BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambahan jumlah lansia di beberapa negara, salah satunya Indonesia, telah mengubah profil kependudukan baik nasional maupun dunia. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia berjumlah 18,57 juta jiwa, meningkat sekitar 7,93% dari tahun 2000 yang sebanyak 14,44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan terus bertambah sekitar 450.000 jiwa per tahun. Dengan demikian, pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan sekitar 34,22 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010). Salah satu indikator keberhasilan pembangunan dalam suatu negara adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduknya. Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) terus meningkat dari tahun ke tahun. Pembangunan nasional telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang semakin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lansia makin bertambah. Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998, menetapkan “Lanjut Usia” adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas (Samsudrajat, 2011). Di dalam proses kehidupan, lansia terbagi atas lansia potensial dan lansia tidak potensial. Lansia potensial adalah lansia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta memiliki kebijakan, kearifan dan pengalaman berharga yang dapat dijadikan teladan bagi
Universitas Sumatera Utara
generasi penerus. Namun karena faktor usianya pula, lansia tersebut akan banyak menghadapi keterbatasan (berbagai penurunan fisik, psikologis dan sosial), sehingga memerlukan bantuan peningkatan kesejahteraan sosialnya (Samsudrajat, 2011). Sementara itu, lansia yang tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya dan selalu bergantung kepada orang lain. Peningkatan jumlah lansia tersebut, diakibatkan karena kemajuan dan peningkatan ekonomi masyarakat, perbaikan lingkungan hidup dan majunya ilmu pengetahuan, terutama karena kemajuan ilmu kedokteran dan kesehatan, sehingga mampu meningkatkan usia harapan hidup (life expectancy). BKKBN (2012) menyatakan bahwa usia harapan hidup penduduk Indonesia pada tahun 1980 hanya 52,2 tahun. Pada tahun 1990, meningkat menjadi 59,8 tahun, tahun 1995 berkisar pada 63,6 tahun, tahun 2000 mencapai 64,5 tahun, tahun 2010 berada pada 67,4 tahun, dan tahun 2020 diperkirakan mencapai 71,1 tahun. BKKBN (2012) menyatakan bahwa bertambahnya jumlah penduduk dan usia harapan hidup lansia akan menimbulkan berbagai masalah antara lain masalah kesehatan, psikologis, dan sosial ekonomi. Sebagian besar permasalahan pada lansia adalah masalah kesehatan akibat dari proses penuaan, ditambah permasalahan lain seperti masalah keuangan, kesepian, merasa tak berguna, dan tidak produktif. Tetap sehat di usia tua tentu menjadi dambaan setiap orang, sehingga usaha-usaha menjaga kesehatan di usia lanjut dengan memahami berbagai kemungkinan penyakit yang bisa timbul. Seperti menjaga pola makan yang baik dengan mengkonsumsi makanan sumber energi yang seimbang, tidak berlebihan atau kurang, makan yang teratur
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan waktu makan dan jenis makanan yang sesuai dengan tidak mengabaikan manfaat dan kandungan gizinya. Darmono (2004) menyatakan bahwa gangguan gizi yang muncul pada lansia dapat berbentuk gizi kurang dan gizi lebih. Gangguan ini dapat menyebabkan timbulnya penyakit, seperti malnutrisi, hipertensi, obesitas, diabetes melitus dan stroke. Kejadian gizi kurang menurut Supariasa, dkk (2002) melalui 5 (lima) tahapan yaitu ketidakcukupan zat gizi, penurunan berat badan, perubahan biokimia, perubahan fungsi dan perubahan anatomi. Ketidakcukupan zat gizi berlangsung lama maka persediaan/ cadangan dalam jaringan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, apabila berlanjut, maka akan terjadi kemerosotan jaringan yaitu terjadi penurunan berat badan. Apabila permasalah tersebut tidak juga teratasi, maka akan terjadi perubahan biokimia yang dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium, terjadi perubahan fungsi yang ditandai dengan tanda yang khas dan terjadi perubahan anatomi. Kekurangan zat gizi khususnya energi pada tahap awal menimbulkan rasa lapar yang selanjutnya akan berdampak pada penurunan berat badan disertai dengan menurunnya kemampuan (produktivitas) kerja. Berkurangnya asupan zat gizi sebagai sumber energi pada lansia dipengaruhi oleh pola makan lansia itu sendiri yaitu jumlah asupan makanan, jadwal dan jenis makanan yang dimakan serta berkurangnya daya cerna, daya serap dan distribusi zat gizi dalam tubuh lansia. Dengan berkurangnya daya kecap, makanan menjadi terasa tidak enak yang menyebabkan lansia hanya makan sedikit, makanan terasa kurang
