4
BAB 2 DATA & ANALISA
2.1.
Data dan Literatur Metode penelitian yang digunakan : •
Wawancara
•
Buku refrensi
•
Survei lapangan disertai pemotretan
•
Literatur dari internet
2.1.1. Seni tari ( sejarah dan fungsinya ) Sesungguhnya seni tari dapat digolongkan ke dalam seni teater. Seni teater mengandung tiga unsur, yakni penonton, tempat, dan pemain. Karena itu, teater meliputi seluruh seni pertunjukan yang terdiri dari pentas ( drama ), seni tari, seni musik ( karawitan ), dan seni gerak lainnya. Salah satu definisi tari berbunyi “tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerakgerak ritmis yang indah ( Soedarsono, tanpa tahun : 17 ) Kapan sebenarnya seni tari itu muncul tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti. Curt Sachs dalam bukunya World History of Dance mengemukakan bahwa perkembangan tari sebagai seni yang tinggi telah ada
5
pada zaman prasejarah ( Curt Sachs, 1963 : 209 ). Encyclopedia Americana menyebutkan bahwa usia tari itu setua umur adanya manusia. Selanjutnya diceritakan bahwa manusia purba dengan irama dan nalurinya dalam keadaan setengah sadar menciptakan gerakan-gerakan tari, yang sering menirukan gerakgerik binatang. Manusia purba itu menemukan bahwa dengan menari ia dapat menyalurkan kemewahan/kelebihannya, memperoleh kesenangan dan dapat menyatakan perasannya tentang peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya. Ia percaya bahwa melalui tari ia dapat berkomunikasi dengan dunia maya (niskala), yang mengawasi dunia fana (skala), tempat tinggalnya. Karena itu tarian primitif mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kesejahteraan suatu suku (tribe). Orang primitif menari untuk merayakan kelahiran, menyembuhkan penyakit, bela sungkawa, dan berdoa demi berhasilnya demi suatu perbuatan berburu, memohon hujan atau kemenangan dalam peperangan. Kemudian setelah masyarakat pertanian serta pedesaan semakin berkembang, maka tari itupun perlahan-lahan memisahkan diri dari suasana keagamaan dan magi, lalu makin dekat hubungannya dengan soal hiburan masyarakat (Encyclopedia Americana VIII, 1976 : 465).
2.1.2. Perkembangan kesenian di Cirebon Seperti juga halnya dengan cabang kebudayaan yang lain, kesenian Cirebon pada mulanya merupakan perwujudan persembahan rakyat pada cara kehidupan keagamaan. Sebelum kebudayaan Hindu masuk ke Pulau Jawa,
6
penduduknya memuja segala menifestasi alam yang mereka lihat disekitarnya: tumbuh-tumbuhan, batu karang dan laut, juga sungai, gunung, angin dan topan yang sekali-kali mengganggu kehidupan mereka. Mereka percaya bahwa segala manifestasi alam ini mempunyai roh sendiri, umpamanya roh nenek-moyang mereka, yang selalu hadir dan mengamati mereka, yang menjadi penjaga kehidupan dan kesatuan suku. Dengan demikian bagi orang-orang pra-Hindu semua kesenian bahkan dekorasi pada benda-benda fungsional merupakan perwujudan kepercayaan agama. Letak Cirebon pada persimpangan jalan dari berbagai jurusan, yang sekarang menjelma menjadi satu kota pesisir pada perbatasan Jawa Barat, dan merupakan contoh khas peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu-Jawa abad ke-15, mungkin sekali sangat mempengaruhi sifat kesenian Cirebon, yang pada umumnya mempelihatkan bekas sebagai kebudayaan yang tindih-menindih. Salah satu bukti adanya bekas itu adalah lambang keraton Cirebon, singa putih, peninggalan dari kerajaan Hindu-Sunda. Kemudian, sebagai bagian dari alam kekuasaan kerajaan Demak dan Gresik semasa agama Islam baru berkembang maka Cirebon telah menjadi pusat kehidupan pengaruh spiritual, dimana ajaran dan filsafat Hindu dan Islam bertemu dan mencari suatu sintesis, yang kemudian disebarkan jauh ke pedalaman maupun sepanjang pesisir pantai. Kini Cirebon terkenal karena pola-polanya yang berani, berbentuk liong, singa, gajah, megamendung, wadas, tumbuh-tumbuahan menjalar serta ayam
7
jantan yang berkokok. Kebanyakan motif ini adalah lambang yang dipuja, yang menunjukan kekuatan jantan dan keberanian, malah kadang-kadang keagresifan, petunjuk suatu bangsa yang ingin memperkenalkan kehadirannya setelah begitu lama ditelantarkan oleh dunia luar. Mungkin begitu keadaannya, sebab Cirebon keseniannya tidak begitu dikenal seperti pusat-pusat kesenian Jogjakarta dan Bali yang lebih terkenal. Agaknya wajar bila kecenderungan terhadap mistik dan asetik ini atau sikap pendiam dan ngambek yang membedakan mereka dari orang Sunda yang periang dan bergairah, muncul dalam suatu masyarakat yang selama berabadabad dihadapkan kepada masuknya aneka ragam tradisi, kebudayaan dan agama. Penyerapan begitu banyak fikiran merupakan suatu proses panjang dan menjemukan, namun dalam sinkritisme kebudayaan Cirebon tidak terdapat suatu sikap yang gelisah. Perwujudan kesenian mereka sengat licin dan tegas, sehingga unsur-unsur yang berbeda akhirnya tidak hanya menghasilkan satu benda kesenian, tetapi satu kesatuan yang mempunyai tempat sendiri. Keseluruhannya jauh lebih agung daripada bagian-bagiannya.
