3
BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Dalam memenuhi proyek documentary animation ini, penulis melakukan riset untuk memperoleh data-data yang lengkap. Metode yang penulis lakukan diantaranya adalah: literature buku, literatur internet, referensi audio dan video mengenai karyakarya Rendra semasa ia hidup, serta observasi lapangan. 2.1.1 Literatur Buku 1. Potret Pembangunan dalam Puisi, Rendra 2. Balada Orang-orang Tercinta, Rendra 3. Stanza dan Blues, Rendra 4. Rendra, Ia Tak Pernah Pergi, Ignas Klenden 5. Empat Kumpulan Sajak, Rendra 6. Ketika Rendra Baca Sajak, Edi Haryono 7. The Complete Color Harmony, Tina Sutton and Bride M. Whelan 8. Timing for Animation, Harold Whitaker and John Halas 9. How To Draw and Paint Crazy Cartoon Characters, Vincent Woodcock 2.1.2 Literatur Internet 1. http://pelangsastra.blogspot.com/2010/07/angkatan-50.html 2. http://sastradanbahasaindonesia.wordpress.com/2011/04/05/angkatan-19501960-an/ 3. http://kidsborneo.blogspot.com/2012/11/menurut-rachmat-djoko-pradopo.html 4. http://kusendony.wordpress.com
4
5. http://diajengsurendeng.blogspot.com/2011/06/jenis-jenis-alur-cerita.html 6. http://documentaryarchive.com/documentary_history.html 7. http://komunitasfilm.org 2.1.3 Referensi Video Referensi Video yang digunakan sebagai salah satu sumber data umum dan pembanding visual diantaranya adalah: “The Brief History of Indonesia”, “Pop up Book 3d animation”, Rendra “Sajak-sajak Cinta”, Rendra “Sajak Joki Tobing untuk Widuri”, “Tragedi Jakarta 1998”, “Setelah 15 tahun…” dan "Waltz With Bashir". 2.1.4 Referensi Audio Referensi audio yang penulis gunakan sebagai salah satu sumber data adalah rekaman pada saat Rendra membacakan puisinya. Beberapa penggal sajak yang dibacakan antara lain: Kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam. Jutaan burung-burung gagak bagai awan yang hitam. (Doa Orang Lapar) Fantastis. Di suatu Minggu siang yang panas Di gereja yang penuh orangnya Seorang padri muda berdiri dimimbar. Wajahnya molek dan suci Matanya manis seperti mata kelinci dan mengangkat kedua tangannya
5
yang bersih halus bagai leli Lalu berkata: “Sekarang kita bubaran. Hari ini khotbah tidak ada.” (Khotbah) 2.2 Data Umum 2.2.1 Dokumenter Documentary
Film Archive and History (2013) menjelaskan bahwa.
“Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman dari sebuah kejadian yang sebenarnya. Aktivitas yang berlangsung dalam film dokumenter melibatkan unsur-unsur yang nyata tanpa adanya rekayasa. Dokumenter awalnya berasal dari sebutan film pertama karya Lumiere Bersaudara yang berkisar tentang perjalanan (Travelgues) yang dibuat sekitar tahun 1890. Film-film pertama semua adalah film dokumenter, mereka merekam hal sehari-hari. Istilah “dokumenter” sendiri ditemukan oleh John Grierson saat membahas film “Moana” karya Robert Flaherty. Film dokumenter mengacu pada kemampuan suatu media untuk menghasilkan visual tentang suatu kejadian. Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman ‘aktualitas’ potongan rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan dan tanpa media perantara. Disatu sisi perlu ditekankan karena bentuk dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan film seni, seakan-akan dokumenter cenderung menjadi bersifat ‘pemberitaan’ (jurnalistik) dalam dunia pertelevisian. Bukti-bukti menunjukkan bahwa, bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan film/ video dokumenter dalam bentuk pemberitaan, ada kecenderungan kuat di kalangan para pembuat film dokumenter akhir-akhir ini untuk mengarah kembali ke arah pendekatan yang lebih sinematik. Dan, kini, perdebatannya berpindah pada segi estetik. Pengertian tentang ‘kebenaran’
dan
‘keaslian’
suatu
film
dokumenter
mulai
dipertanyakan,
6
diputarbalikkan, dan diubah, mengacu pada pendekatan segi estetik film dokumenter dan film-film non-fiksi lainnya.” Sumber: http://documentaryarchive.com/documentary_history.html Saung-Sinema (2011) menjelaskan bahwa, “Pada perkembangannya, muncul sebuah istilah baru yakni Dokudrama. Dokudrama adalah genre dokumenter dimana pada beberapa bagian film disutradarai atau diatur terlebih dahulu dengan perencanaan yang detail. Genre dalam dokumenter saat ini sudah sangat pesat dan beragam, ada tiga genre dalam dokumenter namun setiap karya memiliki perbedaan: 1. Film dokumentasi adalah perekaman gambar dan suara yang hanya merekam kejadian faktual dan aktual tanpa didasari ideologi apapun untuk disebarkan kepada penontonnya, juga tidak memiliki alur cerita. 2. Junalistik televisi adalah tayangan berdasarkan perekaman gambar dan suara faktual untuk disampaikan pada pemirsa setelah melewati proses editing untuk disesuaikan dengan naskah pemberitaan. Jadi dalam karya jurnalistik televisi sudah ada ideologi. 3. Film Dokumenter adalah sebuah film yang menggunakan perekaman gambar dan suara yang faktual dan aktual. Film jenis ini juga memiliki tujuan dan ideologi, sehingga seringkali dikaitkan dengan jurnalistik. Namun perbedaan antara dokumenter dengan tipe audio-visual lainnya adalah story-telling (penceritaan) yang dimiliki karya dokumenter, sedangkan karya jurnalistik dan dokumentasi tidak memilikinya. Dari ketiga perbedaan tersebut, ada beberapa unsur yang tetap dan penggunaannya, yakni unsur visual dan verbal yang biasa digunakan dalam dokumenter. Unsur Visual: 1. Observasionalisme reaktif: pembuatan film dokumenter dengan bahan yang sebisa mungkin diambil langsung dari subyek yang difilmkan. Hal ini berhubungan dnegan ketepatan observasi oleh operator kamera/sutradara.
