Nahdlatul Ulama dan Penegakan HAM (Maghfur Ahmad)
NAHDLATUL ULAMA DAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Maghfur Ahmad* Abstrak: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan sipil memiliki peran strategis untuk mengontrol dan menegakkan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Bagi NU, HAM merupakan persemaian antara nilai-nilai hak asasi yang berkembang di Barat, Islam maupun nilainilai keindonesiaan. Dalam konteks HAM di Indonesia, lima prinsip dasar: hifz al-nafs (jiwa), hifz al-dîn (agama), hifz al-nasl (keturunan), hifz al-mâl (harta) dan hifz al-aql (akal) dipahami secara kontekstual, sesuai kondisi lokalitas kebangsaan, yang terkadang berlainan dengan paham ortodoksi Sunni. NU memahami, gerakan hak asasi manusia di Indonesia sebagai gerakan oposisional melawan pihak lain, terutama negara, yang mengabaikan nilai dan hak dasar manusia. NU memaknai gerakan HAM tidak untuk melangengkan rezim penguasa yang tiranik, melainkan gerakan progresif menuju terciptanya kebebasan warga untuk memperoleh jaminan hak asasi manusia. Bagi NU, perjuangan HAM semata-mata demi terwujudnya tata kehidupan berbangsa-bernegara yang lebih makmur, adil, dan sejahtera. Nahdlatul Ulama (NU) as a civil power has a strategic role to control and enforce the Human Right in Indonesia. To NU, Human Right is a seedling of basic right values living in the West, Islam and Indonesia. In the context of Indonesian Human right, five basic principles: hifz al-nafs (right to live), hifz al-din (right to believe), hifz al-nasl (right *. Jurusan Syariah STAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan Email:
[email protected], hp. 081931917814
175
176
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 175-190
to produce children), hifz al-mal (right to have property), and hifz al-aql (right to have his or her mind be safe) are understood contextually according to the local wisdom, and it, sometime, is different from the orthodox concept of Sunni. NU views the Human Right movement in Indonesia as an oppositional movement to other side, especially the government that neglects values and human basic rights. It also means the movement not to preserve the tyranny regime, but as a progressive movement to manifest the citizens’ freedom to get their human right guaranty. The struggle to enforce the Human Right, to NU, is only to manifest more prosperous, fairer, and safer national life. Kata Kunci: NU, hak asasi manusia, lima prinsip dasar, kesejahteraan sosial
PEDAHULUAN Nahdlatul Ulama (NU) sebagai elemen bangsa memiliki tanggung jawab yang setara dengan pihak yang lain dalam mencapai tujuan bernegara. Negara hadir bertujuan untuk menyejahterakan rakyat dengan prinsip kesetaraan dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, segenap potensi dan elemen bangsa mestinya dikerahkan secara maksimal. Namun demikian, hingga kini perjuangan ke arah terwujudnya kehidupan berbangsa yang lebih adil, damai dan sejahtera belum juga dapat dinikmati. Bahkan, menurut Salil Shetty (2010), Sekretaris Jenderal Amnesty Internasional bahwa “tujuan pembangunan milenium telah gagal mengentaskan kelompok yang paling miskin karena pemerintah telah mengabaikan hak-hak asasi manusia. Sebaliknya justru banyak negara melakukan pelanggaran hak asasi manusia,” (Kompas, 2010: 18/9). Pernyataan di atas relevan dengan berbagai kajian bahwa tegaknya nilainilai hak asasi manusia menjadi prasyarat kemandirian sebuah bangsa dan negara. Negara yang mengabaikan hak asasi manusia akan kehilangan martabat sebagai bangsa (Fajar Riza Ulhaq dan Endang Tirtana, 2007: xiii). Hak asasi manusia (HAM) menempatkan manusia pada titik sentral dalam hubungan antar bangsa, kelompok, individu yang terbebas dari berbagai bentuk penjajahan, intimidasi, dominasi atau eksploitasi karena tidak sesuai dengan semangat universal nilai-nilai kemanusiaan (Abbas, 2007: 4). Negara dapat menjamin kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyatnya, jika hak asasi
Nahdlatul Ulama dan Penegakan HAM (Maghfur Ahmad)
177
