BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak telaah dan penelitian menunjukkan bahwa pembentukan arsitektur masjid lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor globalisasi penyebaran Islam, geografi dan iklim setempat, dan budaya lokal. Hal ini bisa difahami, karena memang faktor-faktor itu tampak lebih langsung dan kasat mata serta bersifat umum berlaku pula bagi pembentukan fungsi-fungsi arsitektur yang lain. Namun demikian, berkaitan dengan arsitektur Islami, faktor norma dan religi 1 tampaknya dapat berkaitan dengan arsitektur diduga memiliki pengaruh terhadap pembentukan arsitektur. Sayangnya saat ini perancangan dan pemikiran Arsitektur Islami lahir dari sebuah duplikasi dan peniruan terhadap bentuk-bentuk, elemen dan ornamentasi dari bangunan yang dianggap sebagai produk dari masyarakat Muslim. Pendekatan ini seringkali terbatasi dengan penggunaan simbol-simbol atau bentuk fisik yang dianggap merepresentasikan Islam dan biasanya berasal dari Timur Tengah. Ketika Nabi Muhammad Saw tiba di Madinah, beliau memutuskan untuk membangun sebuah masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi,
Menurut Altman, sebagai produk budaya, arsitektur pada dasarnya dipengaruhi oleh faktorfaktor lingkungan, faktor budaya, dan teknologi. Faktor lingkungan, mencakup kondisi alamiah lingkungan seperti faktor geografis, geologis, iklim, suhu, dan sebagainya. Faktor teknologi, meliputi aspek pengelolaan sumber daya dan keterampilan teknis membangun. Faktor budaya, di antara banyak definisi tentang kebudayaan, meliputi aspek falsafah, kognisi lingkungan, persepsi, norma dan religi, struktur sosial dan keluarga, ekonomi, dan lain-lain. Selengkapnya, lihat: Irwin Altman. 1980. “Environmental and Culture”. Plenum Press. 1
1
yang berarti Masjid Nabi 2. Masjid Nabawi terletak di pusat Madinah. Masjid Nabawi dibangun di sebuah lapangan yang luas. Di Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad Saw. Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian. Bahkan, di area sekitar masjid digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin. Masjid kemudian dibangun di daerah luar Semenanjung Arab, seiring dengan kaum Muslim yang bermukim di luar Jazirah Arab. Mesir menjadi daerah pertama yang dikuasai oleh kaum Muslim Arab pada tahun 640M. Masjid pertama di Cina berdiri pada abad ke 8 Masehi di Xi'an. Masjid pertama kali didirikan di Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke 11 Masehi, dimana pada saat itu orang-orang Turki mulai masuk agama Islam. Beberapa masjid awal di Turki adalah Aya Sofya, dimana pada zaman Bizantium, bangunan Aya Sofya merupakan sebuah katedral. Kesultanan Utsmaniyah memiliki karakteristik arsitektur masjid yang unik, terdiri dari kubah yang besar, menara dan bagian luar gedung yang lapang. Masjid di Kesultanan Usmaniyah biasanya mengkolaborasikan tiang-tiang yang tinggi, jalur-jalur kecil di antara shaf-shaf, dan langit-langit yang tinggi, juga dengan menggabungkan mihrab dalam satu masjid. Bentuk masjid telah diubah di beberapa bagian negara Islam di dunia. Gaya masjid terkenal yang sering dipakai adalah bentuk masjid Abbasi, bentuk T, 2
http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid
2
dan bentuk kubah pusat di Anatolia. Negara-negara yang kaya akan minyak biasanya membangun masjid yang megah dengan biaya yang besar dan pembangunannya dipimpin oleh arsitek non-Muslim yang dibantu oleh arsitek Muslim. Bentuk masjid telah diubah di beberapa bagian negara Islam di dunia. Gaya masjid terkenal yang sering dipakai adalah bentuk masjid Abbasi, bentuk T, dan bentuk kubah pusat di Anatolia. Arab-plan atau hypostyle adalah bentuk-bentuk awal masjid yang sering dipakai dan dipelopori oleh Bani Umayyah. Masjid ini berbentuk persegi ataupun persegi panjang yang dibangun pada sebuah dataran dengan halaman yang tertutup dan tempat ibadah di dalam. Halaman di masjid sering digunakan untuk menampung jama’ah pada hari Jumat. Beberapa masjid berbentuk hypostyle atau masjid yang berukuran besar, biasanya mempunyai atap datar diatasnya, dan digunakan untuk penopang tiang-tiang. 3 Contoh masjid yang menggunakan bentuk hypostyle adalah Masjid Kordoba, yang dibangun dengan 850 tiang 4 dan memiliki atap melengkung. Kesultanan Utsmaniyah kemudian memperkenalkan bentuk masjid dengan kubah di tengah pada abad ke-15 dan memiliki kubah yang besar, dimana kubah ini melingkupi sebagian besar area shalat. Beberapa kubah kecil juga ditambahkan di area luar tempat ibadah. Gaya ini sangat dipengaruhi oleh bangunan-bangunan dari Bizantium yang menggunakan kubah besar.