7
2. Observasionalisme proaktif: Pembuatan film dokumenter dengan memilih materi film secara khusus sehubungan dengan observasi terdahulu oleh operator kamera/sutradara. 3. Mode
ilustratif:
Pendekatan
terhadap
dokumenter
yang
berusaha
menggambarkan secara langsung tentang apa yang dikatakan oleh narator/voice over. 4. Mode asosiatif: Pendekatan dalam
dunia dokumenter yang berusaha
menggunakan potongan-potongan gambar dengan berbagai cara. Dengan demikian, diharapkan arti metafora dan simbolis yang ada pada informasi harafiah dalam film, dapat terwakili. Unsur Verbal: 1. Overheard exchange: Rekaman pembicaraan antaradua sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung. 2. Kesaksian: Rekaman observasi, opini atau informasi, yang diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar dan sumber lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan utama dari wawancara. 3. Eksposisi: Penggunaan voice over atau orang yang langsung berhadapan dengan kamera, secara khusus mengarahkan penonton yang menerima informasi dan argumen.” Sumber: http://kusendony.wordpress.com 2.2.1.1 Dokumenter di Indonesia Komunitas Film Dokumenter Indonesia (2011) telah memamaparkan bahwa, “Perkembangan film dokumenter di Indonesia sebenarnya tidak banyak berubah, karena sebagian kecil komunitas atau individu yg mencoba membuat sesuatu yang berbeda, tapi secara general tidak banyak yang berubah. Dengan berdirinya TVRI tahun 1962, Soekarno mendirikan tvri untuk asean games. Kemunculan TVRI pun sebenarnya merupakan proyek mercusuarnya Soekarno. Sebelumnya pemerintah kolonial telah membuat film dokumentasi tentang kota-kota di Jawa yang bisa ditemukan di museum
8
di Leiden. TVRI sebagai satu-satunya sumber untuk propaganda terutama setelah orde baru berdiri. Pada periode 1970-1980 an ada PUSKAT (Pusat Studi Katholik), Pertamina dan lembaga atau kelompok yang membuat tapi hanya sebagai advokasi atas isu-isu tertentu, kemunculannya pun tidak terlalu jauh dari frame yang sama. Itu terjadi sampai tahun 1990-an. Setelah itu muncul produksi dokumenter terutama untuk televisi yang konteksnya jurnalistik. Namun Dokumenter yang dihasilkan oleh televisi memiliki kecenderungan jurnalistik yang kuat. Pada masa reformasi, kebebasan informasi terbuka lebar mendorong munculnya dokumenter dokumenter yang bersifat kolektif dan bermunculan komunitas komunitas film. Walaupun dokumenter berasal dari konstruksi sosial yang faktual, namun seharusnya dokumenter membangun kenyataan pada ruang ruang yang berbeda. Tahun 1970-an pernah ada yang menulis bahwa dokumenter kita terjebak pada ortodoksi, sesuatu yang tidak bisa berubah. Salah satunya adalah karena keterbatasan dalam ber-eksperimen menggunakan bahasa audio visual. Menurut salah seorang sutradara film dokumenter Indonesia, Hafiz Rancajale (2011), dalam seminar Festival Film Dokumenter menyatakan bahwa, “Perumuskan apa itu dokumenter jaman sekarang masih terjebak dalam mengemas informasi saja layaknya pemberitaan di media massa. Dokumenter indonesia semakin jauh dari sejarahnya sendiri, yaitu sinema dan berhenti sebagai produk jurnalistik. Film dokumenter merekam kenyataan dengan objektif dan ditampilkan dengan interpretasi pembuatnya dan membangun kenyataan baru. Itulah sinema. Film dokumenter di Indonesia menjadi semakin lemah dikarenakan pemahaman mengenai bahasa sinema, berhenti pada jurnalistik saja, ini termaklumi karena terbatasnya sarana serta infrastruktur yang kurang untuk menjadi pusat edukasi.” Sehingga pada akhirnya dokumenter berkembang menjadi imaji fakta-fakta mengenai sebuah peristiwa. Sumber: http://komunitasfilm.org 2.2.2 Biografi Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), “Biografi adalah sebuah penjelasan rinci tentang hidup seseorang.” Biografi memerlukan tidak hanya fakta-fakta dasar seperti pendidikan, pekerjaan, karya seseorang, namun biografi juga menggambarkan
9
pengalaman subjek dari sebuah peristiwa. Biografi mirip dengan curriculum vitae, namun biografi lebih menyoroti berbagai aspek kehidupan dari seseorang yang termasuk hal-hal yang memiliki rician yang lebih mendalam dan mencakup analisis kepribadian seseorang. Biografi pada umumnya bersifat non-fiksi, dapat disebut fiksi hanya sebagai penggambaran kehidupan seseorang. Karya biografi telah ada dengan aneka ragam media dari literatur untuk film dengan jenis yang dikenal sebagai biografi. Sebuah biografi resmi ditulis dengan ijin, kerjasama, dan terkadang, partisipasi dani seorang tokoh maupun ahli waris tokoh. Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996). 2.2.2.1 Biografi W.S Rendra
Gambar 2.2.2.1.1 Willybrodus Surendra Bhawana Broto Rendra th. Sumber: Burung Merak Press. Haryono, Edi (2010) secara singkat menjabarkan biografi W.S Rendra, “Willybrodus Surendra Bhawana Broto Rendra. Rendra yang juga dijuluki “Burung Merak” lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Willy, sebutan akrab Rendra, berayahkan Brotoatmojo, guru bahasa Indonesia dan Jawa Kuno. Leluhur ayahnya para Tumenggung jago perang dan guru-guru bela diri. Nama kecil sang ayah Sugeng, beliau tertarik sekali dengan ilmu pengetahuan.
10
Menurut Rendra, ayahnya adalah orang yang sangat serius. Dikatakan bahwa dalam pengertian orang Jawa, sebelum jadi orang, dianggap masih bocah, atau makhluk biasa saja. Untuk jadi orang, orang harus mampu punya keris, kuda, rumah, burung, dan jodoh. Punya keris diartikan memiliki mata pencaharian. Punya kuda diartikan punya alat transportasi, baik mobil, motor, maupun sepeda atau sekedar naik kendaraan umum. Memiliki rumah boleh besar, boleh kecil, atau bahkan rumah kontrakan. Punya burung berarti memiliki sarana hiburan, bisa radio, televisi, burung, anjing, kucing, atau sekedar berlangganan surat kabar. Punya jodoh untuk berumah tangga, menurut Rendra tak perlu terburu-buru asalkan tidak terlupakan. Rendra beribukan Raden Ajeng Ismadillah, anak seorang keraton yang mengurus minuman dan kalender. Dalam kehidupan sehari-harinya, Rendra memiliki kebiasaan-kebiasaan yang menarik. Dirumah, Rendra diasuh dan dididik oleh seorang kerabatnya yang disebut Mas Janadi, cici dari Selir Eyang Sosrowinoto. Ia diajari oleh “kesadaran panca indra”, “kesadaran pikiran” dan “kesadaran naluri.” Melalui pelajarannya itu, Rendra belajar meraba-raba sebatang besi, lalu menghayati tanah liat, bermacam-macam daun. Setelah itu ia juga diajari menghayati lingkungan melewati pendengaran, penciuman, pengecapan, dan pengelihatan. Dari latihan-latihan tersebut Rendra menjadi semakin menghargai dan menyatu dengan alam. Bagi Rendra, pelajaran di sekolah dan di rumah saling mengisi. Hal itulah yang mendorong Rendra, sebagai seniman, sangat menghargai realisme- tapi tidak puas dengan sekadar realisme saja.