warganya dapat terjamin. Negara berkewajiban menegakkan dan memenuhi hak asasi bagi rakyatnya (Barry, 1981: 182-184). Tanpa itu, negara dinilai gagal mengemban tanggung jawab untuk mengayomi dan melindungi rakyat menuju hidup sejahtera dan adil. Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti peristiwa G 30 S PKI, operasi militer di Aceh pada masa Orba, kasus Timor Timur, pencabutan izin media masa, kasus Udin, Marsinah, pembunuhan aktivis HAM Munir, membatasi kebebasan berpendapat, melarang peredaran buku dan lain sebagainya menjadi problem krusial penegakan HAM yang belum dapat diselesaikan. Belum lagi, hak dasar rakyat untuk menikmati pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, lingkungan yang layak dan air bersih juga masih jauh dari standar kelayakan. Dalam kondisi seperti ini, rasanya untuk melahirkan negara yang damai, sejahtera dan berkeadilan sebagai tujuan final bangsa Indonesia masih perlu perjuangan ekstra keras. Perjuangan penegakan HAM sangat terasa berat karena berhadapan dengan kekuatan negara yang justru menjadi penghalang, yang dalam beberapa kasus, pihak ‘penguasa’ adalah perampas hak-hak rakyatnya. Atas dasar itu, mengkaji peran NU sebuah organisasi sosial keagamaan sebagai kekuatan sipil menjadi menarik. NU sebagai kekuatan sipil memiliki peran penting dalam membangun Indoensia secara utuh (Ridwan, 2010: 487), mengontrol dan mengkritisi kebijakan negara dalam memenuhi hak dan hajat hidup rakyatnya. Kajian ini difokuskan pada bagaimana kontruksi hak asasi manusia melalui epistemologi berpikir model NU; gerakan perjuangan NU dalam mengimplemetasikan nilai-nilai HAM dalam kehidupan berbangsa; serta bagimana penerapan HAM bekerja untuk kemaslahatan umat. PEMBAHASAN A. HAM Versi NU, Dari ‘Kemapanan’ Ke Gerakan Oposisi Doktrin politik Sunni mengatakan bahwa kemaslahatan umat hanya dapat terwujud jika terpenuhinya hak-hak dasar yang dimiliki seseorang. Hak yang dimaksud adalah terjaganya lima prinsip dasar: hifz al-nafs (jiwa), hifz aldîn (agama), hifz al-nasl (keturunan), hifz al-mâl (harta) dan hifz al-aql (akal). Kelima prinsip yang semula berkembang di berbagai literatur fiqih Sunni, khususnya di kalangan Syafi’iyah, kemudian dijadikan sebagai inspirasi dalam mengkaji wacana hak asasi manusia di kalangan NU.
178
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 175-190
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang bersifat universal dan dimiliki seseorang sepanjang waktu serta melampaui batasan geografis, agama, nasionalisme, seks, status sosial, etnis, maupun kultur. Masalah HAM baru menjadi perbincangan publik pada pasca- Perang Dunia II. Tepatnya setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berdiri pada 1945 berhasil memaklumkan Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) pada 10 Desember 1948. Namun demikian apabila dilihat lebih jauh, gagasan mengenai hak asasi telah muncul jauh sebelumnya. Pada masa pencerahan (enlighten-ment) telah muncul istilah human rights sebagai ganti dari istilah natural rights dan istilah rights of man yang telah muncul sebelumnya. Pemikiran mengenai HAM juga telah muncul pada Abad XIII sebagaimana termuat dalam dokumen Magna Charta (1215) dan juga Petition of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689) (Prasetyo, 2007: 67). Dalam konteks dunia Islam, nilai-nilai HAM dapat ditelusuri pada piagam Madinah, pidato haji Wada’ hingga Deklarasi Kairo. Pasal 1 Deklarasi Kairo 1990 tentang Human Rights in Islam (Al-Huqûq al-Insâniyah fî al-Islâm, HAM dalam Islam) menekankan bahwa semua insan setara dalam hal martabat kemanusiaan, tanggung jawab dan kewajiban dasar, tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, keyakinan agama, afiliasi politik, status sosial, atau pun pertimbangan lain. Dalam pemikiran Sunni, geneologi berpikir NU, masalah HAM sebagai persoalan penting dalam kehidupan, baik dalam konteks hubungannya dengan sang Kholiq maupun berkaitan dengan persoalan kemanusiaan. Dalam jagad kosmologis, manusia memiliki kedudukan yang amat tinggi. Manusia merupakan khalifah Allah di muka bumi. Setiap individu mengemban misi kekhalifahan yang harus dilakukan dalam rangka memakmurkan peradaban dunia. Sebab itu, manusia harus berlaku dan diperlakukan secara proporsional pada posisi yang semestinya. Sebagai hamba Allah, manusia diciptakan dengan mulia untuk memimpin kehidupan (Q.S. al-An’am: 165). Atas dasar tugas tersebut, manusia dijadikan dalam bentuk sebaik-baik kejadian (Q.S. al-Tîn: 4), yaitu terdari dari unsur jasmani dan rohani. Kesempurnaan manusia didukung oleh kebaikan bentuk kejadian dan mempunyai martabat tinggi lagi mulia. Baik sebelum seseorang dilahirkan maupun setelah meninggalnya, manusia mempunyai dan tetap mempunyai hak-hak yang diformulasikan dan dilindungi secara jelas oleh agama. Karena individu mempunyai hak dan kemampuan untuk
Nahdlatul Ulama dan Penegakan HAM (Maghfur Ahmad)
179
