BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masa bayi antara usia 6 – 24 bulan merupakan masa emas untuk
pertumbuhan dan perkembangan anak. Karena itu, masa ini merupakan kesempatan yang baik bagi orang tua untuk mengupayakan tumbuh kembang anak secara optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan orang tua untuk mencapai hal tersebut adalah melalui pola asuh makan yang baik dan benar yang diberikan kepada anak (Mutiara dan Ruslianti, 2013). Usia 6 sampai 24 bulan merupakan periode kritis pertumbuhan balita, karena pada umur tersebut anak sudah memerlukan MP-ASI yang memadai baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Hasil penelitian multi-center yang dilakukan UNICEF menunjukkan bahwa MPASI yang dibuat di rumah dapat memenuhi lebih dari 50% kebutuhan energi, cukup protein, rendah zat gizi mikro dan vitamin 30% Zn dan Fe, 50% Vitamin A (Kemenkes RI, 2012). Dalam upaya untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO bersama UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan untuk optimalisasi derajat kesehatan bayi, yaitu; pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak
berusia
24
bulan
atau
Universitas Sumatera Utara
lebih. Disamping itu juga MP ASI disediakan berdasarkan bahan lokal bila memungkinkan, MP ASI harus mudah dicerna, harus disesuaikan dengan umur dan kebutuhan bayi dan harus mengandung kalori dan mikronutrien yang cukup (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012, terdapat banyak ibu yang memberikan makanan terlalu dini kepada bayinya, kemudian sebanyak 32% Ibu memberikan makanan tambahan kepada bayi berumur 2 – 3 bulan, dan 69% kepada bayi berumur 4 – 5 bulan. Sedangkan pemberian ASI eksklusif pada bayi di bawah usia dua bulan berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2011-2012 hanya mencakup 67% dari total bayi yang ada. Persentase tersebut menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi, yakni, 54% pada bayi usia 2-3 bulan dan 19% pada bayi usia 7-9 bulan, sekitar 40% bayi usia kurang dari dua bulan sudah diberi makanan pendamping ASI. Disebutkan juga bahwa bayi usia nol sampai dua bulan diberi makanan pendamping cair (21-25%), makanan lunak/lembek (20,1%), dan makanan padat (13,7%). Pada bayi usia tiga sampai lima bulan yang mulai diberikan makanan pendamping cair (60,2%), lumat/lembek (66,25%) dan padat (45,5%). Yang lebih memprihatinkan, 13% bayi di bawah dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan (Sentra Laktasi Indonesia, 2013). Tubuh anak membutuhkan zat gizi yang sesuai untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Asupan zat gizi yang baik dapat diupayakan dengan memberikan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan (Mutiara & Ruslianti, 2013). Setelah itu, periode pemberian makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).
Universitas Sumatera Utara
MP-ASI adalah makanan tambahan selain ASI yang diberikan pada bayi sampai usia 24 bulan, sehingga MP-ASI diberikan tepat waktu pada usia 6-12 bulan, karena pada usia tersebut merupakan waktu yang sangat rawan terjadi malnutrisi (Suhardjo, 2013). Namun, di Indonesia masih banyak kebiasaan pemberian makan bayi yang belum sesuai dengan umurnya. Hasil penelitian yang dilakukan di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa 56,8% ibu memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini pada bayi 0-6 bulan dan hanya sebesar 43,2% ibu tidak memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini (Dinkes Provsu, 2013). Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP-ASI diberikan mulai umur 6 bulan sampai 24 bulan. Semakin meningkat umur bayi dan anak, kebutuhan akan zat gizi semakin bertambah karena untuk tumbuh kembang, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak. Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode ini (Kemenkes RI, 2012). Setelah bayi berumur 6 bulan, makanan pendamping ASI (MP-ASI) mulai diperkenalkan kepada bayi, namun pemberian ASI harus tetap dilanjutkan setidaknya sampai bayi berumur 2 tahun. Pada usia 6 bulan, bayi perlu diperkenalkan dengan makanan pendamping, yaitu makanan tambahan selain ASI untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi yang meningkat.. Energi yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
