BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan kependudukan di Indonesia telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda. Pada saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda mulai menyadari bahwa kepadatan penduduk di Pulau Jawa semakin tinggi. Hasil Sensus Penduduk pertama yang dilakukan di Jawa pada tahun 1905 menunjukkan bahwa penduduk Jawa telah mencapai 30 juta jiwa. Pemerintah Kolonial kemudian mulai memikirkan
adanya
proyek
permukiman
kembali
(resettlement)
yakni
penempatan petani-petani dari daerah di pulau Jawa yang padat penduduknya , ke desa-desa baru yang disebut “koloni” di daerah-daerah di luar Jawa. Oleh sebab itu, kebijakan ini kemudian dikenal sebagai kebijakan kolonisasi. Program kolonisasi merupakan titik awal memindahkan penduduk secara bertahap dari Jawa ke seluruh pelosok tanah air (Syamsu, 1976). Setelah Indonesia merdeka, program kolonisasi berubah nama menjadi transmigrasi. Transmigrasi merupakan program yang dilaksanakan secara masal tidak hanya memindahkan penduduk dari daerah-daerah yang padat di Jawa, melainkan sekaligus memberikan stimulus bagi pembangunan dan pengembangan wilayah, khususnya di daerah- daerah luar Jawa. Sejak Pemerintah Belanda pada tahun 1905 memindahkan penduduk Jawa sebanyak 155 kepala keluarga (KK) atau sebanyak 816 Jiwa melalui program kolonisasi ke Gedong Tataan, Lampung telah memberikan dampak yang luar biasa bagi perkembangan daerah tersebut di masa kini (Syamsu, 1976). Terlepas dari istilah yang dipergunakan oleh pemerintah Belanda dapat dijelaskan bahwa Gedong Tataan dengan komunitas Jawanya telah membuat Lampung berkembang sangat pesat. 1
Dalam sejarahnya, Aceh termasuk salah satu daerah yang paling akhir menerima transmigran (sebutan bagi para peserta program transmigrasi). Secara de facto, lokasi transmigrasi pertama kali dibuka di Aceh pada tahun 1964 di daerah Blang Peutek, Padang Tiji, Kabupaten Pidie dengan jumlah transmigran sebanyak 100 KK. Pada tahun 1976 pemerintah kembali membuka lokasi transmigrasi dan menempatkan transmigran sebanyak 300 KK di lokasi Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara. Sedangkan secara de jure baru pada tahun 1978 Provinsi DI Aceh ditetapkan sebagai salah satu daerah penerima transmigran, sesuai dengan Keppres Nomor 7 Tahun 1978. Sementara itu, di Kabupaten Aceh Barat sendiri pertama kali menerima transmigran pada tahun 1982/1983. Diawali dengan penempatan transmigran asal Pulau Jawa sebanyak 1.649 KK atau sekitar 7.102 Jiwa di 3 lokasi unit permukiman transmigrasi (UPT) yang berbeda dalam satu kawasan Alue Peunyaring Kecamatan Meureubo dan Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat. Adapun perincian penempatan transmigran per lokasi UPT I Alue Peunyaring Desa Bukit Jaya sebanyak 500 KK (2.091 Jiwa), UPT II Alue Peunyaring Desa Sumber Batu sebanyak 696 KK (3.074 Jiwa) dan UPT III Alue Peunyaring Desa Batu Jaya sebanyak 453 KK (1.937 Jiwa). Menurut catatan sejarah, sejak awal kemerdekaan Aceh memang selalu diwarnai dengan konflik. Baik antara sesama rakyat Aceh maupun antara rakyat Aceh dengan Pemerintah Pusat. Meskipun sarat dengan konflik, masyarakat Aceh tidak resisten terhadap masyarakat pendatang. Sebagai contoh pada tahun 1927 Pemerintah Belanda mendatangkan orang Jawa sebanyak 100 KK ke Lae Butar, Singkil untuk bekerja di perkebunan (J.J. Van de Velde, 1987). Mereka dapat dikategorikan orang Jawa yang pertama datang ke Aceh. Setelah bermukim
2
selama hampir 100 tahun di daerah Singkil tidak pernah terjadi perselisihan atau konflik antara pendatang dari Jawa tersebut dengan masyarakat lokal (Alihar, 2012). Kehidupan para transmigran sebelum terjadinya konflik di Aceh berjalan cukup baik, terutama dari segi sosial ekonomi transmigran khususnya yang berasal dari Jawa sangat mudah beradaptasi dengan masyarakat lokal dan bahkan hingga saat ini telah banyak terjadi perkawinan campur di antara kedua kelompok masyarakat tersebut. Terlebih penting lagi bahwa kehadiran para transmigran di Aceh telah menghidupkan perekonomian masyarakat, khususnya di daerah pedesaan. Lokasi-lokasi transmigrasi yang tersebar di seluruh Aceh tumbuh menjadi sentra-sentra produksi dan menjadi pemasok sayur-sayuran, buahbuahan dan juga ternak bagi masyarakat. Dalam kenyataannya, ternyata eskalasi konflik di Aceh semakin meningkat yang mengakibatkan kehidupan para transmigran menjadi terdesak dikarenakan sebagian besar lokasi transmigrasi di Aceh berada di tengah-tengah daerah konflik. Sebagai akibatnya banyak diantara transmigran merasa kehidupannya berada di bawah ancaman tindak kekerasan. Kondisi inilah yang menyebabkan para transmigran memutuskan untuk mengungsi ke luar Aceh. Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Provinsi Aceh, Ir. Helvizar Ibrahim, M.Si menyatakan bahwa dari 21.270 KK transmigran yang mengungsi ke luar Aceh saat konflik berkecamuk beberapa tahun lalu, hingga kini masih 15.022 KK lagi yang belum kembali. Setelah perjanjian damai (Memorandum of Undestanding) Helsinki, ternyata kurang dari separuh diantara transmigran yang kembali ke Aceh. Hal ini terutama disebabkan karena tidak adanya jaminan keamanan bagi transmigran jika kembali ke Aceh.
3
Terlebih penting lagi bahwa para transmigran mengalami trauma dengan berbagai tindak kekerasan yang mereka saksikan selama konflik. Adanya berbagai pemeriksaan (sweeping) yang dilakukan oleh anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan juga oleh TNI serta Polri mengakibatkan kehidupan transmigran menjadi tidak tenang. Mereka lebih memilih hidup di daerah pengungsian karena keamanannya terjamin sambil mencari peluang untuk membuka usaha baru. Mereka masih bertahan di titik-titik pengungsian yang tersebar di sejumlah provinsi di Pulau Sumatera seperti di Lampung, Bengkulu, Palembang, Riau, dan Sumatera Utara. Kabupaten Aceh Barat termasuk salah satu kabupaten yang telah ditetapkan sebagai daerah penerima transmigran. Dasar pembentukan Kabupaten Aceh Barat berawal dari undang-undang Republik Indonesia nomor 7 (drt) tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara, wilayah barat Aceh dimekarkan menjadi 2 kabupaten yaitu: Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan ibukota Meulaboh pada awalnya terdiri dari 3 wilayah yaitu Meulaboh, Calang dan Simeulue, dengan jumlah kecamatan 19 kecamatan. Pada tahun 2002 wilayah Kabupaten Aceh Barat kembali dimekarkan menjadi 3 kabupaten baru melalui undang-undang nomor 4 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya yang ber-ibukota di Blang Pidie, Kabupaten Nagan Raya ber-ibukota di Suka Makmue dan Kabupaten Aceh Jaya ber-ibukota di Calang. Semenjak pemekaran tersebut, Kabupaten Aceh Barat sampai saat ini terdiri dari 12 kecamatan, 33 mukim dan 322 gampong/desa. Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Barat sebanyak 182.364 jiwa yang terdiri dari 92.573 laki-laki dan 89.791 perempuan (BPS, 2012).
4
Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Johan Pahlawan sebanyak 65.473 Jiwa (BPS, 2012). Di Kabupaten Aceh Barat sendiri masih terdapat masyarakat korban konflik yang mengungsi di daerah yang lebih aman untuk melanjutkan hidup. Banyak diantara mereka yang kehilangan rumah dan harta benda akibat konflik yang berkepanjangan. Mereka kini ditampung oleh keluarga atau kerabat dekat mereka di wilayah Kabupaten Aceh Barat dan di luar Provinsi Aceh. Salah satu cara untuk mengatasi persoalan yang rumit tersebut adalah dengan memindahkan penduduk korban konflik tersebut ke daerah lain, yaitu dengan program relokasi. Sesuai dengan undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang perubahan atas undang-undang nomor 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian, ditegaskan bahwa
tujuan
penyelenggaraan
transmigrasi
untuk:
(1)
meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar; (2) peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta (3) memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Peningkatan
kesejahteraan transmigran dan masyarakat
sekitar
sebagaimana dimaksud pada pasal 3 U.U. nomor 29 tahun 2009 di atas, dibreakdown melalui program pembinaan transmigran selama 5 (lima) tahun; dengan penyediaan kesempatan kerja dan peluang usaha, pemberian hak milik atas tanah, pemberian bantuan jatah hidup (jadup), bantuan permodalan dan atau prasarana/sarana produksi, memfasilitasi penyusunan administrasi kerja sama antara transmigran dengan badan usaha, peningkatan pendapatan, pendidikan dan pelatihan, pelayanan kesehatan, pemantapan ideologi, mental spiritual dan budidaya (PP. Nomor 2 tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi).