menggunakannya, Allah menjadikannya sebagai khalifah-Nya di muka bumi, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Dengan demikian, manusia mempunyai hak al-karâmah dan hak al-fadhîlah. Merujuk pada Kholid N. Ishaque (1974), tokoh Sunni kenamaan Abdurrahman Wahid (1940-2009) menyebutkan empat belas point hak asasi manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu; hak untuk hidup, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk mendapat perlakuan yang sama, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan negara, hak untuk menolak sesuatu yang melanggar hukum, hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak untuk memperoleh kebebasan dari ancaman dan penuntutan, hak untuk berbicara, hak atas perlindungan terhadap penuntutan, hak memperoleh ketenangan pribadi, hak ekonomi, termasuk hak mendapat upah yang layak, hak untuk melindungi kehormatan dan nama baik, hak atas harta benda, dan hak untuk penggantian kerugian yang sepadan (Wahid, 1985: 96). Hak asasi manusia menjadi persoalaan serius dan mendapat perhatian di kalangan NU. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1418 H/1997 M mengelaborasi penegakan hak asasi manusia menjadi bagian dari strategi mewujudkan misi Islam yang rahmatan li al’âlamîn (Asrori, 2004: 620-622). Melalui lima prinsip dasar yang diakui di kalangan Sunni (ushul al-khams), NU merekomendasikan agar jajaran PBNU memperjuangkan dan menyusun strategi untuk menegakkan al-huqûq al-insâniyyah (HAM) secara aktif, serius dan berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemasalahan umat. Kelima hak dasar yang dirumuskan oleh NU adalah: Pertama, hifz aldîn yang berarti menjaga agama. Prinsip ini memberikan jaminan hak kepada umat untuk memelihara agama dan keyakinan (al- dîn). Jaminan atas keyakinan ini meliputi juga untuk mengekspresikan, mengamalkan serta berkhidmah secara penuh dan konsekuen atas pilihan agamanya. Bagi Sunni, Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas etnis. Karena itu, Islam juga menjamin kebebasan beragama dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu terhadap yang lain. Jaminan beragama akan melandasi relasi antar masyarakat atas dasar sikap saling hormat menghormati, yang pada akhirnya akan menimbulkan sikap tenggang rasa dan saling pengertian. Dengan saling pengertian, kebebasan beragama justru menjadi perekat dalam kehidupan sosial. Sebab itu, negara harus menjamin hak beragama warganya, tanpa terkecuali, tanpa diskriminasi.
180
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 175-190
Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran diskriminasi oleh negara, lembaga, sekelompok orang, atau orang mana pun atas alasan-alasan agama atau kepercayaan lainnya. Inilah prinsip penting hifz al- dîn. Fakta sejarah mencatat bahwa penegakan hak asasi manusia mengalami pasang surut. Penafsiran mengenai hifz al-dîn terdakang sangat politis, demi menjaga stabilitas politik. Menjaga ortodoksi pemikiran keagamaan untuk menopang kelangsungan kekuasaan. Interpretasi hak (menjaga) keberagamaan masyarakat menjadi tergantung pada keberpihakan negara terhadap aliran, mazhab, organisasi kemasyarakatan, pemikiran tertentu disertasi penolakan keyakinan, pemahaman dan segala praktik aliran lainnya dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Dalam konteks inilah, perlunya dibuka peluang bagi siapa saja untuk menafsirkan hifz al-dîn secara proporsional sesuai watak Sunni. Sebab menjaga agama berarti juga bermakna kebebasan memahami dan mempraktikan agama sesuai level pemahaman individu. Kedua, hifz al-nafs: memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Islam menuntun keadilan atas pemenuhan kebutuhan dasar (hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan dan keselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenanganwenangan. Kemerdekaan jiwa seseorang dari rasa khawatir, ancaman, intimidasi, takut (freedom from fear) dan kekurangan (freedom of want) merupakan bagian penting dalam mewujudkan Islam yang damai, adil dan sejahtera. Untuk itu, segala bentuk kekerasan terhadap jiwa dan raga mesti ditolak. Bagi pandangan Sunni, al-Qur’an tidak mengajarkan kekerasan, bahkan kekerasan itu sendiri bukan bagian integral dari al-Qur’an. “Islam” merupakan penegasian terhadap berbagai ideologi, konsep, bentuk dan praktik kekerasan. Satu sisi, Islam berarti penyerahan kepada kehendak Allah, dan di sisi lain berarti mewujudkan perdamaian. Oleh karena itu, kewajiban agama bagi seorang Muslim adalah tunduk kepada kehendak Allah dan sekaligus menciptakan perdamaian dalam masyarakat melalui aksi dan perbuatannya. Sebab itu, kekerasan atas nama agama sesungguhnya bentuk nyata penodaan agama yang paling nyata. Alih-alih membela agama, kekerasan justru prilaku biadab yang dikutuk oleh agama. Jiwa yang mutmainnah adalah jiwa yang tentram. Yang hanya dapat terwujud jika ada jaminan atas kesehatan jasmani, ketentraman jiwa dan kedalaman spiritual dalam tata kehidupan yang beradab. Inilah makna penting dari hifz al-nafs.
