BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian terhadap urutan nukleotida daerah HVI mtDNA manusia yang telah banyak dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena munculnya rangkaian poli-C merupakan fenomena yang jarang terjadi. Rangkaian poli-C di daerah HVI ini muncul karena adanya mutasi transisi basa timin (T) menjadi sitosin (C) pada posisi 16189. Hanya 17,30% individu dari populasi yang dianalisis ditemukan mengalami mutasi T16189C (Surja dalam Siti, 2005). Pada bab ini akan dipaparkan pembahasan hasil penelitian urutan nukleotida daerah HVI mtDNA manusia yang mengandung poli-C terhadap dua sampel populasi Nusa Tenggara Barat yang meliputi: (1) Karakteristik sampel, (2) Fragmen 0,4 kb mtDNA hasil PCR, (3)
Hasil direct sequencing terhadap kedua sampel,
(4) Analisis mutasi daerah HVI, dan (5) Rangkaian poli-C pada daerah HVI mtDNA kedua sampel tersebut. 4.1. Karakteristik Sampel Penyiapan templat mtDNA untuk PCR diawali dengan pengambilan sel rambut dari populasi NTB yang dijadikan sampel yang dilanjutkan dengan lisis sel sesuai prosedur yang telah dituliskan pada bab III. Adapun data sampel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Data sampel. No. 1 2
Kode Sampel NB-007 NB-008
Suku asal sampel Bima Sumbawa 24
Kedua individu yang menjadi sampel tersebut merupakan keturunan asli Nusa Tenggara Barat. Dari kedua sampel diambil beberapa helai rambut untuk dijadikan sebagai sumber mtDNA. Adapun beberapa alasan yang mendasari pemilihan rambut sebagai sumber mtDNA pada penelitian ini adalah: rambut mengalami pertumbuhan setiap saat; proses pengambilan sampel rambut lebih mudah dibanding sel-sel sumber
mtDNA lainnya
seperti darah serta
penyimpanannya yang lebih mudah. Secara lebih spesifik, bagian rambut yang diambil adalah bagian akarnya, karena pada bagian akar inilah yang sesungguhnya mengalami pertumbuhan. Sehingga diperkirakan pada akar rambut terdapat mtDNA yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian pangkalnya. 4.2. Fragmen 0,4 kb mtDNA Hasil PCR Fragmen 0,4 kb daerah HVI mtDNA diperoleh dari hasil amplifikasi mtDNA manusia secara in vitro dengan teknik PCR. Hasil PCR selanjutnya diidentifikasi dengan elektroforesis gel agarosa 1% (b/v) dengan menggunakan pUC19/HinfI sebagai marker (standar). pUC19/HinfI akan menghasilkan lima fragmen dengan ukuran masing-masing 1419 pb, 517 pb, 396 pb, 214 pb, dan 75 pb (Hartati dan Maksum, 2004). Hasil deteksi produk PCR dengan elektroforesis gel agarosa ditunjukkan pada Gambar 4.1. Berdasarkan gambar tersebut terlihat adanya pita fragmen pada sampel yang dianalisis yang terletak diantara pita 517 pb dan pita 396 pb standar pUC19/HinfI. Dengan membandingkan posisi pita fragmen sampel dengan pita pUC/HinfI, disimpulkan bahwa fragmen sampel tersebut memiliki ukuran sekitar 0,4 kb. Munculnya pita
25
0,4 kb tersebut mengindikasikan bahwa proses amplifikasi daerah HVI mtDNA sampel telah berhasil dilakukan.
Gambar 4.1. Hasil deteksi produk PCR dengan elektroforesis gel agarosa. Lajur 1 menunjukkan marker DNA pUC19/HinfI, lajur 2 dan 3 menunjukkan fragmen 0,4 kb sampel NB-007 dan NB-008. Sedangkan lajur 4 dan 5 masing-masing menunjukkan kontrol negatif dan kontrol positif.
