PENGANTAR Pindah agama merupakan perubahan sederhana dari adanya sistem keyakinan terhadap suatu komitmen iman atau keyakinan, dari hubungan ikatan anggota keagamaan dengan sistem keyakinan yang satu ke sistem keyakinan yang lainnya atau dari orientasi yang satu ke orientasi yang lainnya pada suatu sistem keyakinan tunggal (Rambo, 1993). Perpindahan agama tidak hanya berkaitan dengan perubahan keyakinan semata tetapi mencakup perubahan tata perilaku, perasaan dan sikap, yang kemudian membentuk pola pandangan baru sesuai dengan pengalaman hidup yang pernah dialami dalam situasi dan kondisi lingkungan sosial yang selalu dihadapi setiap hari (Rumekson, 1998). Pindah agama dapat membuat kehidupan seseorang berubah selama-lamanya, karena pada dasarnya pindah agama merupakan perubahan dasar dan penataan ulang identitas diri, makna hidup dan aktivitas seseorang (Jalalludin, 2001 dalam Kembariana, 2012). Segala bentuk kehidupan batin yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan pandangan hidup yang dianut, setelah terjadi pindah agama secara spontan terjadi perubahan sepenuhnya atau bentuk kehidupan batin yang dimiliki ditinggalkan sepenuhnya (Jalalludin, 2002). Pindah agama merupakan suatu hal yang menarik untuk dicermati karena masalah masuk atau pindah agama menyangkut perubahan batin yang mendasar dari orang atau kelompok yang bersangkutan. Hal ini yang mengakibatkan individu yang hendak berpindah agama melakukan proses pertimbangan yang panjang serta mengalami tekanan emosional sebelum memutuskan untuk berpindah agama (Granqvist dan Kirkpatrik, 2004). Hasil penelitian Kembariana (2012) menunjukkan bahwa konflik internal berupa pertentangan batin cenderung dialami oleh individu yang memiliki
1
2
hubungan yang dekat dengan keluarga serta taat pada ajaran agama, pada saat mempertimbangkan untuk berpindah agama. Konflik mengenai pindah agama merupakan konflik yang berkelanjutan. Artinya konflik yang terjadi ini tidak berakhir pada saat individu memutuskan untuk berpindah agama tetapi terus berlanjut setelah individu berpindah agama. Kenyataannya kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan sebagai akibat dari pindah agama terus dilakukan. Individu yang telah memutuskan untuk berpindah agama selalu diberikan label kafir, pendosa, murtad dan tidak berpendirian (Suseno, 2003). Hal ini berdampak pada diri individu yaitu individu merasa malu, takut dan cemas (Nugroho, 2008). Realita mengenai fenomena pindah agama menunjukan bahwa setiap individu yang melakukan pindah agama mengalami suatu konflik internal dan eksternal, yang kemudian membentuk suatu pengalaman baru bagi individu. Pengalaman internal mencakup pikiran dan perasaan individu, sedangkan eksternal mencakup perlakuan yang diterima dari lingkungan luar sebagai akibat dari pindah agama (Granqvist & Kirkpatrik, 2004). Pengalaman yang dialami oleh individu dapat dikatakan sebagai suatu pengalaman Psikologis. Menurut Holonel dan Santrock (1999), Psikologi merupakan segala bentuk tingkah laku dan proses mental yang dialami individu dalam suatu kondisi. Dengan demikian pengalaman psikologis dapat dipahami sebagai segala bentuk pikiran, perasaan, dan tingkah laku individu dalam suatu kondisi khususnya dalam proses berpindah agama. Pengalaman psikologis pada saat berpindah agama dapat dikaji dari proses pengambilan keputusan, konsekuensi dan dampak yang dialami, serta coping yang dilakukan. Proses pengambilan keputusan merupakan proses yang memakan waktu
3
yang lama dan melibatkan pencarian informasi, penilaian pertimbangan yang diikuti dengan proses penyesuaian diri terhadap dampak dari keputusan, serta pemahaman terhadap tujuan dan nilai-nilai yang mendasari keputusan yang diambil (Ranyard dalam Moerika, 2008). Pengambilan keputusan untuk berpindah agama memiliki konsekuensi yang harus dihadapi oleh individu. Konsekuensi yang dialami dapat menimbulkan dampak psikologis bagi individu. Nugroho (2008) mendefinisikan dampak psikologis sebagai pengaruh positif dan negatif yang muncul sebagai hasil adanya stimulus yang bekerja pada diri individu, dimana pengaruh tersebut tampak pada perilaku individu. Lebih lanjut, dampak psikologis dapat memicu individu untuk melakukan coping atau usaha untuk mengurangi stress dan tekanan perasaan (Skin dalam Poniyati, 2005). Di Indonesia kasus pindah agama sudah sering terjadi dan diperbincangkan oleh masyarakat. Salah satu kasus pindah agama dapat dijumpai di pulau Timor khususnya dalam masyarakat suku Boti. Di pulau Timor suku Boti dianggap berbeda dari yang lainnya karena masih menganut agama Halaika (kepercayaan asli orang Timor) dan adat istiadat orang Timor yang diturunkan dari para leluhur. Agama dan adat istiadat orang Timor yang diturunkan dari para leluhur ini memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat suku Boti sehingga senantiasa dilestarikan (Selan, 2010). Pola kehidupan masyarakat suku Boti dapat dikatakan masih sangat tradisional. Pola kehidupan yang mengutamakan kebersamaan senantiasa dipraktikan oleh warga suku Boti dalam berelasi sosial (Rumung, 1998). Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan diperoleh hasil bahwa sejak tahun 2007 banyak warga suku Boti yang meninggalkan agama Halaika dan
4