Nahdlatul Ulama dan Penegakan HAM (Maghfur Ahmad)
181
Ketiga, hifz al-aql: manjaga akal, suatu jaminan atas kebebasan berpikir, bernalar serta berekspresi. Untuk menjamin terlaksananya hifz al-aql, maka perlu kebijakan yang berpihak dan dapat mendorong pada kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan pendapat, opini, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas yang memanfaatkan kemampuan rasionalitas seseorang. Di samping itu, Islam juga melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi, minuman keras dan lain-lain. Penggunaan zat aditif dapat merusak dan menghalangi optimalisasi kerja akal. Pintu kerusakan harus ditutup untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Sementara itu, berbagai intimidasi yang dilakukan oleh penguasa atau seseorang untuk mengintervensi pendapat, gagasan dan pemikiran orang lain harus dicegah. Di samping dapat melanggar hak asasi seseorang, juga akan mereduksi nilai-nilai ‘kemuliaan’ manusia. Begitu juga pelarangan terhadap peredaran buku, pendapat dan pemikiran mesti dihindari. Sebaliknya, sarana yang dapat menjamin hifz al-aql perlu diperlebar ‘pintunya.’ Kebebasan mengungkapkan pendapat—baik melalui buku, media masa, forum ilmiah— merupakan bagian dari ekspresi intelektual seseorang yang sarat nilai Ilahiyah. Pintu ‘kebebasan berpikir’ mesti dibuka secara luas. Berpikir dan menyebarkannya adalah bagian dari ajaran dan tugas transendental yang harus berdampak sosial. Wajar dan sudah seharusnya jika ‘akal’ harus dijaga bukan hanya kualitasnya, tetapi juga penggunaan dan kemanfaatannya. Namun demikian, dalam dinamika historisitas Sunni, penafsiran terhadap hifz al-aql sering dimanfaatkan oleh penguasa tertentu untuk melanggengkan wilayah kekuasaannya melalui konservatisme dan pembakuan berpikir model Sunni. Semestinya, pada matra yang sesungguhnya, hifz al-aql berarti deklarasi Islam Sunni atas pengakuan kebebasan berfikir. Bebas tanpa pihak yang boleh mengekang sekali pun itu institusi negara dengan dalih stabilitas politik. Keempat, hifz al-nasl: jaminan atas kehidupan privasi dan kesucian setiap individu, perlindungan atas profesi, jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Free sex, zina, homoseksual adalah perbuatan yang dilarang karena bertentangan dengan hifz al-nasl. Hak dasar ini mencerminkan bahwa Sunni memprioritaskan moral dan etika sebagai landasan dalam kehidupan seseorang. Kesucian keturunan dan keluarga perlu diproteksi, sebab ia merupakan organisasi sosial paling dasar. Melalui keluarga yang baik, akan lahir dan berkembang generasi umat yang tangguh. Sebab itu, keluarga tidak boleh dirusak dan kesuciaanya perlu dijaga dari berbagai
182
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 175-190
kekuatan destruktif baik yang datang dari penguasa, budaya asing maupun muncul dari internal. Kesucian keluarga inilah yang akan melandasi keimanan dan memancarkan toleransi dalam derajat yang sangat tinggi. Melalui keluarga, individu-individu dapat mengembangkan pilihan-pilihan tanpa gangguan, sementara kohesi sosial masih terjaga, karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya ke dalam unit sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Sementara itu, kebebasan menentukan profesi berarti kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan atas resiko, dampak atau akibat, mengenai keberhasilan yang ingin diraih maupun kegagalannya. Kebebasan berprofesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya. Namun demikian, hendaknya pilihan profesi masih dalam koridor umum dan wajar bagi masyarakat. Sebab, pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat. Di sinilah pentingnya dicari secara terus menerus jalan keseimbangan (al-tawƒþâzun)—sebagaimana karakter Sunni—antara hak-hak individu dan kebutuhan publik. Kelima, hifz al-mâl: jaminan atas kepemilikan harta benda, properti, hak paten dan sebagainya. Islam juga melarang adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri, korupsi, monopoli, eksploitasi dan seterusnya. Setiap warga punya hak untuk memiliki harta dan memanfaatkannya demi menjamin kelangsungan hidupnya. Menafikan hak kekayaan seseorang akan berdampak pada kekacauan hidup. Dan sebab itu, kekacauan yang diakibatkan oleh ketidakpastian jaminan hak milik perlu dieliminir. Seseorang berhak memperoleh dan memiliki kekayaan melalui kerja sesuai keterampilan yang ia pilih. Masing-masing orang memiliki potensi, kecenderungan dan skil yang berbeda-beda. Hifz al-mâl berarti juga melindungi dan menjaga keanekaragaman potensi yang dimiliki seseorang untuk memperoleh dan memiliki harta benda. Termasuk harus dijamin penggunaannya tanpa ada intimidasi dari pihak mana pun. Hak-hak dasar yang menjadi embrio pengembangan konsep hak asasi manusia di kalangan Sunni NU sebetulnya menyisakan berbagai pertanyaan. Karakter NU yang dikenal dengan pemikiran dan sikap yang moderat, seimbang, proporsional serta mementingkan stabilitas dalam segala relung kehidupan menjadi penyebab utamanya. Nilai-nilai di atas menjadi dasar interpretasi kalangan NU dalam merekonstruksi pemahaman hak asasi manusia.