Hillenbrand, R "Masjid. I. In the central Islamic lands". Encyclopaedia of Islam Online. Ed. P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Brill Academic Publishers 4 http://web.mit.edu/4.614/www/handout02.html, “Religious Architecture and Islamic Cultures". Massachusetts Institute of Technology 3
3
Dalam UU No 5 Tahun 1992 5, warisan budaya adalah yang berusia 50 tahun. Beberapa masjid tua di Indonesia tersebut antara lain; Masjid Baiturrahman Banda Aceh (1292), Masjid Leran Pesucinan, Gresik (1385), Masjid Sawo, Gresik (1398), Masjid Mapauwe, Leihitu Maluku Tengah (1414), Masjid Panjunan, Cirebon (1453), Masjid Agung Demak (1477), Masjid Menara Kudus (1530), Masjid Sultan Suriansyah, Banjarmasin (1526), Masjid Katangka, Gowa Sulsel (1603), Masjid Agung Palembang (1663), Masjid Jami' Kotawaringin Kalteng (1725), Masjid Besar Kauman Yogyakarta (1773) dan lain-lain. Menurut Budi (2005), tipe masjid di Indonesia berasal dari Jawa. Pernyataan ini merujuk pada hasil penelitian ilmuwan Belanda G.F Pijper yang merinci ada 6 karakteristik masjid Jawa, yaitu: 1) Berdenah bujur sangkar, 2)lantainya berada pada fundamen yang masif atau tidak berkolong sebagaimana rumah-rumah tradisional di Indonesia, 3) Atapnya berbentuk tumpang terdiri dari dua hingga lima tumpukan, dan mengerucut ke satu titik di puncaknya, 4) Adanya ruang mihrab, 5) Ada beranda depan yang berada di depan atau di samping masjid, 6) Juga mempunyai ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuk yang berada di bagian depan. Meski demikian, hasil penelitian ini tidak bisa digeneralisir untuk semua bentuk bangunan masjid tradisional di Indonesia, karena masing-masing daerah di Indonesia, memiliki karakteristik yang berbeda, tergantung dari budaya lokal yang membentuknya.
5
www.djkn.depkeu.go.id/.../file/content-8503.pdf, diunduh Juli 2012
4
Pentingnya Pengetahuan Tentang Arsitektur Islami Perlunya upaya penelitian dan pengkajian mengenai arsitektur Islami agar dapat menghasilkan sebuah bangunan dan pemikiran yang berlandaskan pemahan nilai dan prinsip dasar Islam serta unsur budaya lokal. Hal ini memungkinkan sebuah kajian yang progresif dan aktif karena tidak terikat kepada suatu aturan yang baku dan kaku namun lebih merupakan kajian yang bersifat eksplorasi untuk menghasilkan sebuah konsep arsitektur Islami. Studi tentang sejarah arsitektur terutama Arsitektur Islami memerlukan banyak sekali masukan dan tambahan teori terutama menyangkut metode dan sistem kajiannya, karena wujud Arsitektur Islami merupakan buah dari sebuah spiritual Islam. 6 Hal ini setidaknya dapat memproteksi keberadaan pembangunan dan rehabilitasi masjid Tradisional khususnya di Kota Palembang, dan secara umum masjid-masjid di wilayah lainnya yang cenderung melupakan aspek lokal bahkan tidak menutup kemungkinan hilangya wujud masjid-masjid tradisional dan berganti dengan bangunan masjid langgam arsitektural baru. Menurut Salura (1997), bahwa karya arsitektur tidak pernah lepas dari konteks budaya setempat. Jika globalisasi mengubah budaya masyarakat, maka arsitektur akan cenderung ikut berubah, tetapi aspek karakteristik dari arsitektur yang mampu bertahan terhadap perubahan tersebut, walaupun tidak bersifat statis namun cenderung dinamis dan adaptif.