Universitas Sumatera Utara
asin atau kurang manis (Maryam dkk, 2008). Depkes, (2004) mengeluarkan tabel acuan angka kecukupan gizi (AKG) pada semua tahapan usia, salah satunya adalah angka kecukupan gizi bagi lansia. Dalam tabel tersebut disebutkan kebutuhan energi bagi lansia laki–laki usia >60 tahun adalah 2050 kkal dan kebutuhan energi bagi lansia wanita dengan usia >60 tahun adalah 1600 kkal. Kecukupan energi ini diperoleh dari makanan yang dikonsumsi oleh lansia sehari-hari sesuai dengan kondisi fisik dan aktivitasnya. Makanan lansia hendaknya harus mengandung semua unsur zat gizi yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, air dan serat dalam jumlah yang cukup dan seimbang sesuai dengan kebutuhan aktifitas lansia. Jumlah kebutuhan energi perhari disesuaikan dengan berat badan dan aktifitas fisik. Dalam keadaan normal, lansia pria membutuhkan energi sebesar 35 kkal/kgBB/ hari dan wanita lansia membutuhkan sekitar 32-34 kkal/kgBB/hari. Hal terpenting dalam penyajian makanan sehari bagi lansia adalah hendaknya disajikan dalam keadaan masih panas (hangat), segar dan porsi kecil. Frekuensinya 7-8 kali, terdiri atas 3 kali makanan utama (pagi, siang dan malam) serta 4-5 kali makanan selingan (Maryam, 2008). Nugroho (2008) menyatakan bahwa hal terpenting dalam pemberian makanan pada lansia adalah makanan yang disajikan harus memenuhi kebutuhan gizi, makanan yang disajikan diberikan secara teratur dan dalam porsi sedikit tapi sering, makanan harus bertahap dan bervariasi agar tidak menimbulkan kebosanan, makanan harus sesuai dengan petunjuk dokter bagi lansia tertentu dan makanan harus lunak/ lunak. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola makan pada lansia adalah faktor
Universitas Sumatera Utara
motivasi diri, perasaan dan emosi serta dukungan keluarga. Hendro (2009) yang meneliti pengaruh faktor psikososial seperti motivasi diri, persepsi, kepercayaan diri dan dukungan keluarga terhadap pola makan pada penderita diabetes melitus didapati bahwa faktor psikososial berpengaruh signifikan terhadap pola makan penderita diabetes mellitus rawat jalan di RSUD Deli Serdang. Penelitian ini didapati bahwa faktor psikososial memiliki hubungan positif dengan status gizi. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa untuk mendapatkan status gizi yang baik diperlukan perhatian dan dukungan menyeluruh baik dari keluarga, masyarakat, maupun pemerintah. Bagi lansia perhatian dan dukungan baik dari keluarga dan masyarakat, maka akan meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan lansia, terutama dengan mengingatkan waktu makan, manfaat makanan yang dikonsumsi dan pantangan beberapa makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh lansia, seperti sambal yang sangat pedas, makanan cepat saji maupun makanan kaya lemak. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap status gizi lansia adalah kesehatan psikologi, diantaranya adalah akibat penurunan kondisi fisik, penurunan fungsi dan potensi seksual, penurunan aspek sosial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan dan perubahan dalam peran sosial di masyarakat. Perubahan psikologi yang terjadi pada lansia antara lain perubahan fungsi sosial, perubahan peran sesuai dengan tugas perkembangannya, perubahan tingkat depresi serta perubahan stabilitas emosi (Darmojo, 2004). Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Lanjut Usia di Binjai adalah salah satu unit pelaksana dari Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