11
Gambar 2.2.2.1.2 Willybrodus Surendra Bhawana Broto Rendra Sumber: Burung Merak Press. Sebagai sastrawan, bakatnya sudah terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Puisi pertama yang dipublikasikan Rendra ke media massa terjadi pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Sudah 56 tahun sejak “Balada Orang-orang Tercinta” diterbitkan. Penggalan puisi diatas juga termasuk salah satu kumpulan sajak yang diterbitkan di buku pertama Rendra. “Ballada Orang-orang Tercinta” temanya pun jelas, orang-orang tercinta itu adalah sosok-sosok wanita memelas dan menyedihkan, ditinggal, dan disakiti, dalam penderitaannya dikenal oleh penyair jerit hewan yang terluka. Dalam berpuisi ditahuntahun berikutnya Rendra menempatkan puisinya lebih tertuju langsung kepada masalahmasalahnya sendiri. Penemuan dirinya berkembang melalui lytis, dengan segala gapaian gelap dari bawah sadar. Sebagai penyair, Rendra merasa bahwa pembacaan puisi pada
12
umumnya sangatlah monoton meski isi puisinya sangat bagus. Oleh karena itu, Rendra membuktikan dengan gaya pembacaannya yang berbeda namun sesuai dengan isi puisi. Rendra membacakan sajak “Khotbah” di acara Poetry International Rotterdam 1971 dan mendapat sambutan yang luar biasa. Kelebihan Rendra dalam membawakan puisinya, terutama pada dramatiknya, karena dia seorang dramawan juga. Puisi-puisi yang dibawakannya bermula dari tempo yang lamban, mencapai klimaks dan kemudian menurun ke anti klimaks. Rendra turut membacakan puisi-puisinya di kampus-kampus, dan salah satunya ITB tahun 1977 dengan membacakan “Sajak Sebatang Lisong” untuk dipersembahkan untuk salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta” yang disutradarai Sumandjaya.
Gambar 2.2.2.1.3 Willybrodus Surendra Bhawana Broto Rendra Sumber: Burung Merak Press. Namun, pada 1 Mei 1978, disaat ia membacakan puisinya di TIM, dia dilempari amoniak, lalu ditangkap. Tuduhan padanya, puisi-puisinya dianggap menghasup publik. Ia ditahan selama 5 bulan sebelum akhirnya dibebaskan, tanpa syarat. Sejak saat itu ia tidak bebas lagi untuk membacakan puisi-puisinya di depan publik. Dimana kebebasannya naik pentas dipersulit itu, Rendra sempat beralih ke dunia film. Ia sempat main dalam film “Al Kautsar”, “Terminal Cinta Terakhir”, dan “Yang Muda Yang
13
Bercinta” yang di film ini Rendra sempat membacakan puisinya yang berjudul “Sajak Sebatang Lisong”. Pada tahun 1985, Rendra tampil tunggal dihadapan 8.000 penonton di Istora Senayan, Jakarta. Kumpulan puisinya: Ballada Orang-orang Tercinta (1956), 4 Kumpulan Sajak (1961), Blues Untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), Disebabkan Oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993) dan Perjalanan Aminah (1997).
Gambar 2.2.2.1.3 Willybrodus Surendra Bhawana Broto Rendra Sumber: Burung Merak Press. Beberapa bulan terakhir ini, Rendra sering masuk rumah sakit akibat menderita gangguan jantung. Dia juga secara rutin menjalani cuci darah akibat gangguan kesehatan yang dideritanya. Sebelum meninggal Rendra sempat menulis sebuah puisi terakhirnya pada tanggal 31 Juli 2009. Pada akhirnya, 6 Agustus 2009, Indonesia kehilangan seniman terkemuka.” Sumber: Stanza dan Blues, W.S Rendra (2010). 2.2.2.2 Periodisasi Puisi Rendra Inilah periodisasi puisi Rendra secara garis besar, sesuai buku yang pernah diterbitkan. 1. Rendra (1957: 16) dalam salah satu puisinya “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”:
14
“Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang. Segenap warga desa mengepung hutan itu dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.
Satu demi satu yang maju terhadap darahnya Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
—Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal! Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa. Majulah Joko Pandan! Di mana ia? Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa.
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang. Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.
—Joko Pandan! Di mana ia! Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya atapi masih setan ia
15
Menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala.
—Joko Pandan! Di manakah ia! Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan Segala menyibak bagi reapnya kuda hitam Ridla dada bagi derinya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja. Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka Pesta abulan, sorak sorai, anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang Ia telah membunuh bapanya.” 2. Rendra (1961: 30) dalam “Empat Kumpulan Sajak” meliputi empat bagian antara lain “Kakawin kawin” dengan salah satu puisinya “Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya”: “Mamma yang tercinta, akhirnya kutemukan juga jodohku seseorang yang bagai kau: sederhana dalam tingkah dan bicara serta sangat menyayangiku.
Terpupuslah sudah masa-masa sepiku.
16
Hendaknya berhenti gemetar rusuh hatimu yang baik itu yang selalu mencintaiku. Kerna kapal yang berlayar telah berlabuh dan ditambatkan. Dan sepatu yang berat serta nakal yang dulu biasa menempuh jalan-jalan yang mengkhawatirkan dalam hidup lelaki yang kasar dan sengsara, kini telah aku lepaskan dan berganti dengan sandal rumah yang tenteram, jinak dan sederhana.
Mamma, Burung dara jantan yang nakal yang sejak dulu kaupiara kini terbang dan telah menemu jodohnya. la telah meninggalkan kandang yang kaubuatkan dan tiada akan pulang buat selama-lamanya.
Ibuku, Aku telah menemukan jodohku. Janganlah kau cemburu. Hendaknya hatimu yang baik itu mengerti: pada waktunya, aku mesti kaulepaskan pergi.
Begitu kata alam. Begitu kau mengerti:
17
Bagai dulu bundamu melepas kau kawin dengan ayahku. Dan bagai bunda ayahku melepaskannya untuk mengawinimu. Tentu sangatlah berat. Tetapi itu harus, Mamma! Dan akhirnya tak akan begitu berat apabila telah dimengerti apabila telah disadari. Hari Sabtu yang akan datang aku akan membawanya kepadamu. Ciumlah kedua pipinya berilah tanda salib di dahinya dan panggillah ia dengan kata: Anakku!