2.1.3. Pertunjukan Rakyat Tradisional Cirebon Sebagian besar dari seni pertunjukan rakyat tradisional di Cirebon bersifat mistik keagamaan dan kadang-kadang bercampur dengan unsur magis. Ada anggapan bahwa seni pertunjukan rakyat ini merupakan dasar peninggalan unsur-unsur pelampiasan seni pertunjukan masa pra-Hindu dan masa Hindu di
8
Jawa, yang pada masa Islam mengalami asimilasi dan mulai berkembang di pesisir utara pulau Jawa hingga kini. Pengaruh dari saat Islam mulai berpijak di pesisir utara pulau Jawa kepada kebudayaan di daerah-daerah ini mencetuskan suatu kebudayaan yang lazim dinamakan kebudayaan pesisiran, membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Demak, Lasem, Pati, Kudus, Gresik, dan Tuban. Pada seni pertunjukan rakyat di Cirebon dapat dirasakan ciri-ciri dan suasana yang khas Cirebon, meskipun unsur-unsur tarian, lakon dan seni pertunjukan rakyat lainnya diambil dari daerah-daerah lain di Indonesia, maupun dari luar Indonesia, seperti Cina. Namun hasil cetusan seni yang terdapat di Cirebon tidaklah sebagai suatu jiplakan, melainkan dihayati sebagai ciptaan-ciptaan khusus dari daerah tersebut. Pada pertunjukan tari topeng, misalnya, meskipun peranan-peranan lakon mempunyai persamaan dan memnag berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun cara membawakannya, kelincahan tarian-tarian serta suasana dinamis yang dapat diciptakan dengan pengaruh bunyi nada-nada gamelan Cirebon yang sangat khas mengikuti gerak-gerik penari adalah khas Cirebon. Seni pertunjukan rakyat di Cirebon ini seperti telah diutarakan diatas mempunyai sifat mistik keagamaan serta kadang-kadang unsur magis, yang tadinya merupakan dasar pengadaan suatu pertunjukan tertentu,. Yakni kepercayaan adanya daya magis di sekeliling kita yang dapat dihimpun, dikonsentrasikan, maupun diusir dengan pengadaan suatu seni pertunjukan apabila pertunjukan tersebut mengandung kekuatan tertentu. Pertunjukan itu kini
9
menjelma menjadi pertunjukan tari topeng, tari barongan, pertunjukan lais dan sintren serta pertunjukan-pertunjukan lainnya. Seni pertunjukan ini ada yang dikatakan bersifat keagamaan, karena dulu penyebar agama Islam menggunakan seni pertunjukan rakyat sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi masyarakat setempat agar dapat menerima ajaran agama Islam. Di antara penyebar agama-agama Islam, yang umumnya disebut Wali Sanga, terdapat Sunan Kalijaga, yang menurut tradisi merupakan pendekar utama penyesuaian ciptaan kebudayaan zaman Hindu sehingga menjadi bagian integral kebudayaan masyarakat muslim baru. Penampilan wayang golek, yang konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga untuk mengimbangi wayang kulit yang bermotif Hindu. Perlu dicatat bahwa wayang golek Cirebon dan Indramayu berlainan dengan wayang golek Sunda yang mengambil lakon wayang purwa seperti halnya wayang kulit di Jawa Tengah. Karena wayang golek Sunda itu muncul setelah proses pe-Mataram-an. Oleh sebab itu meskipun dalam percakapan wayangnya menggunakan bahasa Sunda, tetapi dalam uraiannya dituturkan dalam bahasa Jawa. Sunan Kalijaga tampaknya mengerti betul sampai sejauh mana pengaruh wayang dalam jiwa rakyat. Oleh karena itu beliau senantiasa menggunakan wayang sebagai bahan dakwah. Seni pertunjukan lain yang masih sering diadakan di desa-desa adalah pertunjukan Lais dan Sintren. Pertunjukan Lais adalah serupa dengan pertunjukan Sintren, hanya pada Lais dilakukan oleh anak laki-laki dan pada
10
Sintren dilakukan oleh anak perempuan. Pertunjukan Lais adalah sebagai berikut: seorang anak laki-laki dengan tangan diikat dipunggung dimasukan kedalam kurungan ayam dari bambu yang besar dengan sepersalinan pakaian di sebelahnya. Kurungan ditutup dengan kain. Sementara itu beberapa orang menyanyi dengan suling, kendang dan gong. Setelah beberapa saat tutup kurungan diangkat dan akan terlihat anak laki-laki itu sudah memakai pakaian yang terletak di sebelahnya itu dengan tangan masih terikat di punggungnya. Biasanya pertunjukan dilakukan pada malam hari pada bulan purnama. Pertunjukan Lais dan Sintren ini dapat bervariasi dari tempat ke tempat, tergantung selera dan kebiasaan mesyarakat setempat tentang pertunjukan ini. Di masa yang lampau dikenal pula pertunjukan Barongan, pertunjukan Gendruwon, pertunjukan Baksa, pertunjukan Birahi, pertunjukan Genjringan dan Tari Topeng. Masih banyak seni pertunjukan rakyat di Cirebon yang tidak disebutkan disini, namun dari yang telah dinyatakan ini dapat terlihat bahwa daerah Cirebon memiliki seni pertunjukan rakyat yang cukup banyak dan menarik.