dari bubur, sop, kaldu, dan makanan cair lain yang diberikan kepada bayi umumnya di bawah batas yang dianjurkan untuk makanan pendamping (0,6 kkal/g) (Yuliarti, 2013). Semakin meningkatnya umur bayi, kebutuhan akan zat gizi semakin bertambah karena tumbuh kembang, sedangkan Air Susu Ibu (ASI) yang dihasilkan ibunya kurang memenuhi kebutuhan gizi. Oleh sebab itu mulai usia 6 bulan selain ASI, bayi mulai diberikan makanan pendamping air susu ibu (MPASI) agar kebutuhan gizinya terpenuhi (Kemenkes RI, 2012). Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) merupakan makanan lain yang selain ASI. Makanan ini dapat berupa makanan yang disiapkan secara khusus atau makanan keluarga yang dimodifikasi (Lilian Juwono, 2012). Secara teoritis diketahui bahwa pemberian MP ASI terlalu dini pada anak dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi seperti diare, konstipasi, muntah, dan alergi. Disamping itu akan memicu terjadinya obesitas, hipertensi, dan penyakit jantung koroner (Nadesul, 2011). Penelitian yang dilakukan Anies Irawati dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Kementerian Kesehatan, diperoleh data bahwa 50% bayi di Indonesia sudah mendapatkan MPASI pada umur kurang dari satu bulan. Bahkan, pada umur 2 – 3 bulan bayi sudah mendapatkan makanan padat. Dan bayi yang mendapatkan MP ASI dini lebih banyak terserang diare, batuk- pilek, alergi, dan berbagai penyakit infeksi yang menyebabkan mereka menderita kurang gizi/malnutrisi (Irawati, 2013). Anak– anak yang diberikan makanan pendamping ASI setelah berumur 6 bulan umumnya lebih cerdas dan memiliki daya tahan tubuh lebih kuat, mengurangi risiko terkena alergi akibat makanan. Sedangkan jika makanan
Universitas Sumatera Utara
pendamping ASI diberikan terlalu dini justru dapat meningkatkan angka kematian bayi, menggangu sistem pencernaan pada bayi, dan apabila terlambat memberikan juga akan membuat bayi kekurangan gizi (Kodrat, 2010). Dalam menanggulangi dan mencegah kurang gizi pada balita, maka ibu harus mengetahui dengan benar tentang MP-ASI dan bagaimana cara pemberian yang tepat pada anak. Menteri pemberdayaan perempuan mengatakan sekitar 6,7 juta balita atau 27,3% dari seluruh balita di Indonesia menderita kurang gizi. Salah satu penyebab terjadinya gangguan tumbuh kembang bayi dan anak usia 0-24 bulan di Indonesia adalah rendahnya mutu MP-ASI dan tidak sesuainya pola asuh makan yang diberikan (Kemenkes RI, 2012). Mengenai pemberian MP-ASI pada bayi, hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian MP ASI meliputi kapan MP-ASI harus diberikan, jenis bentuk dan jumlahnya. Pada saat bayi tumbuh dan menjadi lebih aktif, akan mencapai usia tertentu ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Seorang ibu memiliki peran vital yang sangat penting terhadap pemberian MP ASI pada anak, sehingga seorang ibu dituntut untuk memiliki pengetahuan dan sikap yang baik mengenai pemberian MP ASI pada anak (Sentra Laktasi Indonesia, 2013). Berdasarka profil kesehatan provinsi Sumatera Utara (2015) diketahui bahwa cakupan ASI eksklusif pada tahun 2015 di Sumut sebesar 56,6% masih belum mencapai target nasional yang ditetapkan yakni sebesar 80%. Menurut data profil Kesehatan Kabupaten Karo tahun 2015 dari total jumlah bayi sebanyak 6029, yang mendapat ASI eksklusif hanya 2167 bayi (36%), sangat jauh dari target cakupan pemberian ASI Ekslusif secara nasional yakni sebesar 80%.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal tersebut juga diketahui bahwa 3.862 bayi (64%) sudah diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada usia kurang dari 6 bulan. Harusnya penurunan ini tidak terjadi mengingat pentingnya ASI bagi bayi dan sangat bermanfaat untuk proses pertumbuhan dan perkembangan bayi serta program pemerintah yang ingin menggalakkan pemberian ASI kepada bayi dan pemberian MP ASI dalam jangka waktu yang tepat kepada bayi.