5
Secara normatif serta sesuai ketentuan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang berlaku bahwa masa pembinaan transmigran berlangsung selama 5 (lima) tahun sejak penempatannya yang dalam hal ini disingkat dengan T+1, T+2, T+3, T+4 dan T+5. Untuk melihat tingkat keberhasilan pembinaan yang dilakukan stakeholder utama dalam hal ini Kemenakertrans RI, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di tingkat provinsi dan kabupaten, mengacu pada Kepmentrans dan PPH nomor : KEP.06/MEN/1999 tanggal 4 Februari 1999 tentang tingkat perkembangan pemukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigrasi. Dalam Keputusan Menteri ini pembinaan pemukiman transmigrasi dibagi dalam 3 (tiga) tahap yakni tahap penyesuaian (1-1,5 tahun), tahap pemantapan (1,5 - 2 tahun) dan tahap pengembangan (> 2 tahun). Selama masa pembinaan, para transmigran mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Hak transmigran antara lain berhak mendapatkan rumah tipe 36, lahan usaha tani seluas 2 ha per KK terdiri dari lahan pekarangan (LP) 0,5 ha, lahan usaha I (LU-I) 0,5 ha dan lahan usaha II (LU-II) seluas 1 ha, berbagai bantuan sarana produksi pertanian/padi (saprotan/saprodi) sesuai komoditi unggulan setempat, bantuan jatah hidup baik berupa beras maupun non beras sesuai norma, mendapatkan pelatihan dan ketrampilan sesuai skill yang dimiliki. Sementara itu, kewajiban transmigran antara lain berkewajiban menempati rumah yang diberikan, mengolah dan mengelola lahan usaha tani, serta memanfaatkan semua bantuan jadup baik beras maupun non beras, saprodi dan saprotan dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan/gizi keluarga. Dalam kaitan pemberian bantuan jadup beras oleh pemerintah didasarkan kepada program pangan untuk kerja (food for work).
6
Artinya, selama masa pembinaan tersebut transmigran diharapkan mampu menggunakan bantuan beras yang diberikan untuk mengolah dan mengelola lahan usahataninya tanpa harus memikirkan kebutuhan sehari-hari dengan mencarinya keluar lokasi UPT. Sejalan dengan hak dan kewajiban transmigran itu, kepada transmigran yang membandel juga akan dikenakan sanksi berupa pencabutan hak kepemilikan rumah, sekiranya transmigran tersebut tidak menempati rumah selama 3 bulan 10 hari tanpa izin atau alasan tertulis dari pembina UPT, camat dan kapolsek setempat. Pasca konflik panjang yang memakan banyak korban jiwa dan harta benda yang terjadi di Provinsi Aceh, pada tanggal 15 Agustus 2005 dilakukanlah penandatanganan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai bentuk implementasi dari MoU tersebut dibentuk Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA) sebagai lembaga yang membantu re-integrasi para eks kombatan GAM untuk kembali ke masyarakat dan pembinaan korban konflik. Salah satu upaya dalam pembinaan korban konflik, Pemerintah Aceh bekerja sama dengan transmigrasi merelokasi para korban konflik dan eks GAM untuk mengikuti program transmigrasi sesuai dengan ketentuan perundangan dan paradigma baru transmigrasi. Paradigma baru transmigrasi sesuai dengan undang-undang nomor 29 tahun 2009, pelaksanaan program transmigrasi berubah total yang semula dari sistem sentralisasi kepada sistem desentralisasi, dimana pelaksanaan program ketransmigrasian disesuaikan dengan adat dan budaya setempat. Transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi bersifat sentralistik dan top down dari Jakarta, melainkan berdasarkan Kerjasama Antar Daerah (KAD) pengirim
7
transmigran dengan daerah tujuan transmigrasi. Penduduk setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi transmigran penduduk setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50:50 dengan transmigran penduduk asal (TPA). Menurut Saleh (2008) secara filosofis, berbagai kebijakan, program, dan kegiatan pelaksanaan pembangunan transmigrasi (penyiapan permukiman, pengarahan dan fasilitasi perpindahan, serta pemberdayaan masyarakat) didasarkan kepada lima pendekatan pokok: pertama, pembangunan transmigrasi harus mampu memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan papan bagi penduduk miskin. Kedua, pembangunan transmigrasi diarahkan untuk membangun dan mengembangkan pusat pertumbuhan untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Dalam
konteks
ini,
pembangunan
permukiman
transmigrasi
dilaksanakan terintegrasi dengan pengembangan desa dan permukiman yang telah ada menjadi satu kesatuan kawasan yang mempunyai fungsi kota. Ketiga, pengembangan usaha di permukiman transmigrasi diarahkan kepada usaha produktif yang layak ekonomi sekaligus untuk mendukung penyediaan bahan baku energi alternatif. Keempat, pembangunan transmigrasi diarahkan untuk memberikan kesempatan kepada dunia usaha sebagai mitra, sehingga diharapkan dapat menjadi daya tarik investasi untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kelima, apa pun yang dilakukan dalam pembangunan transmigrasi harus mampu memberikan peluang bagi penduduk miskin untuk memperoleh akses produksi dan pendapatan dalam kerangka mengatasi pengangguran secara permanen.