11
2.1.4. Pendahuluan Mengenai Tari Topeng Cirebon
Panji
Samba
Rumyang
Tumenggung
Klana
Di Jawa Barat ada beberapa tarian atau drama tari yang penari-penarinya menggunakan topeng. Dapat disebutkan di antaranya adalah: Topeng Besar (wayang wong), Topneg Kecil (Topeng Babakan), Topeng Banjet, dan Ubrug. Namun berdasarkan cerita yang ditarikan, dan topeng yang digunakan, semua itu dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu Topeng Besar yang biasanya melakonkan cerita-cerita Mahabarata, dan Topeng Kecil yang biasanya melakonkan cerita-cerita Panji. Kedua topeng tersebut berasal dari Cirebon, yang dikenal sebagai tempat berkembangnya kesenian-kesenian klasik. Dari Cirebon lambat laun berkembang ke daerah-daerah Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, dll.
12
Drama tari topeng besar atau wayang wong mengambil, dan memaikan kisah-kisah dari mahabarata dengan memasukan unsure-unsur Islam. Jumlah topeng ada 22 buah, namun jumlah yang digunakan dalam suatu cerita tergantung pada cerita yang dibawakan. Ada topeng yang dapat digunakan untuk beberapa peranan yang berbeda tiap tokohnya. Topeng –topeng tersebut yaitu:
1. Rahwana (dapat juga dipakai untuk Indrajit, Gandamana, Kelana) 2. Hanoman 3. Yaksa 4. Bima 5. Arjuna 6. Subadra 7. Srikandi lungguh (melihat kebawah) 8. Srikandi dangah (menengadah) 9. Gatutkaca 10. Antareja 11. Abimanyu 12. Kresna Malang Dewa (Kresna sebagai anak) 13. Semar 14. Pentul 15. Dursasana 16. Sencaki (dapat dipakai untuk Bambang, Prabu Turalaya Patih) 17. Prabu Mandura 18. Cakil
13
19. Dewi Permoni 20. Togog 21. Aswatama 22. Bambang Segara
Cara menggunakan topeng adalah dengan menggigit secarik kulit yang ditempelkan
pada
bagian
dagu
topeng
sebelah
dalam,
sehingga
pemakai/penarinya tidak bias bersuara, sebab penari hanya berekspresi dengan gerakan atau tarian. Sedangkan ucapannya diucapkan oleh sang dalang.
Gamelan yang digunakan untuk mengiringi tari topeng ini adalah gamelan dengan surupan (nada) slendro. Jumlah penari paling sedikit lima orang dan jumlah/jenis gamelan terdiri atas: tiga kenong, dua saron, satu ketuk, satu atau dua gong, kendang, rebab, keprak dari kayu yang digantungkan pada kotak dan dipukul dengan menggunakan pemukul kayu oleh dalang.
Bila drama tari topeng besar banyak disukai, dan berkembang di kalangan masyarakat lapisan atas, sedangkan drama tari topeng kecil benyak disukai dan berkembang di kalangan masyarakat lapisan bawah atau rakyat kecil. Tari Topeng Kecil terdiri atas enam sampai delapan topeng, tetapi pada umumnya yang dimainkan hanya enam topeng, yaitu:
1. Panji, Pangeran dari Jongjola (di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Jenggala). 2. Pamindo atau Samba, putera Prabu Kresna, sama dengan pangeran Gunungsari di Jawa Tengah.
14
3. Rumyang atau Parumyangan 4. Pati atau Tumenggung Magangdi Raja, Patih dari Jongjola. 5. Klana, Raja dari Bewarna.
Kemudian kadang-kadang ditambah dua topeng lain yaitu Nyo, Jinggananom, Pentul dan Aki-aki.
Tari Topeng Kecil ini paling sedikit ditarikan oleh dua orang. Bahkan kadang-kadang ditarikan oleh seorang penari saja, yang caranya dengan mengganti mengganti tiap topeng setelah menari dengan membawakan tokoh yang satu kemudian diganti dengan tokoh yang lain. Topeng Panji biasanya dipakai oleh seorang penari wanita, dan topeng-topeng lain dipakai oleh penaripenari pria. Cara memakai topeng sama dengan topeng besar.
