BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
I.
Permasalahan yang Dihadapi
Penegakan hukum sebagai salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor, antara lain peraturan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar dalam melaksanakan penegakan hukum dan instansi yang melaksanakan proses tersebut termasuk di dalamnya aparat penegak hukum. Tanpa menghilangkan arti pentingnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus yang ada di masyarakat, prioritas pembangunan hukum khususnya penegakan hukum pada tahun 2006 dan 2007 adalah penanganan perkara korupsi dan pelanggaran HAM. Dalam rangka penanganan kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, beberapa permasalahan yang sampai saat ini masih dihadapi oleh instansi penegak hukum dan lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) antara lain yang menyangkut peraturan perundang-undangan baik yang mengatur mengenai hukum materiilnya maupun hukum formil, serta
masih terbatasnya pemahaman baik dari aparat penegak hukum maupun masyarakat umum terhadap hukum yang ada. Masih adanya kelemahan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebabkan adanya permasalahan dalam penanganan kasus korupsi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan kedua undang-undang tersebut yang mengatur tentang tidak dapat dipergunakan lagi unsur perbuatan melawan hukum secara materil dalam pembuktian perkara korupsi dan masalah eksistensi dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sehingga perlu segera dipikirkan upaya untuk mengamendemen kedua undang-undang tersebut. Sistem hukum acara dalam penanganan kasus korupsi yang berlaku saat ini merupakan salah satu penyebab belum memungkinkannya penanganan tindak pidana korupsi secara cepat. Demikian juga dengan adanya ketentuan dalam UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang mensyaratkan adanya persetujuan DPR dalam pembentukan Pengadilan Ad Hoc HAM menyebabkan beberapa kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Tanjung Priok 1984, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti 1998, Semanggi I dan Semanggi II, Timor Timur 1999, Abepura 2000, peristiwa Wasior 2001-2002, dan Peristiwa Wamena 2003 belum dapat ditindaklanjuti oleh Kejaksaan meskipun penyelidikan terhadap kasus-kasus tersebut telah dilakukan dan diserahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung. Terkait dengan pemberantasan korupsi melalui upaya pencegahan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) telah dilakukan Pelaksanaan RAN PK yang merupakan percepatan langkah-langkah/upaya konkret yang akan dilakukan oleh pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mempercepat perbaikan/ penyempurnaan kebijakan dan/atau kelembagaan di bidang pelayanan publik yang bersih dan bebas dari korupsi. Kegiatan itu belum menunjukan hasil yang optimal karena masih banyak instansi/ lembaga baik di pusat maupun di daerah yang belum mengimplementasikannya. 11 - 2
Upaya pemerintah untuk memberantas korupsi ternyata belum membawa perubahan siginifikan. Kasus korupsi di beberapa intansi pemerintah masih saja terjadi selama dua tahun terakhir ini. Di samping itu, masyarakat masih merasa belum memaksimalkan lembaga peradilan dalam melakukan penanganan korupsi. Masih banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat negara ataupun oleh kelompok masyarakat tertentu baik dalam rangka penyampaian pendapat di muka umum maupun dalam rangka melaksanakan hak dasarnya menunjukan belum sepenuhnya terwujud pelaksanaan dan perlindungan hak sipil dan politik dan belum terwujudnya hak atas rasa aman dan tenteram, perlindungan pribadi, serta kehormatan dan martabat seseorang. Di samping itu, belum terungkapnya kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir dirasakan oleh masyarakat belum adanya kepastian hukum dalam rangka penegakan HAM.
II.
Langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai
Penghormatan, pengakuan dan penegakan hukum dan HAM diarahkan pada kebijakan untuk mendorong terciptanya penegakan dan kepastian hukum yang konsisten khususnya dalam rangka pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM melalui pemajuan perlindungan, penegakan, pemenuhan, dan penghomatan HAM, serta menegakan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif dan memihak pada rakyat kecil Upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi terus dilakukan salah satu indikator keberhasilan yang dapat dilihat adalah semakin membaiknya indeks persepsi korupsi (IPK) pada tahun 2003 sebesar 1,9; pada tahun 2004 meningkat menjadi 2,0; selanjutnya pada tahun 2005 sebesar 2,2; dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 2,4. Meskipun IPK ini lebih merupakan gambaran mengenai semakin membaiknya pelayanan publik di Indonesia, angka tersebut dapat menunjukan bahwa upaya untuk pencegahan dan penanganan kasus korupsi mempunyai dampak positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
11 - 3
Dalam upaya pencegahan korupsi, sepanjang tahun 2006Januari 2007, telah dilakukan konsultasi publik RAN PK 2004-2009 serta Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) ke-11 provinsi yaitu, Bali, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Bangka Belitung, Jawa Tengah, Papua, Sulawesi Tenggara, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat. Sebagai salah satu wujud dari keseriusan Indonesia dalam melakukan upaya untuk pemberantasan korupsi adalah dengan melakukan ratifikasi terhadap United Nation Convention Against Corruption ( UNCAC ) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006. Meskipun telah ditandatangani sejak 2003 dan diratifikasi pada awal 2006, banyak kalangan yang belum mengetahui isi dari UNCAC. Penafsiran dan pemahaman dari ketentuan-ketentuan yang tercakup dalam UNCAC harus dilakukan bersama-sama oleh semua stakeholders untuk selanjutnya disesuaikan dan dirumuskan dalam kebijakan hukum nasional berupa peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi pada masa yang akan datang dan diimplementasikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasca ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti-Korupsi 2003 memerlukan pemahaman dan langkah koordinasi yang serius dari pemerintah dan masyarakat, antara lain aparat penegak hukum dan lembaga Pemerintah lainnya serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) karena Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti-Korupsi 2003 mewajibkan Indonesia untuk menyesuaikan berbagai peraturan perundang-undangan nasional dengan aturan dalam konvensi internasional tersebut dan melaporkan hasil pelaksanaannya setiap tahun di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti-Korupsi 2003 terdapat strategi memiliki saling ketergantungan satu sama lain dan menjadi suatu mekanisme pemberantasan korupsi yang komprehensif, yaitu pencegahan, penindakan, kerjasama internasional, perundangundangan, penyusunan laporan dan mekanisme, serta pengembalian aset negara yang dikorupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu lembaga penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi telah melakukan kegiatan berupa pencegahan dan penindakan tindak 11 - 4
pidana korupsi. Tahun 2006 KPK telah menerima 858 surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) baik yang berasal dari kejaksaan sebanyak 526 dan dari kepolisian sebanyak 332. Selanjutnya, pada tahun 2007 sampai dengan triwulan II telah menerima 260 SPDP, baik dari kejaksaan sebanyak 194 dan kepolisian sebanyak 66. Peran masyarakat dalam rangka ikut melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara juga sangat berpengaruh terhadap proses pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Pada periode 2006 sampai dengan juni 2007 KPK telah menelaah 9.419 laporan pengaduan masyarakat dengan