Nangkula Uberta, Arsitektur Islam, Pemikiran diskusi & Pencarian Bentuk, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008 6
5
1.2 Rumusan Masalah a. Karakteristik apa yang melekat pada masjid-masjid tradisional Kota Palembang dilihat dari aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk? b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan karakteristik masjid tradisional Kota Palembang dilihat dari pengaruh nilai & prinsip dasar Islam serta pengaruh nilai budaya? 1.3 Tujuan Penelitian a. Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
karakteristik
masjid
tradisional Kota Palembang dilihat dari aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk. b. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
dalam
pembentukan karakteristik masjid tradisional di Kota Palembang dilihat dari pengaruh nilai & prinsip dasar Islam serta pengaruh nilai budaya. 1.4 Manfaat Penelitian a. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber konsep baru pada masa-masa yang akan datang dalam bidang arsitektur islami, serta mendalami kajian sejarah tentang masjid tradisional yang ada akan melahirkan pemahaman akan pentingnya melindungi cagar budaya, dari sana juga akan diketahui bagaimana perjalanan atau perkembangan dakwah Islam. b. Bagi pemerintah Kota Palembang dan para pelestari budaya, hasil penelitian ini secara khusus dapat digunakan sebagai referensi untuk pembangunan ataupun pemugaran masjid di Kota Palembang. 6
c. Bagi perencanaan dan perancangan dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi dan pertimbangan atau redesain bagi para perancang dalam menciptakan karakteristik arsitektur islami.
1.5 Penelitian-penelitian terdahulu 1. Ismudiyanto dan Parmono (1987) Judul
: Demak, Kudus, Jepara Mosques, A Study of Architectural Syncretism.
Lokus
: Bangunan Masjid Demak, Masjid Kudus, Masjid Jepara.
Fokus
: Proses & hasil sincretisme pada ketiga masjid yang menjadi lokus.
Metode
: Review tentang sejarah, kondisi existing, merumuskan prinsip
dari bangunan tradisional jawa hindu. Keempat hal ini dianalisis untuk menemukan prinsip sincritisme bangunan Jawa Hindu Islam. Hasil
: Formulation of javanese hindu islam building principles syncretism.
2. Ahmad Saifudin (1991) Judul
: Tipologi Arsitektur Masjid Swadaya Masyarakat.
Lokus
: Masjid Swadaya masyarakat di yogyakarta.
Fokus
: Aspek Topologi, Aspek Morfologi, Aspek Tipologi.
Metode
: Eksplorasi dan Deskripsi verbal.
Hasil
: Kategorisasi terhadap keseragaman dan keberagaman tipologi
arsitektur
masjid
swadaya
masyarakat.
Mencari
faktor-faktor
yang
berpengaruh terhadap keseragaman dan keberagaman masjid swadaya masyarakat.
3. Moh. Ischak (1994) Judul
: Beberapa Kaidah yang Memperngaruhi Keberadaan Masjdi pada
Abad Ke 18-19 di Bagian Barat Pantai Utara Jawa Tengah. Lokus
: Masjid dibagian barat Pantai Utara Jawa Tengah. 7
Fokus
: Konsep-konsep yang ada dalam Islam tentang masjid yang
terdapat dalam ayat Al Quran dan Hadits dan aturan agama lainnya dikaitkan dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat disana. Metode
: Rasionalistik kualitatif.
Hasil
: Menggali kemungkinan-kemungkinan tentang kaidah yang
dipakai
dalam
perkembangan
masjid.