Gamelan pengiring adalah gamelan dengan surupan (nada) pelog. Alatalatnya terdiri atas satu atau dua buah saron, beberapa buah ketuk, satu sampai tiga buah gong, dan kemudian keprak. Selain itu kadang-kadang ditambah dengan kleneng (semacam boning di Jawa Tengah) dan kemanak.
Pada umumnya Tari Topeng Kecil ini tidak ditarikan selengkapnya melainkan hanya tiga atau empat topeng. Biasanya Panji, Samba, Pati dan Kelana. Kadang-kadang hanya Kelana saja, karena tarian Kelana merupakan Tarian yang paling digemari di Cirebon. Namun dalam hal demikian arti magisnya saja yang ditonjolkan, karena banyak topeng Kelana yang tua diperkirakan mengandung kekuatan magis, yang dapat membuat penari seolaholah kemasukan roh sehingga tarian Kelana tersebut dapat ditarikannya dengan
15
penuh dinamik dan bakat, bila tanpa topeng tersebut mungkin tidak dapat dilakukannya.
Topeng-topeng Cirebon mempunyai wajah-wajah yang ekspresif, menarik, menyeramkan dan hidup. Berlainan dengan topeng-topeng di Jawa Tengah, dimana tekanan diletakan pada keindahan hiasan dan ornamentik kepala dan kehalusan pembuatan wajah, maka tekanan pada topeng Cirebon adalah pada ekspresi muka yang terpancar dengan kuat. Wajah yang sabar dan halus seperti Panji dengan senyum sedikit dikulum, wajah Kelana yang angkuh dan amarah dan sangat hidup. Namun kini terlihat bahwa ekspresi wajah-wajah yang kuat ini hanya terdapat pada topeng-topeng Cirebon yang lama, sedangkan topeng-topeng baru yang kini dibuat kurang memiliki pancaran ekspresi wajah yang kuat tersebut.
Masih dibuatnya topeng-topeng dewasa ini menunjukan bahwa seni pertunjukan tarian topeng masih hidup di Cirebon. Bahan dasar untuk pembuatan topeng adalah kayu-kayu yang sifatnya tidak terlalu keras, dan ringan, seperti kayu waru, kuini, kenari, dan mentaos. Bahan warna atau cat yang digunakan adalah cat kayu. Pada topeng-topeng lama, bahkan warnanya menggunakan bahan-bahan yang sangat sederhana, yaitu cat bubuk yang dicampur dengan lem kak (ancur) dan dengan prada emas, sehingga permukaannya tidak terlalu mengkilat, dan lebih artistik dibandingkan dengan menggunakan cat kayu seperti yang digunakan pada topeng-topeng baru yang dibuat dewasa ini.
16
Topeng-topeng pada umumnya tipis dan ringan, memiliki lubang pada bagian mata, dan hidung dan serta ditempeli secarik kulit pada bagian dagu topeng sebelah dalam. Pada topeng-topeng lama bagian dalamnya sring diberi warna pada bagian dahi, hidung dan dagu, seolah-olah ingin memberikan sumber hidup kepada topeng tersebut yang berkaitan dengan kepercayaan tentang adanya suatu isi pada topeng-topeng tersebut.
Warna pada topeng juga mempunyai arti yang dalam, yakni arti mistik keagamaan, tidak diberikan begitu saja pada topeng. Tiap peran mempunyai warna tertentu dan warna ini mengutarakan satu sifat tertentu. Warna-warna ini digolongkan dalam lima golongan, sebagaimana hari pasaran Jawa: Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing serta kelima arah mata angin: utara, selatan, barat, timur dan tengah. Demikian pula dalam falsefah Jawa diperkirakan jiwa terdiri atas lima unsur, yakni: Mutmainah, Amarah, Supiyah dan Luwamah ditambah dengan manusia sendiri menjadi lima unsur. Bahwa angka lima ini penting terlihat pula pada Pancasila, kelima falsafah Negara Republik Indonesia. Warna menurut sifat-sifatnya digolongkan sebagai berikut:
1. Putih: suci, sabar, baik, mudah menagkap suatu pengertian. 2. Merah: nafsu, tamak. 3. Kuning: ingin memamerkan atau menonjolkan diri atau kekayaannya. 4. Hitam: tidak banyak bicara, bijaksana. 5. Banyak warna: pandai bicara dan dalam berbagai cara
17
Jika dihubungkan dalam penggolongan-penggolongan lainnya maka pembagian warna dapat disamakan sebagai berikut:
1. Putih = Pon = Mutmainah = Utara 2. Merah = Wage = Amarah = Selatan 3. Kuning = Kliwon = Supiyah = Barat 4. Hitam = Legi = Luwanah = Timur 5. Banyak warna = Pahing = Manusia = Tengah
Simbolik pada topeng-topeng secara garis besar dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Panji: lambang kehalusan tabiat dan kesabaran; Mutmainah 2. Samba: lambang menerima kehendak Tuhan, tentram; Supiyah 3. Pati: lambang memauan, kekerasan hati; Luwamah 4. Kelana: lambang nafsu; Amarah
Tarian Topeng Kecil lebih sering diadakan, tidak seperti wayang wong yang hanya sekali-kali diadakan. Hal ini disebabkan karena ongkos penyelenggaraan Tarian Topeng Besar jauh lebih mahal.