hasil 2.134 mengandung indikasi tindak pidana korupsi, 221 ditindaklanjuti oleh KPK, dan 1.054 pengaduan dikoordinasikan dengan instansi lain. Terkait dengan penindakan terhadap kasus/perkara korupsi, KPK dari tahun 2006 sampai dengan triwulan kedua 2007 telah melakukan penyelidikan terhadap 90 kasus, penyidikan 47 perkara, dan penuntutan 40 perkara. Selanjutnya, pada periode yang sama perkara korupsi yang telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) oleh pengadilan tipikor berjumlah 31 perkara. Sementara itu, sampai dengan bulan Juni 2007 perkara korupsi yang masih dalam proses persidangan pada Pengadilan Tipikor adalah berjumlah 8 perkara termasuk di dalamnya perkara pungutan dana non budgeter tahun 2002 sampai dengan 2006 yang dilakukan oleh Sekjen Departemen Kelautan dan Perikanan. Dalam rangka untuk menunjang keberhasilan proses pemeriksaan kasus korupsi, salah satu faktor yang sangat penting adalah adanya bukti dan saksi. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan dapat memacu masyarakat untuk melaporkan adanya dugaan korupsi. Selama tahun 2006 KPK telah bekerja sama dengan kepolisian untuk memfasilitasi permintaan perlindungan terhadap pelapor. Perlindungan ini lebih melindungi dari adanya tuntutan hukum atas pencemaran nama baik bagi pelapor. Di samping melakukan penindakan KPK juga melakukan upaya pencegahan praktik korupsi antara lain dengan melakukan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) pada tahun 2006 sebanyak 65.448 laporan dan sampai dengan Juni 2007 sebanyak 68.298 laporan. Data yang ada menunjukan bahwa dari tahun ke tahun mulai adanya peningkatan kesadaran dari penyelenggara negara untuk 11 - 5
melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Di samping itu, KPK juga melakukan penelitian terhadap laporan gratifikasi dari pejabat negara, pada tahun 2006 telah diterima sebanyak 326 laporan dengan nilai Rp3.522.150.230,00; US $1,300,00; Sin $47,000.00; dan dalam bentuk barang Rp517.477.250,00. Sampai dengan triwulan II tahun 2007 telah diterima pengembalian formulir gratifikasi sebanyak 61 laporan dengan nilai sebanyak Rp7.444.416.815,00. Kejaksaan RI merupakan instansi penegak hukum yang menjalankan fungsi penuntutan dan dalam perkara korupsi juga menjalankan fungsi penyidikan. Pada tingkat penyidikan perkara korupsi Kejaksaan RI sepanjang tahun 2006 telah menyelesaikan sebanyak 695 perkara dari 1.758 perkara yang berasal dari sisa perkara tahun 2005 dan perkara baru yang masuk pada tahun 2006. Selanjutnya, sampai dengan April 2007 Kejaksaan RI telah menyelesaikan 99 perkara dari 1190 perkara yang berasal dari perkara sisa tahun 2006 dan perkara baru yang masuk laporan tahun 2007 termasuk di dalamnya kasus dugaan korupsi ekspor beras yang melibatkan pejabat di lingkungan instansi Badan Urusan Logistik (Bulog). Pada tingkat penuntutan tahun 2006 telah diselesaikan 772 perkara dari 807 perkara dan sampai dengan April 2007 telah diselesaikan 176 dari 196 perkara yang ada. Beberapa kasus korupsi yang penting dan menarik perhatian masyarakat luas antara lain kasus dana abadi umat Departemen Agama, kasus dana Jamsostek, dan kasus yang melibatkan anggota dewan serta pejabat eksekutif/penyelenggara negara di daerah dan pusat. Di samping menangani perkara pidana khusus korupsi, Kejaksaan RI juga telah menangani perkara pidana umum lainnya seperti perkara psikotropika dan perkara terorisme yang dalam beberapa tahun terakhir ini meresahkan masyarakat. Pada tahun 2006 telah ditangani perkara psikotropika dari 5.419 perkara telah diselesaikan sebanyak 5.072 atau 93,60%. Sementara itu untuk perkara terorisme dari 21 perkara diselesaikan 19 perkara atau 90,48%. Pada tahun 2007, 70 perkara tindak pidana Psikotropika yang masuk telah diajukan ke pengadilan dan sampai dengan Mei 2007 baru diputus 19 perkara, sedangkan untuk tindak pidana terorisme dari 4 perkara yang masuk telah diajukan dan diputus dipengadilan.