Kontrol positif dalam elektroforesis gel agarosa berperan sebagai kontrol lisis. Dalam kontrol positif, yang menjadi templat DNA adalah sampel yang telah berhasil dilisis dan menunjukkan hasil positif ketika dideteksi dengan elektroforesis gel agarosa. Gambar 4.1 menunjukkan munculnya pita pada kontrol positif, dan hal ini membuktikan bahwa proses lisis terhadap sampel telah berhasil. Apabila suatu hasil elektroforesis gel agarosa menunjukkan munculnya pita 0,4 kb pada kontrol positif, sedangkan pada sampel tidak muncul pita
26
fragmen 0,4 kb tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan terjadi pada proses lisis sampel. Gambar 4.1 juga memperlihatkan bahwa pada kontrol negatif tidak muncul pita fragmen 0,4 kb. Dalam proses PCR, kontrol negatif berperan sebagai indikator ada atau tidaknya kontaminan dalam campuran reaksi PCR. Pada kontrol negatif ini, templat mtDNA diganti dengan ddH2O. Dengan tidak munculnya pita pada kontrol negatif menunjukkan bahwa fragmen 0,4 kb yang diperoleh pada sampel bukan berasal dari kontaminan. 4.3. Hasil Direct Sequencing Urutan Nukleotida mtDNA HVI Sampel NB-007 dan NB-008 Urutan nukleotida sampel diperoleh melalui proses sekuensing yang dilakukan oleh Macrogen, Inc. Korea. Data hasil sekuensing kemudian dianalisis dengan menggunakan program SeqMan DNASTAR sehingga dapat diperoleh tampilan elektroforegram untuk kedua sampel tersebut. Tampilan elektroforegram untuk sampel NB-008 dapat dilihat pada Gambar 4.2. sedangkan tampilan elektroforegram sampel NB-007 hampir sama dengan NB-008, dan untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.
27
Gambar 4.2. Elektroforegam hasil sekuensing sampel NB-008. Puncak berwarna hijau menunjukkan basa adenin, puncak berwarna biru menunjukkan basa sitosin, puncak berwarna hitam menunjukkan basa guanin dan puncak berwarna merah menunjukkan basa timin.
Pada Gambar 4.2 bagian yang berwarna kuning menunjukkan nukleotida yang urutannya tidak bisa terbaca. Ketidakterbacaan ini berhubungan dengan adanya insersi basa sitosin (C) pada posisi 16189 yang mengakibatkan munculnya rangkaian poli-C pada kedua sampel. Berkaitan dengan ketidakterbacaan sampel yang mengandung poli-C tersebut telah dilakukan beberapa penelitian, salah satunya adalah penelitian yang
28
dilakukan oleh Levin. Dari hasil penelitian tersebut Levin menyimpulkan bahwa ketidakterbacaan sampel dengan direct sequencing disebabkan karena adanya campuran heteroplasmi rangkaian poli-C dalam satu individu (Siti dkk., 2007). Heteroplasmi merupakan suatu fenomena adanya dua atau lebih tipe mtDNA dengan proporsi yang sama dalam suatu sel atau individu. Dalam suatu sel terdapat banyak sekali molekul mtDNA. Apabila dari sekian banyak molekul mtDNA tersebut ternyata muncul dua atau lebih tipe mtDNA dengan jumlah yang relatif sama, maka munculah fenomena heteroplasmi dalam sel tersebut. Dengan adanya hal itu, akan menyebabkan ketidakterbacaan urutan nukleotida mtDNA secara lengkap dengan metoda direct sequencing. Hal ini juga berkaitan dengan prinsip direct sequencing yang hanya dapat membaca fragmen dominan saja (Siti, 2005). 4.4.
Analisis Mutasi Daerah HVI Analisis mutasi yang terjadi pada daerah HVI mtDNA dilakukan dengan
cara membandingkan urutan setiap sampel terhadap urutan standar. Sebagai standar digunakan urutan nukleotida CRS Anderson yang telah direvisi oleh Andrew (1999). Analisis jenis dan posisi mutasi yang terjadi pada kedua sampel tersebut dilakukan dengan menggunakan program SeqMan DNASTAR dengan cara menempatkan posisi nukleotida sampel sejajar dengan urutan nukleotida rCRS (revised Cambridge Reference Sequence). Gambar 4.3 menunjukkan contoh hasil analisis dengan cara tersebut pada sampel NB-008.