Nahdlatul Ulama dan Penegakan HAM (Maghfur Ahmad)
183
Hifz al-aql sebagai salah satu pilar hak asasi manusia dalam praktiknya bisa dimaknai penyeragaman cara berpikir. Menjaga proses dan hasil pemikiran agar selalu dalam koridor stabilitas politik. Pemikiran yang ke luar dari jalur mainstream dianggap tidak lagi masuk dalam golongan jamâ’ah. Orangorang yang berpandangan berbeda bukan lagi bagian dari ‘kita’, tetapi mereka adalah ‘other’, wong liyo, ‘hum’ dan di luar ortodoksi Sunni. Mereka dituduh kufur, syirik, sesat, bid’ah dan seterusnya. Bisa saja akan muncul tuduhan bahwa ‘menjaga akal’ hanya sebagai alat terselubung untuk melanggengkan kekuasaan yang anti kritik, tiranik dan sewenang-wenang. Bukankah dalam sejarah politik Sunni kenyataan ini memang benar-benar terjadi? Atau sebaliknya, justru pemahaman hifz al-aql yang berbasis ‘stabilitas’ merupakan implementasi nyata watak NU yang sesungguhnya. Sejarah yang akan atau bahkan telah membuktikan. Dalam konteks inilah rumusan, pemahaman, penafsiran dan pemaknaan HAM mesti didialogkan dengan konteks lokalitas dan berpihak pada rakyat akar rumput. Bukan konsep dan penerapan HAM yang berpihak pada penguasa, pemilik modal maupun elit lainnya. Watak Sunni yang adaptif, moderat, proporsional dan mengedepankan prinsip keseimbangan, yang diikuti NU bukan berarti mentolelir konsep HAM yang kompromis, melainkan sebuah strategi gerakan HAM yang mengunakan prinsip-prinsip tersebut untuk sebesar-besar demi kepentingan rakyat. C. NU dan Jejak Perjuangan Hak Asasi Manusia NU sebagai kekuatan sipil telah, sedang dan akan menjalankan peran perjuangan mengawal implementasi nilai-nilai HAM di Indonesia. NU minus pergerakan kerakyatan bukanlah NU. Tanpa spirit juang penegakan HAM untuk kemaslahat umat, posisi NU sebagai civil society dipertanyakan. Dalam konteks inilah wilayah kerja gerakan hak asasi manusia yang digelorakan NU dapat bermain diberbagai level sesuai kebutuhan. Perjuangan HAM dapat dimulai dari tingkat pengambil kebijakan, pelaksana, monitoring hingga pada wilayah akar rumput. Mulai dari kerja legislatif, eksekutif, yudikatif hingga pada pengawalan nilai-nilai HAM dalam aktivitas kebangsaan. Hak milik merupakan salah satu poin penting dalam hak asasi manusia. Memperjuangkan dan mempertahan hak milik agar tidak dirampas oleh pihak yang bukan berhak merupakan langkah strategis yang mesti dilakukan. Untuk
184
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 175-190
mewujudkan penegakan hak asasi tersebut bukan hanya butuh usaha dan pengorbanan, melainkan juga keberanian. Keberanian ini menjadi penting karena pihak-pihak yang semestinya berkewajiban memenuhi seperti institusi dan birokrat negara justeru sering merampas hak dasar rakyatnya (Kompas, 18/9/2010). Kasus perjuangan petani Jenggawah pada tahun 1995 merupakan contoh nyata dalam kehidupan bernegara kita. Bahwa hak milik harus diperjuangkan, ia tidak akan hadir dengan sendiri. Pada saat itu, petani bergerak dan membakar gedung-gedung tembakau. Petani memprotes hak-hak milik atas tanahnya seluas 1.200 hektar yang telah digarap bertahun-tahun dirampas penguasa. Kiai-kiai NU seperti KH Sodiq Mahmud, KH. Imam Masyhuri dan lainnya dituding berada dibalik radikalisme petani. Pejuang hak asasi seperti petani Jenggawah dalam mempertahankan hak miliknya, di samping harus memiliki jiwa heroik, ia harus punya ketahanan yang prima. Intimidasi, rayuan, ancaman selalu datang, bahkan dalam laporan Majalah Ummat edisi 4 September 1995, mereka diminta mundur dengan iming-iming imbalan sejumlah 350 juta rupiah. Atas sikap, keberanian, konsistensi dan kegigihan petani Jenggawah dalam memperjuangkan haknya, Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (YAPUSHAM) memberikan