11 - 6
Dalam rangka penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia) telah dibentuk pengadilan HAM ad-hoc terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur dan Tanjung Priok. Terhadap kedua perkara tersebut sudah ada putusan pengadilan HAM ad-hoc sehingga saat ini tinggal menunggu untuk eksekusi oleh Kejaksaan RI. Namun demikian terhadap kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, kasus Kerusuhan Mei 1998, kasus Wasior dan Wamena, serta kasus penghilangan orang secara paksa, telah dilakukan penelitian oleh Komnas HAM dan ada dugaan pelanggaran HAM berat, kasus-kasus tersebut tidak dapat ditindaklanjuti tahap penyidikan dan penuntutan karena terhalang pada hukum acara yang ada. Komnas HAM sebagai lambaga independen yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia telah melakukan upaya untuk mewujudkan hal tersebut. Terhadap kasus tindak kekerasan yang dialami oleh warga Jemaat Ahmadiyah seperti penyerangan kampus Mubarok di Parung pada tanggal 9 dan 15 Juli 2005, serta penyerangan warga Jemaat Ahmadiyah di Cianjur pada tanggal 19 September 2005, penyerangan warga jemaat Ahmadiyah di Ketapang pada Oktober 2005 dan Februari 2006, Komnas HAM telah melakukan pemantauan dan penyelidikan. Terkait dengan perlindungan terhadap anak, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan atas proses hukum Raju. Dari hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada proses hukum terhadap Raju. Untuk itu Komnas HAM telah mengirimkan surat kepada Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Kepolisian RI untuk menghindari kasus serupa terulang kembali. Dalam kaitannya dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, Komnas HAM melakukan pemantauan dan penyelidikan awal terhadap peristiwa bentrokan antara warga masyarakat dan TNI AL di Desa Alas Tlogo, Pasuruan, Jatim. Apabila terdapat indikasi pelanggaran HAM berat, tidak menutup kemungkinan akan dibentuk Tim Penyelidikan ProYustisia Dalam rangka mendorong pembangunan HAM di Indonesia telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM yang merupakan agenda strategis untuk menyelesaikan pembangunan nasional menuju 11 - 7
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Implementasinya merupakan wujud tanggung jawab dan kewajiban terhadap penghormatan, perlindungan, penegakan, pemajuan, dan pemenuhan HAM sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 39 tahun 1999. Dalam rangka pelaksanaan RAN HAM 2004-2009 telah dibentuk panitia pelaksana di 33 provinsi dan panitia pelaksana di 343 kabupaten dan di 93 kota yang bertujuan untuk mensosialisasikan dan sekaligus mendorong pelaksanaan HAM di daerah. Adapun kegiatan yang dilakukan di daerah tersebut antara lain adalah melakukan persiapan harmonisasi perda, diseminasi dan pendidikan HAM, penerapan norma dan standar HAM, serta pemantaun evaluasi dan laporan. Sebagai bagian dari upaya untuk memberikan perlindungan HAM khususnya untuk anak, kegiatan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) mendorong semua komponen masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga independen yang merupakan mandatori dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah membentuk 16 Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) di tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia. Dalam kaitannya dengan perlindungan atas hak perempuan terhadap kekerasan, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan telah memfasilitasi kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang berlangsung pada tanggal 25 November – 10 Desember 2006. Di samping itu, untuk mengetahui perkembangan penanganan kekerasan terhadap perempuan secara nasional, Komnas Perempuan membuat catatan tahunan. Sepanjang tahun 2006 tercatat telah terjadi kekerasan terhadap perempuan sebanyak 22.512 kasus yang ditangani oleh 258 lembaga. Dalam rangka pengawasan penindakan terhadap orang asing telah ditangkap 347 WNA yang melakukan pelanggaran ketentuan keimigrasian. Sementara itu dalam upaya penegakan hukum keimigrasian telah dilakukan pencegahan terhadap 1231 orang, penangkalan terhadap 7764 orang deportasi terhadap 1883 orang .
11 - 8
III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Dalam rangka untuk mendorong keberhasilan upaya pemberantasan korupsi perlu adanya tindakan yang menyeluruh baik yang sifatnya pencegahan maupun penindakan terhadap tindak pidana korupsi. Salah satu upaya untuk melakukan pencegahan terjadinya praktik korupsi adalah dengan terus melakukan sosialisasi pelaksanaan RAN PK dan mendorong tiap-tiap daerah untuk menyusun Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi. Di samping itu, dalam rangka penindakan terhadap pelaku korupsi maka terus dilakukan upaya untuk penindakan baik penyidikan maupun penuntutan di pengadilan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa untuk mendorong agar penanganan perkara tindak pidana korupsi dapat diselesaikan dengan cepat maka perlu adanya penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan korupsi seperti penyempurnaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Penyempurnaan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Di samping itu, untuk mendorong penegakan hukum di bidang Hak Asasi Manusia perlu adanya pengkajian dan usulan untuk adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM agar penanganan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang saat ini masih belum dapat ditindaklanjuti ke arah proses hukum dapat segera tertangani. Selain itu, dalam rangka untuk memberikan perlindungan terhadap saksi, khususnya untuk perkara-perkara korupsi dan pelanggaran HAM yang melibatkan aparat negara, perlu segera dibentuk peraturan pelaksanaan undang-undang perlindungan saksi dan korban.
11 - 9