29
Gambar 4.3. Contoh tampilan analisis mutasi pada sampel NB-008 dengan menggunakan program SeqMan DNASTAR. Berdasarkan Gambar 4.3, bagian yang diberi kotak menunjukkan adanya perbedaan antara urutan nukleotida sampel NB-008 dengan urutan nukleotida rCRS. Dari gambar yang sama diketahui bahwa pada sampel NB-008 terjadi mutasi transisi basa timin (T) menjadi sitosin (C) pada posisi 16140. Dengan cara yang sama, dapat diketahui mutasi lain yang terjadi pada sampel NB-008 dan sampel NB-007. Secara lengkap, mutasi-mutasi yang terjadi pada kedua sampel dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Posisi, jenis dan jumlah mutasi pada daerah HVI mtDNA sampel NB-007 dan NB-008. No
Kode Sampel
Posisi–Jenis Mutasi
1 2
NB-007 NB-008
T16086C; T16189C; 16190.2C T16140C; A16183C; T16189C; 16190.1C
Jumlah Mutasi 3 4
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa pada sampel NB-007 ditemukan mutasi sebanyak tiga mutasi yaitu mutasi transisi basa T menjadi C pada posisi 16086 dan 16189 serta mutasi insersi dua basa C pada posisi 16190. Sedangkan pada sampel NB-008 terdapat empat mutasi, dua diantaranya adalah mutasi transisi basa T menjadi C pada posisi 16140 dan 16189, satu mutasi transversi
30
basa A menjadi C pada posisi 16183, dan satu mutasi insersi basa C pada posisi 16190. Untuk menentukan mutasi yang memiliki frekuensi tertinggi pada populasi Nusa Tenggara Barat, data mutasi yang terjadi pada kedua sampel dibandingkan dengan hasil penelitian Siti dkk. (2007). Tabel 4.3 menunjukkan jenis-jenis mutasi yang terjadi pada daerah HVI mtDNA populasi Nusa Tenggara Barat untuk sampel NB-007 dan NB-008 serta empat sampel hasil penelitian terdahulu. Tabel 4.3. Posisi, jenis dan jumlah mutasi pada daerah HVI mtDNA sampel NB-007 dan NB-008 dan empat sampel hasil penelitian terdahulu. No.
Kode Sampel
Posisi–Jenis Mutasi
1 2 3 4
NB-007 NB-008 NB18 NB19
5
NB20
6
NB21
T16086C; T16189C; 16190.2C T16140C; A16183C; T16189C; 16190.1C C16186T; C16276T; C16301T; C16302T; T16367C T16140C; 16183.D; T16189C; T16223C G16139A; T16154C; C16158T; T16182C; C16223T; T16321C; A16353G C16223T; C16305T
Jumlah Mutasi 3 4 5 4 7 2
Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa mutasi-mutasi yang terjadi pada daerah HVI mtDNA populasi Nusa Tenggara Barat bervariasi. Namun ada satu mutasi yang memiliki frekuensi tertinggi, yaitu mutasi transisi basa T menjadi C pada posisi 16189. Mutasi T16189C ini muncul pada tiga sampel yaitu NB-007, NB-008 dan NB19.
31
4.5. Rangkaian poli-C pada Daerah HVI mtDNA Sampel Dari hasil analisis mutasi yang terjadi pada sampel NB-007 dan NB-008, telah diketahui bahwa kedua sampel mengalami mutasi T16189C. Mutasi tersebut menyebabkan munculnya rangkaian poli-C pada kedua sampel. Lebih jelasnya rangkaian poli-C pada elektroforegram masing-masing sampel dapat dilihat pada gambar 4.4 dan 4.5.
Gambar 4.4. Rangkaian poli-C pada sampel NB-007.
Gambar 4.5. Rangkaian poli-C pada sampel NB-008. Berdasarkan kedua gambar di atas, terlihat bahwa pada kedua sampel muncul fenomena poli-C dengan jumlah rangkaian C yang sama yaitu 12C. Jumlah rangkaian poli-C sebenanya bisa bervariasi, hal ini tergantung pada mutasi-mutasi yang terjadi di sekitar urutan 16181-16193. Standar rCRS pada urutan 16181-16193 memiliki urutan nukleotida yang terdiri atas tiga A, sembilan C dan satu T. Ketika terjadi mutasi transisi basa T menjadi C pada posisi 16189, maka akan terbentuk rangkaian poli-C sebanyak 10C. Fenomena tersebut muncul pada sampel NB19 hasil penelitian
32
Siti dkk. (2007). Sedangkan pada sampel NB-008, selain mutasi T16189C juga terjadi mutasi A16183C dan 16190.1C yang menyebabkan terbentuknya rangkaian poli-C sebanyak 12C. Dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Siti (2005) diperoleh empat sampel mtDNA manusia yang mengandung poli-C dengan panjang bervariasi mulai dari 10C hingga 15C. Secara lebih jelas, perbandingan rangkaian poli-C sampel NB-007 dan NB-008 dengan lima sampel poli-C lain hasil penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 4.4.
