BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah pengelolaan kesehatan bangsa
Indonesia yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Salah satu sub sistem dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah subsistem upaya kesehatan. Subsistem upaya kesehatan menurut SKN adalah bentuk dan cara penyelenggaraan upaya kesehatan yang paripurna, terpadu, dan berkualitas; meliputi upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan, dan pemulihan yang diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Terdapat tiga tingkatan upaya kesehatan, yaitu upaya kesehatan primer, upaya kesehatan sekunder, upaya kesehatan tersier (Kemenkes RI, 2012). Pusat Kesehatan Masyarakat atau biasa disingkat puskesmas termasuk sebagai sarana penyelenggara upaya kesehatan primer, yaitu upaya kesehatan dimana terjadi kontak pertama masyarakat dengan pelayanan kesehatan (Hartono, 2010). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2012 terdapat 10 besar penyakit di Kota Medan yang merupakan 10 besar penyakit yang ada di puskesmas Kota Medan yaitu, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), hipertensi, penyakit pada sistem otot dan jarigan ikat, penyakit lain pada saluran pernapasan atas,
penyakit
kulit
infeksi,
diare,
penyakit
pulpa
dan
jaringan
1 Universitas Sumatera Utara
2
periapikal, penyakit kulit alergi, tonsilitis, penyakit ginggivitis dan penyakit periodental (Dinkes, 2013). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian / lebih dari saluran napas mulai hidung-alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Dinkes Prov Sumut, 2013). Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA disebabkan oleh virus/ bakteri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak) (Kemenkes RI, 2013). Hingga saat ini ISPA masih menjadi masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju, hal ini karena masih tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA (Lumban Batu, 2011). ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. ISPA yang mengenai jaringan paru-paru atau ISPA berat, dapat menjadi pneumonia (Dinkes Prov Sumut, 2013). Pneumonia merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian khususnya pada balita diantara penyakit ISPA lainnya yaitu sekitar 80-90% (Kemenkes RI, 2013). Kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia pada akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara 1.000 balita (Kemenkes RI, 2012). Pneumonia adalah Infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru yang menyebabkan paru-paru meradang (Dinkes Prov Sumut, 2013). Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya menyerang sekitar 1% dari seluruh penduduk Amerika. Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang
Universitas Sumatera Utara
3
antibiotik, pneumonia masih menjadi masalah kesehatan yang mencolok. Ini disebabkan karena munculnya organisme nosokomial (yang didapat di rumah sakit) yang resisten terhadap antibiotik, ditemukannya organisme-organisme yang baru (seperti legionella), bertambahnya jumlah pejamu yang lemah daya tahan tubuhnya dan adanya penyakit seperti AIDS yang semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan penyebab pneumonia. Bayi dan balita lebih rentan terhadap pneumonia karena respon imunitas masih belum berkembang dengan baik (Price, Sylvia Anderson dan Wilson, 2006). Data WHO tahun 2007 melaporkan bahwa terdapat 1,8 juta kematian akibat pneumonia atau sekitar 20% dari total 9 juta kematian pada balita (Soepardi, 2010). Pada tahun 2008 dari 8,8 juta kematian balita terdapat 1,6 kematian karena pneumonia dan 1,3 juta karena diare. Lebih dari 98% kematian pneumonia dan diare pada anak-anak terjadi di 68 negara berkembang (Weber dan Handy, 2010). Pada tahun 2011 berdasarkan data WHO terdapat 1,3 juta balita meninggal karena pneumonia. Pada tahun 2012, 1,1 juta anak balita meninggal karena pneumonia, sebagian besar dari mereka berusia kurang dari 2 tahun, dan 99% dari kematian ini berada di negara-negara berkembang, di mana akses ke fasilitas kesehatan dan pengobatan di luar jangkauan bagi banyak anak (WHO, 2012 dan WHO, 2013). Di Indonesia dari tahun ke tahun, pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi dan anak balita dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan,seperti puskesmas (Kemenkes RI,
Universitas Sumatera Utara
4
2010).
Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Dirjen PP dan PL Kemenkes RI) tahun 2013, cakupan penemuan kasus pneumonia masih jauh dari target nasional, ini terlihat dari perbandingan cakupan penemuan penderita pneumonia balita tahun 2008-2012 dengan target tahun 2008-2012. Perbandingan ini dapat dilihat dari grafik 1.1 dibawah ini, Gambar 1.1 Grafik Cakupan dan Target Pneumonia tahun 2008-2012
Grafik diatas menunjukkan rendahnya cakupan penemuan pneumonia jika dibandingkan dengan target, hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Berdasarkan survei awal yang dilakukan penulis di Dinas Kesehatan Kota Medan Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan (PMK), diantara faktor tersebut yaitu balita yang diketahui menderita pneumonia setelah dia meninggal, sehingga kasus pneumonia yang dideritanya tidak terlaporkan sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
5
Gambaran persebaran kasus diperoleh berdasarkan data insiden pneumonia balita berobat, yaitu jumlah penderita balita yang diobati dibagi dengan total populasi balita di wilayah program dikali seratus persen. Gambaran peta insiden kasus pneumonia berobat dari tahun 2005 sampai tahun 2009 menunjukkan bahwa pneumonia tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 2005 Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang memiliki insiden pneumonia tertinggi (>4%) (Kemenkes RI, 2010). Cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita di Sumatera Utara masih rendah. Pada tahun 2012, dari 148.431 perkiraan balita yang menderita penemonia yang ditemukan dan ditangani hanya 17.443 balita atau 11,74%; angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2011 yaitu 22.442 balita atau 15,56%. Dari 33 kabupaten/kota, terdapat 3 kabupaten/kota yang melaporkan 0 (nol) kasus yaitu Kabupaten Nias Utara,
Batubara dan Kota Binjai. Kabupaten dengan jumlah
penderita kasus ditemukan dan ditangani terbanyak adalah Kabupaten Simalungun yaitu 32,44%, disusul dengan Kota Medan sebesar 25,50% dan Kabupaten Deli Serdang sebesar 21,53% (Profil Kesehatan Provinsi Sumut, 2012). Tahun 2013 jumlah balita di Kota Medan adalah sebanyak 244.730 balita. Penderita pneumonia yang ditemukan dan ditangani ada sebanyak 4.269 balita (17,3%). Angka ini masih jauh dari jumlah perkiraan penderita pneumonia di Kota Medan tahun 2013 yaitu 24.474 balita. Jumlah penderita pneumonia yang ditemukan dan ditangani pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
6
tahun 2012, Tahun 2012 jumlah penderita yang ditemukan dan ditangani 4.943 balita (22,0%) dengan jumlah perkiraan penderita 22.859 balita (Dinkes Kota Medan, 2013). Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan strata pertama telah melakukan berbagai upaya dalam pengobatan pneumonia, yaitu dengan pengobatan pneumonia secara terpisah ataupun dengan menggabungkan manajemen perwatan beberapa penyakit pada balita yang disebut manajemen terpadu balita sakit (MTBS). MTBS adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-5 tahun (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara menatalaksanakan balita sakit. MTBS telah diadaptasi pada tahun 1997 atas kerjasama antara Kemenkes RI, WHO, United Nations International Children's Emergency Fund (Unicef) dan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). WHO memperkenalkan konsep pendekatan MTBS dimana merupakan strategi upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita di negara-negara berkembang (Depkes RI, 2008). Bank Dunia tahun 1993 menjabarkan bahwa MTBS adalah intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia, diare, campak, malaria, kurang gizi, yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut (Depkes RI, 2008). Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan MTBS sejak tahun 1997. Sejak itu penerapan
Universitas Sumatera Utara
7
MTBS di Indonesia berkembang secara bertahap dan up-date buku bagan MTBS dilakukan secara berkala (Dirjen Bina Kesehatan Anak, 2011). Dalam kurun tahun 2007-2008, Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan IDAI yang terkait, United States Agency for International Development (USAID), WHO serta Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) melaksanakan serangkaian kegiatan untuk meng-up date modul MTBS tersebut yang didasarkan pada evidence and recomnedations for further adaptations dalam technical updates of the guidelines on Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) yang diterbitkan WHO tahun 2005 serta adanya perubahan kebijakan pada beberapa program terkait tentang tatalaksana penyakit untuk MTBS (Depkes RI, 2008). Namun dalam pelaksanaan MTBS yang standar masih mengalami kendala di lapangan,salah satu faktor penyebab yaitu masih kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman tenaga di Puskesmas dalam menangani bayi atau anak balita yang sakit secara optimal. MTBS memerlukan waktu dalam memberikan pelayanan yang lengkap dan berkesinambungan, juga membuat pencatatan serta pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten
(Nurhayati,2010).