Dengan
demikian, dari data diatas pencapaian pemberian ASI Eksklusif masih jauh dari target pemerintah Indonesia yang menetapkan sekurangnya 80%. Hasil penelitian Damayani (2015) yang menganalisis faktor pengetahuan dan sikap ibu terhadap ketepatan pemberian MP-ASI di Kelurahan Tiga Balata Kabupten Simalungun menunjukkan bahwa dari 38 orang responden yang diteliti hanya 7 orang responden (12,3%) yang memiliki pengetahuan yang baik dan memberikan MP-ASI dengan tepat setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan, sedangkan sebagian besar responden yakni sebanyak 38 orang (66,7%) yang memiliki kategori pengetahuan yang kurang baik sudah memberikan MP-ASI secara tidak tepat yakni sudah diberikan MP-ASI sebelum bayi berusia 6 bulan. Hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value = 0,002 (p<0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan secara signifikan antara pengetahuan responden dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi. Dari segi sikap diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki sikap dalam kategori yang kurang baik dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi yaitu sebanyak 33 orang (57,9%), dan yang memiliki sikap kategori baik dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi yaitu hanya sebanyak 24 orang (42,1%). Hasil uji statistik chi-square
Universitas Sumatera Utara
diperoleh nilai p value = 0,029 (p<0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan secara signifikan antara sikap ibu dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi Berdasarkan penelitian Ginting dkk (2014) yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Barusjahe Kabupaten Karo menunjukkan bahwa dari 68 ibu yang diteliti mempunyai tingkat pengetahuan dalam kategori kurang baik yaitu sebanyak 47 orang (97,9%) diantaranya telah memberikan MP-ASI dini kepada bayi usia dibawah 6 bulan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dari 68 ibu yang mempunyai sikap dalam kategori kurang baik, 54 orang (80,6%) diantaranya telah memberikan MP-ASI dini kepada bayi usia dibawah 6 bulan. Ibu yang memiliki sikap dalam kategori baik hanya 14 orang (42,4%) yang telah memberikan MP-ASI dini kepada bayinya. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,001 (p<0,005) maka dapat disimpulkan ada hubungan secara bermakna antara sikap ibu dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi usia dibawah 6 bulan. Hasil analisis diperoleh pula nilai RP=1,9,artinya ibu yang memiliki sikap dalam kategori kurang baik mempunyai resiko sebesar 1,9 kali untuk memberikan MPASI dini pada bayi usia dibawah 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu, penulis memiliki asumsi yang berbeda mengenai hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu di wilayah kerja Puskeskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo mengenai pemberian MP-ASI pada bayi dan 6 – 24 bulan, yang mana wilayah kerja Puskesmas Kabanjahe di kabupaten Karo merupakan salah satu wilayah yang memiliki presentasi yang rendah terhadap pemberian ASI secara eksklusif kepada bayi, dimana sebagian besar masyarakat sudah memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) secara dini kepada bayi yang masih berusia dibawah 6 bulan. Berdasarkan profil Dinas
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan
Kabupaten
Karo
pada
tahun
2015 diketahui cakupan
pemberian ASI Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kabanjahe sekitar 2,77% dari 2689 orang bayi yang ada diwilayah kerja Puskesmas Kabanjahe. Dengan demikian bahwa hanya ada 75 bayi (2,77%) yang mendapatkan ASIEsklusif dan diberikan MP –ASI setelah berusia 6 bulan. Sedangkan sebagian besar yakni sebanyak 2614 bayi (97,23%) tidak mendapatkan ASI Eksklusif dan sudah diberikan MP ASI pada usia kurang dari 6 bulan. Hasil survey awal yang dilakukan penulis di wilayah kerja Puskesmas Kabanjahe dengan wawancara singkat, diketahui bahwa dari 5 orang ibu yang memiliki bayi usia 6 - 24 bulan, kelima responden yang diwawancarai sudah memberikan MP-ASI pada bayi sejak usia dibawah enam bulan dan lima orang ibu tersebut juga menyatakan kurang memahami pengetahuan tentang MP-ASI, ibu tidak mengerti berapa jumlah, porsi, jenis, frekuensi dan bentuk yang tepat untuk memberikan makanan pendamping ASI pada anaknya. Sehingga ibu memberikan makanan pendamping disamakan dengan makanan orang dewasa hanya jumlahnya yang berbeda. Semua orang ibu yang diwawancarai mengatakan mengenalkan makanan tambahan seperti susu formula dan makanan lunak kurang dari 6 bulan agar anaknya kenyang dan tertidur pulas, jika anak diberi makan pisang sewaktu berumur 2 bulan agar anak tidak rewel dan lebih tenang, berat badan anak akan bertambah dan lebih cepat besar. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang benar dan kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat sehingga berpengaruh terhadap sikap ibu dalam pemberian MP-ASI. Menurut petugas kesehatan di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo apabila diadakan penyuluhan, kebanyakan para ibu