Menjelaskan
dan
menelusuri
karakteristik masjid lama berupa keragaman dan keseragaman pada peruangan dan bentuknya. Menggali hubungan antara perkembangan bentuk masjid dengan faktor-faktor yang mempengaruhi terutama sosial budaya pemakai.
4. Wiyatiningsih (1997) Judul
: Karakteristik Arsitektural Bangunan Peninggalan Masa Kolonial
Belanda di Bintaran, Yogyakarta Lokus
: Bangunan di permukiman belanda di luar Benteng Vredeburg.
Fokus
: Karakter bangunan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
Metode
: Pengamatan proses akulturasi budaya dengan menguraikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pembentukan
bangunan,
mengklasisikasikannya menjadi budaya Jawa dan Eropa, hasil temuan lapangan ini kemudian didialogkan dengan landasan teori untuk diambil maknanya. Hasil
: Rumusan spesifikasi karakter bangunan Belanda di Bintaran,
Yogyakarta, dan makna dibalik karakter dann keragaman.
5. Sri Hardiyanto (2000) Judul
: Simbol-simbol pada Masjid Kerajaan di Jawa. Studi makna
simbolik ungkapan fisik dan setting bangunan pada masa kasus masjidmasjid kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta Lokus
: Masjid-masjid kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta 8
Fokus
: Tema-tema simbolik masjid ditinjau dari fenomena fisik (bentuk
denah, peninggian tanah, atap, ruang faislitas, orientasi, air, pagar dan halaman) dan fenomena setting (bangunan masjid terhadap kerajaan dan terhadap kota kerajaan). Metode
: Rasionalistik kualitatif.
Hasil
: Mengetahui gagasan-gagasan dan makna yang ada di balik
terbentuknya Masjid Kerajaan dan setting yang berkaitan dengan kawasan dan kota.
6. Ade Ira (2003) Judul
: Karakter Bangunan Masjid, Studi Persepsi Visual pada 6 Masjid
di Yogyakarta Lokus
: 6 Masjid di Yogyakarta.
Fokus
: Studi karakter bangunan.
Metode
: Menggali persepsi mahasiswa desain terhadap karakter 6 masjid
di Yogyakarta, kemudian hasilnya di analasis statistik untuk dicari rata-rata elemen visual yang paling dominan pada masjid, dan mendapatkan atribut pembentuk makna karakter bangunan suatu masjid. Rata-rata yang didapat kemudian dideskripsikan untuk membandingkan karakter bangunan antar 6 masjid di Yogyakarta kemudian dibahas dengan teori yang ada. Hasil
: Ditemukan makna karakter masjid di Yogyakarta. Dirumuskan
tentang penanda masjid bagi mahasiswa desain. Terdapat persamaan dan perbedaan karakter bangunan pada masing-masing bangunan masjid. 7. Zohan Effendhy (2006) Judul
: Interelasi Ekspresi Arsitektur Masjid dengan Budaya Jawa
Lokus
: Masjdi Agung Yogyakarta
Fokus
: Ekspresi Arsitektur Masjid
Metode
: Rasionalistik-Kualitatif-Deskriptif
Hasil
: Hubungan antara ekspresi arsitektur masjid dan budaya jawa,
dan penyebab terjadinya. 9
8. Naimatul Ulfa Judul
: Karakteristik Masjid Berbasis Budaya Lokal di Kalimantan
Selatan Lokus
: Masjid-masjid tradisional di Kalimantan Selatan
Fokus
: Penggalian karakteristik masjid berdasarkan nilai budaya Suku
Banjar Metode
: Rasionalistik-Kualitatif-Deskriptif
Hasil
: Masjid tradisional Kalimantan memiliki karakteristik yang
dipengaruhi budaya lokal suku Banjar, dimana yang paling mempengaruhi pembentukan karakteristik masjid tradisional Kalimantan Selatan meliputi sistem simbol pohon hayat dan burung enggang, serta unsur organisasi sosial yakni sistem kekerabatan suku Banjar yang menempatkan Ulama/Kiai pada strata tertinggi dalam masyarakat berdampak pada bangunan Masjid.
10