menyatakan diri beragama Kristen. Hingga kini tiga dusun di suku Boti telah beragama Kristen dan hanya satu dusun saja yang masih menganut agama Halaika. Dengan demikian untuk membedakan warga suku Boti yang masih menganut kepercayaan Halaika dan yang sudah berpindah kepercayaan maka satu dusun yang masih menganut kepercayaan Halaika menyebut diri mereka sebagai “suku Boti Halaika” dan tiga dusun lainnya adalah “suku Boti Kristen”.1 Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian mendalam mengenai pengalaman psikologis individu sebelum dan sesudah berpindah agama dari agama Halaika ke agama Kristen pada masyarakat suku Boti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pengalaman psikologis individu sebelum dan sesudah berpindah agama dari agama Halaika ke agama Kristen dalam masyarakat suku Boti, kabupaten Timor Tengah Selatan. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah kepustakaan ilmiah demi perkembangan teori-teori psikologi khususnya dalam bidang psikologi agama, psikologi lintas budaya dan psikologi sosial. Bagi pembaca secara umum hasil penelitian ini dapat memperluas wawasan pembaca dan membantu pembaca dalam mengambil sikap yang tepat apabila menghadapi individu yang berpindah agama. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Alasan pemilihan metode kualitatif adalah karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan mengenai pengalaman psikologis individu sebelum dan sesudah berpindah agama dari agama Halaika ke agama Kristen pada individu dalam masyarakat suku Boti, sehingga
1
Wawancara dengan bapak Simon Benu (Salah satu warga suku Boti yang telah berpindah agama), pada tanggal 23 april 2013.
5
metode penelitian yang tepat ialah kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dan observasi. Partisipan Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian maka karakteristik partisipan dalam penelitian ini yaitu masyarakat suku Boti yang telah berpindah agama dari agama Halaika ke agama Kristen. Setelah berpindah agama individu mendapat sangsi sosial dan adat dari lingkungan. Teknik Analisa Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, display data, kesimpulan. HASIL PENELITIAN Ketiga partisipan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah warga suku Boti yang telah berpindah agama dari agama Halaika ke agama Kristen. Ketiga partisipan memiliki kedudukan dan tahun berpindah agama yang berbeda. P1 memiliki kedudukan sebagai meo atau pembantu raja dalam agama Halaika yang berperan sebagai pengganti raja Boti apabila raja tidak berada di desa Boti. Sedangkan P2 dan P3 adalah to atau masyarakat biasa. Dari ketiga partisipan, P3 yang melakukan pindah agama terlebih dahulu yaitu pada tahun 2008, dilanjutkan oleh P2 pada tahun 2009 serta P1 yang paling terakhir melakukan pindah agama pada tahun 2010. Selanjutnya untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengalaman psikologis maka
6
pada bagian ini peneliti akan memaparkan terlebih dahulu mengenai penghayatan ketiga partisipan mengenai agama Halaika. Pada bagian ini peneliti menggunakan istilah warga Halaika untuk merujuk kepada penganut agama Halaika. Agama Halaika Bagi Masyarakat Suku Boti Ketiga partisipan menghayati agama Halaika sebagai sebuah aliran kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dalam agama Halaika, ketiga partisipan dan warga Halaika lainnya mengenal adanya Uis Neno atau Tuhan langit dan Uis Pah atau Tuhan bumi. Uis Neno dan Uis Pah yang dikenal oleh ketiga partisipan dan warga Halaika lainnya tidak hanya satu jenis tetapi banyak jenisnya. Segala benda yang berada di atas kepala di sembah sebagai Uis Neno sedangkan segala benda yang berada di bawah kepala disembah sebagai Uis Pah. Misalnya yang tergolong Uis Neno adalah matahari, bulan, bintang, awan, puncak gunung, dan puncak pohon. Sedangkan Uis Pah adalah segala jenis tanaman dan binatang. Selain Uis Neno dan Uis Pah, warga Halaika juga mengenal Uis Kanfa ma bonif atau Tuhan marga yang terdiri dari roh-roh para nenek moyang, serta Uis Oe atau Tuhan air yang disebut Besimnasi atau buaya. Dalam agama Halaika ketiga partisipan dan warga Halaika lainnya mengenal adanya sembilan hari dalam seminggu. Setiap hari memiliki aturannya masing-masing yang tidak boleh dilanggar oleh penganutnya. nama hari-hari tersebut, yaitu : neon ai atau hari api, neon naek atau hari kebesaran raja, neon pah atau hari untuk bumi, neon maka atau hari makanan, neon suli atau hari perselisihan, neon liana atau hari anak, neon besi/neon makenat atau hari pisau/ hari kekejaman, neon oe atau hari air, dan neon
7
le’uf/neno snansat atau hari perhentian yang digunakan untuk berkumpul dan beraktivitas bersama di sonaf atau rumah raja selama satu hari penuh. Relasi sosial ketiga partisipan dengan warga Halaika terjalin dengan sangat harmonis. Ketiga partisipan mengaku bahwa dalam menjalani kehidupan sebagai warga Halaika mereka selalu beraktivitas bersama, bergotong royong, saling membantu dan menolong. Di samping itu setiap hari semua warga Halaika selalu menyisihkan waktunya untuk berkumpul dan beraktivitas bersama di sonaf atau rumah raja. Dalam perkumpulan tersebut mereka membuat kerajinan tangan yaitu ibu-ibu dan setiap anak perempuan menenun mau dan tais (pakaian adat laki-laki dan perempuan) dan membuat okomama (tempat sirih dan pinang bagi ibu-ibu), sedangkan bapak-bapak membuat ukiran pada tiba (tempat sirih dan pinang bagi bapak-bapak) dan pada kayu, serta anakanak bermain bersama. Dalam kehidupan setiap warga Halaika telah tertanam rasa persaudaraan dan rasa saling memiliki sehingga hubungan mereka terjalin seperti sebuah keluarga. Dalam berelasi tidak dikenal status sosial, sekalipun P1 memiliki kedudukan sebagai meo atau pembantu raja tetapi hubungan sosialnya dengan warga Halaika lainnya terjalin dengan baik tanpa ada batasan-batasan tertentu. Pengenalan tentang agama Kristen di desa Boti dilakukan oleh para penginjil yang datang ke desa Boti. P2 dan P3 mengenal agama Kristen dari para penginjil yang melakukan penginjilan di desa Boti. Sedangkan P1 mengenal agama Kristen dari ayahnya sebagai orang pertama yang membawa masuk agama Kristen ke desa Boti. Pengenalan awal tentang agama Kristen mengakibatkan ketiga partisipan memiliki ketertarikan terhadap agama Kristen.