Universitas Sumatera Utara
memilih tidak hadir dengan berbagai alasan diantaranya jarak yang jauh, anak yang rewel dan pekerjaan rumah yang menumpuk. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara singkat dengan ibu-ibu kader Posyandu dan petugas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo, mengatakan bahwa banyak ibu-ibu yang memberikan MP-ASI yang tidak tepat baik dari segi umur bayi, jenis makanan dan frekuensi pemberiannya. Hal ini dapat dilihat dari adanya kasus pada bayi yang mengalami gangguan sistem pencernaan seperti diare dan sebagainya. Jenis makan pendamping yang diberikan cukup beragam oleh ibu kepada bayinya, ada yang memberikan bubur susu, pisang yang dikerok, dan ada ibu yang memberikan bubur saring. Hal lain yang berhubungan dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Kabanjahe ialah sikap ibyu terhadap pemberian MP-ASI tersebut, dimana sikap ibu menganggap bahwa pemberian MP-ASI merupakan hal yang tidak perlu dikhawatirkan, dan merupakan suatu faktor kebiasaan masyarakat setempat, bahwa bayi dibawah usia enam bulan sudah bisa diberikan makanan pendampin ASI (MP-ASI) atau menu makanan keluarga. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai bagaimana hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6 – 24 bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2016. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah mengenai
“Bagaimana Hubungan
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada Bayi dan Baduta (6 – 24 Bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2016?”. 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6 – 24 bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2016. 1.3.1
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu terhadap pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)
pada bayi dan baduta
(6 – 24 bulan) di
Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2016. 2. Untuk megetahui gambaran sikap ibu terhadap pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)
pada bayi dan baduta
(6 – 24 bulan) di
Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2016. 3. Untuk mengetahui gambaran pemberian makanan pendamping ASI (MPASI)
pada bayi dan baduta
(6 – 24 bulan) di Puskesmas Kabanjahe
Kabupaten Karo tahun 2016. 4. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)
pada
bayi dan baduta (6 – 24 bulan) di
Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2016.
Universitas Sumatera Utara
5. Untuk mengetahui hubungan sikap ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)
pada bayi dan baduta
(6 – 24 bulan) di
Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2016. 1.4
Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Ho :
Tidak
ada
hubungan
pengetahuan
dan
sikap
ibu
terhadap pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6 – 24 bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2016. 2. Ha :
Ada
hubungan
pengetahuan
dan
sikap
ibu
terhadap
pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6 – 24 bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2016. 1.5
Manfaat Penelitian 1. Bagi institusi (Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, Puskesmas Kabanjahe, Posyandu, bidan desa, dan kader kesehatan) sebagai bahan masukan untuk mengembangkan metode terbaru dan pendekatan pendidikan kesehatan yang aplikatif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu terhadap pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6 – 24 bulan). 2. Bagi Universitas Sumatera Utara, sebagai literatur kepustakaan di bidang penelitian mengenai bagaimana hubungan pengetahuan dan sikap ibu tehadap pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan
Universitas Sumatera Utara
baduta (6 – 24 bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2016. 3. Bagi peneliti lain, diharapkan dapat digunakan sebagai perbandingan atau bahan referensi bagi penelitian dengan objek yang sama di masa mendatang.
Universitas Sumatera Utara