BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu misi pembangunan kesehatan yang tertuang dalam Rencana Strategi Pembangunan Kesehatan tahun 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat mandiri. Sejalan dengan misi tersebut dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2009 khususnya Subsistem Pemberdayaan Masyarakat, bertujuan untuk meningkatnya kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri, berperan aktif dalam setiap pembangunan kesehatan, serta dapat menjadi penggerak dalam mewujudkan pembangunan berwawasan kesehatan (Kemenkes, 2010). Dalam rangka mempercepat terwujudnya tujuan pembangunan kesehatan “Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat “ dengan strategi menggerakan dan memberdayakan masyarakat dalam mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya, pemerintah mengembangkan desa siaga (Depkes RI, 2007). Menurut Kemenkes (2010), gerakan Desa Siaga di Indonesia telah dimulai sejak
tahun
2006,
melalui
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
564/Menkes/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga, dan hasil evaluasi kemenkes pada tahun 2009 bahwa tercatat sudah 42.295 Desa dan Kelurahan Siaga Aktif (56,1%) dari 75.410 desa dan kelurahan telah memulai upaya
1 Universitas Sumatera Utara
untuk mewujudkan Desa Siaga dan Kelurahan Siaga. Namun demikian, banyak di antaranya yang belum berhasil menciptakan Desa Siaga dan Kelurahan Siaga Aktif. Hal ini dapat dipahami karena pengembangan dan pembinaan Desa Siaga yang menganut konsep pemberdayaan masyarakat memang memerlukan suatu proses. Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah – masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri.(Kemenkes, 2010).Desa siaga merupakan upaya yang strategis dalam rangka percepatan pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs). Pada awalnya istilah siaga digunakan hanya untuk program Kesehatan Ibu dan Anak dengan singkatan siap antar jaga dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi di pedesaan. Menurut Pramudho (2009) desa siap antar jaga terdiri dari Warga Siaga dan Bidan Siaga, dalam mewujudkan bank darah desa atau kelompok donor darah, angkutan bersalin (ambulan desa), Tabulin (tabungan ibu bersalin) dan Dasolin (dana sosial bersalin). Keterlibatan semua komponen masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat desa, tenaga kesehatan, pimpinan legislatif, sektor swasta sangat dominan dalam mewujudkan Desa Siaga tersebut. Sebagaimana
diketahui,
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten dan Kota serta Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten dan Kota menetapkan bahwa pada tahun 2015
Universitas Sumatera Utara
sebanyak 80% desa telah menjadi Desa Siaga Aktif. Pemerintah kemudian menetapkan program Desa Siaga dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 564/MENKES/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga. Oleh sebab sebagian desa yang ada di Indonesia telah berubah status menjadi kelurahan, maka perlu ditegaskan bahwa dalam target tersebut juga tercakup Kelurahan Siaga Aktif. Dengan demikian, target SPM harus dimaknai sebagai tercapainya 80% desa dan kelurahan menjadi Desa dan Kelurahan Siaga Aktif.(Kemenkes, 2010). Berdasarkan Profil Kesehatan tahun 2010, tercatat 51.996 desa/kelurahan (69,1%) dari 75.226 desa/kelurahan di Indonesia telah mewujudkan Desa/Kelurahan Siaga. Profil Kesehatan tersebut juga menunjukkan rasio Desa Siaga/Poskesdes terhadap jumlah desa adalah sebesar 0,69 persen. Sebuah desa telah menjadi Desa Siaga apabila desa tersebut telah memiliki sekurang – kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Kesehatan Desa atau Poskesdes adalah upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan atau menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat. Poskesdes diselenggarakan oleh tenaga kesehatan (minimal seorang bidan dalam hal ini adalah bidan desa dengan alasan bahwa bidan desa telah banyak tersebar di desa – desa. (Depkes RI, 2007) Oleh karena itu, pelaksanaan program Desa Siaga membawa konsekuensi pada berkembangnya peran Bidan desa, peran Bidan kini tidak lagi terbatas pada penanganan masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), tetapi ia harus mampu
Universitas Sumatera Utara
menggerakkan dan memberdayakan masyarakat pedesaan untuk terlibat di 19 kesehatan
komunitasnya.