Bila malam telah datang kisahkan padanya riwayat para leluhur kita yang ternama dan perkasa. Dan biarkan ia nanti tidur di sampingmu.
la pun anakmu. Sekali waktu nanti ia akan melahirkan cucu-cucumu. Mereka akan sehat-sehat dan lucu-lucu. Dan kepada mereka ibunya akan bercerita
18
riwayat yang baik tentang nenek mereka: bunda-bapak mereka.
Ciuman abadi dari anak lelakimu yang jauh,
Willy.” Lalu Rendra (1961: 66) dalam “Malam Stanza” dengan salah satu puisinya “Kangen”: “Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta kau tak akan mengerti segala lukaku kerna cinta telah sembunyikan pisaunya. Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi itulah berarti aku tungku tanpa api.” Lalu Rendra (1957: 87) dalam “Nyanyian Dari Jalanan” dengan salah satu puisinya “Ciliwung”: “Ciliwung kurengkuh dalam nyanyi kerna punya coklat kali Solo. Mama yang bermukim dalam cinta dan berulang kusebut dalam sajak wajahnya tipis terapung daun jati yang tembaga. Hanyutlah mantra-mantra dari dukun
19
hati menemu segala yang hilang. Keharuan adalah tonggak setiap ujung dan air tertumpah dari mata-mata di langit. Kali coklat menggeliat dan menggeliat. Wajahnya penuh lingkaran-lingkaran bunda!
Katakanlah dari hulu mana mengalir wajah-wajah gadis rumah tua di tanah ibu ketapang yang kembang, kembang jambu berbulu dan bibir kekasih yang kukunyah dulu.
Katakanlah, Paman Doblang, katakanlah dari hulu mana mereka datang: manisnya madu, manisnya kenang. Dan pada hati punya biru bunga telang pulanglah segala yang hilang.” Dan Rendra (1961: 161) dalam “Sajak Dua Belas Perak” dengan salah satu puisinya “Dengan Kasih Sayang”: “Dengan kasih sayang Kita simpan bedil dan kelewang Punahlah gairan pada darah
Jangan! Jangan dibunuh pada lintah dara Ciumlah mesra anak jadah tak berayah Dan sumbat jarimu pada mulut peletupan Karena darah para bajak dan perompak
20
Akan mudah mendidih oleh pelor
Mereka bukan tapir atau budak Hatinya pun berurusan dengan cinta kasih Seperti jendela yang terbuka bagi angin sejuk
Kita sering kehabisan cinta untuk mereka Cuma membenci yang nampak rompak Hati tak bisa berpelukan dengan hati mereka, Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak
Lahiriah yang terlalu banyak meminta Terhadap sajak yang paling utopis Bacalah dengan senyuman yang sabar
Jangan dibenci para pembunuh Jangan dibiarkan anak bayi mati sendiri Kere-kere jangan mengemis lagi Dan terhadap penjahat yang paling laknat Pandanglah dari jendela hati yang bersih” 3. Rendra (1971: 46) dalam “Blues Untuk Bonnie” dengan salah satu puisinya “Khotbah”: “Fantastis. Di satu Minggu siang yang panas di gereja yang penuh orangnya seorang padri muda berdiri di mimbar. Wajahnya molek dan suci matanya manis seperti mata kelinci
21
dan ia mengangkat kedua tangannya lalu berkata: “Sekarang kita bubaran. Hari ini khotbah tak ada.”
Orang-orang tidak beranjak. Mereka tetap duduk rapat berdesak. Ada juga banyak yang berdiri.
Mereka kaku. Tak mau bergerak Mata mereka menatap bertanya-tanya. Mulut mereka menganga berhenti berdoa tapi ingin benar mendengar. Kemudian dengan serentak mereka mengesah dan berbareng dengan suara aneh dari mulut mereka tersebarlah bau keras yang perlu dicegah dengan segera.
“Lihatlah aku masih muda. Biarlah aku menjaga sukmaku. Silakan bubar. Ijinkan aku memuliakan kesucian. Aku akan kembali ke biara merenungkan keindahan Ilahi.”
Orang-orang kembali mengesah. Tidak beranjak.
22
Wajah mereka nampak sengsara. Mata mereka bertanya-tanya. Mulut mereka menganga sangat butuh mendengar.
“Orang-orang ini minta pedoman. Astaga. Tuhanku, kenapa di saat ini kautinggalkan daku. Sebagai sekelompok serigala yang malas dan lapar mereka mengangakan mulut mereka. Udara panas. Dan aku terkencing di celana. Bapak. Bapak. Kenapa kautinggalkan daku.”
Orang-orang tidak beranjak. Wajah mereka basah. Rambut mereka basah. Seluruh tubuh mereka basah. Keringat berkucuran di lantai kerna udara yang panas dan kesengsaraan mereka yang tegang. Baunya busuk luar biasa. Dan pertanyaan-pertanyaan mereka pun berbau busuk juga.
“Saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga. Inilah khotbahku. Ialah khotbahku yang pertama. Hidup memang berat. Gelap dan berat. Kesengsaraan banyak jumlahnya.
23
Maka dalam hal ini kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra. Ra-ra-ra, hum-pa-pa, ra-ra-ra. Tengoklah kebijaksanaan kadal makhluk Tuhan yang juga dicintai-Nya. Meniaraplah ke bumi. Kerna, lihatlah: Sukamamu terjepit di antara batu-batu. Hijau. Lumutan. Sebagai kadal ra-ra-ra. sebagai ketonggeng hum-pa-pa.”
Orang-orang serentak bersuara: Ra-ra-ra. Hum-pa-pa. Dengan gemuruh bersuara seluruh isi gereja. Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.
“Kepada kaum lelaki yang suka senapan yang memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya aku minta dicamkan bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu. Angkatlah hidungmu tinggi-tinggi agar tak kaulihat siapa yang kaupijak. Kerna begitulah li-li-li, la-li-lo-lu. Bersihkan darah dari tanganmu agar aku tak gemetar lalu kita bisa duduk minum teh
24
sambil ngomong tentang derita masyarakat atau hakekat hidup dan mati. Hidup penih sengsara dan dosa. Hidup adalah tipu muslihat. La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu. Jadi marilah kita tembak matahari. Kita bidik setepat-tepatnya.”
Dengan gembira orang-orang menyambut bersama: La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu. Mereka berdiri. Menghentakkan kaki ke lantai. Berderap serentak dan seirama. Suara mereka bersatu: La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu. Hanyut dalam persatuan yang kuat mereka berteriak bersama persis dan seirama: La-la-la, lil-li-li, la-li-lo-lu.