Melihat tradisi seni tari topeng, pengamatan kita tidak bisa lepas dengan perlengkapan yang dipakai seperti tersebut di bawah ini :
1. Kedok / Topeng yang terbuat dari kayu dan cara memakainya dengan menggigit bantalan karet pada bagian dalam nya.
18
2. Sobra sebagai penutup kepala yang dilengkapi dengan jamangan dan dua buah sumping. 3. Baju yang berlengan. 4. Dasi yang di lengkapi dengan peniti ukon (mata uang jaman dulu) 5. Mongkron yang terbuat dari batik lokoan. 6. Ikat pinggang stagen yang dilengkapi badong. 7. Celana sebatas bawah lutut. 8. Sampur / selendang 9. Gelang tangan 10. Keris 11. Kaos kaki putih sampai lutut 12. Kain batik 13. Kadang - kadang dilengkapi dengan boro (epek)
Selain kelengkapan busana tersebut di atas kadang-kadang untuk Tari Topeng Tumenggung menggunakan tambahan berupa tutup kapala kain dan dilengkapi dengan peci dan kaca mata
Iringan gamelan biasanya berlaras slendro atau prawa yang terdiri dari :
1. Satu pangkon bonang 2. Satu pangkon saron 3. Satu pangkon titil 4. Satu pangkon kenong 5. Satu pangkon jengglong
19
6. Satu pangkon ketuk 7. Satu pangkon klenang 8. Dua buah kemanak 9. Tiga buah gong (kiwul, sabet dan telon) 10. Seperangkat kecrek 11. Seperangkat kendang yang terdiri dari : kempyang, gendung, ketiping. Semuanya dimainkan dengan alat pemukul, kecuali untuk Tari Topeng Tumenngung kendang dimainkan secara biasa yaitu di tepak/dipukul dengan tangan.
Lagu-lagu yang mengiringi adalah: •
Kembangsungsang untuk Topeng Panji
•
Kembangkapas untuk Topeng Pemindo
•
Rumyang untuk Topeng Rumyang
•
Tumenggung untuk Topeng Tumenggung
•
Barlen untuk Topeng Jinggaanom
•
Gonjing untuk Topeng Kelana
2.1.5. Filosofi Tari Topeng Cirebon
Sudah lama Tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya pesonanya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari Panji, yang merupakan tarian pertama dalam rangkaian Tari Topeng Cirebon,
20
adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer Indonesia yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji seolah-olah “tidak menari”. Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membosankan. Sebuah tarian tapi tidak banyak gerak? Bukankah hakikat tari itu memang gerak (tubuh)?
Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Tari Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda.
Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya
21
yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Gegesik, Majalengka dan Palimanan.
Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.
Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.
Siapakah Empu pencipta tarian ini? Kita tak akan mengetahuinya, karena masyarakat Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.
Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng
22
(kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istriistri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja).
Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-BudhaJawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultansultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.
Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian ini di Istana Banten. Banten dan Cirebon,
23
sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di pedalaman.
Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultansultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.
Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini
24
umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.
Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.
Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan.
25
Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.
Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna gelap (merah tua).
Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.
26
Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana “penciptaan” terjadi. Tidak mengherankan kalau di zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.
Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling bertentangan.
Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah Cirebon.
Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah lambanglambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai
27
bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan. (Prof. Drs. Jakob Sumardjo, Pikiran Rakyat, Kamis, 29 Januari 2004)
2.1.6. Buku–Buku Pembanding
Berikut ini adalah buku-buku sejenis yang perbandingan atau dijadikan acuan atau refrensi penulis dalam menyusun buku “Tari Topeng Cirebon”:
1. Cerbon, oleh Paramita R. Abdurachman.. 2. Topeng, oleh Endo Suanda 3. Album Seni Budaya Jawa Barat, oleh Subroto S.M., Drs. Parsuki 4. Indonesia Manusia dan Masyarakatnya, oleh Ian Charles Stewart 5. Bali Eye of Indonesia, oleh Leonard Lueras 6. Sejarah Cirebon, oleh P.S. Sulendraningrat 7. Sejarah Peradaban Manusia Zaman Cirebon, oleh Y. Achadiati S.
28
2.2.
Buku
2.2.1. Fungsi Buku
Sebelum menetapkan rencana penerbitan, kita harus memahami fungsi sebuah buku terlebih dahulu. Menurut Iyan Wb. (Anatomi Buku, 2007 : 75), fungsi buku adalah sebagai berikut :
1. Sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan penulis kepada pembaca secara efektif. 2. Materi yang dibahas dan disampaikan buku dapat memberi manfaat kepada pembacanya. 3. Isi buku yang ditampilkan berusaha menarik dan memikat pembaca sehingga menghadirkan kesan tersendiri bagi pembacanya. 4. Setiap buku yang terbit ditujukan untuk meraih pembaca potensial dan meraih sukses dalam pemasaran. Menurut Zubaidi ( Berita Buku, 1997 : 12 ), secara garis besar buku yang baik dan akan tetap dikenang pembaca minimal memnuhi tiga syarat berikut: 1. Memenuhi kebutuhab pasar dan konsumen. 2. Mempunyai manfaat bagi konsumen, baik untuk sekedar menambah wawsan atau sekedar pelepas kepenatan pikiran. 3. Memiliki daya pikat (bargaining position), yaitu perwajahan kuar yang elok dan perwajahan dalam yang baik, terutama deskripsi substansi.