8
Untuk mendorong masyarakat ikut dalam program transmigrasi bukanlah perkara mudah. Banyak diantara mereka yang tidak tertarik bahkan menentang program tersebut akibat traumatis dan opini yang berkembang di beberapa kalangan masyarakat yang menyatakan bahwa transmigrasi merupakan sumber konflik. Oleh karena itu, untuk menghasilkan program yang baik perlu diketahui terlebih dahulu kondisi saat ini sejauh mana persepsi masyarakat terhadap program transmigrasi dan apakah transmigrasi masih dianggap relevan untuk diterapkan di Kabupaten Aceh Barat. Bertitik tolak pada uraian permasalahan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap program transmigrasi dan apa yang menjadi motivasi masyarakat ikut program transmigrasi pasca konflik di Kabupaten Aceh Barat.
1.2. Permasalahan Penelitian Selama perjalanan panjang penyelenggaraan program transmigrasi telah mampu mempengaruhi perkembangan daerah yang bersangkutan di mana program tersebut dilaksanakan. Program transmigrasi telah mempengaruhi bidang ekonomi, sosial budaya dan politik ke arah yang lebih baik. Salah satu dari hasil pelaksanaan program transmigrasi adalah terbentuknya pusat-pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi yang baru. Penyelenggaraan program transmigrasi secara umum telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam terbentuknya kabupaten baru hasil dari pemekaran. Namun demikian tidak bisa juga dipungkiri bahwa masih terdapatnya lokasi-lokasi pemukiman transmigrasi yang cenderung tidak berkembang bahkan nyaris gagal walaupun telah dilakukan pembinaan. Terlebih lagi ketika konflik terjadi pada tahun 2001-
9
2003 saat diberlakukannya status darurat militer di Provinsi Aceh keadaan transmigran dan lokasi transmigrasi semakin tidak menguntungkan. Hal ini diakibatkan karena sebagian besar lokasi transmigrasi berada di daerah-daerah konflik. Konflik sosial antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia (Pusat) secara resmi berakhir pada saat pencabutan status darurat militer dan dilanjukan dengan penandatanganan nota kesepahaman pada tanggal 15 Agustus 2005. Pasca perjanjian damai ini berbagai program penanggulangan korban konflik telah dilakukan Pemerintah Republik Indonesia. Mulai dari penerapan otonomi khusus seluas-luasnya melalui UndangUndang Pemerintah Aceh (UUPA), pembentukan Badan Re-integrasi Damai Aceh (BRA) hingga program transmigrasi bagi korban konflik dan kaum dhuafa. Namun, tidak semua program tersebut berjalan lancar diduga akibat kurangnya political will dari Pemerintah Provinsi Aceh yang terkesan tidak sepenuh hati menjalankan program transmigrasi sebagai salah satu solusi penanggulangan kemiskinan dan pemerataan pembangunan di perdesaan. Kondisi seperti ini sangat bertolak belakang dengan kondisi pasca konflik di Kabupaten Aceh Barat, dimana masyarakat Kabupaten Aceh Barat yang tersebar pada 12 kecamatan telah merasakan manfaat dari keberadaan lokasi transmigrasi sebagai sentra produksi pertanian, peternakan dan pemasok sayuran serta buah-buahan bagi masyarakat lokal. Kehadiran lokasi transmigrasi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sekunder masyarakat Aceh di bidang pertanian. Dari berbagai uraian dan penjelasan tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana persepsi dan motivasi masyarakat terhadap program transmigrasi pasca konflik di Kabupaten Aceh Barat.
10
1.3. Tujuan Penelitian Sesuai
dengan
perumusan
permasalahan
yang
telah
diuraikan
sebelumnya, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk : 1.