8
Proses Pengambilan Keputusan untuk berpindah agama Perpindahan agama dan konsekuensi yang menyertainya terus terjadi di desa Boti. Hal ini mengakibatkan ketiga partisipan telah mengetahui konsekuensi yang akan dialaminya sebagai akibat dari pindah agama sebelum melakukan tindakan pindah agama. Pengetahuan ketiga partisipan mengenai konsekuensi yang akan dihadapi sebagai akibat dari pindah agama mempengaruhi proses pengambilan keputusan mereka untuk berpindah agama. Pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan dilakukan oleh ketiga partisipan. P1 dan P2 mengalami kesulitan ketika hendak melakukan pindah agama karena mereka mempertimbangkan bagaimana relasi sosialnya dengan warga Halaika apabila mereka melakukan pindah agama serta apakah kehidupan mereka akan menjadi lebih baik ketika berpindah agama atau sebaliknya. P1 sebagai seorang meo yang sangat dihargai dalam komunitas Halaika merasa tidak siap menerima kenyataan akan ditolak oleh warga Halaika. Di sisi lain P2 merasa takut ketika mempertimbangkan untuk berpindah agama. P2 sebagai anak laki-laki tertua di dalam keluarga adalah pewaris segala kepercayaan nenek moyang sesuai dengan tradisi warga Halaika. Hal ini membuat P2 merasa takut dibenci oleh keluarga dan dihukum oleh Uis Neno dan Uis Pah apabila melakukan pindah agama. Perasaan takut P2 dan P1 membuat mereka tidak dapat berkonsentrasi pada saat bekerja sehingga hasil dari pekerjaan yang mereka peroleh saat itu mengalami penurunan. Sedangkan P3 tidak mengalami kesulitan dalam proses pengambilan keputusan untuk berpindah agama karena P3 mengaku memiliki ketertarikan yang besar terhadap agama Kristen sehingga dia meyakini bahwa keputusan untuk berpindah agama adalah keputusan yang tepat.
9
Ketika memiliki keinginan untuk melakukan pindah agama ketiga partisipan mengungkapkan keinginan mereka kepada istri sebagai orang pertama yang mengetahuinya. Reaksi istri terhadap keinginan untuk berpindah agama beragam. Istri P1 mendukung keinginan untuk berpindah agama karena pada saat itu sang istri telah menganut agama Kristen mendahului P1. Reaksi yang sama ditunjukkan oleh istri P3 yang juga memiliki keinginan untuk berpindah agama ke agama Kristen. Penolakan diterima oleh P2 sebagai reaksi dari istri yang tidak menyetujui keinginan P2 untuk berpindah agama. Istri P2 tidak menyetujui keinginan P2 untuk berpindah agama sehingga mengakibatkan masalah yang serius dalam relasi suami istri. Istri P2 yang awalnya penyayang berubah menjadi pemarah. Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh P2 selalu diprotes dengan marah oleh istrinya. Tindakan penolakan yang ditunjukan oleh istri P2 tidak membuat P2 berputus asa. P2 selalu tenang dalam menghadapi istrinya serta dengan sabar menjelaskan alasan keinginannya tersebut. P2 mengaku sering mendoakan istriya agar dapat berubah menerima keputusan P2. Sikap tenang untuk terus menjelaskan kepada istrinya yang dilakukan oleh P2 kemudian membuahkan hasil yang baik yaitu istrinnya menyetujui keinginannya untuk berpindah agama serta bersedia untuk menjadi Kristen bersama dengan P2. Konsekuensi Adat Dari Pindah Agama Konsekuensi pindah agama dialami oleh ketiga partisipan pada saat memutuskan untuk berpindah agama. Ketiga partisipan tidak lagi diijinkan untuk tinggal di lingkungan yang sama dengan warga Halaika lainnya sehingga ketiga partisipan harus berpindah tempat tinggal pada saat memutuskan untuk berpindah agama. Setiap kegiatan keagamaan dan sosial yang dilakukan oleh warga Halaika seperti bergotong royong dan berkumpul untuk bekerja membuat kerajinan tangan bersama, tidak dapat
10
diikuti oleh ketiga partisipan setelah melakukan pindah agama. Selanjutnya apabila ketiga partisipan bertemu dengan warga Halaika, ketiga partisipan tidak disapa atau tidak diajak berbicara serta diperlakukan seperti orang asing. Warga Halaika cenderung tidak memberikan reaksi apapun apabila ketiga partisipan berbicara dengan mereka. Hal yang sama terjadi apabila warga Halaika menemui suatu peristiwa bahagia dan kesedihan, ketiga partisipan tidak diberitahu seperti waktu mereka masih menganut agama Halaika. Sebaliknya apabila ketiga partisipan mengalami peristiwa kebahagiaan atau kesedihan dan menyampaikan kepada warga Halaika, tidak ada satupun dari mereka yang mengunjungi ketiga partisipan. Salah satu partisipan (P2) bahkan tidak lagi diakui sebagai bagian dari keluarganya setelah melakukan pindah agama. Kondisi tersebut terjadi hingga tahun 2011. Lebih lajut pada saat berpindah agama ketiga