“Maka kini kita telah hidup kembali. Darah terasa mengalir dengan derasnya. Di kepala. Di leher. Di dada. Di perut. Dan di bagian tubuh lainnya. Lihatlah, oleh hidup jari-jariku gemetar. Darah itu bong-bong-bong. Darah hidup bang-bing-bong. Darah hidup bersama bang-bing-bong-bong. Hidup berama-ramai.
25
Darah bergaul dengan darah. Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.”
Orang-orang meledakkan gairah hidupnya. Mereka berdiri di atas bangku-bangku gereja. Berderap-derap dengan kaki mereka. Genta-genta, orgel, daun-daun pintu, kaca-kaca jendela, semua dipalu dan dibunyikan. Dalam satu irama. Diiringi sorak gembira: Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.
Cinta harus kita muliakan. Cinta di belukar. Cinta di toko Arab. Cinta di belakang halaman gereja. Cinta itu persatuan dan tra-la-la. Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la. Sebagi rumputan kita harus berkembang biak dalam persatuan dan cinta. Marilah kita melumatkan diri. Marilah kita bernaung di bawah rumputan. Sebagaimana pedoman kita: “Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.”
Seluruh isi gereja gemuruh. Mereka mulai menari. Mengikuti satu irama.
26
Mereka saling menggosok-gosokkan tubuh mereka. Lelaki dengan wanita. Lelaki dengan lelaki. Wanita dengan wanita. Saling menggosok-gosokkan tubuhnya. Dan ada juga yang menggosok-gosokkan tubuhnya ke tembok gereja. Dan dengan suara menggigil yang ganjil mereka melengking dengan serempak. Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
“Melewati Nabi Musa yang keramat Tuhan telah berkata: Jangan engkau mencuri. Pegawai kecil jangan mencuri tulang-tulang ayam goring. Para pembesar jangan mencuri bensin. Dan gadis jangan mencuri perawannya sendiri. Tentu, bahwa mencuri dan mencuri ada bedanya. Artinya: Cha-cha-cha, cha-cha-cha. Semua barang dari Tuhan. Harus dibagi bersama. Semua milik semua. Semua untuk semua. Kita harus bersatu. Kita untuk kita. Cha-cha-cha, cha-cha-cha. Inilah pedomannya.”
Sebagai binatang orang-orang bersorak: Grrr-grrr-hura. Hura. Cha-cha-cha, Cha-cha-cha. Mereka copoti daun-daun jendela.
27
Mereka ambil semua isi gereja. Candelabra-candelabra. Tirai-tirai. Permadani-permadani. Barang-barang perak. Dan patung-patung berhiaskan permata. Cha-cha-cha, begitu nyanyi mereka. Cha-cha-cha, berulang-ulang diserukan. Seluruh gereja rontok. Cha-cha-cha. Binatang-binantang yang basah berkeringat dan deras napasnya Berlarian kian ke mari. Cha-cha-cha. Cha-cha-cha. Lalu tiba-tiba terdengar lengking jerit perempuan tua: “Aku lapar. Lapaar. Lapaaar.” Tiba-tiba semua juga merasa lapar. Mata mereka menyala. Dan mereka tetap bersuara cha-cha-cha.
“Sebab sudah mulai lapar marilah kita bubaran. Ayo, bubar. Semua berhenti.”
Cha-cha-cha, kata mereka dan mata mereka menyala. “Kita bubar. Upacara dan khotbah telah selesai.”
Cha-cha-cha, kata mereka. Mereka tidak berhenti. Mereka mendesak maju.
28
Gereja rusak. Dan mata mereka menyala.
“Astaga. Ingatlah penderitaan Kristus. Kita semua putra-putranya yang mulia. Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan.”
Cha-cha-cha. Mereka maju menggasak mimbar. Cha-cha-cha. Mereka seret padri itu dari mimbar. Cha-cha-cha. Mereka robek-robek jubahnya. Cha-cha-cha. Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus. Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih. Dan gadis-gadis menarik kedua kakinya. Cha-cha-cha. Begitulah perempuan-perempuan itu memperkosanya beramai-ramai. Cha-cha-cha. Lalu tubuhnya dicincang. Semua orang makan dagingnya. Cha-cha-cha. Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta. Mereka minum darahnya. Mereka hisap sungsum tulangnya. Sempurna habis ia dimakan. Tak ada lagi yang sisa. Fantastis.”
29
4. Rendra (1972: 20) dalam Sajak-sajak Sepatu Tua dengan salah satu puisinya “Doa Orang Lapar”: “Kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam jutaan burung-burung gagak bagai awan yang hitam
Allah! burung gagak menakutkan dan kelaparan adalah burung gagak selalu menakutkan kelaparan adalah pemberontakan adalah penggerak gaib dari pisau-pisau pembunuhan yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin Kelaparan adalah batu-batu karang di bawah wajah laut yang tidur adalah mata air penipuan adalah pengkhianatan kehormatan Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu melihat bagaimana tangannya sendiri meletakkan kehormatannya di tanah karena kelaparan kelaparan adalah iblis kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
Allah! kelaparan adalah tangan-tangan hitam
30
yang memasukkan segenggam tawas ke dalam perut para miskin
Allah! kami berlutut mata kami adalah mata Mu ini juga mulut Mu ini juga hati Mu dan ini juga perut Mu perut Mu lapar, ya Allah perut Mu menggenggam tawas dan pecahan-pecahan gelas kaca
Allah! betapa indahnya sepiring nasi panas semangkuk sop dan segelas kopi hitam
Allah! kelaparan adalah burung gagak jutaan burung gagak bagai awan yang hitam menghalang pandangku ke sorga Mu” 5. Rendra (1985: 10) “Nyanyian Orang Urakan” dengan salah satu puisinya “Nyanyian Orang Urakan”: “Aku tidak tahu kapan kembali. Sudah seribu kilo aku berjalan keutara. Lalu seribu kilo membelok kebarat.
31
Bayanganmu bergerak dari cakrawala ke cakrawala.
Kini aku berjalan lagi, Menyandang ranselku, Menyeberangi sungai dan memboncong kereta. Angin berkata sesuatu Sementara aku tertidur di dalam peron. Aku tak mengerti maknanya. Aku usap mataku, Lalu aku melihat matahari diatas gerbong kereta: Selalu aku terlambat didalam tindakanku.
Wahai, kamu yang bergerak di cakrawala ………………………………………… Siapakah kamu?” 6. Rendra (1988: 30) Potret Pembangunan dalam Puisi dengan salah satu puisinya “Sajak Sebatang Lisong”: “Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka
Matahari terbit. Fajar tiba.