yang dalam kegiatannya memberikan pelayanan sosial kepada lansia. Berdasarkan data dari poliklinik kesehatan UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai seperti jumlah warga binaan, tanggal masuk, jenis dan lama penyakit, didapatkan data warga binaan lansia berjumlah 160 orang dengan perbandingan jumlah laki–laki sebanyak 77 orang dan perempuan sebanyak 83 orang, serta klasifikasi usia antara 60–91 tahun. UPT tersebut tidak hanya memberi tempat tinggal, tetapi juga melakukan pembinaan fisik, mental dan spiritual secara kontinu diberikan melalui program keseharian, mulai dari senam pagi dan bernyanyi bersama setiap hari Selasa, pengajian setiap hari Rabu dan Jum’at serta gotong royong membersihkan halaman menjadi kegiatan rutin selama sepekan. Bagi yang mampu berladang, pihak panti memberikan lahan untuk digarap, bahkan ada lansia yang berjualan dan menjadi tukang jahit sepatu. Dari observasi pendahuluan yang peneliti lakukan pada januari tahun 2012 yaitu dengan melakukan pengukuran berat badan dengan tinggi badan kemudian dibandingkan berat badan per tinggi badan terhadap 70 lansia dari 160 warga binaan UPT (43,8%), didapati sebanyak 23 orang lansia (33%) memiliki indeks massa tubuh (IMT) normal dan sebanyak 47 orang (67%) memiliki indeks massa tubuh (IMT) <17 atau kategori sangat kurus. Di dalam melakukan pengukuran, peneliti mencoba menggali perasaan terhadap 10 orang lansia dengan mengajukan beberapa pertanyaan tentang perasaan mereka selama menjalani kehidupan di UPT sebagai warga binaan dan dari 6 orang lansia yang menyatakan bahwa mereka merasa sedih berada di panti karena tersisih dari keluarga, anak dan cucu, hal ini diperparah dengan keluarga
Universitas Sumatera Utara
jarang atau bahkan tidak pernah datang untuk menjenguk mereka. Terkadang mereka tidak cocok satu sama lain antar warga binaan didalam panti, disebabkan karena permasalahan pekerjaan di dalam wisma seperti menyapu, mengepel, membersihkan perkarangan rumah dan lain-lain. Keadaan lansia dengan permasalahan tersebut tentunya akan berdampak pada keadaan kejiwaan lansia yang dapat berakibat pada gangguan pola makan yaitu keinginan untuk makan sehingga kecukupan energi yang dibutuhkan oleh lansia tidak mencukupi. Apabila hal tersebut dibiarkan maka lansia akan menderita gizi kurang atau bahkan menderita gizi buruk. Hal ini diperparah menu harian yang ada di panti juga tidak sesuai dengan keadaan lansia, seperti makanan kurang menarik, terkadang nasi keras, pedas, dan dingin, sedangkan jenis makanan yang dianjurkan untuk lansia seharusnya lembut/ lunak, tidak merangsang atau pedas dan panas (hangat). Hal tersebut tentunya akan menurunkan selera makan, penyediaan makanan yang terjadwal, tempat penyajian yang kurang menarik seperti makanan disatukan dalam satu tempat atau dicampur dalam satu wadah antara nasi, sayur dan lauk. Berdasarkan permasalahan dan keadaan status gizi serta faktor yang mempengaruhi pola makan lansia tersebut, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang pengaruh faktor motivasi diri, perasaan dan emosi serta dukungan keluarga terhadap pola makan lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai. 1.2.
Permasalahan
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, perlu dilakukan penelitian bagaimana pengaruh faktor motivasi diri, perasaan dan emosi serta dukungan keluarga terhadap pola makan lansia. 1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh faktor motivasi diri,
perasaan dan emosi serta dukungan keluarga terhadap pola makan lansia. 1.4.
Hipotesis Ada pengaruh faktor motivasi diri, perasaan dan emosi serta dukungan
keluarga terhadap pola makan lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai. 1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Panti Wherda (Jompo) 1. Panti mendapat informasi tentang penyebab permasalahan gizi yang terjadi pada lansia dan faktor penyebabnya. 2.
Panti mendapat informasi tentang pengaruh faktor psikososial terhadap pola makan lansia.
1.5.2. Bagi Pemerintah. Khususnya bagi Dinas Kesejahteraan dan Sosial Propinsi Sumatera Utara, penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian dan rujukan serta koreksi tentang faktor yang mempengaruhi pola makan lansia sehingga dapat dibuat kebijakan perbaikan pelayanan lansia di Panti.
Universitas Sumatera Utara