Anugrah Hak Asasi Manusia Yap Thien Hien kepada petani Jenggawah. Menyikapi perihal kasus petani Jenggawah ini, KH Cholil Bisri menilai: “Rakyat Jenggawah yang sudah bertahun-tahun menggarap tanah itu patut memiliki dan menggarapnya, karena tanah itu adalah peninggalan penjajah yang otomatis menjadi tanah mati (ardh amwât). Jadi, menurut Kiai Cholil, dalil apa saja yang dipakai, yang berhak atas tanah ini adalah rakyat Jenggawah”. Hak kebebasan beragama, berkeyakinan dan menjalankan agama menjadi perhatian bagi kalangan NU. Pada September tahun 2005 ada rapat pleno PBNU di Bogor. Dalam rapat tersebut sempat muncul usulan agar membahas masalah Ahmadiyah yang saat itu menjadi isu hangat dan kontroversial. Sebagian pengurus NU yang bergabung dalam ICMI mengusulkan agar NU mengeluarkan fatwa tentang sesatnya aliran Ahmadiyah seperti yang dilakukan oleh MUI. Melalui proses yang panjang hasil pleno dimenangkan oleh sayap pejuang hak asasi manusia di NU. Pleno memutuskan untuk tidak akan menghakimi dan menuduh “sesat dan menyesatkan” untuk komunitas Ahmadiyah. Bagi NU, demi masa depan kebangsaan Indonesia yang majemuk
Nahdlatul Ulama dan Penegakan HAM (Maghfur Ahmad)
185
maka mengakomodasi varian komunitas agama di Indonesia adalah sikap terpuji dan moderat sebagaimana prinsip yang dianut NU (Baso, 2006: 43). Kebebasan beragama dan penjalankan ritual keagamaan, sekali pun diakui dalam konstitusi, namun dalam dataran realitas sering terjadi deviasideviasi. Pengakuan konstitusi terhadap kebebasan berkeyakinan tidak utuh. Diskriminasi terhadap Darul Arqom, Ahmadiyah, Lia Eden, Komunitas Adat Karuhun Sunda Cigugur dan ratusan penganut penghayat kepercayaan dan kebatinan masih tetap berlangsung. Dalam situasi relasi keagamaan seperti ini, negara yang memiliki otoritas untuk menjamin kebebasan beragama bagi warga, justru menjadi perampok hak warganya. Entah atas dalih stabilas politik, ekonomi atau pembangunan, atau lainnya, negara berlaku tidak adil terhadap aliran-aliran keagamaan yang “tidak mapan”. Perlakuan diskriminatif menunjukkan bahwa negara tidak menghargai kebebasan individu untuk menentukan pilihan agamanya. Beragama, baik itu model Ahmadiyah, atau lainya merupakan bentuk ekspresi kebebasan individu yang paling fundamental (Madjid, 1992: 654-565). NU selama ini telah memerankan diri sebagai gawang terakhir tentang toleransi dan kebebasan beragama. Profil Gus Dur, tokoh progresif NU, adalah ikon pejuang HAM. Komitmen itu ditujukkan dengan keberaniannya mengungkap gagasan nonmuslim (baca: minoritas) dapat menjadi kepala negara di Indonesia, dan juga keberaniannya menentang setiap pelanggaran atau ketimpangan HAM lainnya. NU dan Gus Dur menjadi jendela bagi kaum minoritas untuk melihat ada jaminan hak di Indonesia (Suhanda (ed), 2010: 22). Ketika Syi’ah, Ahmadiyah, Darul Arqom, atau kelompok minoritas lainnya dikebiri hak-hak politik dan agamanya oleh negara dan sebagian umat Islam, baik lewat MUI, ICMI atau FPI, justru NU tampil membela hak-hak mereka (AULA Nomor 08, XVI Agustus 1994: 58-61). Bukan hanya masalah internal kebebasan beraliran dalam Islam, langkah Gus Dur menerbitkan Keppres No. 6 tahun 2000 juga didukung oleh NU. Itu artinya, secara otomatis Impres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China juga tercerabut. Momen ini menandai babak baru penegakan hak sipil dan beragama bagi kaum Konghucu. Atas dasar itu, atraksi Barongsai, dan sejenisnya dijamin hidup dan hak-haknya oleh negara (Ridwan, 2010: 363). Peran penting NU menjadi signifikan dalam mengawal hak asasi manusia. Artinya NU telah meletakkan fondasi bagi kebebasan beragama yang selama ini tidak diperoleh kalangan Konghucu.
