangan mereka telah merusak sistem penalaran anak, dan lebih memperhatikan kebutuhan dan manfaat tayangan bagi penonton dibandingkan dengan keuntungan yang mereka dapat.
25
2.1.7
Tayangan Televisi Indonesia di Mata Masyarakat Indonesia Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap tayangan televisi di negara mereka sendiri, penulis menyebarkan polling mengenai mutu tayangan televisi di Indonesia. Polling dilakukan dalam forum komunitas terbesar di Indonesia, kaskus.us, dengan pertanyaan dan pilihan sebagai berikut: Pertanyaan: Bagaimana menurut anda kualitas tayangan televisi di Indonesia sekarang? Pilihan Jawaban: A. Jelek ah! Kebanyakan sinetron ga mutu semua..Ga ada mendidik2nya.. B. Hmm.. 50-50 Ada beberapa yang mendidik Tapi didominasi ama sinetron dan reality show palsu C. Ah masih bagus kok.. Walau ga mendidik tapi kan penonton jadi terhibur.. Berikut adalah hasil polling dari 144 orang yang mengisinya:
Gambar 1. Jumlah yang memilih pilihan A
Gambar 2. Jumlah yang memilih pilihan B
26
Gambar 3. Jumlah yang memilih pilihan C
Dari hasil polling tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa mayoritas memilih bahwa tayangan televisi di Indonesia sudah tidak bermutu dan mereka kecewa dengan tayangan televisi yang ada sekarang bahkan sampai jarang menyaksikan acara televisi. 2.1.8
Data Statistik Jumlah Kekerasan dalam Tingkat Usia Anak Kecil Berikut adalah data statistik pada tahun 2008 yang didapatkan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, mengenai kekerasan yang menimpa anak kecil, dilihat dari tingkat usia mereka: • 0 < 5 tahun Laki-laki
: 61 orang – 8,5 %
Perempuan : 50 orang – 7% •
5 < 12 tahun Laki-laki
: 105 orang – 14,6 %
Perempuan : 65 orang – 9,1 % •
12 < 15 tahun Laki-laki
: 94 orang – 13,1 %
27
Perempuan : 75 orang – 10,4 % Hasil ini menunjukkan bahwa kekerasan paling besar terjadi pada anak-anak berumur 5 < 12 tahun dengan persentase 23,7 %. 2.1.9
Mandatoris
Gambar 4. Logo KPI
Komisi Penyiaran Indonesia Gedung Sekretariat Negara Lantai VI Jl. Gajah Mada No. 8, Jakarta 10120 Telp: 021-6340713, Fax: 021-6340667, 6340679 2.1.9.1 Profil KPI Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang lahir atas amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, anggaran program kerja KPI Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan KPI Daerah dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
28
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang lahir atas amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, anggaran program kerja KPI Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan KPI Daerah dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran harus mengembangkan program-program kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3: "Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia." Untuk mencapai tujuan tersebut organisasi KPI dibagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang kelembagaan, struktur penyiaran dan pengawasan isi siaran. Bidang kelembagaan menangani persoalan hubungan antar kelembagaan KPI, koordinasi KPID serta pengembangan kelembagaan KPI. Bidang struktur penyiaran bertugas menangani perizinan, industri dan bisnis penyiaran. Sedangkan bidang
29
pengawasan isi siaran menangani pemantauan isi siaran, pengaduan masyarakat, advokasi dan literasi media. Anggota Bidang kelembagaan: • S. Sinansari ecip (Koordinator) • Mochamad Riyanto
Anggota Bidang Struktur Penyiaran: • Selamun Yoanes Bosco (Koordinator) • M. Izzul Muslimin • Amar Ahmad • Bimo Nugroho Sekundatmo
Anggota Bidang Pengawasan Isi Siaran: • Yazirwan Uyun (Koordinator) • Sasa Djuarsa Sendjaja (merangkap Ketua KPI Pusat) • Fetty Fajriati Miftach (Merangkap Wakil Ketua KPI Pusat)
Mekanisme pembentukan KPI dan rekrutmen anggota yang diatur oleh Undangundang nomor 32 tahun 2002 akan menjamin bahwa pengaturan sistem penyiaran di Indonesia akan dikelola secara partisipatif, transparan, akuntabel sehingga menjamin independensi KPI.
30
2.1.9.2 Visi dan Misi KPI Visi Terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Misi
1. Membangun dan memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang; 2. Membantu mewujudkan infrastruktur bidang penyiaran yang tertib dan teratur, serta arus informasi yang harmonis antara pusat dan daerah, antarwilayah Indonesia, juga antara Indonesia dan dunia internasional; 3. Membangun iklim persaingan usaha di bidang penyiaran yang sehat dan bermartabat; 4. Mewujudkan program siaran yang sehat, cerdas, dan berkualitas untuk pembentukan intelektualitas, watak, mora, kemajuan bangsa, persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai dan budaya Indonesia; 5. Menetapkan perencanaan dan pengaturan serta pengembangan SDM yang menjamin profesionalitas penyiaran.
2.2
Analisa
2.2.1
Analisa Variabel Profil Sasaran
- Geografis
: - Kota Jakarta
31
- Demografis : - Pria & Wanita
- 25 – 40 tahun
- Orang Tua
- Ayah bekerja, Ibu bekerja
Pegawai perusahaan, Manager
- Psikografis :
- Ekonomi golongan B+
- Tinggal di perumahan, dekat dengan tetangga, bekerja dari pagi sampai sore, suka membaca majalah, nonton televisi di malam hari, mendengarkan radio ketika sedang macet.
- Sering bepergian, makan, dan bermain bersama-sama dengan anak-anaknya ke mall di hari Minggu.
2.2.2
Analisa Kasus
Faktor Pendukung:
a. Banyaknya masyarakat yang mulai resah dengan keberadaan tayangan yang tidak mendidik. b. Adanya lembaga yang turut prihatin mengenai banyaknya kekerasan di Indonesia
32
c. Adanya lembaga yang menangani masalah penyiaran Indonesia seperti KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), LSI (Lembaga Sensor Indonesia) d. Tayangan televisi yang merusak dapat dicegah dengan bantuan masyarakat luas. e. Banyaknya forum-forum yang membahas tentang “Anti Sinetron.” Dimana sinetron itu sendiri adalah salah satu tayangan kekerasan yang merusak.
Faktor Penghambat:
a. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang masih menyukai sinetronsinetron yang tak bermutu, hanya untuk sekedar mencari hiburan. b. Kurangnya dukungan dari instansi pemerintah dalam pelaksanaan kampanye ini. c. Belum adanya kesadaran dari stasiun televisi bahwa acara yang ditampilkan mayoritas merusak dan tidak mempunyai sisi edukasi, dan stasiun televisi lebih mementingkan keuntungan mereka dibandingkan kepentingan penonton. d. Kampanye ini merupakan kampanye yang sulit untuk dilakukan mengingat bahwa masyarakat di Indonesia sudah melekat dan terhipnotis oleh kehadiran sinetron-sinetron dan reality show yang tidak bermutu. e. Banyak orang tua yang belum menyadari betapa berbahayanya tayangan kekerasan televisi di Indonesia terhadap anak mereka bila tidak dibimbing dan diawasi.