partisipan mendapat dukungan serta penerimaan dari warga Kristen sehingga ketiga partisipan mengaku senang karena memiliki keluarga yang baru. Dampak Psikologis Dan Coping Dampak dari pengucilan yang dilakukan oleh warga Halaika dirasakan oleh ketiga partisipan. P1 dan P2 merasa malu karena tindakan pindah agama yang dilakukan serta tidak dapat menjalankan tanggung jawab mereka dengan baik seperti yang diharapkan oleh warga Halaika. Hal tersebut membuat mereka cenderung menghindari pertemuan dengan warga Halaika. P1 selalu menghabiskan waktunya di rumah dan gereja sebagai upaya untuk mengenal agama Kristen dengan baik. Penghindaran P1 untuk bertemu dengan warga Halaika disebabkan oleh ketidaksanggupan P1 menghadapi kenyataan bahwa P1 diperlakukan seperti orang asing oleh warganya sendiri. P1 yang dulunya adalah tokoh yang dijadikan panutan dan dihargai, setelah berpindah agama menjadi tidak dihargai dan diperlakuan seperti orang yang tidak
11
dikenal. Hal tersebut membuat P1 merasa malu dengan tindakan pindah agama yang dilakukan serta merasa sangat sedih dengan perlakukan warga Halaika terhadap dirinya. P1 mengaku sering mengeluarkan air mata apabila berpikir tentang hubungan persaudaraan yang menjadi rusak akibat perbedaan keyakinan. P2 merasa sedih ketika dikucilkan oleh warga Halaika. Perasaan malu tersebut membuat P2 beraktivitas seperti biasa tetapi P2 selalu bersembunyi ketika melihat warga Halaika sehingga mereka tidak berpapasan. Pertemuan dengan warga Halaika dianggap P2 sebagai suatu beban yang berat, karena pada saat bertemu dengan warga Halaika P2 merasa tidak nyaman. Pada saat yang bersamaan P2 merasa sedih dan takut. P2 merasa sangat takut apabila warga Halaika melihat dirinya sehingga dia harus melihat kenyataan bahwa warga Halaika mengabaikannya. Di sisi lain P2 juga merasa sangat sedih karena bagi P2 seluruh warga Halaika adalah keluarga sehingga ketika relasi sosal mereka menjadi rusak maka hubungan persaudaraan yang terjalin selama ini juga menjadi rusak. P2 dan warga Halaika yang dulunya menjalin hubungan seperti keluarga, setelah terjadi pindah agama P2 harus bersembunyi demi menghindari pertemuan dengan warga Halaika. Selanjutnya P3 mengaku merasa sedih ketika dikucilkan oleh warga Halaika tetapi perasaan sedih tersebut tidak mempengaruhi kinerjanya dalam bekerja. Ketiga partisipan memiliki penilaian yang kurang baik terhadap pola kehidupan penganut agama Kristen. Ketiga partisipan memiliki pandangan bahwa penganut agama Kristen adalah individu yang tidak taat terhadap aturan agama sehingga selalu melakukan kejahatan. Lebih lanjut penganut agama Kristen tidak mengutamakan kebersamaan dalam berelasi layaknya pola kehidupan warga Halaika. Hal tersebut
12
membuat salah satu partisipan (P3) merasa menyesal melakukan tindakan pindah agama. Setelah mengalami konsekuensi yang dialami sebagai akibat dari pindah agama, ketiga partisipan mengaku merasa tidak nyaman dengan konsekuensi yang dihadapi tersebut. Dampak yang dialami tersebut kemudian memicu mereka untuk melakukan upaya guna memperbaiki hubungan sosial dengan warga Halaika. P1 kemudian memutuskan untuk terus melibatkan diri dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh warga Halaika sekalipun ditolak. P2 memutuskan untuk tidak lagi bersembunyi ketika berpapasan dengan warga Halaika tetapi berusaha menyapa mereka. P3 memutuskan untuk memperlakukan warga Halaika seperti biasa layaknya dia masih beragama Halaika yaitu menyapa mereka ketika bertemu, memberitahukan kepada mereka ketika P3 mengalami kebahagiaan atau kesedihan, serta membagi hasil panen yang diperoleh kepada orang tuanya yang masih beragama Halaika. PEMBAHASAN Fokus dari penelitian ini adalah untuk melihat apa yang dipikirkan individu, apa yang dirasakan individu, dan konflik yang dialami individu dalam proses berpindah agama. Proses wawancara untuk mendapatkan data di dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan bahasa Dawan atau bahasa daerah Timor yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Adapun keterbatasan dari penelitian ini yaitu partisipan yang digunakan semuanya berjenis kelamin laki-laki sehingga data mengenai pengalaman psikologis hanya diperoleh dari sudut pandang laki-laki. Selanjutnya untuk mendapat pemahaman yang luas mengenai pengalaman psikologis maka akan dikaji
13