C
C C C C C C C
C C C C C C C
C
C C C C C C C
C C C C C C C
C C C C C C C
C C
C
C
16193.3
C C C C C C C
16193
C C C C C C C
C
Jumlah rangkaian poli-C
16193.2
16188
C C C C C C C
C
16193.1
16187
C C C C C C C
C
16193
16186
C C C C C C C
16192
16185
A A A A C C C
C
16192
16184
A A A A A C C
16191
T
16191
16189
C
16190.2
16188
C
16190
16187
C
16190.1
16186
C
16190
16185
C
16189
16184
A
16188.1
16183
A A A A A C A
A
16183
C4B NB19 GMR NB-007 NB-008 ESG XXAM
16182
A
16182
16181 rCRS
16181
Tabel 4.4. Perbandingan rangkaian poli-C pada dua sampel yang diteliti dengan lima sampel hasil penelitian terdahulu.
10 10 11 12 12 13 15
C
Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa jumlah rangkaian poli-C pada sampel-sampel tersebut bervariasi mulai dari 10C hingga 15C tergantung mutasimutasi yang terjadi pada masing-masing sampel. Namun pada ketujuh sampel tersebut terdapat satu mutasi yang sama, yaitu mutasi T16189C. Mutasi basa T menjadi C pada posisi 16189 telah banyak dijumpai dan dapat membagi populasi menjadi dua bagian, yaitu 83% dan 17%, masing-masing untuk populasi T dan C.
33
Mutasi
ini juga menyebabkan terbentuknya rangkaian poli-C sepanjang 10C
(Dwiyanti, 2006). Hal ini dapat dilihat pada sampel C4B dan NB19 yang mengalami mutasi T16189C, sehingga terbentuk rangkaian poli-C sepanjang 10C. Pada sampel NB-007, rangkaian ini diperpanjang menjadi 12C dengan adanya mutasi insersi dua C pada posisi 16190. Sedangkan pada sampel XXAM, rangkaian poli-C sebanyak 10C akibat mutasi T16189C diperpanjang menjadi 15C dengan adanya mutasi A16182C; A16183C; dan insersi tiga C pada posisi 16193. Berdasarkan hasil analisis terhadap sampel NB-007 dan NB-008 serta empat sampel populasi Nusa Tenggara Barat (NTB) hasil penelitian Siti dkk. (2007), diketahui bahwa munculnya fenomena poli-C pada populasi NTB memiliki frekuensi yang tinggi. Dari enam sampel tersebut, tiga sampel memiliki rangkaian poli-C. Sementara itu, dari hasil pengumpulan data secara acak terhadap urutan nukleotida mtDNA manusia yang dipublikasi GenBank selama enam bulan terakhir mulai dari tanggal 16 Mei 2008 sampai 16 November 2008, diperoleh 49 sampel yang berasal dari populasi Asia. Dari 49 sampel tersebut hanya ditemukan empat sampel yang mengandung poli-C pada daerah HVI. Data keempat sampel yang dimaksud dapat dilihat pada tabel 4.5.
34
Tabel 4.5. Data empat sampel populasi Asia yang memiliki rangkaian poli-C pada daerah HVI. No. 1 2 3 4
Kode sampel EF185801 EU872041 EU872049 EU872045
Daerah asal sampel Indonesia India India India
Jumlah rangkaian poli-C 10 10 11 12
Berbagai publikasi urutan nukleotida daerah HVI mtDNA manusia, khususnya populasi Asia menunjukkan bahwa fenomena poli-C merupakan fenomena yang jarang terjadi. Oleh karena itu, tingginya frekuensi kemunculan poli-C pada populasi NTB ini perlu dikaji lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak.
35