186
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 175-190
Kasus Alastologo juga menjadi ujian bagi NU dalam memperjuangkan hak dan martabat warga. Alastologo adalah salah satu desa dari 10 desa yang memiliki yang memiliki sejarah konflik berkepanjangan antara warga setempat dan tentara (TNI AL). Kasus perebutan lahan, berujung pada penembakan warga sipil dan pembakaran beberapa fasilitas menunjukkan arogansi aparat negara. Tentara yang digaji dari uang rakyat justru menjadikan rakyat sebagai sasaran tembak. Dalam kasus ini, PCNU Pasuruan membentuk tim infestigasi. Namun pada saat yang sama pembelaan elit-elit NU masih perlu dipertanyakan. Ada ketidakpedulian jajaran elit dalam membela hakhak rakyat kecil, seperti warga NU di Alastologo. Demikian juga tentang kasus Lapindo. Data yang dilansir oleh Paring Waluyo Utomo, Winarso, dan Mashuri per Agustus 2006 dengan per Januari 2007 menyebutkan: pengungsi 12.659 Jiwa (3.333 KK) dan meningkat menjadi 25.134 jiwa (6852 KK); sawah/ladang sejumlah 353,29 ha menjadi 359,2 ha; tambak 7000 ha; ternak unggas 1.605 ekor; ternak kambing 30 ekor; ternak sapi 2 ekor; perumahan ada 1.810 (menjadi 18.696); Sekolah 18 unit (menjadi 23 unit); tempat ibadah 15 unit; dan perusahaan 19 unit (menjadi 24 unit) (Ridwan, 2010: 405). Data ini menunjukkan bahwa kasus Lapindo adalah tragedi kemanusiaan. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus ini. Korban dari luapan lumpur Lapindo adalah masyarakat bawah NU di Sidoarjo. Ketidakjelasan penyelesaian kasus ini hingga sekarang menandai ketidak hadiran negara, elit politik, termasuk elit NU dalam menegakkan hak asasi rakyat. Dengan demikian, kiprah NU dalam mengawal penegakan hak asasi manusia mengalami pasang surut, dinamis, bahkan terkadang sulit ditebak. D. Penegakan HAM untuk Keadilan dan Kemaslahatan Umat Menegakkan nilai-nilia HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hanya abash jika berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Kredo politik Sunni yang paling utama dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah tasharruful imâm ’alâ al- ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah. Kebijakan penguasa terhadap persoalan rakyat harus berorientasi dan demi menegakkan kemaslahatan bersama. Tanpa kesejahteraan dan keadilan sosial, maka penegakan HAM menjadi sia-sia. Persoalannya, bagaimana konsep penerapan HAM yang melahirkan mashlahah yang diformulasi oleh NU dalam konteks
Nahdlatul Ulama dan Penegakan HAM (Maghfur Ahmad)
187
keindonesiaan dan bagaimana strategi penerapannya dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Salah satu tujuan pokok bernegara adalah terjaminnya kualitas hidup masyarakat yang damai, adil dan sejahtera. Kebutuhan institusi negara dalam pandangan Sunni adalah kebutuhan instrumental, agar manusia sebagai kholifah Allah di muka bumi dapat menjalankan amanatnya sebagai agen perubahan sosial untuk menggelorakan dan mengimplementasikan kerahmahmatan bagi semesta alam. Dengan demikian, rahmatan li al-,âlamîn merupakan mandat, orientasi, visi, misi dan target strategis penyelenggaraan pemerintahan dalam ajaran Sunni. Sebagaimana Sunni, NU juga meyakini bahwa Islam lahir, al-Qur’an diturunkan, serta nabi Muhammad SAW diutus hanya dalam rangka menebar dan mewujudkan peradaban manusia yang damai dan sejahtera. Al-Qur’an menjelaskan bahwa: “Kami mengutus engkau hanya bertujuan memberi rahmat bagi alam semesta.” (Q.S. al-Anbiya’: 107); dan juga “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S. al-Nahl: 64). Pemerintahan dalam pandangan NU harus mampu menjamin terselenggaranya kehidupan yang berkeadilan, terjaminnya hak-hak dasar rakyat serta dapat membangun kesejahteraan ummatnya. Dalam konteks inilah, kehadiran institusi negara bersinggungan dengan upaya mewujudkan kemaslahatan umat. Negara harus mampu mewujudkan dan mengamankan kepentingan publik yaitu jaminan hidup, aman, damai, adil dan sejahtera. Negara Indonesia harus bisa memerankan fungsinya—meminjam bahasa Imam al-Syathibi (730 H-790 H)—sebagai institusi yang menginisiasi jalb almashâlih wa dar’ al-mafâsid, mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadorotan. Al-Syâthibî dalam Al-Muwâfaqât-nya menegaskan: “Telah diketahui bahwa diundangkannya syari’at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak.” (Syâthibî, tt: 19; Ibn, tt: 10). Dalam istilah Yûsuf al-Qardlâwî: “Di mana ada maslahah, di sanalah terdapat hukum Allah.” (Qardlâwî, 1998: 68). Dengan demikian, keberhasilan negara terletak pada bagaimana mampu memenuhi hak dasar rakyat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial.