secara bertahap dari proses pengambilan keputusan untuk berpindah agama, konsekuensi dan dampak pskologis yang dialami serta coping yang dilakukan individu. Proses Pengambilan Keputusan Proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh ketiga partisipan diawali dengan pengenalan dan ketertarikan terhadap agama Kristen. Ketertarikan terhadap agama Kristen dapat dipahami sebagai suatu masalah yang dihadapi oleh ketiga partisipan, sehingga ketiga partisipan melakukan upaya untuk lebih memahami tentang agama Kristen yang diperoleh melalui membaca Alkitab, bergabung dalam ibadah yang dilakukan di gereja serta berdiskusi dengan pendeta untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak mengenai agama Kristen. Senada dengan itu, Janiss dan Mann (dalam Rumekson, 1998) menyatakan bahwa setelah memahami masalah yang dihadapi, seseorang akan melakukan tindakan untuk memperoleh informasi tentang berbagai pilihan yang dapat mengatasi situasi dan kendala yang dihadapi serta mencari informasi tambahan dan masukan dari orang sekitar. Salah satu partisipan (P1) mempertimbangkan untuk melakukan tindakan pindah agama karena memiliki pandangan bahwa kehidupan sebagai warga Halaika adalah kehidupan yang serba terbatas dan merugikan P1. Dalam menjalani kehidupan sebagai warga Halaika P1 merasa tidak memiliki kebebasan dalam melakukan setiap tindakan karena setiap aspek kehidupannya diatur oleh agama. Setiap tindakan yang melanggar aturan agama mendapat hukuman dari Uis Neno dan Uis Pah. Hukuman yang sering diterima adalah kematian binatang-binatang peliharaannya, sehingga hal tersebut kemudian mempengaruhi pandangan P1 tentang agama Halaika. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu bahan pertimbangan P1 untuk melakukan tindakan pindah agama. Hal ini memiliki kesamaan dengan yang diungkapkan oleh Penindo (dalam Nugroho,
14
2008) dan Max Heirich (dalam Hendropuspito, 1998) bahwa tindakan pindah agama juga dapat dilihat sebagai suatu upaya pembebasan diri dari tekanan batin. Di sisi lain Janis dan Mann (dalam Rumekson 1998) melihat apa yang dialami oleh P1 merupakan tahap pengenalan masalah, dimana P1 mulai menyadari adanya kesenjangan antara situasi yang diharapkan dan situasi yang riilnya. Proses pengambilan keputusan akan menjadi hal yang sulit apabila individu telah mengetahui konsekuensi yang akan dihadapinya serta memiliki peran yang penting di dalam masyarakat dan keluarga. P1 sebagai meo merasa tidak sanggup menghadapi konsekuensi yang akan dihadapi serta mengalami kesulitan dalam proses pengambilan keputusan untuk berpindah agama. Hal yang sama dialami oleh P2 yang merupakan pewaris segala kepercayaan nenek moyang dalam keluarga sesuai dengan tradisi masyarakat suku Boti. Kedua partisipan tersebut mengalami suatu proses pengambilan keputusan yang panjang sebelum mengambil keputusan untuk berpindah agama. Dengan peran penting yang dimiliki membuat kedua partisipan (P1 dan P2) merasa takut dengan keinginan mereka untuk berpindah agama. Sekalipun belum ada studi terdahulu yang membuktikan hal tersebut, namun dalam penelitian ini jelas terlihat bahwa peran penting yang dimiliki oleh partisipan serta pengetahuan tentang konsekuensi yang akan dihadapi dapat membuat partisipan mengalami kesulitan dalam proses pengambilan keputusan untuk berpindah agama. Dua partisipan (P1 dan P2) dalam proses pengambilan keputusannya merasa cemas, tidak berdaya, dan takut ditolak oleh warga Halaika. Individu yang melakukan pindah agama memiliki perasaan putus asa, keraguan terhadap nilai diri, takut ditolak dan keterasingan dari orang lain (Zinbbauer dan Pargament dalam Ekawati dan Zulkaida, 2011). Kecemasan merupakan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya yang berasal dari dalam atau luar dirinya (Kaplan, 1998). Pengetahuan
15
mengenai konsekuensi yang akan dihadapinya merupakan bahaya dari luar diri yang takut dihadapi oleh kedua partisipan. Kedua partisipan melakukan evaluasi diri mengenai perasaan berguna dan tidak berguna setelah berpindah agama. Hal serupa diungkapkan oleh Newman dan Newman (dalam Nugroho, 2008) bahwa harga diri diperoleh dari evaluasi diri mengenai perasaan berguna dan tidak bergunanya diri. Apa yang dialami P1 dan P2 erat kaitannya dengan yang diungkapkan oleh Granqvist & Kirkpatrik (2004) menyatakan bahwa individu yang hendak melakukan pindah agama mengalami tekanan emosional terlebih dahulu. P1 dan P2 merasa tidak berdaya pada saat melakukan proses pengambilan keputusan untuk berpindah agama. Ketidakberdayaan tersebut membuat mereka tidak berkonsentrasi ketika bekerja sehingga hasil panen yang diperoleh pada saat itu mengalami penurunan. Di sisi lain kedua partisipan juga