Mengetahui persepsi masyarakat Kabupaten Aceh Barat terhadap program transmigrasi pasca konflik;
2.
Menganalisis motif masyarakat Kabupaten Aceh Barat mengikuti program transmigrasi pasca konflik.
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
bermanfaat
secara
teoritis
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal mengemukakan alasan masyarakat untuk bermigrasi melalui program transmigrasi yang telah dirancang oleh pemerintah. 2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada pemerintah sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program transmigrasi yang telah berjalan dan menjadi pertimbangan dalam penyusunan RPJM Kabupaten Aceh Barat agar lebih tepat sasaran dan mempunyai azas manfaat bagi masyarakat.
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian tentang minat masyarakat terhadap program transmigrasi memang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Persamaan dengan penelitian ini hanyalah sebatas topik, subjek penelitian dan metode penelitian. Namun yang menjadi perbedaan dengan penelitian ini adalah dari segi rancangan, fokus dan lokasi penelitian. Adapun beberapa penelitian yang sejenis yaitu :
11
Tabel 1.5. Keaslian Penelitian No. 1
2
3
4
Nama Peneliti/Prodi
Judul, Lokasi Penelitian, Tahun
SEDIJANTO R BAGUS Magister Perencaan Kota dan Daerah UGM
Efektifitas Program Transmigrasi untuk Penanganan Pengungsi Konflik Poso, UPT Dataran Kalemba. Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Tahun 2005.
M. LUTHFI MISBACH S2 Kependudukan UGM
Beberapa faktor yang menghambat minat bertransmigrasi di Kecamatan Sekaran. Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Tahun 1994.
M. JOKO AFFANDI S2 Kependudukan UGM
RIKI ABADI S2 Kependudukan UGM
Objek Kajian Penelitian Mengkaji implementtasi penanganan pengungsi kerusuhan Poso dengan memakai program transmigrasi
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Kualitatif dengan Pendekatan Fenomenologi
Program Transmigrasi tidak efektif karena banyak warga yang meninggalkan UPT. Diakibatkan oleh program asal-asalan dan tidak memenuhi kriteria catur layak atau 2C 4L (Layak Usaha, Layak Berkembang, Layak Huni dan Layak Kesehatan)
Mengkaji persepsi masyarakat terhadap Program Transmigrasi dan Minat mereka untuk bertransMigrasi.
Kualitatif dan Kuantitatif. Regresi/ Korelasi
Terhadap Program Transmigrasi 34,9% Penduduk mempunyai persepsi rendah dan 10,1% mempunyai persepsi tinggi. Namun tidak sebanding dengan Minat Bertransmigrasi yang rendah (57,7% tidak berminat). Hanya 6,3% yang punya minat tinggi untuk bertransmigrasi.
Motivasi yang mendasari niat untuk bertransmigrasi : Suatu studi kasus di Kabupaten Jembrana. Provinsi Bali, Tahun 1985.
Mengkaji Motivasi apa saja yg menjadi niat Masyarakat untuk ber transmigrasi.
Kuantitatif dan Kualitatif
Bagi para Calon Transmigran, Kemakmuran merupakan motivasi paling besar pada niat bertransmigrasi. Dan dilanjutkan dengan kemandirian, nyaman, stimulasi, status, moralitas dan afiliasi. Sedangkan bagi Non Transmigran Afiliasi menjadi motif utama untuk bertransmigrasi.
Persepsi dan Motivasi Masyarakat Terhadap Program Transmigrasi Pasca Konflik di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh. Tahun 2014.
Mengkaji apa yang menjadi motivasi masyarakat, dan bagaimana persepsi mereka terhada prog. transmigrasi pasca konflik
Kualitatif dan Kuantitatif
Tingkat persepsi masyarakat terhadap transmigrasi mencapai 58% (persepsi tinggi) dan 40% (tingkat persepsi sedang). Motivasi yang mempengaruhi responden untuk ikut transmigrasi adalah motif Kemandirian sebesar 40%.
12
Jika dilihat pada Tabel 1.5. diatas, sebagian besar penelitian terdahulu dilakukan pada era tahun 1980-1990an. Penulis merasakan kesulitan menemukan penelitian yang terbaru atau ter-update tentang transmigrasi terutama diatas tahun 2010. Secara substansial, penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya terkait dengan persepsi dan minat masyarakat bertransmigrasi. Akan tetapi jika ditinjau dari segi keaslian, penelitian yang mengaitkan hubungan antara transmigrasi dengan konflik sosial yang terjadi di Provinsi Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Barat, dapat dikatakan belum pernah ada sebelumnya.
13