Setiap
Bidan
dilengkapi
dengan
pengetahuan
kepemimpinan dan manajerial untuk menjalankan fungsi pemberdayaan melalui kemitraan tersebut (Depkes, 2007). Tugas utama Bidan adalah membina peran serta masyarakat melalui pembinaan Posyandu dan pembinaan kelompok Dasa Wisma, di samping memberi pelayanan langsung di Posyandu dan pertolongan persalinan. Sedangkan tugas pokok bidan di desa adalah melaksanakan kegiatan Puskesmas di desa wilayah kerjanya berdasarkan urutan prioritas masalah kesehatan yang dihadapi, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan diberikan. Selain itu Bidan di desa mempunyai tugas menggerakkan dan membina masyarakat desa di wilayah kerjanya agar tumbuh kesadarannya untuk dapat berperilaku hidup sehat (Wijono, 1997). Mengacu tugas pokok dan fungsi bidan di desa, maka program Desa Siaga tentulah sangat bergantung peran aktif dari bidan. Menurut Kusrini (2012), yang mengutip Depkes RI (2000), bidan di desa adalah bidan yang ditempatkan, diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya. Bidan di desa merupakan salah satu fasilitas penunjang dan jaringan pelayanan puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan di tingkat desa, sehingga bidan di desa adalah satu sumber daya manusia yang dimiliki sebuah desa. Menurut Sutisna (2009) salah satu tugas dan tanggung jawab bidan di desa adalah mengelola Program Desa Siaga.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengembangan Desa Siaga yang menjadi tujuan utamanya adalah membentuk masyarakat
yang memiliki kemandirian di bidang kesehatan.
Kemandirian ini dimunculkankan dari proses awal pembentukan desa siaga yaitu pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Proses pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan tidak ubahnya seperti proses pemberdayaan masyarakat dalam bidang lainnya, demikian pula dengan kendala yang dihadapi, yaitu kesiapan masyarakat, kurangnya peran pendampingan dan kebijakanpemerintah yang kurang mendukung (Suyono, 2004). Peran pendamping dalam proses pendampingan masyarakat meliputi peran sebagai fasilitator, motivator, dan katalisator. Ketiga peran inilah yang harus di lakukan bidan agar desa siaga dapat berkembang. Sebagai fasilitator bidan harus dapat mengarahkan masyarakat desa agar pelaksanaan pengembangan desa siaga tidak menyimpang dari aturan yang telah di tetapkan.Sebagai motivator bidan desa harus dapat menggerakkan seluruh komponen masyarakat untuk berpartisipasi dalam program peningkatan desa siagadan sebagai katalisator bidan desa harus mampu memberikan stimulus kepada masyarakat desa agar peningkatan desa siaga lebih cepat mencapai tahapan-tahapan desa siaga.(BPKB Jawa Timur, 2008) MenurutNotoatmodjo (2009), mengemukakan bahwa keberhasilan suatu institusi atau organisasi salah satunya ditentukan oleh faktor sumber daya manusia (karyawan atau tenaga kerja), kualitas sumber daya manusia atau karyawan diukur dari kinerja karyawan dan produktivitasnya, maka kinerja bidan dalam mengelola program
Desa
Siaga
merupakan
salah
satu
hal
yang
penting
dalam
Universitas Sumatera Utara
pengembanganDesa Siaga. Hal ini sejalan dengan penelitian Subagyo (2008), yaitu bahwa adapengaruh secara signifikan peran pendampingan bidan desa terhadap pengembangan Desa Siaga di Kabupaten Blitar. Menurut Subagyo (2008) yang mengutip BPKB Jawa Timur (2001), menyatakan bahwa pendampingan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dan dapat bermakna pembinaan, pengajaran, pengarahan dalam kelompok yang lebih berkonotasi pada menguasai, mengendalikan, dan mengontrol. Kata pendampingan lebih bermakna pada kebersamaan, kesejajaran, samping menyamping, dan karenanya kedudukan antara keduanya (pendamping dan yang didampingi) sederajat, sehingga tidak ada dikotomi antara atasan dan bawahan. Hal ini membawa implikasi bahwa peran pendamping hanya sebatas pada memberikan alternatif, saran, dan bantuan konsultatif dan tidak pada pengambilan keputusan. Pengembangan Desa Siaga dipandang dari segi kesiapan masyarakat tampak bahwa masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai program pemberdayaan sehingga masyarakat menjadi lebih siap, bila dipandang dari segi kebijakan pemerintah bahwa kebijakan yang ada saat ini sangat mendukung terhadap pelaksanaan desa siaga. Namun jika dipandang dari segi pendamping, tampaknya Bidan Desa lebih memiliki kendala untuk menjadi pendamping yang handal, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah posisi bidan sebagai pegawai pemerintah dan sebagian besar telah memiliki ijin praktek swasta sehingga penambahan beban dalam melakukan pendampingan Desa Siaga dirasa cukup berat bagi Bidan Desa (Subagyo, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Propinsi Acehsosialisasi Desa SIAGA di mulai sejak tahun 2010 dan dikenal dengan nama Gampong SIAGA, sejak disosialisasikannya program desa siaga propinsi Aceh menetapkan target Desa Siaga sebanyak6.489desa, akan tetapi pada pertengahan tahun 2013 jumlah desa siaga yang terbentuk baru mencapai 4.552 desa atau 70,1% (Profil Dinas Kesehatan Aceh, 2012). Kota Langsa merupakan salah satu kota yang ada di Propinsi Aceh, terdiri dari 5 kecamatan dan 66desa/kelurahan. Desa/kelurahan yang sudah dicanangkan sebagai desa siagapada tahun 2013 adalah 52 desa ( 78.8 %) serta 173 kader yang sudah dilatih(Laporan Program Dinkes Kota Langsa, 2013).Evaluasi pengembangan desa siaga yang dilakukan oleh Dinas KesehatanKota Langsa pada bulan November 2013 menunjukan hasil belum sesuai seperti yangdiharapkan. Dari 66 desa yang akan dicanangkan menjadi desa siaga hanya 45desa (68,18 %)yang sudah berjalan. Sedangkan dari 5 kecamatan yang ada diwilayah kerja Dinas Kesehatan KotaLangsa, Kecamatan Langsa Kota menjadi salah satu fokus kerja pada program pengembangan Desa Siaga, hal ini dikarenakan letak kecamatan tersebut berada pada titik pusat pemerintahan dan lokasinya yang berada ditengah-tengah kota,namun ada beberapa desa yang berada di pesisir kota yaitu secara geografis terletak di sebuah pulau dan harus menggunakan kapal penyeberangan untuk menempuhnya, menyebabkan desa tersebut jauh dari pusat pelayanan kesehatan, hal ini lah yang menjadi keunikan pada kecamatan Langsa Kota, serta memiliki jumlah penduduk terbesar yaitu sebanyak 52.092 jiwa.
Universitas Sumatera Utara
Hasil pengamatan awal yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah desa pada kecamatan Langsa Kota terdiri dari 16 desa, dan memiliki 19 orang bidan desa serta sebanyak 52 kader yang sudah dilatih. Namun pada tahun 2013 data desa yang sudah mendapat predikat desa siaga pratama sebanyak 7 desa dan desa siaga madya sebanyak 3 desa (Profil Puskesmas Langsa Kota, 2013),lambatnya pengembangan desa siaga di kecamatan Langsa Kota salah satunya disebabkan karena peranBidan Desa dalam melakukan pendampingan seringkali terkendala oleh beberapahal, terutama terkait dengan beban kerja yang ditugaskan kepada Bidan Desa. Kondisi inilah salah satunya yang menyebabkan pengembangan desa siaga diKota Langsa terhambat.Desa Siaga telah dicanangkan, tenaga kesehatan pendamping telah di latihdan disiapkan, namun perkembangan Desa Siaga masih jauh dari harapan. Berdasarkan kondisi tersebut maka peneliti tertarik melakukan penelitian denganjudul ”Peran Pendampingan Bidan Desa terhadap Keberhasilan Program Pengembangan DesaSiaga di Kecamatan Langsa Kota Tahun 2014”.
1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang ada maka permasalahan yang dapat dilihat adalah bagaimana peran pendampingan bidan desa sebagai fasilitator, motivator dan katalisator terhadap keberhasilan program pengembangan Desa Siaga di Kecamatan Langsa Kota.
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
seberapa
jauhPeran
Pendampingan Bidan Desa terhadap keberhasilan program pengembangan Desa Siaga di Kecamatan Langsa Kota.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain : 1. Manfaat bagi mahasiswa sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya 2. Manfaat bagi Institusi sebagai bahan masukan dalam pengembangan Desa Siaga di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa
Universitas Sumatera Utara