menjadi pendiam sehingga semakin mengganggu relasi sosial mereka. Senada dengan itu, Saligman (dalam Nugroho, 2008) mengungkapkan bahwa ketika seseorang berpikir dia tidak dapat berbuat apapun maka dia akan menjadi tidak berdaya dan kemudian akan mengalami kegagalan dalam setiap hal yang dilakukan. Berbeda dari itu, pengetahuan mengenai konsekuensi dari pindah agama tidak berdampak apapun bagi proses pegambilan keputusan P3 untuk berpindah agama. Di samping tidak memiliki peran yang penting dalam lingkungan dan keluarga, ketertarikan terhadap agama Kristen membuat P3 mengalami proses pengambilan keputusan yang lebih singkat jika dibandingkan dengan kedua partisipan yang lainnya. Ketika hendak melakukan pindah agama, ketiga partisipan meminta persetujuan dari istri sebagai orang terdekat mereka. P1 dan P3 mendapat persetujuan dan dukungan dari istri pada saat hendak melakukan pindah agama. Berbeda dari itu, P2 mendapat
16
penolakan dari istri ketika membicarakan keinginannya untuk berpindah agama. Hal ini membuat P2 merasa takut ketika mempertimbangkan untuk melakukan pindah agama. Senada dengan itu Gunarsi dan Sukardi (dalam Leoni, 2008) mengungkapkan bahwa dukungan dari orang terdekat dapat membantu individu dalam mengurangi tekanan emosional yang dirasakan pada saat mempertimbangkan untuk melakukan pindah agama. Sebaliknya tidak adanya dukungan dari orang lain terutama orang yang dekat dengan individu dapat membuat individu menjadi tertekan. Dari pembahasan di atas jelas terlihat bahwa proses pengambilan keputusan memiliki keterkaitan dengan proses berpikir dan proses perasaan individu. Pengetahuan mengenai konsekuensi yang dihadapi oleh partisipan membuat partisipan melakukan proses pertimbangan (proses berpikir) yang matang sebelum memutuskan untuk berpindah agama. Lebih lanjut, pengetahuan mengenai konsekuensi dari pindah agama juga mempengaruhi proses perasaan partisipan, dimana terlihat di atas bahwa dua partisipan (P1 da P2) merasa takut mengambil keputusan untuk berpindah agama. Konsekuensi Adat Dari Pindah Agama Konsekuensi dari berpindah agama merupakan suatu hal yang harus diterima oleh setiap individu yang melakukan tindakan pindah agama. Di dalam lingkungan masyarakat tradisional yang masih menganut kepercayaan dan adat istiadat nenek moyang, perubahan sosial atau perkembangan zaman merupakan suatu hal yang ditolak di dalam masyarakat tradisional. Agama modern dianggap sebagai suatu ancaman sehingga cenderung masih ditolak oleh masyarakat tradisional. Hal ini yang mengakibatkan tindakan pindah agama dari agama tradisional ke agama modern dapat membuat pelakunya mendapat sanksi adat dari masyarakat tradisional.
17
Dari ketiga partisipan terdapat kesamaan yaitu ketiga partisipan dikucilkan dan ditolak dari warga Halaika ketika melakukan pindah agama. Ketika berpindah agama ketiga partisipan tidak lagi diijinkan untuk tinggal di lingkungan yang sama dengan warga Halaika sehingga ketiga partisipan harus berpindah tempat tinggal. Setiap kegiatan keagamaan dan sosial yang dilakukan oleh warga Halaika seperti bergotong royong dan berkumpul untuk bekerja membuat kerajinan tangan bersama, tidak dapat diikuti oleh ketiga partisipan setelah melakukan pindah agama. Selanjutnya apabila ketiga partisipan bertemu dengan warga Halaika, ketiga partisipan tidak disapa atau tidak diajak berbicara, dan diperlakukan seperti orang asing. Warga Halaika cenderung tidak memberikan reaksi apapun apabila ketiga partisipan berbicara dengan mereka. Hal yang sama terjadi apabila warga Halaika menemui suatu peristiwa bahagia dan kesedihan, ketiga partisipan tidak diberitahu seperti waktu ketiga partisipan masih menganut agama Halaika. Sebaliknya apabila ketiga partisipan mengalami peristiwa kebahagiaan atau kesedihan dan memberitahu warga Halaika, tidak ada satupun dari mereka yang mengunjungi ketiga partisipan. Apa yang dialami oleh ketiga partisipan memiliki kesamaan dengan yang diungkapkan oleh Suseno (2003) yakni diskriminasi dan penolakan dari lingkungan cenderung dialami oleh individu yang berpindah agama sebagai konsekuensi dari keputusan yang diambil. Salah satu partisipan (P2) bahkan tidak lagi diakui sebagai bagian dari keluarganya setelah melakukan pindah agama. Hal tersebut dapat terlihat dari pernyataan berikut ini: “Seperti yang tadi sudah saya ceritakan, mereka menolak kami. Pada awal mereka tahu kami ingin pindah agama itu mereka sangat marah, mereka menganggap kalau kami ini sudah keluar dari keluarga K, jadi kami ini bukan K lagi.”