29
2.2.2. Anatomi Buku Sebuah buku yang baik tentu juga memiliki kelengkapan dalam isinya. Berikut ini merupakan teori dasar dari anatomi buku (Iyan Wb., Anatomi Buku, 2007). Halaman pendahulu (premilinaries, prelims, front title) merupakan bagian depan sebuah buku sesudah sampul. Halaman pendahulu buku teks dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut adalah : 1. Halaman prancis (france title, half title) 2. Halaman judul utama (full title, page title) 3. Halaman hak cipta (copyright notice) 4. Halaman persembahan (dedikasi) 5. Halaman ucapan terima kasih (acknowledgements) 6. Halaman sambutan 7. Halaman kata pengantar (foreword) 8. Halaman prakata (preface) 9. Halaman daftar isi (contents) 10. Halaman daftar tabal 11. Halaman daftar lambang 12. Halaman dafatar ilustrasi 13. Halaman pendahuluan (introduksi) Bagian halaman-halaman pendahulu dapat dicantumkan semua di dalam sebuah buku dan dapat juga tidak. Oleh karena itu, pertimbangan pencantuman
30
bagian–bagian halaman pendahulu di dalam sebuah buku didasarkan kebutuhan buku tersebut. Selain diletakan di halaman pendahulu, beberapa buku menempatkan halaman daftar table, halaman daftar singkatan dan akronim halaman, daftar lambang, dan halaman daftar ilustrasi di halaman penyudah. Halaman teks isi (text matter) atau disebut juga halaman isi buku merupakan inti dari sebuah buku. Oleh karena iu, halaman teks isi harus disusun secara terpadu dengan halaman lainnya (halaman pendahulu dan halaman penyudah), baik dari segi isi, sistematika penulisan dan penomoran, maupun penataletakannya. Dengan kepaduan tersebut, diharapkan pembaca akan merasa nyaman dan tidak merasa jenuh ketika memahami semua kalimat yang tersaji dan terkandung dalam buku. Unsur-unsur yang lazim terdapat di halaman buku teks adalah : 1. Judul bab 2. Penomoran bab 3. Alinea teks 4. Penomoran teks 5. Perincian 6. Kutipan (sitiran) 7. Ilustrasi 8. Tabel 9. Judul lelar (page titlte, running title) 10. Inisial
31
11. Catatan samping 12. Catatan kaki (foot note) 13. Bagian buku Tidak semua unsur halaman isi tersebut ada di dalam sebuah buku. Pencantumannya tergantung pada kebutuhan buku itu sendiri. Peletakan permulaan bab juga dapat divariasikan penempatannya, yaitu di halaman kanan dan di halaman kiri. Harus diingat bahwa jka peletakan permulaan setiap bab selalu di halaman kanan, dapat menimbulkan halaman kosong di akhir bab seandainya teks bab tersebut berakhir di halamn ganjil. Hal itu berbeda dengan peletakan permulaan bab di halaman kanan dan di halaman kiri (berlanjut). Penempatan seperti itu tidak akan menimbulkan halaman kosong di akhir sebuah bab. Di dalam buku teks terdapat halaman yang fungsinya tidaklah lebih penting dibandingkan halaman pendahulu dan halaman teks isi. Halaman tersebut adalah halaman penyudah (postliminary, refrence pages). Halaman penyudah merupakan bagian akhir dari sebuah buku sebelum sampul belakang. Keberadaan halaman penyudah di dalam buku tidak dapat dipisahkan dengan dua halaman sebelumnya terutama teks isi karena halaman penyudah merupakan kelanjutan dari kelanjutan halaman teks isi. Seperti halaman pendahulu dan halaman teks isi, halaman penyudah dibagi menjadi beberapa bagian. Pengadaan bagian halaman penyudah di dalam
32
sebuah buku bergantung pada kebutuhan buku tersebut. Bagian halaman penyudah yang lazim terdapat dalam buku teks adalah : 1. Halaman daftar pustaka (bibliografi) 2. Daftar Istilah (glosarium) 3. Halaman catatan akhir 4. Halaman lampiran (apendiks) 5. Halaman indeks (penjurus) 6. Halaman pertanggungjawaban ilustrasi Peletakan setiap permulaan bagian halaman penyudah tersebut dapat dimulai di halaman kanan (recto) maupun halaman kiri (verso). Penempatan tersebut bergantung pada peletakan setiap permulaan bab di halaman teks isi. Secara garis besar, sebuah buku dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar adalah sampul dan atau jaket buku, sedangkan bagian dalam adalah isi buku. Sampul dan jaket merupakan pelindung isi buku dan merupakan bagian buku paling luar Apabila diibaratkan pelindung tubuh manusia, sampul adalah pakaian yang dikenakan sedangkan jaket adalah pelindung pakaian dan tubuh. Sampul dan jaket mempunyai fungsi lain yang tidak kalah pentingnya bagi sebuah buku, yaitu berusaha memikat perhatian pembaca. Oleh karena itu, sampul dan jaket harus didesain semenarik dan seindah mungkin sehingga mempunyai daya saing dengan buku sejenis dan akan tampak menonjol jika dipajang di rak toko buku.