188
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 175-190
Demi keadilan dan kesejahteraan sosial itulah, NU sebagai kekuatan sipil memiliki andil besar untuk menekan pemerintah agar dapat memenuhi hak asasi warga. Negara yang tidak menjalankan kewajibannya untuk menjamin hak-hak asasi rakyatnya, sama halnya kehadiran negara Indonesia menjadi tidak bermakna. Ada namun tidak berfungsi, ada namun tidak berbekas. Dalam konteks ini, NU menjadi penting sebagai institusi yang dapat memaksa agar negara tidak absen dalam menegakkan hak asasi untuk rakyat yang lebih adil dan sejahtera. KESIMPULAN Dari kajian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, terjaminnya hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa merupakan syarat penting menuju tercapainya MDGs. Dalam konteks keindonesiaan, NU sebagai lembaga sosial kemasyarakatan memiliki peluang, kesempatan dan potensi untuk mengontrol dan menegakkan hak asasi manusia. Kedua, HAM dalam konsep NU merupakan persemaian antara nilai-nilai hak asasi yang berkembang di Barat, Islam maupun nilai-nilai lokalitas keindonesiaan. Sebab itu, bagi NU, hak-hak beragama, berserikat, berpendapat, berpenghasilan, hak milik dan lain sebagainya, bukan diadopsi secara tekstual dari konsep Barat atau Islam tetapi didialogkan secara kritis dengan realitas sosial, politik, budaya ekonomi dan lainnya. Dengan demikian, hak asasi yang dipahami NU, demi terjaganya lima prinsip dasar: hifz al-nafs (jiwa), hifz al-dîn (agama), hifz al-nasl (keturunan), hifz al-mâl (harta) dan hifz al-aql (akal) bisa jadi maknanya berlainan dengan pemahaman pemikiran ortodoksi Sunni selama ini. Ketiga, dalam perjalanan kehidupan berbangsa bagi NU selama ini, menunjukkan bahwa pemahaman dan gerakan penegakan hak asasi manusia di Indonesia yang digalang NU adalah dalam rangka gerakan oposisi melawan pihak lain, terutama negara, yang mengabaikan nilai dan hak dasar manusia. NU memaknai gerakan HAM tidak untuk melanggengkan rezim penguasa tirani atau situasi destruktif melainkan gerakan progresif menetang pihak-pihak yang menghalangi tegaknya nilai-nilai hak asasi manusia. Keempat, hak asasi manusia ditegakkan demi terwujudknya tata kehidupan berbangsa-bernegara yang makmur, adil, dan sejahtera. Tak ada maksud lain gerakan HAM melainkan untuk menjamin kebebasan berekspresi,
Nahdlatul Ulama dan Penegakan HAM (Maghfur Ahmad)
189
berserikat, bekerja, terpanuhinnya kebutuhan dasar. Dalam kondisi ini, perjuangan NU dalam menegakkan HAM hanya didedikasikan untuk menggelorakan agar negara dapat mewujudkan kehidupan sosial yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Abbas, Hafid, “Islam dan Penegakan Hak asasi Manusia dalam Perspektif Global” Makalah pada Annual Conference on Islamic Studies, Riau: Diktis Depag dan UIN Suska, 2007 Adi Prasetyo,Yoseph, “HAM dalam Konteks dan Kepentingan Sosiologis Keindonesiaan,” dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan, Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2007 Asrori, A. Ma’ruf, dan Said, Imam Ghozali (Peny.), Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999 M), Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2004 AULA Nomor 08, XVI Agustus 1994 Barry, P. Norman, An Introduction to Modern Political Theory, New York: St. Martin’s Press, 1981 Baso, Ahmad, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamintalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga, 2006 Ibn ‘Abd al-Salâm, ‘Izz al-Dîn, Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, t.tp: Mathba’ah al-Istiqâmah, tt. Madjid, Nurcholish, “Kaum Muslim dan Partisipasi Sosial Politik” dalam Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Maslah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992 Ridwan, Nur Khalik, NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Arruzz Media, 2010 Qardlâwî, Yûsuf, al-, al-Ijtihâd al-Mu’âshir, Beirût: al-Maktab al-Islâmî, 1998 Syâthibî, Al-, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, juz 2, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
190
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 175-190
Suhanda, Irwan (ed.), Gus Dur santri par excellence: Teladan Sang Guru Bangsa, Jakarta: Kompas, 2010 Tirtana, Endang, dan Ul Haq, Fajar Riza, (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan, Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2007 Wahid, Abdurrahman, “Hukum Pidana Islam dan Hak Asasi Manusia” dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lappenas, 1985