18
Dari pernyataan tersebut P2 mengungkapkan bahwa ketika P2 melakukan pindah agama P2 dianggap sudah keluar dari keluarga K sehingga bukan menjadi bagian dari keluarga K. Senada dengan pernyataan tersebut Nugroho (2008) mengungkapkan bahwa konflik mengenai pindah agama tidak hanya mengguncang individu yang melakukan pindah agama tetapi juga orang tua, keluarga dan lingkungan individu. Sebagian orang tua mengambil tindakan kejam dengan tidak mengakui individu yang melakukan pindah agama sebagai bagian dari keluarga. Dampak Psikologis Dan Coping Ketiga partisipan memiliki kesamaan yaitu merasakan kesedihan ketika dikucilkan dari warga Halaika. Drever (dalam Nugroho, 2008) mendefinisikan kesedihan sebagai perasaan hati yang emosional ditandai dengan kepasifan yang relatif dan keadaan otot yang merosot, dengan keluhan dan tidak jarang mencucurkan air mata. Pada saat berpindah agama P1 dan P2 merasa malu dengan warga Halaika karena tindakan pindah agama yang dilakukan. Hal tersebut membuat kedua partisipan cenderung
menghindari
pertemuan
dengan
warga
Halaika.
Myers
(2012)
mengungkapkan bahwa perasaan malu merupakan sebuah bentuk kecemasan sosial yang ditandai dengan selalu sadar dan cemas mengenai apa yang orang lain pikirkan. Adapun Kaplan (dalam Nugroho, 2008) menyatakan bahwa rasa malu timbul karena adanya rasa kegagalan dalam membangun penghargaan diri. Tindakan menghindari pertemuan dengan warga Halaika yang dilakukan oleh dua partisipan (P1 dan P2) dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang dilakukan karena perasaan bersalah. Disamping merasa malu dengan tindakan yang dilakukannya, kedua partisipan merasa bersalah karena tidak dapat melaksanakan kewajiban mereka
19
sebagai warga Halaika dengan baik. Rasa bersalah merupakan reaksi emosional yang tidak menyenangkan dari individu terhadap penialaian negatif orang lain, baik yang merupakan dugaan maupun yang benar-benar terjadi. Rasa tersebut kemudian membuat individu mencela diri sendiri ketika berhadapan dengan kelompok (Hurlock, 1992). Sebagai individu yang diharapkan dapat menjadi panutan bagi warga Halaika dan keluarga, P1 dan P2 merasa tidak dapat melaksanakan kewajiban mereka dengan baik. Hal ini kemudian membuat kedua partisipan merasa bersalah dengan tindakan yang telah dilakukan. Hurlock (1992) menyatakan bahwa rasa bersalah biasanya timbul saat perilaku individu bertentangan dengan norma tertentu yang wajib diikuti. Kehidupan sebagai warga Kristen membuat P3 merasa menyesal telah mengambil keputusan untuk berpindah agama. Lebih lanjut perasaan menyesal yang dimiliki P3 disebabkan oleh karena tidak tercapainya harapan P3. P3 memiliki harapan dapat menjalani kehidupan dengan mengutamakan kebersamaan bersama dengan warga Kristen tetapi harapan P3 tidak terpenuhi karena warga Kristen cenderung bekerja sendiri. Senada dengan itu, Subiyanto (dalam Nugroho, 2008) menyatakan bahwa perasaan menyesal bisa timbul karena adanya harapan yang tidak terpenuhi, perbuatan melanggar norma yang berlaku, serta adanya perbuatan yang bertentangan dengan kata hati. Penolakan dari keluarga dan lingkungan mengakibatkan ketiga partisipan merasa tidak nyaman ketika bertemu dengan warga Halaika sehingga mereka cenderung menghindari pertemuan dengan warga Halaika serta cenderung beraktivitas di dalam rumah. Perasaan tidak nyaman yang dirasakan oleh ketiga partisipan membuat mereka berupaya mencari solusi guna memperbaiki hubungan sosial mereka dengan warga Halaika. Ketiga partisipan memiliki kesamaan dalam mengatasi konflik akibat pindah
20
agama yaitu ketiga partisipan memfokuskan perhatiannya untuk memahami agama Kristen dengan benar serta membangun hubungan sosial yang baik dengan warga Kristen. Ketiga partisipan memilih untuk melakukan hal tersebut agar hubungan sosial mereka dengan warga Halaika dapat terjalin kembali seperti semula. Apa yang dilakukan oleh ketiga partisipan memiliki kesamaan dengan yang diungkapkan oleh Skin (dalam Poniyati, 2005) bahwa tekanan perasaan dapat dialami individu sebagai akibat
adanya hal-hal atau masalah-masalah yang tidak terpecahkan,
yang
membutuhkan suatu pemecahan atau penyesuaian yang baik. Lebih lanjut hal tersebut dapat memicu individu untuk melakukan coping atau upaya untuk mengurangi tekanan perasaan. P2 dan P3 memutuskan untuk menyapa dan berbicara dengan warga Halaika apabila bertemu serta berusaha untuk tidak menghindari pertemuan dengan warga Halaika. P3 berusaha memperlakukan warga Halaika dengan baik layaknya masih memiliki keyakinan yang sama. Lebih lanjut P3 memutuskan untuk memberitahukan kepada keluarganya yang masih beragama Halaika apabila P3 mengalami peristiwa kebahagiaan ataupun kesusahan. Segala hasil panen yang dimiliki P3 dibagikan kepada orang tuanya yang masih beragama Halaika sebagai wujud pengabdianya sebagai seorang anak. P3 berharap dengan upaya yang dilakukannya dapat memperbaiki hubungan sosialnya dengan warga Halaika. P1 yang memiliki latar belakang sebagai meo memutuskan untuk melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh warga Halaika yang diketahuinya seperti bergotong royong dalam membersihkan kebun, membantu salah satu warga Halaika yang membangun rumah, serta aktivitas membuat kerajinan tangan. Sekalipun ditolak serta kehadirannya diabaikan tetapi P1 tidak merasa putus asa, P1 tetap melibatkan diri