33
Ketika dilakukan pendesainan sampul dan jaket, kedua fungsi buku tersebut; pelindung dan pemikat; harus dipadukan dan disatukan dalam bentuk visualisasi hasil akhir, agar desain tersebut tampak maksimal. Harus selalu diingat bahwa sampul dan jaket merupakan perwujudan isi sebuah buku. Ilustrasi yang terdapat di bagian depan sampul atau jaket adalah salah satu sarana untuk memikat perhatian pembaca selain sebagai penyeimbang komposisi. Selain pengolahan dan pendesainan ilustrasi, unsur lain yang harus turut dipertimbangkan ketika melakukan pendesainan bagian depan sampul atau jaket adalah pemilihan dan penentuan jenis dan ukuran huruf yang tepat, serta penggunaan komposisi warna senada dan serasi. Jika semua unsur tersebut disatukan dan dipadukan dalam setu visualisasi yang indah dan menarik, niscaya dapat menambah jati diri buku tersebut. Unsur-unsur yang terdapat di bagian belakang sampul atau jaket tentu berbeda dengan unsur yang terdapat di bagian depan meskipun terdapat pula unsur yang sama. Unsur yang terdapat di bagian belakang adalah judul buku, sinopsis isi buku (wara), biografi penulis, serta International Standard Book Number (ISBN). Bagian punggung merupakan merupakan satu yang terletak di antara bagian belakang sampul atau jaket. Bagian punggung berfungsi sebagai pemandu jika buku tersebut diposisikan bediri dan disandingkan bersama buku lain di rak
34
buku. Dengan begitu, pembaca dapat lebih mudah menemukan buku yang dicarinya. Bagian punggung memuat nama penulis, judul buku, dan logo penerbit. Penempatan unsur tersebut lazim ditulis dari atas ke bawah. Jaket buku mempunyai kesamaan dengan sampul buku: baik fungsinya, unsur maupun tingginya. Sementara itu, lebar jaket lebih besar dibandingkan sampul.
2.2.3. Struktur Buku Berikut ini merupakan rancangan struktur isi dari buku “Tari Topeng Cirebon.” Halaman Judul Halaman Hak Cipta ( Copyright Notice ) Daftar isi Pendahuluan Kata Pengantar BAB 1
Latar Belakang Sejarah Sejarah Perkembangan Kesenian di Cirebon Asal Mula Penyebaran Tari Topeng Cirebon
35
BAB 2
Panca Wanda
BAB 3
Kedok Tambahan
BAB 4
Pokok-pokok Tari Topeng Cirebon
BAB 5
Perlengkapan Pementasan Tari Topeng
BAB 6
Pembuatan Topeng
BAB 7
Sanggar Tari Topeng di Cirebon
Daftar Istilah Biografi penulis Ucapan terima kasih Daftar Pustaka 2.3.
Data Penyelenggara
Penerbit Gramedia mulai menerbitkan buku sejak tahun 1974. Buku pertama yang diterbitkan adalah novel Karmila, karya Marga T. Sedangkan untuk buku non-fiksi pertama adalah Hanya satu Bumi, yang ditulis oleh Barbara Warden dan Rene Dubois (diterbitkan bekerjasama dengan Yayasan Obor). Yang kemudian disusul oleh buku seri anak-anak pertama Cerita Dari Lima Benua, dan kemudian seri yang lain. Dengan misi “Ikut mencerdaskan dan memajukan kehidupan Bangsa serta masyarakat Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama berusaha keras menjadi agen
36
pembaruan bagi bangsa ini dengan memilih dan memproduksi buku-buku yang berkualitas, yang memperluas wawasan, memberikan pencerahan, dan merangsang kreativitas berpikir. Melalui pengalaman jatuh-bangun dan melihat kebutuhan pasar, Gramedia Pustaka Utama akhirnya mengkonsentrasikan diri untuk menggarap dua bidang utama, yakni fiksi dan non-fiksi. Bidang fiksi dibagi menjadi fiksi anak-anak dan pra-remaja, remaja, dewasa. Bidang non-fiksi dibagi menjadi humaniora, pengembangan diri, bahasa dan sastra Indonesia, bahasa Inggris/ELT, kamus dan refrensi, sains dan teknologi, kesehatan, kewanitaan ( masakan, busana ), dsb. Karena visi dan misi itu pula, gramedia berusaha memilih penulis-penulis yang berkualitas. Di deretan fiksi kita mengenal nama-nama yang
memiliki reputasi
internasional seperti: Sidney Sheldon, Agatha Christie, Sir Arthur Conan Doyle, John Grisham, Danielle Steel, dll ; dan lima penulis wanita paling top di Indonesia: Marga T., Mira W., Maria A. Sardjono, V. Lestari and S. Mara Gd. Di deretan non-fiksi untuk penulis local ada hermawan Kartajaya, Kwik Kian Gie, Rhenald Kasali, Husein Umar, Vincent Gaspers, Andreas Herefa, Anand Krishna, Hembing W., Nila Chandra, Marry Winata, Rudy Choirudin, dll.; dan untuk penulis asing ada: Jack Canfield & Mark Victor Hansen ( Seri Chicken Soup for the Soul ), John Gray, Daniel Goleman, John P. Kotter, Joe Girrard, Andrew Weil, dll.