32
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan.
Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya. …………………
Menghisap udara yang disemprot deodorant, aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya; aku melihat wanita bunting antri uang pensiun.
Dan di langit; para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
33
bahwa bangsa mesti dibangun; mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang. Langit pesta warna di dalam senjakala Dan aku melihat protes-protes yang terpendam, terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya, di bawah iklan berlampu neon, Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samodra. ………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
34
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.” 7. Rendra (1993: 7) Disebabkan Oleh Angin dengan salah satu puisinya “Wanitaku! Wanitaku!”: “Wanitaku. Wanitaku Gerimis menampar mukaku dan aku berseru padamu. Dimanakah kamu wanitaku? Kamu menghilang di belakang hotel. Di dalam kabut kuburu kamu. Kamu lari ke dalam bis kota dan lenyaplah kamu untuk selama-lamanya. Aku bernyanyi dikamar mandi dan tiba-tiba tubuhmu yang telanjang terbayang lagi. Apakah kamu mengerti kesepianku?
Sukmaku mengembara kedalam rumah diantara buku-buku
35
gambar-gambar wanita telanjang meja makan yang berantakan ranjang yang berbau mimipi Aku menangis. Hubungan kita sia-sia.
Sukmaku menjelma menjadi seekor kucing tua yang lalu mengembara luput kedalam perkampungan
Sudah sekian lama sudah berbulan-bulan sudah bertahun-tahun sudah berabad-abad melewati kepulan debu melewati angin panas melewati serdadu dan algojo melewati anjing anjing aku memburu memburu memburu berburu berburu diatas Harley Davidson mencari sukmaku sukmamu yang telah lenyap bersama.”
36
2.2.3 Sastra Indonesia Sastra Indonesia merupakan sebuah istilah yang mewakili berbagai macam sastra di Asia Tenggara. Sastra Indonesia sering dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu. Sastra Indonesia terbagi dari dua bagian besar yaitu, lisan dan tulisan. Menurut Rachmat Djoko Pradopo, sastra Indonesia memiliki urutan waktu yang terbagi dalam beberapa angkatan, yaitu: “Angkatan Balai Pustaka: 1920-1940, Angkatan Pujangga Baru: 1940-1955, Angkatan 1940-1955, Angkatan 1950-1970, Angkatan 1965-sekarang (1984). Secara garis besar setiap angkatan memiliki tokoh yang berperan besar pada masanya. Dimulai dari Angkatan Balai Pustaka yaitu, Marah Roesli dengan karyanya “Siti Nurbaya”, Angkatan Pujangga Baru yaitu, Sutan Takdir Alisjahbana dengan karyanya “Dian Tak Kunjung Padam” dan Hamka dengan karyanya “Di Bawah Lindungan Ka’abah,” Angkatan 1945 yaitu Chairil Anwar dengan karyanya “Deru Campur Debu”, Angkatan 1950-1960an yaitu Pramoedya Ananta Toer dengan karyanya “Buni Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca,” serta W.S Rendra dengan karyanya “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Potret Pembangunan dalam Puisi,” Angkatan 1966-1970an yaitu Taufik Ismail dengan karyanya “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” dan Goenawan Mohammad dengan karyanya “Parikesit”, Angkatan 1980-1990an yaitu, Y.B Mangunwijaya dengan karyanya “Burung-burung Manyar” dan Hilman Hariwijaya dengan karyanya “Lupus”. Sumber: http://kidsborneo.blogspot.com/2012/11/menurut-rachmat-djoko-pradopo.html 2.2.4 Penyair Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) menyatakan, “Penyair adalah seseorang yang menulis/mengarang karya puisi. Karya ini biasanya dipengaruhi oleh tradisi budaya dan intelektual dan ditulis dalam suatu bahasa tertentu.” Beberapa kalangan menganggap bahwa puisi yang terbaik memiliki ciri-ciri yang luas, tidak lekang oleh waktu dan memiliki gambaran umum bagi seluruh umat manusia. Kalangan lainnya lebih mementingkan kualitas dari fakta dan keindahan yang terkandung dalam puisi tersebut.
37
2.2.5 Teater dan Drama Kamus
Besar Bahasa
Indonesia
(1996)
menyatakan,
“Teater
sendiri
dimaksudkan kepada gedung pertunjukan yang akan mempertunjukkan sebuah drama didepan banyak orang. Drama adalah salah satu bentuk realisasi cerita yang setiap tokoh dimainkan oleh setiap pemain yang didukung oleh kostum, dekorasi panggung, serta musik, nyayian, dan tarian.” Berakting didunia drama tidaklah mudah. Dialog harus terdengar dengan volume yang tepat, artikulasi yang jelas, serta tidak monoton pada saat dibawakan. Bahasa tubuh dalam dramapun juga penting. Pemain harus membawakan peran yang realis dalam arti sesuai dengan lakon yang dibawakan dan menghayati peran yang dia mainkan. 2.2.6 Musik dan Lagu Dalam proses pembuatan baik film, animasi, maupun iklan, kehadiran musik dan lagu sangatlah penting. Dengan adanya musik dalam sebuah film menjadikan film lebih hidup dan bahkan penonton dapat ikut merasakan apa yang dirasakan si pemain. Haque, Amber (2004) Kehadiran musik sudah ada sekitar 180.000 hingga 100.000 tahun yang lalu. Sehingga tanpa disadari keindahan musik sudah dinikmati manusia sejak lama. Musik sendiri memberikan dampak yang baik bagi otak manusia. mereka bisa berpikir lebih jauh hingga di luar nalar dan mencapai imajinasi dan spiritual. Bahasa untuk berkomunikasi telah terbentuk di antara mereka. Dari bahasa dan ucapan sederhana untuk tanda bahaya dan memberikan nama-nama hewan, perlahan-lahan beberapa kosa kata muncul untuk menamakan benda dan nama panggilan untuk seseorang. Sumber: Amber Haque (2004), "Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists," 2.3 Data Produk 2.3.1 Animasi Dokumenter DelGaudio, Sybli (1997) menjelaskan bahwa, “Dalam setiap bidang apapun akan memiliki perkembangannya masing-masing. Begitu pula dengan film dokumenter. Film animasi dokumenter adalah jenis film yang mengkombinasikan animasi dengan
38
dokumenter. Film pertama yang menjadi contoh hasil sebuah gabungan dokumenter dengan animasi adalah “The Sinking of the Lusitania” karya Winsor Mckay tahun 1928. Kemudian dilanjutkan oleh film “the Einstein Theory of Relativity di tahun 1923 dan Evolution di tahun 1925 karya Max dan Dave Fleischer. Serta di tahun 2008 muncul film animasi dokumenter dengan judul “Waltz With Bashir” karya Ali Folman.” Sumber: If Truth Be Told, Can Toons Tell It? Documentary and Animation. Film History (1997). 2.4 Target Audiens Warga Negara Indonesia yang berusia minimal 13 tahun, pendidikan minimal SMP, penduduk kota, baik pelajar maupun pekerja, khususnya yang memiliki ketertarikan terhadap desain, seni dan film. Alasan target audiens penulis ditujukan minimal pendidikan SMP, karena dimasa tersebut anak sedang mengalami masa pencarian jati diri. Pribadi Rendra yang kritis terhadap masalah bangsa dapat melahirkan pribadi dengan jati diri yang kritis. 2.5 Analisa SWOT 2.5.1 Strength •
Melestarikan seni sastra Indonesia.