21
dalam setiap aktivitas warga Halaika dengan harapan suatu saat kehadirannya dapat diterima oleh warga Halaika. Ketiga partisipan memiliki kesamaan ketika mereka melakukan upaya untuk memperbaiki hubungan sosial dengan warga Halaika mereka merasa senang dan puas dengan tindakan mereka. KESIMPULAN Secara umum ketertarikan terhadap agama Kristen menjadi alasan ketiga partisipan melakukan pindah agama. Proses pengambilan keputusan untuk berpindah agama menjadi suatu hal yang sulit bagi P1 dan P2 karena kedua partisipan tersebut memiliki kedudukan dan peran yang penting di dalam masyarakat dan keluarga. Sedangkan P3 sebagai individu yang tidak memiliki peran yang penting, tidak mengalami proses pengambilan keputusan yang sulit. Dukungan dari orang terdekat (istri) dalam proses pengambilan keputusan untuk berpindah agama dapat membantu P1 dan P3 dalam memilih alternatif pengambilan keputusan yang tepat. Berbeda dari itu penolakan istri terhadap keinginan P2 untuk berpindah agama membuat P2 mengalami masa sulit dalam proses pengambilan keputusan untuk berpindah agama. Konsekuensi dari berpindah agama dialami oleh ketiga partisipan. Ketiga partisipan ditolak dan dikucilkan dari warga Halaika pada saat mengambil keputusan untuk berpindah agama. Penolakan tersebut berdampak pada ketiga partisipan yaitu ketiga partisipan merasa sedih, tidak berdaya dan menyesal telah mengambil keputusan untuk berpindah agama. Dampak yang dialami tersebut kemudian memicu ketiga partisipan untuk berupaya mencari solusi guna memperbaiki hubungan sosialnya
22
dengan warga Halaika. Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti dari penelitian ini yaitu : 1. Bagi pemerintah kabupaten Timor Tengah Selatan diharapkan dapat memperhatikan suku Boti dalam kaitannya dengan agama Halaika sebagai suatu kekayaan budaya Timor yang harus dilestarikan. 2. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan agar bisa mengkaji dengan lebih mendalam mengenai pengalaman psikologis individu dalam proses berpindah agama, misalnya penelitian mengenai pengalaman psikologis dalam proses berpindah agama dengan ditinjau dari usia dan jenis kelamin. 3. Bagi pembaca secara umum hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pengalaman psikologis individu dalam proses berpindah agama sehingga para pembaca diharapkan dapat mengambil tindakan yang tepat apabila menghadapi individu yang hendak berpindah agama.
DAFTAR PUSTAKA Ekawati, Y., Cynthia, T., & Zulkaida, A. (2011). Penyesuaian wanita yang melakukan konversi agama pra-pernikahan. Jurnal psikologi, ekonomi, sastra, arsitektur dan sipil. http://repository.gunadarma.ac.id. Diakses 2014 Granqvist, P,. & Kirkpatrick, L. (2004). Religious conversion and perceived childhood attachment: a meta-analysis. The international journal for the psychology of religion. Uppsala University. http://w3.psychology.su.se/staff/pgran/GranqvistKirkpatrick2004.pdf. Diakses 2014
Halonen, J., Santrock, J. (1999). Psychology contexts and applications, (third edition). America: McGraw-Hill College Hendropuspito, (1984). Sosiologi agama. Yogyakarta: Kanisius Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba humanika
Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jilid 1. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga Jalalludin, H. (2002). Psikologi agama, edisi revisi 2002. Jakarta: PT rajagrafindo persada Kaplan, H. I, Suddock, B. J, Greb, J. A. (1998). Ilmu kedokteran jiwa darurat. Jakarta: Penerbit widya medika Kembariana. (2012). Proses pengambilan keputusan istri yang melakukan konversi agama. Skripsi yang tidak dipublikasikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Leoni, I. (2008). Pengambilan keputusan remaja dalam menjalani kehidupan sebagai Biarawati. Skripsi yang tidak dipublikasikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Moerika, M. (2008). Proses pengambilan keputusan pada individu dewasa muda yang melakukan konversi agama karena pernikahan. Skripsi yang tidak dipublikasi, Universitas Indonesia, Jakarta. http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id Diakses 2014 Myers, D. G. (2012). Pskologi sosial edisi 10, buku 2. Jakarta: Salemba humanika Nugroho, F. (2008). Dampak psikologi pindah agama. Skripsi yang tidak dipublikasikan, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang http://eprints.unika.ac.id. Diakses 2013 Poniyati. (2005). Hubungan antara berpikir positif dengan coping terhadap stress pada guru-guru TK di kecamatan sidorejo salatiga. Skripsi yang tidak dipublikasi, Universtas Kristen Satya Wacana, Salatiga Rambo, L. R. (1993). Understanding religious conversion. Yale: University Press
23
24
Rumekson, A, W. (1998). Konversi jemaat GKJ Kutoarjo Pepanthan Kaligintung ke agama Islam. Skripsi yang tidak diterbitkan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Rumung, J. (1998). Misteri kehidupan suku Boti. Kupang: Yayasan Boti Indonesia Selan, M. (2010). Kajian sosio-antropologi terhadap kepercayaan Halaika sebagai sebuah agama di suku Boti kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi yang tidak dipublikasikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Suseno, A. (2003). Agama, pluralisme dan perdamaian bangsa. Surabaya: PT. Surya ilmu pustaka