Adapun Manajemen kasus balita sakit dengan MTBS yaitu, penilaian dan klasifikasi anak sakit, menentukan tindakan dan memberi pengobatan, konseling ibu, dan tindak lanjut (Depkes, 2008).
Universitas Sumatera Utara
8
Penelitian sebelumnya tentang MTBS oleh Mardijanto dkk (2005) tentang evaluasi manajemen terpadu balita sakit di Kabupaten Pekalongan mengatakan bahwa pelaksanaan MTBS telah berjalan bergantung pada tenaga yang sudah pernah dilatih. Kinerja proses seperti kelengkapan pengisian formulir dan pembuatan klasifikasi keluhan terjadi tidak bertambah baik selama periode tiga tahun. Meskipun mutu pelayanan dan pengelolaan pneumonia bertambah baik, angka rasio kotrimoksasol belum menggembirakan, menurut Mardijanto dkk hasil penelitian ini terkait dengan dukungan manajemen yang lemah di tingkat puskesmas maupun dinas kesehatan. Hasil penelitian tentang gambaran pelaksanaan MTBS umur 2 bulan – 5 tahun di puskesmas di Kota Makasar tahun 2012 bahwa sebagian besar puskesmas di Kota Makasar tidak menerapkan MTBS untuk menangani balita sakit. Hal ini dapat terlihat dari aspek input,proses,output, aspek input menunjukkan hasil yang belum baik, aspek proses belum sesuai dengan pedoman MTBS yang telah ditetapkan oleh Kemenkes RI, aspek output belum memenuhi kriteria menggunakan MTBS pada minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di Puskesmas (Husni dkk, 2012). Sedangkan penelitian yang mengevaluasi pelayanan MTBS terhadap kesembuhan pneumonia pada anak balita di Provinsi Jambi dilakukan oleh Nurhayati, dkk (2010), hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan MTBS yang standar memberikan peningkatan peluang keberhasilan yang lebih tinggi dalam kesembuhan pneumonia pada anak balita dibandingkan dengan pelayanan MTBS yang tidak standar, selain itu pendidikan dan jarak tempuh dari tempat tinggal ke pelayanan kesehatan juga memengaruhi keberhasilan pneumonia pada anak balita.
Universitas Sumatera Utara
9
Berdasarkan hasil dari survey awal di Dinas Kesehatan Kota Medan, terdapat beberapa puskesmas di Kota Medan yang petugasnya telah mendapat pelatihan MTBS dan menerapkan MTBS dalam penatalaksanaan balita sakit, diantaranya adalah Puskesmas Medan Denai. Puskesmas Medan Denai merupakan puskesmas yang berada di Kecamatan Medan Denai. Pada tahun 2013 angka cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita yang ditemukan dan ditangani adalah sebanyak 242 balita dari perkiraan jumlah penderita 419 balita dan dengan jumlah balita di wilayah kerja puskesmas yaitu 4.195 balita. Jumlah kunjungan balita di Puskesmas Medan Denai pada tahun 2013 adalah sebanyak 2.278 balita dan balita yang ditangani dengan MTBS sebanyak 405 balita (26,0%). Data tersebut menunjukkan bahwa tidak semua balita yang datang ke Puskesmas Medan Denai ditangani dengan MTBS. Puskesmas Medan Denai memiliki 3 orang tenaga terlatih MTBS (Dinkes Kota Medan, 2013). Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui penatalaksanaan pneumonia pada balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Medan Denai Kota Medan Tahun 2014. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penatalaksanaan pneumonia pada balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Medan Denai Kota Medan Tahun 2014. 1.3 Tujuan Penelitian
Universitas Sumatera Utara
10
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui penatalaksanaan pneumonia pada balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Medan Denai Kota Medan Tahun 2014. 1.4 Manfaat Penelitan Manfaat penelitian ini adalah : 1. Dapat memberikan informasi kepada stakeholder dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Medan tentang bagaimana penatalaksanaan pneumonia pada balita dengan menggunakan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di Puskesmas Medan Denai 2. Sebagai masukan bagi pihak Puskesmas Medan Denai tentang bagaimana penatalaksanaan pneumonia pada balita dengan menggunakan MTBS dalam terwujudnya penurunan balita yang menderita pneumonia. 3. Sebagai bahan menambah ilmu pengetahuan sekaligus menambah wawasan secara nyata bagi penulis 4. Sebagai bahan referensi dan perbandingan bagi penelitian yang berhubungan dengan penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS.
Universitas Sumatera Utara