•
Menggembangkan film dokumenter di Indonesia.
•
Penyajian dalam bentuk animasi akan lebih menarik dibanding membaca dari buku sejarah.
•
Dapat menarik perhatian generasi muda Indonesia terhadap sastra Indonesia.
2.5.2 Weakness •
Keterbatasan waktu dalam membuat film animasi dokumenter W.S Rendra serta durasi yang singkat sehingga tidak dapat serinci yang diharapkan.
•
Kurangnya peminatan generasi muda untuk menonton film dokumenter karena dokumenter dianggap hanya sebatas berita yang membosankan.
39
2.5.3 Opportunity •
Film dokumenter biasanya hanya menggantungkan kepada hasil rekaman asli kamera pada masanya. Belum ada yang mengangkat biografi W.S Rendra dalam bentuk film animasi dokumenter di Indonesia.
2.5.4 Threat •
Kalah bersaing dengan film dengan kategori diluar dokumenter yang lebih menarik cenderung menarik perhatian masyarakat.
2.6 Analisa dari hasil wawancara berbagai narasumber mengenai sastra, film dokumenter, dan W.S Rendra 2.6.1 Data ini diambil dari wawancara dengan salah seorang Guru Bahasa Indonesia, seorang Editor sekaligus sahabat W.S Rendra dan istri W.S Rendra. Figur W.S Rendra dimata publik: •
Rendra salah satu pendobrak sastra yang berhasil membawakan karyakaryanya dengan baik.
•
Rendra berhasil memberikan tema-tema yang berbeda dari karya di tiap era yang berbeda.
•
Rendra berhasil membuka mata generasi muda (pada saat itu) bahwa sastra itu indah dan bukan hanya konsumsi generasi tua.
•
Dengan membangun Bengkel Teater, Rendra berhasil menciptakan penerus karya sastra tidak hanya sebagai penyair namun sebagai pemain dalam teater.
•
Sosok Rendrapun dapat dimengerti jika membaca setiap karyanya.
•
Rendra adalah orang yang sangat nasionalis. Sehingga ia membacakan puisinya tetap menggunakan bahasa Indonesia karena ia ingin
40
menunjukkan bahwa, seperti inilah bahasa Indonesia. Rendra ingin memajukan bahasa Indonesia. •
Kepergian Rendra menjadi luka mendalam bagi bangsa Indonesia, hingga koran berani menyelipkan berita meninggalnya Rendra dengan siuasi akan naik cetak.
Sosok Rendra menurut orang-orang terdekatnya: •
Sebagai Teman, dia orang yang setia, sangat peduli kepada temannya. Dia
akan
selalu
berbagi
dengan
temannya,
terutama
tentang
perkembangan-perkembangan diluar yang tidak diketahui, dia sangat peduli. Juga secara kemanusiaan dia sangat peduli, orang yang pendamai, nampak galak tapi dalamnya sangat pendamai, pemaaf. •
Sebagai guru, sangat telaten, dan sangat keras. Rendra ingin betul muridmuridnya bisa menabrak batas-batas kemampuan dirinya. Betul-betul menuntut supaya kita maksimal tapi juga menjadi diri kita sendiri, perkembangkan
•
Rendra adalah orang yang mampu merangsang kita untuk berpikir jauh dan kompleks. Tuntutannya selalu jauh dan kompleks. Terutama menyangkut masalah kemanusiaan, dan berani membandingkan secara ekstrim dengan sesuatu yang biasa, maju sekali.
Perbedaan Rendra dengan penyair-penyair lain: •
Rendra dapat menemukan pola-pola baru puisinya sendiri dimana penyair-penyair lain belum bisa sepertinya. Rendra dalam berkarya tidak pernah mencontoh orang lain apalagi epigon atau klise.
•
Rendra menemukan polanya sendiri, karena Rendra menyadari bahwa Tuhan sudah menyediakan banyak bentuk dan jika ditelusuri lebih dalam, anda akan menemukan kemampuan anda yang sebenarnya dan Rendra melakukan itu melalui karya-karyanya.
41
•
Bagi saya setiap karyanya yang terkumpul dalam bentuk antologi puisi atau kumpulan cerpen atau naskah itu merupakan temuan, merupakan hasil pencarian dahsyat sampai dia menemukannya menjadi tonggak. Kalau dikaji hampir setiap kumpulannya berbeda, beda gaya. Jadi Rendra bukanlah orang yang produktif secara kuantitas, dibanding para penyair yang lain. Dia tidak produktif dalam pengertian itu. Setiap dia mengeluarkan karya mesti jadi sesuatu.
Kebiasaan Rendra dalam membacakan karyanya: •
Rendra menulis sebuah puisi ia berusaha menggunakan tata bahasa yang mudah dimengerti masyarakat sehingga dapat terpakai dalam kehidupan sehari-hari.
•
Saat membacakan puisinya Rendra juga selalu menyesuaikan dengan keadaan sekitar serta puisinya bertemakan apa. Dan Rendra tidak lagi memerlukan musik iringan saat dia baca sajak, karena saat Rendra baca sajak sudah memberikan irama-irama musik yang mendukung puisinya.
•
Rendra juga pernah pentas dialam terbuka, kampus, serta memerankan sebagai orang tua atau kekasih yang rindu kepada pasangannya, atau sebagai kakek tua. Rendra ingin memaksimalkan karyanya tersampaikan sampai memperhatikan hal-hal yang detail.
Usaha Rendra dalam memperkenalkan puisinya kepada publik: •
Rendra membaca puisi dari satu rumah temannya ke rumah temannya yang lain.
•
Mulai tahun 1969 Rendra mulai menjambangi kampus sebagai sarananya membacakan puisi.
•
Menurut Rendra pusat kebudayaan adalah kampus. Alasannya, kebudayaan itu sudah merupakan hasil pikiran.