37
2.4.
Karakteristik Produk •
Informatif dan edukatif melalui isi buku yang dipaparkan, baik untuk masyarakat awam maupun orang yang mendalami seni tari topeng itu sendiri.
•
Menghibur melalui visual fotografi dan ilustrasi yang ada, serta tata letak / layout yang dinamis dan warna-warna yang menarik.
2.5.
•
Menambah minat dan ketertarikan pembaca akan Tari Topeng Cirebon
•
Menambah kecintaan masyarakat terhadap budaya Indonesia
Target Market Target market yang ingin dituju adalah kalangan dewasa dengan status sosial
menengah ke atas baik pria maupun wanita, yang ingin mempelajari atau sekedar mengetahui tentang seni dan kebudayaan Indonesia, terutama seni pertunjukan rakyat di Cirebon. 1. Geografi •
Domisili
: Kota-kota besar di Indonesia
•
Wilayah
: Perkotaan
•
Kepadatan
: Tengah hingga pinggiran kota
2. Demografi •
Jenis kelamin
: Unisex ( pria dan wanita )
•
Usia target
: Produktif
•
Kependudukan
: Dewasa ( 25 – 40 tahun)
•
Agama
: Universal ( mencakup semua agama )
•
Kebangsaan
: Indonesia
38
•
Kelas ekonomi
: Menengah ke atas
3. Psikografi •
Tingkat sosial
: Menengah ke atas ( kelas A dan B )
•
Gaya Hidup
: Modern dan mempunyai minat dan ketertarikan
akan hal-hal yang berhubungan dengan seni dan kebudayaan Indonesia, terutama seni tari dan petunjukan rakyat tradisional. Suka berwisata (traveling) •
Kepribadian
: terpelajar, berpikiran terbuka, menyukai seni,
berjiwa bebas, mementingkan prestige ( gengsi, martabat ). •
Perilaku
:
o Menghargai hal-hal yang berbau seni. Sedang mendalami pendidikan ataupun berprofesi dalam bidang seni. o
Memiliki minat atau ketertarikan dengan suatu keindahan tradisional dalam kehidupan yang relatif modern.
o Memperhatikan kualitas, dalam hal ini merupakan kualitas sebuah buku itu sendiri, informasi yang dipaparkan, bahan kertas, dsb. o Hobi membaca dan berwisata / traveling.
39
2.6.
Analisa SWOT
Strength : -
Isi buku mengenai salah satu pertunjukan rakyat tradisional Cirebon yang memberikan daya tarik tersendiri bagi penontonnya mulai dari ritual sebelum pementasan, filosofi, perlengkapan, dan tentu saja topeng-topeng dan tariantariannya dengan pesonanya yang tinggi.
-
Buku publikasi ini menghibur melelui kumpulan foto-foto, gambar ilustrasi, sembari mempelajari secara garis besar mengenai Tari Topeng Cirebon.
-
Sebagai salah satu pecatatan budaya.
Weakness : -
Topik yang dibahas terlalu spesifik dan segmented sehingga target market menjadi semakin sempit.
-
Pertunjukan-pertunjukan rakyat tradisional kurang mendapatkan apresiasi yang sepantasnya di zaman modern seperti sekarang ini.
Opportunities : -
Buku-buku mengenai seni dan kebudayaan di Indonesia sebagian besar hanya berisikan tulisan dan gambar foto yang seadanya, sehingga pembaca terkadang cepat bosan bila hanya membaca tulisan yang banyak, maka dari
40
itu penggunaan foto yang terkonsep dan ilustrasi menjadi nilai tambah buku ini. -
Buku-buku mengenai seni tari di Indonesia yang ada saat ini relatif sulit ditemukan.
-
Kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan warisan seni dan kebudayaan tradisional Indonesia.
-
Ketertarikan masyarakan akan buku yang edukatif dan menghibur.
-
Buku lain sejenis yang kebanyakan hanya berupa textbook.
Threats : -
Persaingan yang semakin ketat, dikarenakan semakin beragamnya tema buku yang diterbitkan sekarang ini di pasaran.
-
Ketidakpedulian masyarakat kini akan pentingnya kesenian tradisional, membuat mereka lebih memilih buku yang bertema modern ataupun bukubuku fiksi dibandingkan non-fiksi.