42
•
Rendra juga memperkenalkan puisinya melalui Sport hall di Istora dan Bandung, lalu di Semarang ada GOR (Gelanggang Olah Raga), di Tegal dan sudah pasti Jogja.
•
Dengan menggunakan bahasa puisi yang indah tetapi mudah dimengerti, ia ingin puisinya berguna untuk masyarakat luas.
•
Saat Rendra mulai membangun Bengkel Teater, Rendra memastikan bahwa murid-muridnya dapat berkembang sesuai dengan jati dirinya. Justru Rendra tidak menginginkan muridnya menjadi jiplakkan dirinya. Karena Rendra tahu bahwa Tuhan sudah menyediakan bakat setiap orang secara adil sehingga Rendra membantu dengan cara menyadarkan muridnya bakat apa saja yang muridnya miliki.
Kata-kata Rendra yang paling berkesan: •
Salah satunya adalah puisi yang menggambarkan dirinya saat dipenjara. Sajak Paman Doblang. Salah satu sajaknya menyatakan: "Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakerawala. Dan perjuangan adalah perlaksanaan kata-kata."
•
“Hadir dan mengalir”
•
“Kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja. Langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa.”
Ketertarikan generasi muda terhadap sastra: •
Secara garis besar generasi muda sekarang kurang tertarik dengan dunia sastra.
•
Sebagian besar menganggap kalau sastra itu sesuatu yang rumit. Pada kenyataannya, tidak semua sastra serumit yang dibayangkan mereka.
•
Dalam mengajar, ketertarikan anak terhadap sastra cenderung berasal dari siswi jurusan IPA dibanding jurusan Bahasa sendiri.
43
•
Alasannya adalah terdapat dapat minat baca. Semakin intelegensi anak, semakin tinggi minat bacanya karena keingintahuan mereka akan pengetahuan dari bidang apapun.
Cara mensiasati anak agar ingin membaca karya sastra: •
Dengan memberi tugas dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga dengan diberikan tugas membaca akan ada kemungkinan anak menyadari dunia sastra dan menjadi menyukainya.
2.6.2 Data ini diambil dari wawancara dengan Sutradara film dokumenter. Perbedaan film dokumenter dengan film fiksi lainnya: •
Dokumenter itu merangkap realita, yang menjadi sebuah ide sehingga sutradara merangkapnya menjadi sebuah dokumenter.
•
Dokumenter juga yang menjadi sebuat titik awal orang-orang membuat news real. Contohnya, merekam kejadian perang disuatu tempat. Dan news real yang kini dipakai masyarakat dalam menyajikan sebuah berita.
•
Film Aung San Suu Kyi termasuk fiksi. Dengan alasan film tersebut direkonstruksi ulang oleh penulis, bukan dari sang tokoh. Mungkin saja memang ada beberapa scene yang benar adanya, namun tetap tidak menjadikannya sebuah film dokumenter.
•
Dalam membuat dokumenter haruslah objektif, tidak boleh subjektif. Untuk mendapatkan fakta yang benar, sebaiknya pada saat mewawancara narasumber ambillah dari sudut pandang yang berbeda-beda sehingga pada saat dokumenter itu dipublikasikan, tidak membuat salah satu pihak merasa dirugikan. Karena pada dasarnya pembuat dokumenter memiliki tanggung jawab ke subjek dokumenter dan penonton terhadap karyanya.
Perkembangan film dokumenter dari masa ke masa:
44
•
Dokumenter itu memiliki pecahan yang banyak, yang akhirnya merekam peristiwa itu tidak hanya bergantung dengan berita tetapi bagaimana mengkomposisikan kenyataan dengan dramatik dari sebuah film.
•
Dokumenter awalnya hanya sebagai sarana untuk menyajikan berita layaknya siaran berita di TV pada masa kini. Namun, seiring perkembangan zaman, dokumenter belajar dari teater yang menyajikan sebuah cerita menjadi dramatik. Dengan belajar dari teater, dokumenter menkonstruksi kembali agar penyajian dokumenter lebih menarik meski bahan-bahan dalam dokumenter tetap sebuah kisah yang nyata. Pada saat ini penyajian dokumenter lebih baik lagi, tidak hanya menggunakan rekaman langsung namun melalui animasi maupun kombinasi antara keduanya.
•
Ide dokumenter saat ini bukanlah bagaimana merekam kenyataan dengan kamera, tetapi merekam kenyataan itu lebih ke ide, yang menjadikan kenyataan itu adalah ide dan visualnya bisa saja tidak real.
Membuat film dokumenter menjadi menarik: •
Pertama terletak pada topik yang akan diangkat, kalau membosankan orang dengan cepat akan merasa malas menontonnya. Kemudian kemasannya yang menarik. Sehingga pada saat pertama kali dilihat orang dapat tertarik. Kemudian dengan topik yang menarik membuat orang semakin ingin tahu tentang kelanjutan film tersebut.
Film dokumenter di Indonesia: •
Kalau di Indonesia, dokumenter itu masih terjebak dengan news. Karena kita mengenal dokumenter hanya melalui channel berita serta discovery channel atau national geographic, yang sifatnya lebih edukatif.
•
Dokumenter di Indonesia tidak terlalu berkembang karena persoalan wawasan, seperti asset bahasa film yang sebenarnya banyak, di Indonesia yang dikenal hanya satu. Seperti contohnya dokumenter karya Tino
45
Saroengallo tentang Tragedi ’98, tersajikannya hanya seperti news yang padahal dokumenter bisa lebih jauh dari itu. •
Film dokumenter di Indonesia masih jauh dari negara-negara yang film dokumenternya lebih maju. Di luar negeri film dokumenter sudah diolah menjadi lebih menarik. Sementara di Indonesia, pada dasarnya di TV kurang mau menayangkan kecuali dokumenter tersebut berupa serial. Alasannya, jika hanya untuk satu film mereka biasanya tidak memiliki tempat untuk itu. Berbeda halnya jika berupa serial, mereka malah lebih suka.
Ketertarikan anak muda terhadap film dokumenter: •
Di Indonesia anak mudanya tidak banyak yang tertarik dengan film dokumenter. Sebagian besar menganggap dokumenter itu membosankan, dokumenter itu hanya untuk orang tua. Dokumenter juga diartikan hanya memberikan informasi yang pada kenyataannya anak muda tidak suka digurui.
•
Di negara-negara yang dokumenternya maju, dokumenter itu memiliki imajinasi yang bahkan bisa disertai action-action yang menarik. Anak muda juga menganggap film yang sensasional adalah film-film fiksi yang padahal dengan dokumenter bisa juga dilakukan. Kebanyakan dari mereka tidak bisa mengimajinasikan dokumenter menjadi semenarik film fiksi.